LES maen saham sederhana BERLABA oleh JO
mo blajar maen saham MANDIRI
sila tinggalkan KOMENTAR untuk ikut LES MAEN SAHAM SEDERHANA BERLABA oleh JO... disesuaikan dengan tujuan PESERTA, setiap PESERTA les bole ikut sendiri-sendiri, biaya bisa dinegosiasikan
🍥
2000-2018:
Reksa dana saham JO ada yang naek + 2000%an, bahkan s4 k +2400% saat ihsg naek k 6600an. Dibandingkan dengan tren knaekan suku bunga deposito sjak 2002 s/d 2018, maka tren imbal hasil reksa dana saham tsb mase lebe tinggi, lumayan jauh jaraknya. Karna tren pergerakan tingkat suku bunga deposito (kena PPH/ pajak penghasilan p.a. 20%) sekira + 9% maka dalam periode 2002-2018 total terakumulasi pertambahan hasil bunga deposito sekira + 332.76%. Bandingkan dengan reksa dana saham JO d Schroder Dana Prestasi Plus yang mencapai + 2000%an, maka terbukti investasi rupiah JO naek tinggi dibandingkan hasil deposito.
JO inves saham sjak sekira Februari (bumi, lwat orang laen) 2009, lalu maen saham sendiri sjak sekira Maret/April 2009 (bumi). Ini permaenan saham oleh JO yang paling cius. Sekira th 1990an, kayaknya, JO pernah nitip maen saham lwat orang laen. Tapi itu cuma jauh lebe imut nilainya.
Yang sjak 2009 s/d 2018, nilai modal maen saham tlah tumbuh (berdasarkan aset total maen saham) sekira + 1500%, scara kasar. Ada tarik n tambah modal dalam periode tsb, juga switched between brokers.
Salah satu saham yang JO inves, stidaknya sjak 2010 tlah menunjukkan tren harga sahamnya sbb:
catatan mnurut blog JO : sekira tgl 16 April 2010, wika mulai diinves JO Menurut Yahoo Finances, tren harga saham wika sjak 18 April 2018 yaitu 379.69 (disesuaikan dengan dividen n aksi korporasi laen) s/d per tgl 27 April 2018 yaitu 1560. Berarti dah naek sekira + 310%.
....
After reviewing the data on tens of thousands of Duolingo users who used the app to learn new languages, comparing when they studied with how well they were performing on the app's tests. That review led them to a simple two-step formula for improving language learning and retention:
JAKARTA – Investasi saham di Indonesia dinilai paling menguntungkan karena pajaknya sangat kecil, hanya 0,1% dari nilai penjualan, dibanding misalnya pajak bunga bank yang mencapai 20%. Faktor lain adalah potensi return yang tinggi dan prospek pertumbuhan emiten, karena ruang untuk mencetak pendapatan dan laba di pasar RI yang belum digarap optimal ini masih sangat besar.
Dari sisi return, investasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mencatatkan potensi keuntungan tertinggi mencapai 13,9% year to date(ytd). Potensi keuntungan tersebut dua kali lipat lebih dibanding suku bunga deposito di bank umum yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan sebesar 5,75% atau yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun sebesar 6,9% per 20 November lalu. Sedangkan harga emas year to date naik sekitar 9,74% dan pertumbuhan harga rumah rata-rata tahun ini diperkirakan sekitar 5%.
SANKSI OJK: pelanggaran BOFIS (terkait internet)
Deretan Bintang Sepak Bola yang Pernah Bergelimang Harta tapi Kini Bangkrut Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deretan Bintang Sepak Bola yang Pernah Bergelimang Harta tapi Kini Bangkrut"
Deretan Bintang Sepak Bola yang Pernah Bergelimang Harta tapi Kini Bangkrut Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deretan Bintang Sepak Bola yang Pernah Bergelimang Harta tapi Kini Bangkrut"
SCALPING strategy according to INVESTOPEDIa; scalping itu cara trading (transaksi) saham yang khusus mengusahakan laba dari perubahan2 harga imut. Pada modus Day Trading: scalping itu strategi mengutamakan frekuensi trading yang tinggi dan frekuensi laba transaksi kecil, yang berulang-ulang.
Inovasi scalping dalam kondisi transaksi saham tertentu tidak bergerak seperti yang diharapkan, yaitu: MENGGODA minat transaksi. Beli 1 poin di atas harga pasar riil, jual langsung (setelah pembelian terjadi pada harga tersebut) 1 poin di bawah harga pasar riil. Contoh: saham GOTO: beli di harga 90, padahal harga pasar riil saat tersebut 89. Stelah transaksi beli di 90 terjadi, maka langsung order jual di harga 88, padahal harga pasar riil saat itu 89. Jadi harga pasar riil saat itu TIDAK BERGERAK di 89. BY JO menggoda pasar: order beli 90, order jual 88. Rugi : 2 poin. Biasanya pergerakan transaksi mulai tergoda dan akhirnya akan bergerak juga, karena partisipasi semakin banyak trader untuk meramekan trading di sekitar harga 88-90, dst.
LES maen saham berlaba barenK JO (edisi 2020)
LES maen saham berlaba barenK JO (edisi 2020)
🍒
sila tinggalkan KOMENTAR untuk ikut LES MAEN SAHAM SEDERHANA BERLABA oleh JO... disesuaikan dengan tujuan PESERTA, setiap PESERTA les bole ikut sendiri-sendiri, biaya bisa dinegosiasikan
Tujuan les maen saham sederhana JO: berlaba besar dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu). Metode les maen saham sederhana: disesuaikan dengan kebutuhan investor peserta les.SILA ikut les ini, KIRIM SMS MINAT IKUT LES per tanggal : 26 Januari 2018, Jum'at, pukul 09-10 (pagi) : di LINK ini : no HP JO bwat kirim SMS minat ikut LES MAEN SAHAM SEDERHANA BERLABA JO; CARA n BIAYA les (1) CARA n BIAYA KLINIK saham (2)
Rencana les maen saham sederhana JO: bwat investor yang sibuk, gw menawarkan sistem pendampingan nyaris total, aka investor sila sibuk beraktivitas sama sekali n ijinkan gw bertrading penuh atas nama investor (CARA EKSTREM). Bwat investor yang serius ingin MANDIRI MAEN SAHAM SEDERHANA, gw akan berusaha bantu semaksimum mungkin (CARA MANDIRI). Maen saham sederhana ini satu cara MERAUP DANA jangka pendek yang efektif n efisien. Cara laen di antara ke 2 cara tersebut: MANDIRI TERBATAS, EKSTREM TERBATAS. Makin MANDIRI, makin banyak info fundamental n teknikal yang diberikan. Makin EKSTREM, ketergantungan pada pengajar les AMAT GEDE.Les maen saham sederhana JO ini berbeda format dari posting ilmu maen saham sederhana gw terdahulu. Kota Jakarta, bole di galeri broker sekuritas (Sinarmas Mangga Dua, Mirae Sek. Puri Niaga Jakbar, dll), atwa di Menara 76 Slipi, atwa di mal.
