China dan Amrik n ekonomi global n utang (2)
🌹
Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Amerika Serikat (AS) kembali tersungkur dengan pelemahan 4 persen setelah pelaku pasar harap-harap cemas dalam menunggu detail stimulus pemerintahan Donald J. Trump untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari penyebaran virus corona.
Pada pembukaan perdagangan Rabu (11/3/2020), indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) langsung masuk ke zona merah dengan pelemahan masing-masing 1,96 persen dan 1,65 persen. Adapun Nasdaq Composite Index langsung dibuka dengan pelemahan 2,49 persen.
Hingga pukul 11.11 Waktu New York atau 23.11 WIB, ketiga indeks terkoreksi lebih dalam. Indeks S&P 500 turun 3,73 persen ke level 2.774 sedangkan DJIA terkoreksi 4,13 persen ke level 23.985. Sementara itu, (CCMP) terpantau melemah 3,47 persen di level 8.054.
Kemarin Wall Street juga ditutup melemah setelah stimulus yang dijanjikan pemerintahan Trump tak kunjung terang. Stimulus itu memang menjadi perhatian banyak kalangan karena menjadi respons AS terhadap dampak ekonomi penyebaran virus corona.
Goldman Sach telah memangkas proyeksi untuk indeks S&P 500 dan menyebut tren kenaikan atau bullish akan segera berakhir. "Setiap hari kita dibolak-balik, dan apa yang kita lihat hari ini adalah kekecewaan umum bahwa kebijakan fiskal tidak semuanya jelas dalam kaitan bagaimana hal itu akan merangsang ekonomi," kata Michael Reynolds, Investment Strategy Officer Glenmede Trust Co seperti dikutip dari Bloomberg.
11 sektor dalam indeks S&P 500 telah terkoreksi 3 persen dan sektor energi tercatat mengalami penurunan hampir 5 persen. Indeks ini terjerembab 12 kali dalam 15 sesi dan hampir merosot hampir 18 persen sepanjang masa.
Untuk diketahui, pemerintahan Trump terus menjanjikan stimulus 'besar' tetapi detailnya masih belum pasti. Partai Demokrat berencana mendesak presiden untuk mengumumkan darurat nasional.
Pasar kini makin khawatir bahwa apapun yang terjadi tidak akan mampu untuk mencegah pukulan besar terhadap perekonomian AS.
Ahli strategi di Credit Agricole SA Guillaume Tresca mengatakan meskipun peluang pemberian stimulus fiskal ada di mana-mana, risiko penurunan yang signifikan lebih terlihat.
"Selama ketidakpastian masih ada pada jumlah kasus, dan tindakan bank sentral dan rencana stimulus fiskal tidak dicabut, kami melihat beberapa alasan untuk rebound yang berkepanjangan dan jangka panjang," jelasnya.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks S&P 500 berakhir anjlok 2,81 persen ke level 3.003,37, indeks Dow Jones Industrial Average turun tajam 2,94 persen ke posisi 25.917,41, dan indeks Nasdaq Composite ditutup menanjak 2,99 persen ke level 8.684,09.
Setelah mampu rebound dan melonjak pada perdagangan Senin (2/3/2020), ketiga indeks saham utama di bursa Wall Street AS tersebut terguling karena tertekan oleh kekhawatiran investor bahwa langkah pemangkasan darurat suku bunga acuan oleh Federal Reserve AS tak akan cukup untuk melawan dampak ekonomi virus corona.
Indeks S&P 500 jatuh untuk kedelapan kalinya dalam sembilan hari setelah bank sentral AS tersebut melancarkan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi kisaran 1 persen - 1,25 persen dalam rapat darurat pada Selasa (3/3/2020) waktu setempat.
Baca juga: Bursa Saham AS Koreksi Akibat Sentimen G7
Pemotongan suku bunga ini merupakan langkah yang tak biasa dilakukan Bank Sentral Amerika, karena normalnya dilakukan secara terjadwal.
Dalam pernyataannya, The Fed menegaskan bahwa pemangkasan darurat itu bukanlah bentuk melemahnya ekonomi Paman Sam.