TUJUAN LES: membantu investor / trader untuk LEBE TAU CARA MAEN SAHAM yang BENER n BERLABA LEBE GEDE!
sejak (setidaknya) 1 Maret 2009, gw memantau gerak gerik SAHAM di Indonesia (awalnya: saham BUMI Resources); ini linknya: 1 Maret 2009: harap2 cemas @ tren harga saham BUMI, lalu sampai dengan sekarang : kumpulan berita terkait FUNDAMENTAL saham BUMI kontemporer
bahkan sejak 11 Maret 2008, gw emang dah mengunggah catatan n artikel yang terkait investasi berisiko TINGGI, khususnya REKSA DANA n SAHAM, bahkan s/d sekarang: awal gw BERANALISIS reksa dana yang gw INVES sejak 2008 s/d Januari 2018: gw mengunggah pengalaman ORANG BIASA aza SUKSES MAEN SAHAM dalam jangka PENDEK
sila baca2 unggahan gw soal reksa dana (analisis) n trading SAHAM sejak Mei 2010
🍥
Share to Sell
2000-2018:
JO berputar arah, sesuai dengan arah jarum jam SEJARAH EKONOMI INDONESIa n GLOBaL. Ekonomi Indonesia mulai semakin stabil sejak PERUBAHAN POLITIK NEGARA n KEBANGSAAN kita. Politikoekonomi ternyata makin kuat di aras kebijakan. Kebijakan berfokus setidaknya pada 2 hal: bukan UTANk n EKSPOR MIGAS yang menjadi andalan ekonomi kita. Kebijakan berfokus terutama pada PERBAIKAN SISTEM. Sistem perpajakan n APBN yang lebe mumpuni n kokoh.
Perpajakan itu jelas mengandalkan INVESTASI, baek migas mau pun NON MIGAS. APBN jelas mengandalkan PAJAK, bukan UTANk. Namun UTANk tetap NAEK. Tapi kenaekan PAJAK JAUH LEBE TINGGI.
Hal-hal di atas berpengaruh @ kehidupan ekonomi makro, mikro kita. Kehidupan JO juga terpengaruh. Investasi JO juga lebe mengandalkan INVESTASI PORTOFOLIO. Portofolio dalam RUPIAH.
Schroder Dana Prestasi Plus per tgl :11 Desember 2002 @ NAB : 1479, 7827 April 2018 @ NAB : 31.846,63. Imbal hasil dalam periode 11/12/2002 s/d 27/04/208 = + 2052.11%.
JO inves saham sjak sekira Februari (bumi, lwat orang laen) 2009, lalu maen saham sendiri sjak sekira Maret/April 2009 (bumi). Ini permaenan saham oleh JO yang paling cius. Sekira th 1990an, kayaknya, JO pernah nitip maen saham lwat orang laen. Tapi itu cuma jauh lebe imut nilainya.
Yang sjak 2009 s/d 2018, nilai modal maen saham tlah tumbuh (berdasarkan aset total maen saham) sekira + 1500%, scara kasar. Ada tarik n tambah modal dalam periode tsb, juga switched between brokers.
Salah satu saham yang JO inves, stidaknya sjak 2010 tlah menunjukkan tren harga sahamnya sbb:
catatan mnurut blog JO : sekira tgl 16 April 2010, wika mulai diinves JO Menurut Yahoo Finances, tren harga saham wika sjak 18 April 2018 yaitu 379.69 (disesuaikan dengan dividen n aksi korporasi laen) s/d per tgl 27 April 2018 yaitu 1560. Berarti dah naek sekira + 310%.
....
🍒
1980an-2000:
seingat JO, ada fase2 dalam kehidupan masa LALU JO terkait isu BELAJAR n PENGALAMAN KEUANGAN. Belajar INFORMAL lwat BACA KORAN waktu SD. Belajar INFORMAL lwat BACA MAJALAH BERBAHASA INGGRIS. Belajar FORMAL lwat PROGRAM STUDI MASTER OF BUSINESS ADMINISTRATION. Belajar UTUH : baca koran Indonesia n media online berbahasa Indonesia n English, sambil tetap fokus blajar isu2 Bisnis, Administrasi n Keuangan, dll.
Semua PEMBELAJARAN ini MENGHASILKAN BUAH2 KEUANGAN yang MANIESZ n LEZAT. Artinya: maniesz karna dampaknya POSITIF banget bagi kehidupan pribadi n keluarga serta lingkungan/komunitas. Lezat karna bneran KEBAHAGIAAN itu bisa dinikmati dari proses pembelajaran trus menerus tersebut.
Semua proses pembelajaran ini ada biayanya. Tapi WORTH IT.
Biaya itu BAGIAN UTUH KEHIDUPAN. Tidak ada bagian kehidupan sekarang n masa lalu serta masa depan TANPA BIAYA. Biaya itu bak peristiwa LAHIR, n WAFAT, selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Bwat JO, biaya itu STRATEGIS, karna JO paham ISU2 KEUANGAN dalam KEHIDUPAN JO. Biaya itu VITAL karna JO paham cara menghadapi isu KEBUTUHAN HIDUP. Pengeluaran dana untuk MEMBIAYAI KEHIDUPAN itu WAJIB HUKUMnya.
Contoh KEBUTUHAN HIDUP yang terpenuhi dalam proses pembelajaran JO:
Waktu jaman DEVALUASI RUPIAH (sekira taon 1980an), JO ditanya bokap soal menyimpan dana lebe di bank. Bokap mempertimbangkan simpan dana di mata uang US Dollar atwa Rupiah. Bokap JO pastinya juga doyan baca KORAN n punya beberapa NARASUMBER soal keuangan tersebut. Lalu JO jawab dengan SEDERHANA: Utang Republik Indonesia itu dalam MATA UANG APA? Bokap jawab: Dolar. JO menyarankan dengan SEDERHANA: sila simpan di Dolar. Ekh, beberapa bulan kemudian, bokap balek n sambil tersenyum. Bokap bilang UNTUNG sekian PULUH JUTA RUPIAH. Bayangkan kondisi ekonomi kita waktu itu, dana segede itu pastinya mempunyai DAYA BELI yang mumpuni. Lezat.