“Namun, virus corona menimbulkan risiko yang berkembang terhadap kegiatan ekonomi. Mengingat risiko-risiko ini dan dalam mendukung pencapaian pekerjaan maksimum dan sasaran stabilitas harga, Komite Pasar Terbuka The Fed hari ini [Selasa} memutuskan untuk menurunkan suku bunga,” papar The Fed.
Ini adalah kali pertama sejak 12 tahun terakhir The Fed melakukan pemangkasan darurat. Terakhir, langkah ini diambil pada 2008, kala terjadi krisis perbankan dalam subprime mortage.
Selama jumpa pers pada Selasa (3/3), Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa ekonomi AS tetap kuat tetapi wabah virus akan membebani aktivitas "untuk beberapa waktu".
Imbal hasil Treasury AS bertenor 2 tahun pun merosot menjadi 0,70 persen, sedangkan imbal hasil untuk Treasury AS bertenor 10 tahun anjlok di bawah 1 persen untuk pertama kalinya.
“Apakah pengurangan sebesar 50 basis poin mengubah segala sesuatu? Itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab,” ujar Subadra Rajappa, head of US rates strategy di Societe Generale.
“Langkah pemangkasan The Fed cenderung kurang efektif dalam situasi seperti ini ketika terdapat guncangan penawaran dan permintaan,” tambahnya.
Investor ramai-ramai melepaskan aset berisiko pekan lalu karena wabah virus mematikan itumengancam untuk menggagalkan pertumbuhan global. Pada Senin (2/3), sentimen investor terangkat di tengah antisipasi tindakan terkoordinasi negara-negara G7 untuk menghadapi ancaman virus itu.
“Dengan penurunan suku bunga yang lebih besar dari biasanya tampak menunjukkan para pejabat Fed panik seperti yang dilakukan investor pasar saham pekan lalu,” kata Chris Rupkey, kepala ekonom keuangan untuk MUFG Union Bank.
“Mereka tidak perlu begitu agresif dan The Fed di bawah Powell, dalam pandangan kami, terus merespons lebih salah pada pasar keuangan ketimbang pada ekonomi yang lebih luas. Kita belum berada dalam resesi dan langkah [pengurangan suku bunga] hari ini tak akan mencegahnya terjadi,” imbuh Rupkey.
Kelompok ekonomi OECD pada Senin (2/3) memperingatkan bahwa pertumbuhan global akan turun ke level terendah dalam lebih dari satu dekade dan semakin banyak perusahaan yang menyampaikan peringatan tentang dampak penyakit itu.
Pergerakan Bursa Wall Street 3 Maret
| ||
---|---|---|
Indeks
|
Level
|
Perubahan (persen)
|
Dow Jones
|
25.917,41
|
-2,94
|
S&P 500
|
3.003,37
|
-2,81
|
Nasdaq
|
8.684,09
|
-2,99
|
Sumber: Bloomberg
🍓
SMH: The Dow Jones Industrial Average soared nearly 1,300 points on Monday, its best single day percentage gain since 2009, as stocks roared back from a seven-day rout on hopes that central banks will take action to shield the global economy from the effects of the coronavirus outbreak.
The huge gains clawed back some of the ground lost in a massive sell-off that gave stocks their worst week since the financial crisis of 2008.
Wall Street has ended its seven-session losing streak in emphatic fashion.
Wall Street has ended its seven-session losing streak in emphatic fashion.CREDIT:AP
Technology companies led the broad gains, which gave the Dow its biggest-ever point gain and biggest percentage increase since March 2009. The S&P 500 index jumped 4.6 per cent, its best day since December 2018.
European benchmarks were mostly higher, and Asian markets rose broadly.
The Australian sharemarket is set to follow suit and jump this morning, with futures at 8.40am AEDT pointing to a gain of 69 points, or 1.1 per cent, at the open.
Bond prices fell, pushing yields higher after having touched another record low earlier in the day. The yield on the 10-year Treasury note rose to 1.15 per cent from 1.12 per cent late Friday.
Investors are increasingly anticipating that the Federal Reserve and other major central banks around the world will lower interest rates or take other steps to shield the global economy from the effects of the outbreak.
"Investors have convinced themselves that global central banks will likely be even more accommodative in order to short-circuit any psychological damage, " said Sam Stovall, chief investment strategist at CFRA.