Sbagai informasi tambahan: waktu itu JO mase sbagai mahasiswa fakultas kedokteran. Modal blajar INFORMAL dari SD s/d masa mahasiswa dari media2 cetak bermutu tinggi, menolong JO memahami isu2 keuangan kontemporer n GLOBAL saat itu. Salah satu PERISTIWA GLOBAL yang JO ingat: Ledakan BOM UTANG negara2 AMERIKA LATIN per dekade 1970-1980an. JO sadar bahwa NKRI sdang bermaen API dengan UTANG yang GEDE n KURANG TERUKUR, terutama karna KORUPSI.
Worth it!
Sejak saat itu, bokap terutama menyimpan dana dalam dolar. Ekh, pas KRISMON, terjadi lage peristiwa DEVALUASI n KEJATUHAN nilai RUPIAH terhadap DOLAR amrik. Nyokap untung lage pastinya, karna bokap sudah tidak merasakan lage masalah kehidupan duniawi. Sampe skarang Nyokap hidup cukup sejahtera n terjamin lah.
Worth it!
Pasca JO menikah sekira 1 taon, bokin tanya JO soal penempatan dana di bank. JO bilang sila simpan di US$. Pas krismon, bokin tersenyum banget, karna keamanan dana n KENIKMATAN duniawi. Malah bisa beli aset2 properti yang MURAH MERIAH. Simpan dana RUPIAH hasil konversi dari NILAI DOLAR YANG AUZUBILLAH TINGGINYA saat itu, sekaligus MERAUP SUKU BUNGA DEPOSITO BANK sekira 70%. Malah waktu krismon lewat sedikit, bokin tanya mo simpan di REKSA DANA PASAR UANG, JO langsung SPAKAT. 100% bo imbal hasilnya.
Worth it!
Sekira bulan Juni / Juli 1997, JO mendapatkan berita keuangan yang AMAT PENTING pas hari Jum'at, berarti dampaknya lom terasa s/d hari Seninnya. Berita itu soal KEBIJAKAN PEMBUKAAN BAND kurs Rupiah per Dolar n PELEBARAN BAND s/d 8% dari sekira 2%. Artinya: kurs rupiah bole n bisa bergerak sekira 8 persen NAEK atwa TURUN. Ini berarti JAUH LEBE LEBAR daripada KEBIJAKAN BAND-ing sbelumnya, yang cuma + atwa - 2%. JO teringat saat studi MBA di amrik (exchange programs dari RMIT Melbourne Australia), teman mahasiswa dari Thailand pernah minta dicarikan pekerjaan di Indonesia. JO diceritakan sedikit soal alasannya. Yaitu ekonomi Thailand dalam kondisi tidak bagus. Banyak perusahaan yang tutup. Pengangguran meningkat. Rupanya kondisi krisis ekonomi sedang menimpa Thailand (JO baru sadar saat perubahan kebijakan kurs rupiah oleh BI).
Seninnya, bneran, JO pergi n mengurus konversi dana rupiah yang mase cukup gede di salah satu bank. JO minta deposito rupiah dikonversi ke tabungan dolar. Sang pegawai bank agak terkesima n menatap JO agak lama. Akhirnya, tetap dikerjakan, walo ada penalti. Peristiwa ini terjadi sekira beberapa bulan sbelum Rupiah ambruk bneran.
Worth it!
BTW, soal BIAYA yang JO kluarin, well, malah sbagian besar DIPEROLEH DARI BOKAP n PERUSAHAAN t4 bokin kerja. Biaya koran dll itu khan waktu JO lom punya penghasilan sendiri. Biaya skul MBA itu diperoleh dari perusahaan t4 bokin bekerja, karna diliat bahwa bokin itu memberi kontribusi besar sekale n suaminya, yaitu JO, punya kompetensi blajar lebe lanjut, khususnya di bidang BISNIS. Well, itu yang GRATISan (dalam tanda petik ya). Studi lanjutan JO terutama berasal dari media dll yang mesti dibiayai sendiri oleh JO. Contoh: blajar ANALISIS TEKNIKAL INTERMEDIATE. Studi INFORMAL dari media online n sharing di blog2 JO.
posisi RUPIAH dalam ekonomi makro Indonesia itu menentukan. karna Rupiah adalah ALAT TUKAR. sistem alat tukar Indonesia yang bergantung pada Rupiah menyebabkan Ekspor n Impor barang n jasa Indonesia juga bergantung pada Rupiah. Rupiah yang relatif menguat terhadap mata uang laen, khususnya Dolar (yang menjadi alat tukar utama Transaksi Perdagangan global) , akan berimbas pada Ekspor Indonesia. Ekspor produk, khususnya energi n tambang, bisa menjadi lebe rendah karna negara pengimpor wajib bayar lebe mahal, karna kurs Dolar yang dibayarkan justru lebe lemah. Contoh: produk A seharga $1/ unit dalam periode 2017. Waktu itu kurs dolar atas rupiah: Rp. 12.000,- per dolar. Jadi A dibayarkan Rp. 12.000,- Pada saat Rp menguat atas Dolar, Rp. 11.000,- sedangkan harga A dalam dolar berharga Rp. 12.000,- . Berarti harga Ekspor A naek menjadi $1,08. Lebe mahal, maka akan ada tekanan untuk membeli produk A di luar negeri. Volume penjualan baek dalam rupiah mau pun dalam unit juga bisa berkurang. Serta sebaliknya, jika Rp melemah, maka harga Impor barang ke Indonesia akan menjadi lebe mahal. Ada tekanan volume impor baek dari segi Rupiahnya mau pun Unitnya. Tekanan pada impor barang modal akan mengganggu Produksi Ekspor Indonesia. Secara kasar ini penjelasan ekonomi makro oleh JO.
🌹
More than 80 percent of the wealth created over the past year went to the richest 1 percent of the world's population, while nothing went to the bottom half, according to a new report by charity Oxfam.
Its findings, published on Monday, show that just 42 people now hold as much wealth as the 3.7 billion who make up the world's poorer half.
Last year also saw the biggest increase in the number of billionaires in history, with one more every two days. There are now 2,043 dollar billionaires worldwide.
"Billionaires' wealth is growing six times faster than wages. So we're not talking about a static situation. We're talking about a situation that's getting rapidly worse – where you've got this runaway wealth for those at the top," Oxfam’s head of policy on inequality, Max Lawson, told Euronews in an interview.
The wealth gone into these billionaires' hands would have been enough to end extreme poverty seven times over, says the charity.
The report, "Reward Work, Not Wealth," comes just as the global political and business elite gathers in Davos for the World Economic Forum's annual meeting this week.