Bill Nelson, chief economist at the Bank Policy Institute and a former Fed economist, said the Fed and other major central banks, possibly including China's, could announce coordinated rate cuts by Wednesday morning. The cut would at least be a half-point and perhaps even three-quarters, he said.
"The only way to get a positive market reaction is to deliver more than expected," he said.
The International Monetary Fund and World Bank announced simultaneously Monday that they are ready to help countries affected by the coronavirus through their emergency lending programs and other tools.
"We will use our available instruments to the fullest extent possible," the IMF managing director, Kristalina Georgieva, and World Bank President David Malpass said in a joint statement.
"International cooperation is essential."
The statement echoed similar promises to act if necessary from the Federal Reserve on Friday and the Bank of Japan over the weekend. Traders have priced in a 100 per cent probability that the Fed will cut rates by a half-percentage point during or before its March meeting.
One encouraging sign to traders is that the finance ministers and central bank leaders of the Group of Seven major industrial countries will hold a conference call on Tuesday to discuss an economic response to the viral outbreak.
There were signs that the economic impact was continuing to mount. A measure of China's manufacturing output plunged last month to its lowest level on record, as the viral outbreak closed factories and disrupted supply chains.
And the Organisation for Economic Development, a research organisation made up of mostly advanced economies, said Monday that the viral outbreak "presents the global economy with its greatest danger since the financial crisis" in 2008.
The OECD cut its world growth forecast and said that even if there are only limited outbreaks outside China, the global economy will grow just 2.4 per cent this year, the weakest since the crisis. That forecast matches several private estimates.
If other countries are hit with outbreaks similar to China's, growth could fall as low as 1.5 per cent, the OECD said.
Separately, economists at Goldman Sachs slashed their forecasts for U.S. growth to just 0.9 per cent in the first quarter and to zero for the April-June quarter.
For investors, the great amount of uncertainty over how consumer behaviour and spending will be affected has been unsettling.
"It's not a typical economic blow," said Bill Strazzullo of Bell Curve Trading. "What if major cities are on some kind of a lockdown? What will that do to restaurants, entertainment, shopping, travel? It's almost impossible to game this out."
Last week's rout knocked every major index into what market watchers call a "correction," or a fall of 10 per cent or more from a peak. Market watchers have said for months that stocks were overpriced and long overdue for another pullback. The last time the market had a drop of that size was in late 2018, when the trade war with China was escalating and investors were worried about rising interest rates.
The stock surge notwithstanding, the fact that investors are holding onto Treasuries at near record low yields shows they are still worried.
"The fear factor is still very high," said Kirk Hartman, president of Wells Fargo Asset Management. "Do you really want to own a 10-year Treasury at 1 percent? I don't think so. I think this is a classic market in crisis."
The virus outbreak that began in central China has been shutting down industrial centres, emptying shops and severely crimping travel all over the world. More companies are warning investors that their finances will take a hit because of disruptions to supply chains and sales.
Shoppers stocking up on everyday goods as fear over the coronavirus' spread hits consumers helped lift shares in household goods companies. Costco jumped 10 per cent. Walmart rose 7.6 per cent. Procter & Gamble gained 5.6 per cent.
Technology and health care stocks accounted for a big share of the gains. Apple climbed 9.3 per cent and Gilead Sciences rose 8.7 per cent. The biotechnology company has been testing one of its drugs as a potential treatment for the coronavirus.
Stimulus hopes helped shore up markets in Asia earlier. The Nikkei 225 index closed 1 per cent higher, while the Shanghai Composite index rose 3.2 per cent.
China has seen most of the 90,000 or so virus cases worldwide. In the United States, authorities have counted at least 80 cases of the virus, two fatal, and concern was driving some to wipe store shelves clean of bottled water, hand sanitiser and other necessities. Both deaths were men with existing health problems who were hospitalised in Washington state.
AP
🍈
BEIJING china daily - Chinese listed enterprises reported improving performance last year, according to the financial information provider Wind.
Latest Wind data showed that as of Sunday, 211 listed companies on the Shanghai and Shenzhen bourses had released their 2019 preliminary earning results, and 169 firms, or 80.09 percent of the total, reported an increase in net profits.
Annual revenue of the listed firms in 2019 averaged 16.97 billion yuan ($2.42 billion), expanding 15.24 percent from 14.73 billion yuan registered in the same period of the previous year.
The average net profits attributable to shareholders of the 211 firms rose 14.68 percent year-on-year to 2.93 billion yuan, with 69 companies' growth exceeding 30 percent and 12 firms reporting doubled net profits year-on-year.
Meanwhile, 11 firms saw their net profits surpass 10 billion yuan, of which eight were listed banks, Wind data showed.
🍈
KONTAN.CO.ID - KAIRO. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memuji "kemajuan luar biasa" dalam perang melawan virus corona baru yang mematikan sejak muncul di China pada Desember tahun lalu.
"Kami membuat kemajuan luar biasa dalam waktu singkat. Tren sangat menggembirakan tetapi kami belum berada pada titik balik," kata Richard Brennan, Direktur Darurat Regional WHO, dalam konferensi pers di Kairo, Rabu (18/2), seperti dilansir Channelnewsasia.com.
Korban tewas akibat wabah Covid-19 melonjak, melewati angka 2.000 pada Rabu (18/2), hampir semuanya di China daratan, dengan 74.185 kasus infeksi virus corona terkonfirmasi.
Sebelumnya, Wakil Perdana Menteri China Sun Chunlan mengatakan, upaya untuk mencegah dan mengendalikan wabah virus corona baru di Provinsi Hubei mengalami kemajuan, tetapi situasinya masih parah.
Stasiun CCTV yang Pemerintah China kelola melaporkan pernyataan Sun itu, Rabu (19/2). Melansir Reuters, penyiar CCTV menyebutkan, Beijing mendesak Hubei dan Kota Wuhan untuk memperkuat pemeriksaan pasien yang mengalami demam.
Tapi, tanda-tanda menjanjikan wabah virus corona mulai mereda dari China datang dari Komisi Kesehatan Nasional, yang melaporkan 1.749 kasus baru Covid-19, angka harian terendah sejak 29 Januari.
Baca Juga: Demi cegah virus corona, Korea Utara perpanjang masa karantina jadi 30 hari
Sementara Hubei, pusat wabah virus corona, melaporkan jumlah kasus infeksi harian terendah sejak 11 Februari. Di luar Hubei, hanya ada 56 kasus baru, turun dari puncak 890 kasus pada 3 Februari.
Angka-angka terbaru itu membawa jumlah total kasus di China menjadi lebih dari 74.000 dan jumlah kematian menjadi 2.004, tiga perempat di antaranya terjadi di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei.
Mengutip Reuters, media Pemerintah China melaporkan, Pemerintah Hubei akan melacak siapa pun yang mengunjungi dokter dengan keluhan demam sejak 20 Januari lalu atau yang membeli obat demam dan batuk bebas resep.
Baca Juga: Wakil PM China: Upaya kendalikan virus corona alami kemajuan tapi situasi tetap parah
Pejabat China mengatakan, penurunan yang nyata dalam tingkat infeksi menjadi bukti bahwa langkah-langkah ketat itu berhasil. Itu sebabnya, dampak ekonomi dari wabah Covid-19 akan terbatas dan jangka pendek.
Memang, ahli epidemiologi menyebutkan, dalam beberapa hari terakhir laporan dari Tiongkok memang menggembirakan. Tapi, masih terlalu dini untuk memprediksikan, apakah epidemi virus corona sudah terkendali.
🍑
JAKARTA okezone - Wall Street berakhir melemah pada perdagangan kemarin. Bursa saham AS anjlok karena wabah virus korona kembali meredam optimisme investor.
Melansir Reuters, Sabtu (15/2/2020), Dow Jones Industrial Average turun 126,31 poin atau 0,43%, menjadi 29.297, S&P 500 kehilangan 5,97 poin atau 0,18% menjadi 3.367,97 dan Nasdaq Composite turun 14,85 poin atau 0,15% menjadi 9.697,12.
Virus korona yang sekarang disebut Covid-19, telah merenggut 1.380 jiwa dan menginfeksi 63.851 menurut otoritas China.