Oxfam International Executive Director Winnie Byanyima also headed to Davos to urge global leaders to take action.
"I'm here to tell big business and politicians that this is not natural, that it's their actions and their policies that have caused it, and they can reverse it. And we're tired of hearing them say that they are worried about inequality and doing nothing about it. We're calling for actions now," she said.
Nine in ten billionaires are men
Oxfam's findings are based on the annual Global Wealth Databook of Swiss bank Credit Suisse as well as Forbes' billionaire ranking series.
The report highlights that women workers are the hardest hit by global inequality, as they consistently earn less than men and typically have more insecure forms of work, especially in the garment industry. They're also less likely to be part of a trade union, and at higher risk of sexual harassment and violence in the workplace.
Meanwhile, nine in ten of the world's billionaires are men, and it takes just four days for a CEO from one of the top five global fashion brands to earn what a Bangladeshi garment worker will earn in her entire lifetime.
"It tends to be that the whole of the global economy is on the backs of low-paid women – and it's producing wealth for very wealthy old men," Lawson said in a Skype interview.
"Inequality is not inevitable"🐙
Oxfam's report notes that in Bangladesh, young women working in garment factories regularly suffer from urinary tract infections because they are not allowed to go the toilet. Even in the United States, women poultry workers told the charity they had to wear nappies to stay on the job.
"Inequality is not inevitable, it's not like the weather. It's a policy choice,” said Lawson.🐘
"There are two concrete things that business leaders and governments could do. If you're a business leader, you should undertake not to pay any further dividends to your shareholders, or any bonuses to your chief executives unless you can prove that everybody in your supply chain is paid a living wage – that every woman working in your factories has a decent life and doesn’t have to work 30-40 hours overtime just to make ends meet," he said.
"The second thing that companies and particularly governments could do is ensure that the wealthy and corporations pay their tax, and to really clamp down on the tax avoidance of the super-rich."🐌
OXFORD sindonews - Menjelang pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, badan amal global yang berpusat di Oxford, Inggris, yaitu Oxfam merilis laporan yang seolah "menampar" forum ekonomi dunia tahunan itu.
Melansir dari CNBC, Senin (22/1/2018), Oxfam melansir laporan bahwa hanya ada 62 super kaya di dunia alias tidak sampai 1% yang memiliki 82% dari kekayaan di dunia. Sementara separuh penduduk dunia yang berada dalam garis kemiskinan tidak mengalami kenaikan pendapatan pada tahun lalu.
Laporan ini membuat Oxfam meminta WEF untuk mengatasi kesenjangan yang semakin melebar antara orang-orang super kaya dengan penduduk lainnya yang tergolong miskin. Oxfam menyebut para elit politik dan bisnis global yang berkumpul menikmati salju di Davos dengan mantel mahal, harus mempromosikan kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab.
Menurut Oxfam, selama ini, para figur-figur elit politik dan bisnis global "semakin terkonsentrasi" di puncak kekayaan. Mereka seperti melakukan penghindaran pajak, mengabaikan hak-hak pekerja, menggunakan pengaruh bisnisnya untuk membuat sebuah kebijakan, yang justru akhirnya memperlebar kesenjangan sosial.
Oxfam dalam penelitiannya menyatakan, kekayaan para miliarder meningkat rata-rata 13% per tahun dalam dekade dari tahun 2006 sampai 2015. Dan sembilan dari 10 di antara 2.043 miliarder di dunia adalah laki-laki. Tahun lalu, para miliarder ini mengalami peningkatan kekayaan dengan total USD762 miliar. Jumlah sebesar itu dinilai cukup untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem hingga tujuh kali lipat.
Booming pasar saham global dipandang sebagai pendorong utama kenaikan kekayaan di antara aset keuangan para miliarder pada tahun lalu. Pendiri Amazon, Jeff Bezos mengalami kenaikan kekayaan sebesar USD6 miliar dalam 10 hari pertama tahun 2017. Alhasil, Bezos pun dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia saat ini.
Chief Executive Oxfam, Mark Goldring menyebut hasil tersebut bukan sebagai sebuah keberhasilan, melainkan ada yang salah dengan ekonomi global. "Konsentrasi kekayaan ekstem pada segelintir orang bukanlah pertanda ekonomi yang maju melainkan ada yang salah dengan sistem ekonomi global," tegasnya.
Sistem ekonomi global saat ini dianggap gagal karena membuat berjuta-juta orang pekerja keras hidup dalam kemiskinan. "Sementara para pekerja itu membuat pakaian dan membuat makanan untuk kita," sambungnya.
Sejak lima tahun terakhir, Oxfam rajin meneliti dan menerbitkan laporan mengenai hal ini. Pada 2017, Oxfam mengatakan bahwa 61 miliarder dari seluruh dunia memiliki uang setara dengan 3,6 miliar orang miskin di dunia.
Lantas bagaimana Oxfam bisa menyusun laporan demikian? Mereka menyatakan laporan yang dibuat berdasarkan "Reward Work, Not Health" yang mengacu dari data Forbes dan buku tahunan Credit Suisse Global Wealth, yang telah merinci distribusi kekayaan global sejak tahun 2000.
Survei tersebut menilai kekayaan seseorang berdasarkan pada nilai aset individu, terutama properti dan tanah, lalu dikurangi utang yang mungkin mereka pegang. Data tidak termasuk upah dan pendapatan untuk menentukan apa yang dia anggap miliknya sendiri. Metodologi ini telah menarik kritik di masa lalu, di mana dengan tingkat utang tinggi dan potensi penghasilan masa depan yang tinggi akan diklasifikasikan sebagai miskin dan kaya.
(ven)
Liputan6.com, Jakarta - Tak perlu tas bermerek atau dandanan high-class untuk menunjukkan status Anda sebagai orang kaya. Baru-baru ini sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psycology menemukan fakta Anda dapat menilai orang berstatus kaya atau miskin hanya dengan melihat wajahnya saja.
"Hubungan antara rasa bahagia dan kelas sosial di bawahnya juga telah ditunjukkan di penelitian sebelumnya," kata salah satu peneliti dalam jurnal tersebut, R Thora Bjornsdottir seperti dilansir dari CNBC, Kamis (8/3/2018).
Secara umum, orang yang memiliki banyak uang cenderung hidup lebih bahagia dan jarang terlihat cemas jika dibandingkan dengan mereka yang masih berjuang keras secara finansial. Bjornsdottir dan timnya menunjukkan perbedaan rasa bahagia karena status ekonomi itu tecermin dari wajah setiap orang.