Namun, pabrik dan bisnis China perlahan-lahan kembali beroperasi, memberikan para pelaku pasar secercah harapan bahwa efek ekonomi dari epidemi yang telah mengguncang pasar dunia dan mengganggu rantai pasokan akan membaik.
Memang, dalam survei Reuters baru-baru ini terhadap 40 ekonom, para responden melihat ekonomi China pada kuartal saat ini mengalami pertumbuhan paling lambat sejak krisis keuangan, tetapi percaya penurunan akan berlangsung singkat jika wabah bisa dibendung.
Tujuh dari 11 sektor utama dalam S&P 500 berada di zona merah, dengan saham energi jatuh paling dalam. Musim pelaporan kuartal keempat terus meningkat, dengan 387 perusahaan di S&P 500 telah melaporkan.
(kmj)
🍎
SHANGHAI (Reuters) - China’s central bank said it will inject 1.2 trillion yuan ($174 billion) worth of liquidity into the markets via reverse repo operations on Monday as its stock markets prepare to reopen amid an outbreak of a new coronavirus.
Chinese authorities have pledged to use various monetary policy tools to ensure liquidity remains reasonably ample and to support firms affected by the virus epidemic, which has so far claimed 305 lives, all but one in China.
The People’s Bank of China made the announcement in a statement on Sunday, adding the total liquidity in the banking system will be 900 billion yuan higher than the same period in 2019 after the injection.
According to Reuters calculations based on official central bank data, 1.05 trillion yuan worth of reverse repos are set to mature on Monday, meaning that 150 billion yuan in net cash will be injected.
Investors are bracing for a volatile session in Chinese markets when onshore trades resume on Monday after a break for the Lunar New Year which was extended by the government.
China’s stock, currency and bond markets have all been closed since Jan. 23 and had been due to re-open last Friday.
There will be no further delays to the reopening, the securities market regulator said in an interview in the People’s Daily newspaper on Sunday.
The China Securities Regulatory Commission (CSRC) said it had taken the decision after balancing various factors, and believed the outbreak’s impact on the market would be short term.
To support firms affected by the epidemic, the CSRC said companies that had expiring stock pledge agreements could apply for extensions with securities firms, and it would urge corporate bond investors to extend the maturity dates of debt.
The CSRC is also considering launching hedging tools for the A-share market to help alleviate market panic and will suspend evening sessions of futures trading starting from Monday, it said.
“We believe that the successive introduction and implementation of policy measures will play a better role in improving market expectations and preventing irrational behavior,” it told the People’s Daily.
China is facing mounting isolation as other countries introduce travel curbs, airlines suspend flights and governments evacuate their citizens, risking worsening a slowdown in the world’s second-largest economy.
State news agency Xinhua said on Sunday that China’s economy was resilient enough to counter the shock caused by the virus, and said remarks made by a U.S. federal official - whom it did not name - that the virus could bring jobs back to the United States were “self-centered, unprofessional and unethical”.
U.S. Secretary of Commerce Wilbur Ross said last week that the virus could force companies to re-evaluate their supply chains, potentially returning some jobs to the United States.
“The remarks only served to taint the U.S. image as a major global player,” Xinhua said in the commentary.
“An outbreak of a disease like this could not be the basis for multinational companies to make serious and long-term investment decisions in China...If the Chinese economy slows drastically, the U.S. economy will also suffer.”
🍈
Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan tiga indeks saham utama di bursa Wall Street Amerika Serikat terjungkal ke zona merah pada akhir perdagangan Selasa (21/1/2020), setelah wabah virus dari China dikabarkan mencapai wilayah AS.
Kekhawatiran atas virus corona (coronavirus) baru yang mengingatkan para investor mengenai krisis penyakit Sindrom Pernapasan Akut Parah atau SARS pada 2003, menambah beban pasar yang didorong pemangkasan pertumbuhan ekonomi global oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Berdasarkan data Reuters, indeks S&P 500 berakhir terkoreksi 0,26 persen di level 3.320,8, indeks Dow Jones Industrial Average melemah 0,52 persen ke posisi 29.196,04, dan indeks Nasdaq Composite ditutup turun 0,19 persen di level 9.370,81.