Bjornsdottir dan peneliti lain, profesor psikologi Nicholas O Rule, menjadikan sejumlah mahasiswa University of Toronto dari berbagai etnis sebagai subjek penelitiannya. Tim peneliti tersebut mengumpulkan 160 foto hitam putih yang terdiri dari 80 pria berkulit putih dan 80 wanita berkulit putih.
Seluruh foto tersebut tidak menunjukkan adanya tato atau tindikan di tubuh. Setengah dari subjek penelitian adalah mereka yang menghasilkan pendapatan sebesar US$ 150 ribu atau setara Rp 2,06 miliar (Rp 13.774/US$) per tahun. Mereka masuk ke kategori kelas atas (upper-class).
Sementara itu, 80 orang lainnya berpendapatan sebesar US$ 35 ribu atau Rp 481,7 juta per tahun. Kelas ini masuk ke kategori mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.
Dalam penelitian tersebut, seluruh subjek diminta untuk menebak status dari orang-orang yang wajahnya tertera di foto. Hasilnya, ketepatan tebakan seluruh subjek penelitian tercatat mencapai 68 persen.
"Saya tak menyangka hasilnya akan sekuat itu mengingat perbedaan di setiap foto sangat tipis. Itu merupakan bagian paling mengejutkan dari penelitian kami," tutur Bjornsdottir.
Lebih unik lagi, seluruh mahasiswa yang menjadi subjek penelitian tidak memiliki alasan khusus saat mereka menentukan status sosial dari setiap orang yang tertera di foto. Mereka sama sekali tidak tahu mengapa tebakannya seperti itu.
Tahap selanjutnya, para peneliti membesarkan setiap bagian wajah dari masing-masing foto. Uniknya, setiap subjek masih bisa menebak dengan tepat saat mereka baru melihat bagian matanya saja. Bahkan bagian mulut dapat menjadi petunjuk yang lebih baik.
Namun saat ditunjukkan bagian badan, subjek tak lagi dapat menebak status ekonomi pemilik foto tersebut dengan tepat.
Semakin lama, wajah Anda secara permanen mencerminkan dan mengungkapkan pengalaman yang Anda alami selama hidup. Bahkan saat Anda berpikir sedang tidak berekspresi sekalipun, terdapat guratan emosi yang menunjukkan status sosial dari wajah Anda.
"Sudah jelas, perbedaan status sosial dapat tecermin dari wajah setiap orang," ujar dia.
Its findings, published on Monday, show that just 42 people now hold as much wealth as the 3.7 billion who make up the world's poorer half.
Last year also saw the biggest increase in the number of billionaires in history, with one more every two days. There are now 2,043 dollar billionaires worldwide.
"Billionaires' wealth is growing six times faster than wages. So we're not talking about a static situation. We're talking about a situation that's getting rapidly worse – where you've got this runaway wealth for those at the top," Oxfam’s head of policy on inequality, Max Lawson, told Euronews in an interview.
The wealth gone into these billionaires' hands would have been enough to end extreme poverty seven times over, says the charity.
The report, "Reward Work, Not Wealth," comes just as the global political and business elite gathers in Davos for the World Economic Forum's annual meeting this week.
Oxfam International Executive Director Winnie Byanyima also headed to Davos to urge global leaders to take action.
"I'm here to tell big business and politicians that this is not natural, that it's their actions and their policies that have caused it, and they can reverse it. And we're tired of hearing them say that they are worried about inequality and doing nothing about it. We're calling for actions now," she said.
Nine in ten billionaires are men
Oxfam's findings are based on the annual Global Wealth Databook of Swiss bank Credit Suisse as well as Forbes' billionaire ranking series.
The report highlights that women workers are the hardest hit by global inequality, as they consistently earn less than men and typically have more insecure forms of work, especially in the garment industry. They're also less likely to be part of a trade union, and at higher risk of sexual harassment and violence in the workplace.
Meanwhile, nine in ten of the world's billionaires are men, and it takes just four days for a CEO from one of the top five global fashion brands to earn what a Bangladeshi garment worker will earn in her entire lifetime.
"It tends to be that the whole of the global economy is on the backs of low-paid women – and it's producing wealth for very wealthy old men," Lawson said in a Skype interview.
"Inequality is not inevitable"🐙
Oxfam's report notes that in Bangladesh, young women working in garment factories regularly suffer from urinary tract infections because they are not allowed to go the toilet. Even in the United States, women poultry workers told the charity they had to wear nappies to stay on the job.
"Inequality is not inevitable, it's not like the weather. It's a policy choice,” said Lawson.🐘
"There are two concrete things that business leaders and governments could do. If you're a business leader, you should undertake not to pay any further dividends to your shareholders, or any bonuses to your chief executives unless you can prove that everybody in your supply chain is paid a living wage – that every woman working in your factories has a decent life and doesn’t have to work 30-40 hours overtime just to make ends meet," he said.
"The second thing that companies and particularly governments could do is ensure that the wealthy and corporations pay their tax, and to really clamp down on the tax avoidance of the super-rich."🐌
OXFORD sindonews - Menjelang pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, badan amal global yang berpusat di Oxford, Inggris, yaitu Oxfam merilis laporan yang seolah "menampar" forum ekonomi dunia tahunan itu.
Melansir dari CNBC, Senin (22/1/2018), Oxfam melansir laporan bahwa hanya ada 62 super kaya di dunia alias tidak sampai 1% yang memiliki 82% dari kekayaan di dunia. Sementara separuh penduduk dunia yang berada dalam garis kemiskinan tidak mengalami kenaikan pendapatan pada tahun lalu.
Laporan ini membuat Oxfam meminta WEF untuk mengatasi kesenjangan yang semakin melebar antara orang-orang super kaya dengan penduduk lainnya yang tergolong miskin. Oxfam menyebut para elit politik dan bisnis global yang berkumpul menikmati salju di Davos dengan mantel mahal, harus mempromosikan kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab.
Menurut Oxfam, selama ini, para figur-figur elit politik dan bisnis global "semakin terkonsentrasi" di puncak kekayaan. Mereka seperti melakukan penghindaran pajak, mengabaikan hak-hak pekerja, menggunakan pengaruh bisnisnya untuk membuat sebuah kebijakan, yang justru akhirnya memperlebar kesenjangan sosial.
Oxfam dalam penelitiannya menyatakan, kekayaan para miliarder meningkat rata-rata 13% per tahun dalam dekade dari tahun 2006 sampai 2015. Dan sembilan dari 10 di antara 2.043 miliarder di dunia adalah laki-laki. Tahun lalu, para miliarder ini mengalami peningkatan kekayaan dengan total USD762 miliar. Jumlah sebesar itu dinilai cukup untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem hingga tujuh kali lipat.