Ketiga indeks saham utama AS tersebut meluncur setelah berulang kali mencapai rekor level penutupan tertingginya.
Pada Senin (20/1/2020), IMF menyatakan pertumbuhan global akan berakselerasi menjadi 3,3 persen tahun ini dari 2,9 persen pada 2019.
Meski berakselerasi, pertumbuhan ini sedikit lebih rendah dari pertumbuhan sebesar 3,4 persen untuk 2020 yang diproyeksikan pada Oktober 2019.
Indeks memperpanjang pelemahannya setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengkonfirmasi kasus virus corona baru yang pertama di AS. Virus tersebut kini dilaporkan telah menewaskan enam orang di China.
“Kita melihat risiko utama pada pasar dan setiap kali ada ketidakpastian baru, kita melihat lebih banyak volatilitas dan investor melarikan diri dari aset berisiko,” ujar Charlie Ripley, ahli strategi pasar senior untuk Allianz Investment Management.
"Berita hari ini sekitar coronavirus adalah pengingat bahwa risiko tetap ada, dan itu adalah sesuatu yang akan diperhatikan oleh investor dalam beberapa pekan dan bulan mendatang," tambah Ripley.
Dengan merebaknya wabah virus ini yang terjadi menjelang liburan Tahun Baru China, berita itu menghantam pergerakan saham yang terkait dengan perjalanan.
Indeks NYSE Arca Airline turun 2,8 persen, sementara saham United Airlines dan Carnival Corp. masing-masing melemah 4,4 persen dan 2,3 persen.
Operator hotel dan kasino Las Vegas Sands Corp dan Wynn Resorts Ltd, yang memiliki operasi cukup besar di China, pun mengakhiri sesi dengan melemah 5,4 persen dan 6,1 persen masing-masing.
Pergerakan Bursa Wall Street 21 Januari
| ||
---|---|---|
Indeks
|
Level
|
Perubahan (persen)
|
Dow Jones
|
29.196,04
|
-0,52
|
S&P 500
|
3.320,8
|
-0,26
|
Nasdaq
|
9.370,81
|
-0,19
|
Sumber: Reuters
🍇
Bisnis.com, JAKARTA - Senat Amerika Serikat pada hari Kamis (16/1/2020) menyetujui perombakan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara yang mencakup pengetatan peraturan tenaga kerja dan otomotif.
Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk mengimplementasikan Perjanjian AS-Meksiko-Kanada (USMCA) setujui setelah mendapat 89 banding 10 suara dalam voting antara anggota Senat. RUU tersebut kemudian akan diteruskan kepada Presiden Donald Trump agar dia menandatangani dan mengesahkannya menjadi UU.
House of Representatives (DPR) AS yang dikontrol Demokrat meloloskan undang-undang tersebut pada 19 Desember setelah menuntaskan perubahan untuk memastikan penegakan hak-hak buruh yang lebih baik dan aturan lingkungan yang lebih ketat dalam negosiasidengan pemerintahan Trump selama berbulan-bulan.
Voting di Senat dilakukan sehari setelah Trump menandatangani perjanjian perdagangan fase pertama dengan China, dan tak lama sebelum Senat secara resmi memulai sidang pemakzulan Trump dengan tuduhan bahwa ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan upaya Trump untuk menyeimbangkan kembali hubungan AS dengan mitra dagang utamanya membuahkan hasil dan mendorong pertumbuhan ekonomi AS.
"Perjanjian bersejarah ini tidak hanya memodernisasi dan menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan kami dengan Kanada dan Meksiko, tetapi juga mempromosikan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan kepastian penting bagi petani, pekerja dan produsen," katanya dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters.
Pada hari Rabu, Mnuchin mengatakan kepada Fox News bahwa kesepakatan perdagangan sementara dengan China dan berlalunya USMCA akan mendorong pertumbuhan produk domestik bruto AS sebesar 50 hingga 75 basis poin.
Sementara itu, Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador pada hari Kamis menyebut persetujuan kesepakatan itu kabar baik bagi ekonomi Meksiko, dan memperkirakan akan memulai investasi baru. Adapun Kanada masih perlu menyetujui kesepakatan sebelum dapat berlaku dan menggantikan NAFTA.
Trump menjadikan negosiasi ulang NAFTA sebagai inti dari kampanye pemilu 2016-nya, menyebutnya "kesepakatan perdagangan terburuk yang pernah dibuat" dan menyalahkannya atas hilangnya ribuan pekerjaan pabrik Amerika ke Meksiko upah rendah.
🍓
Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikatakan telah menyetujui soal kesepakatan perdagangan fase satu dengan China.
Menurut sumber-sumber terkait, kesepakatan yang disampaikan kepada Trump oleh penasihat perdagangannya pada Kamis (12/12/2019) mencakup janji China untuk membeli lebih banyak barang-barang pertanian AS.
Para pejabat pemerintah juga membahas kemungkinan pengurangan tarif eksisting terhadap produk-produk asal China. Ketentuan-ketentuan mengenai hal ini disebut telah disepakati meskipun naskah berkekuatan hukumnya belum final. Sementara itu, seorang juru bicara Gedung Putih menolak mengomentari kabar tersebut.
“Pemerintah AS telah mendekati aliansinya di Capitol Hill dan di komunitas bisnis untuk mengeluarkan pernyataan dukungan begitu pengumuman itu dibuat,” ungkap sumber itu, seperti dilansir melalui Bloomberg.
“Sebelum bertemu penasihat perdagangannya, Trump berkomunikasi dengan anggota-anggota Business Roundtable, yang mewakili beberapa perusahaan terbesar di AS,” tambahnya.
Seiring dengan tumbuhnya optimisme atas adanya kesepakatan, bursa saham AS mencatatkan rekor pada perdagangan Kamis. Melalui akun Twitter miliknya, Trump mencuit bahwa AS dan China "SANGAT dekat" untuk menandatangani kesepakatan perdagangan yang signifikan.
"Mereka menginginkannya, dan kami juga!” tulis Trump.
Getting VERY close to a BIG DEAL with China. They want it, and so do we!— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) December 12, 2019
Tim negosiator kedua negara telah berupaya keras menentukan ketentuan perjanjian fase satu setelah Trump, pada Oktober, mengumumkan bahwa AS-China telah mencapai kesepakatan yang dapat dituangkan di atas kertas.
Dengan tercapainya kesepakatan pokok antara AS-China, rencana pengenaan tarif baru terhadap impor China senilai sekitar US$160 miliar yang ditetapkan pada 15 Desember 2019 akan terhindari.
Selama perang dagang yang telah berlangsung dalam 20 bulan terakhir, pemerintah AS telah menambahkan tarif 25 persen untuk produk-produk China senilai sekitar US$250 miliar dan tarif 15 persen atas impor China senilai US$110 miliar.
Diskusi kedua belah pihak kini difokuskan pada pengurangan tarif sebanyak separuhnya, sebagai bagian dari perjanjian sementara yang diumumkan Trump hampir sembilan pekan lalu.
Selain peningkatan signifikan dalam pembelian produk pertanian oleh China sebagai imbalan atas keringanan tarif itu, para pejabat juga mengatakan kesepakatan tahap satu akan mencakup komitmen China untuk berupaya lebih intensif menghentikan pencurian kekayaan intelektual dan kesepakatan oleh kedua belah pihak untuk tidak memanipulasi mata uang masing-masing negara.
Tarif baru, yang dijadwalkan mulai berlaku pada Minggu (15/12/2019) pukul 12:01 waktu Washington kecuali dinyatakan sebaliknya oleh pemerintah AS, akan memukul barang-barang konsumen dari China termasuk smartphone dan mainan.
Sebelum hari ini, penasihat Trump telah menyampaikan beragam sinyal dan menekankan bahwa Trump belum memutuskan langkah-langkah selanjutnya.
Pengumuman terkait kesepakatan antara AS dan China itu yang diperkirakan akan dibuat oleh Trump pada Kamis (12/12/2019) waktu setempat disambut kritik baik dari kubu Demokrat dan anggota partai Trump sendiri, Republik.
Dalam sebuah surat pada Kamis, anggota Partai Demokrat menuliskan kepada Trump bahwa negosiasi menandai "titik kritis" bagi AS untuk mengamankan konsesi tentang tantangan-tantangan struktural utama yang hanya akan menjadi lebih sulit untuk diatasi.