Booming pasar saham global dipandang sebagai pendorong utama kenaikan kekayaan di antara aset keuangan para miliarder pada tahun lalu. Pendiri Amazon, Jeff Bezos mengalami kenaikan kekayaan sebesar USD6 miliar dalam 10 hari pertama tahun 2017. Alhasil, Bezos pun dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia saat ini.
Chief Executive Oxfam, Mark Goldring menyebut hasil tersebut bukan sebagai sebuah keberhasilan, melainkan ada yang salah dengan ekonomi global. "Konsentrasi kekayaan ekstem pada segelintir orang bukanlah pertanda ekonomi yang maju melainkan ada yang salah dengan sistem ekonomi global," tegasnya.
Sistem ekonomi global saat ini dianggap gagal karena membuat berjuta-juta orang pekerja keras hidup dalam kemiskinan. "Sementara para pekerja itu membuat pakaian dan membuat makanan untuk kita," sambungnya.
Sejak lima tahun terakhir, Oxfam rajin meneliti dan menerbitkan laporan mengenai hal ini. Pada 2017, Oxfam mengatakan bahwa 61 miliarder dari seluruh dunia memiliki uang setara dengan 3,6 miliar orang miskin di dunia.
Lantas bagaimana Oxfam bisa menyusun laporan demikian? Mereka menyatakan laporan yang dibuat berdasarkan "Reward Work, Not Health" yang mengacu dari data Forbes dan buku tahunan Credit Suisse Global Wealth, yang telah merinci distribusi kekayaan global sejak tahun 2000.
Survei tersebut menilai kekayaan seseorang berdasarkan pada nilai aset individu, terutama properti dan tanah, lalu dikurangi utang yang mungkin mereka pegang. Data tidak termasuk upah dan pendapatan untuk menentukan apa yang dia anggap miliknya sendiri. Metodologi ini telah menarik kritik di masa lalu, di mana dengan tingkat utang tinggi dan potensi penghasilan masa depan yang tinggi akan diklasifikasikan sebagai miskin dan kaya.
(ven)
🍳
Liputan6.com, Jakarta - Tak perlu tas bermerek atau dandanan high-class untuk menunjukkan status Anda sebagai orang kaya. Baru-baru ini sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psycology menemukan fakta Anda dapat menilai orang berstatus kaya atau miskin hanya dengan melihat wajahnya saja.
"Hubungan antara rasa bahagia dan kelas sosial di bawahnya juga telah ditunjukkan di penelitian sebelumnya," kata salah satu peneliti dalam jurnal tersebut, R Thora Bjornsdottir seperti dilansir dari CNBC, Kamis (8/3/2018).
Secara umum, orang yang memiliki banyak uang cenderung hidup lebih bahagia dan jarang terlihat cemas jika dibandingkan dengan mereka yang masih berjuang keras secara finansial. Bjornsdottir dan timnya menunjukkan perbedaan rasa bahagia karena status ekonomi itu tecermin dari wajah setiap orang.
Bjornsdottir dan peneliti lain, profesor psikologi Nicholas O Rule, menjadikan sejumlah mahasiswa University of Toronto dari berbagai etnis sebagai subjek penelitiannya. Tim peneliti tersebut mengumpulkan 160 foto hitam putih yang terdiri dari 80 pria berkulit putih dan 80 wanita berkulit putih.
Seluruh foto tersebut tidak menunjukkan adanya tato atau tindikan di tubuh. Setengah dari subjek penelitian adalah mereka yang menghasilkan pendapatan sebesar US$ 150 ribu atau setara Rp 2,06 miliar (Rp 13.774/US$) per tahun. Mereka masuk ke kategori kelas atas (upper-class).
Sementara itu, 80 orang lainnya berpendapatan sebesar US$ 35 ribu atau Rp 481,7 juta per tahun. Kelas ini masuk ke kategori mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.
Dalam penelitian tersebut, seluruh subjek diminta untuk menebak status dari orang-orang yang wajahnya tertera di foto. Hasilnya, ketepatan tebakan seluruh subjek penelitian tercatat mencapai 68 persen.
"Saya tak menyangka hasilnya akan sekuat itu mengingat perbedaan di setiap foto sangat tipis. Itu merupakan bagian paling mengejutkan dari penelitian kami," tutur Bjornsdottir.
Lebih unik lagi, seluruh mahasiswa yang menjadi subjek penelitian tidak memiliki alasan khusus saat mereka menentukan status sosial dari setiap orang yang tertera di foto. Mereka sama sekali tidak tahu mengapa tebakannya seperti itu.
Tahap selanjutnya, para peneliti membesarkan setiap bagian wajah dari masing-masing foto. Uniknya, setiap subjek masih bisa menebak dengan tepat saat mereka baru melihat bagian matanya saja. Bahkan bagian mulut dapat menjadi petunjuk yang lebih baik.
Namun saat ditunjukkan bagian badan, subjek tak lagi dapat menebak status ekonomi pemilik foto tersebut dengan tepat.
Semakin lama, wajah Anda secara permanen mencerminkan dan mengungkapkan pengalaman yang Anda alami selama hidup. Bahkan saat Anda berpikir sedang tidak berekspresi sekalipun, terdapat guratan emosi yang menunjukkan status sosial dari wajah Anda.
"Sudah jelas, perbedaan status sosial dapat tecermin dari wajah setiap orang," ujar dia.
🍨
Jakarta beritasatu - Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) kembali meluncurkan Kompetisi Yuk Nabung Saham 2018. Kompetisi ini adalah kelanjutan dari program yang telah dilaksanakan di tahun lalu untuk mendukung kampanye Yuk Nabung Saham yang telah dicanangkan BEI sejak 12 November 2015.
Peluncuran Kompetisi Yuk Nabung Saham 2018 juga dilakukan sebagai upaya untuk terus mengaktifkan investor dari 334 Galeri Investasi BEI serta memotivasi investor yang telah lulus dari program Sekolah Pasar Modal yang diadakan di seluruh wilayah Kantor Perwakilan BEI.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio menjelaskan, Kompetisi Yuk Nabung Saham 2018 ini diikuti oleh investor yang bertransaksi dengan dana milik masing-masing investor itu sendiri atau dana riil, dan bukan dana simulasi. Program Yuk Nabung Saham diilhami dari program di Jepang yaitu Nippon Individual Savings Account ( NISA)
"Ini merupakan ujung tombak aktivitas pengembangan di pasar modal. Ini sebuah konsep untuk mengubah saving society menjadi investment society," ujar Tito di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (2/3).
Tito mengharapkan kompetisi ini diharapkan dapat menstimulasi kegiatan edukasi yang disosialisasikan BEI dan KSEI sebelumnya yang berorientasi pada pengalaman nyata dalam bertransaksi saham.
Periode dari Kompetisi Yuk Nabung Saham 2018 adalah 9 bulan yang dimulai dari Maret hingga November 2018, dengan rincian periode pertama pada Maret hingga Mei 2018, periode kedua pada Juni hingga Agustus 2018, dan periode ketiga antara September hingga November 2018. Sama seperti tahun sebelumnya, kompetisi ini menawarkan hadiah bernilai total ratusan juta Rupiah untuk pemenang periode 3 bulanan dan periode 9 bulan.
🌽
1. Study the language right before bedtime.
2. Study every night, weekends included.
To find this out, Duolingo divided its users in 14 groups, based on when they did their studying. The group that studied at bedtime seven nights a week outperformed 52.9 percent of other users, while the worst performing group, which studied at random times, only outperformed 47.9 percent of users.
"These results suggest a couple of things," write Duolingo research scientist Burr Settles and machine learning engineer Masato Hagiwara in Quartz. "Yes, those who study just before sleeping tend to perform better than other groups. But the time of day isn't the only thing: Equally important is the fact that these language learners consistently studied daily before bed."
Most of us know that creating a daily habit may be the most powerful way to learn a new skill, or start or stop a habit, or achieve any self-improvement goal. But what does sleep have to do with it? Quite a lot, it turns out. According to researchers at Harvard, learning and remembering consist of three distinct functions: acquisition, consolidation, and recall. You can only perform acquisition and recall when you're awake, but consolidation seems to happen best while we sleep. While our bodies are snoring away, our brains are busily creating the neural connections that form our memories.
Beyond learning a language.
Sleep has cognitive benefits that go beyond helping you learn a new language faster. It's also very beneficial for problem solving, especially when we're faced with a difficult problem, which is why we're sometimes instructed to "sleep on it" when facing a difficult decision.
I experienced this phenomenon myself when I used to work on challenging cryptic crosswords in bed, right before sleep. I'd often get completely stuck on a difficult word or words, give up, and turn out the light. I often awoke the next morning with the solution fresh in my mind, having somehow figured it out in my sleep. I've tried out the technique on more serious problems too, with good results. And one night, in the days when my husband was a computer repair guy, I found him fiddling with my arm in his sleep in the middle of the night. The next morning he woke up and told me he'd figured out overnight how to complete a particularly troubling repair.
So next time you're trying to learn a new language or solve an intractable problem, take it to bed with you and work on it right before you go to sleep. Your brain will stay on the job while you're getting your well-deserved rest.
🍥
Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah penelitian baru menunjukkan orang yang berpartisipasi dalam komunitas akan lebih baik secara keuangan.
Hal tersebut merupakan kesimpulan dari Survei MassMutual terhadap 10.000 orang Amerika, seperti dikutip dari Forbes. Survei menemukan bahwa orang saling membantu dalam kelompok masyarakat seperti keluarga, teman, lingkungan sekolah, organisasi kerja, keagamaan, maupun relawan. Survei tersebut menunjukkan sekitar 53% responden telah membantu seseorang yang berjuang secara finansial.
New Research Links Financial Well-being with Community Involvement
MassMutual's nationwide survey of 10,000 Americans reveals that people involved in communities are more likely to report being financially secure
-- Nearly seven in 10 Americans say community involvement is important to their overall well-being, and nearly half agree that being involved in communities improves their finances.
-- More than half have supported someone in their community during a time of financial stress.
-- Nearly nine in 10 Americans believe that it is important to look out for one another.
-- Nearly seven in 10 Americans say community involvement is important to their overall well-being, and nearly half agree that being involved in communities improves their finances.
-- More than half have supported someone in their community during a time of financial stress.
-- Nearly nine in 10 Americans believe that it is important to look out for one another.
BACA JUGA :
Penelitian itu juga menghasilkan temuan mengejutkanm generasi milenium yang ditandai sebagai generasi egois, justru terlibat lebih banyak dalam komunitas dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi milenium cenderung berpartisipasi dalam kehidupan nyata maupun dunia maya.
Assistan Vice Presidents Communication MassMutual Paula Tremblay menyampaikan, survei tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki interaksi positif secara sosial cenderung memiliki kebiasaan finansial yang baik.
"Mereka benar-benar menggunakan waktu dan sumber daya untuk membantu komunitas mereka. Mereka juga perhatian terhadap pondasi keuangan mereka sendiri," katanya.
Meskipun 17% responden mengakui tidak memiliki hambatan untuk terlibat dalam komunitas mereka. Namun, sejumlah faktor membuat mereka tidak berinteraksi dalam komunitas diantaranya waktu (42%), uang (35%), perbedaan gaya hidup (31%), perasaan tidak cocok(28%), perbedaan budaya (24%), lokasi geografis (22%).
"Bergabung dengan sebuah komunitas tidak secara otomatis membuat Anda mendapatkan lebih banyak lagi. Namun, ini dapat membantu Anda mengembangkan kebiasaan baru dan membuat Anda berhubungan dengan orang-orang yang mungkin membantu Anda mencapai tujuan keuangan Anda," katanya.
🐙
marketview.com: Hardly a day goes by without a story that financial markets are in “bubble” territory. Stock markets around the world, including the FTSE All-Share, are at record highs and bond yields are at record lows. The former means that valuations are at the upper end of historic ranges. The latter has meant that many unusual things can be sold to investors anxious for yield. Recent examples include a 100-year bond with a coupon of just 2.1% that raised €2.5 billion for Austria. Possibly a better risk than the three 100-year bonds issued by Mexico in recent years but at least the Mexican government prints its own currency.
Despite the money that has been made by those who have stayed invested in bonds and/or equities in recent years, there is little sign of euphoria. Rather in our experience, investors remain nervous and many choose to hold significant amounts of cash.
This appears to be a conservative strategy but in fact it is a rather risky one. The obvious problem is that with rates at record lows you receive virtually no interest on your capital.
But the bigger problem is that with inflation running well above the level of interest rates the supposedly conservative strategy of putting money in the bank is actually destroying your purchasing power at a rather alarming rate.
The chart below shows what has happened to £10,000 deposited in a bank over the last decade. We assume the deposit is receiving interest at the level of the Bank Rate set by the Bank of England.
The fate of £10,000 deposited in a bank at the end of 2006
Source: Bloomberg, Highcharts, Waverton – data from 01.01.07 to 31.08.17
The green line shows your original £10,000 and increases it by the bank rate each month. It would today be worth £11,539. This looks pretty reasonable. You have 15% more money than you had at the end of 2006 and you have taken no risk.
But inflation has not been as low as interest rates have been. In fact despite all the talk about “deflation” in recent years, UK CPI (Consumer Price Index) has averaged 2.3% and RPI (Retail Price Index) has averaged 2.9% since January 2007. Your portfolio has only been growing by 1.4% per annum
As inflation has been higher than the interest you have been receiving, your purchasing power has been declining. The black and purple lines in the chart show the impact over time of this problem. The black line shows what your £10,000 is worth after adding the interest you receive and then taking into account CPI. The purple line shows the same but taking into account RPI.
The bottom line is that the £10,000 you started with today buys just £9,037 thanks to CPI and an even worse £8,514 thanks to RPI.
So by putting money in the bank you have ended up reducing the purchasing power of your capital by between -10% and -15%.
If your wealth manager had reduced the purchasing power of your capital by that amount over the last decade you would not be happy. You might want to write to the Bank of England (BoE) about what they have done to you.
Even with the BoE likely to raise interest rates in November it will likely take a long time before the bank rate gets above the inflation rate. Consequently this trend of real capital loss from holding cash will continue for potentially years.
While we are conscious that financial assets have had a good run and that there are fewer opportunities to find attractively valued investments, we continue to dedicate our resources to finding such opportunities.
We expect a diversified global equity portfolio, or a balanced portfolio of equities, corporate credit and government bonds, to continue to provide investors with capital growth in real terms. In fact such portfolios may be less risky to your financial well-being than sticking your money in the bank.
Head of Investment Strategy and Communication
They say money can't buy happiness, but let's be honest, they say a lot of things – and they're not always right.
When it comes to income, scientists say there actually is an ideal yearly amount we can earn to feel emotionally content and satisfied – and believe it or not, if you have too much money, you may actually start creeping back into unhappy territory.
"That might be surprising as what we see on TV and what advertisers tell us we need would indicate that there is no ceiling when it comes to how much money is needed for happiness, but we now see there are some thresholds," explainspsychologist Andrew T. Jebb from Purdue University.
Jebb and his team analysed data from the Gallup World Poll, an international survey of more than 1.7 million individuals from 164 countries.
When they examined participants' responses on questions relating to life satisfaction and well-being – measures of what's called subjective well-being (SWB) – they discovered the magic number for 'income satiation' is a global phenomenon, but one that varies considerably around the world.
Nonetheless, when you average the results out, we now have a rough idea of just how much $ = :) in US dollars.
"We found that the ideal income point is $95,000 for life evaluation [overall life satisfaction] and $60,000 to $75,000 for emotional well-being [day-to-day happiness]," Jebb says.
"Again, this amount is for individuals and would likely be higher for families."
Of course, the global average masks how satiation points are significantly higher in some countries than in others, broadly associated with how wealthy each nation is comparatively.
Life satisfaction costs $125,000 in Australia, $105,000 in North America, and $100,000 in Western Europe – but only $70,000 in Southeast Asia, $45,000 in Eastern Europe, and $35,000 in Latin America.
Globally, it's cheaper for men to be satisfied with their lives ($90,000) than women ($100,000), and for people of low ($70,000) or moderate education ($85,000) than people with higher education ($115,000).
Perhaps the most remarkable thing about the study is how it highlights that once you've hit income satiation, you may want to freeze your earning capacity right there.
"Another important phenomenon within our data was the presence of turning points at which income levels after satiation saw consistent decrements in happiness," the authors explain.
"It has been speculated for some time that very high incomes may lead to reductions in SWB."
The authors detected this phenomenon in their own results, but noted it was only evident in terms of life evaluation (not emotional well-being), and limited to just five of the nine regions considered in the study: Western Europe/Scandinavia, Eastern Europe/the Balkans, East Asia, Latin America/the Caribbean, and Northern America.
As for why the pattern isn't found elsewhere, we don't know for sure, but the researchers speculate it's associated with the demands that come with higher wages.
"Theoretically, it is presumably not the higher incomes themselves that drive reductions in SWB, but the costs associated with them," the researchers write.
"High incomes are usually accompanied by high demands (time, workload, responsibility, and so on) that might also limit opportunities for positive experiences (for example, leisure activities)."
If that's the case, it gels with a lot of other research that's shown money buys happiness but only if you have free time to enjoy it, by spending it on the right things, and not prioritising money over time.
There's lots of ways to encourage feelings of happiness in your daily existence, but make sure you don't buy into the most common misconceptions about where smiles come from.
There's no enjoyable shortcuts here folks, but the good news is we're all getting more happy all the time – in a manner of speaking, anyway – because old folks are some of the happiest folks around.
The findings are reported in Nature Human Behaviour.
🍖
JAKARTA – Investasi saham di Indonesia dinilai paling menguntungkan karena pajaknya sangat kecil, hanya 0,1% dari nilai penjualan, dibanding misalnya pajak bunga bank yang mencapai 20%. Faktor lain adalah potensi return yang tinggi dan prospek pertumbuhan emiten, karena ruang untuk mencetak pendapatan dan laba di pasar RI yang belum digarap optimal ini masih sangat besar.
Kebijakan pajak pemerintah RI yang propasar modal ini mendorong semakin banyak orang berinvestasi saham, dengan jumlah single investor identification (SID) mencapai 1,1 juta atau tumbuh 23% hingga kuartal III-2017. Ini berarti ada penambahan 195.884 SID dari akhir tahun lalu sebanyak 894.116 SID.
Dari sisi return, investasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mencatatkan potensi keuntungan tertinggi mencapai 13,9% year to date(ytd). Potensi keuntungan tersebut dua kali lipat lebih dibanding suku bunga deposito di bank umum yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan sebesar 5,75% atau yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun sebesar 6,9% per 20 November lalu. Sedangkan harga emas year to date naik sekitar 9,74% dan pertumbuhan harga rumah rata-rata tahun ini diperkirakan sekitar 5%.
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, pasar saham menjadi alternatif investasi yang paling menguntungkan di Indonesia. Selain memiliki potensi imbal hasil (return) yang tinggi, investasi di pasar saham diuntungkan dengan sistem perpajakan RI yang propasar.
“Bukan hanya besarannya yang relatif rendah, sifat perpajakan yang bersifat final ini juga propasar. Selama ini, rata-rata return investasi di pasar saham berkisar 15-20% per tahun, sedangkan untuk obligasi 6-7% dan deposito bisa hanya 5%. Jadi, keuntungannya bukan dari return saja, tapi juga dari perpajakan,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (21/11). (cnbc/en)
Baca selanjutnya di http://id.beritasatu.com/macroeconomics/sistem-pajak-di-indonesia-lebih-sederhana/168225
🌵
Comments
Post a Comment