"Pemerintahan Anda [Trump] harus tetap kuat terhadap pemerintah China jika konsesi mendasar tidak dibuat,” kata Senator Chuck Schumer, Ron Wyden dan Sherrod Brown.
🍒
BEIJING, investor.id – Ekspor Tiongkok turun lagi untuk keempat kalinya secara berturut-turut pada November 2019. Penyebabnya adalah perang dagang yang berkepanjangan dengan Amerika Serikat (AS). Namun impornya memulih. Data yang dirilis Pemerintah Tiongkok pada Minggu (8/12) menunjukkan, ekspor turun 1,1% pada bulan lalu, setelah turun 0,9% pada Oktober 2019 karena melemahnya permintaan global. Data resmi tersebut lebih buruk dari prediksi Bloomberg, yang memperkirakan kenaikan 0,8%. Sementara itu impor naik 0,3% dibandingkan tahun sebelumnya, setelah selama enam bulan sebelumnya selalu turun. Data ini juga bertolak belakang dengan kalangan analis yang disurvei Bloomberg, yang memperkirakan penurunan 1,4%. Surplus perdagangan Tiongkok dengan AS per November 2019 turun menjadi US$ 24,61 miliar. Bulan sebelumnya surplus tersebut mencapai US$ 26,42 miliar. Data penerbangan terbaru Tiongkok ini keluar sementara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut masih berusaha mengakhiri perang dagang, yang meletus tahun lalu dan telah menggerus keyakinan investor serta pasar finansial dunia. Juru runding dari kedua negara dihadapkan pada tantangan baru. Setelah AS mengesahkan aturan yang mendukung aksi protes pro-demokrasi di Hong Kong. Juga rancangan undang-undang yang menargetkan sanksi-sanksi terhadap para pejabat Tiongkok yang melancarkan penindasan terhadap masyarakat Uighur di Xinjiang. Pemerintah Tiongkok kemudian mengingatkan bahwa AS harus membayar mahal atas langkahnya tersebut. Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengelak untuk mengonfirmasikan apakah putaran baru tarif senilai US$ 160 miliar terhadap barang Tiongkok bakal berlaku efektif per 15 Desember 2019. Tarif ini bakal menimpa antara lain pakaian olahraga dan ponsel. “Kesepakatan itu masih hampir tercapai. Mungkin sedikit lebih hampir tercapai dibandingkan saat saya pertama kali membuat pernyataan pada November,” ujar Larry Kudlow, direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, kepada CNBC akhir pekan lalu. Sylvia Sheng, analis multi-aset global JP Morgan Asset Management di Hong Kong mengatakan, jika kesepakatan perdagangan fase pertama itu tercapai dan tidak ada eskalasi perselisihan perdagangan lagi antara AS dan Tiongkok, dampak tarif-tarif AS terhadap ekspor Tiongkok berpotensi mereda sepanjang 2020. (afp/sn) Sumber : Investor Daily
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Ekspor Turun, Impor Pulih"
Penulis: Iwan Subarkah Nurdiawan
Read more at: https://investor.id/international/ekspor-turun-impor-pulih
🍏
WASHINGTON (Reuters) - U.S. factory activity contracted for a fourth straight month in November as new orders slumped back to around their lowest level since 2012, while construction spending fell in October, tempering optimism over the economy that had been fanned by a recent run of upbeat reports.
The data on Monday led the Federal Reserve Bank of Atlanta to slash its gross domestic product estimate for the fourth quarter. The Atlanta Fed had only last Wednesday boosted its growth estimate by whopping 1.3% percentage points in the wake of encouraging news, including a sharp drop in the goods trade deficit in October and a strong rebound in a proxy of business spending on equipment.
The Institute for Supply Management (ISM) said its index of national factory activity dropped 0.2 point to a reading of 48.1 last month. A reading below 50 indicates contraction in the manufacturing sector, which accounts for 11% of the U.S. economy. Economists polled by Reuters had forecast the index rising to 49.2 in November from 48.3 in the prior month.
Though the ISM said business sentiment had improved relative to October, likely as the United States and China inched towards a partial trade deal, November’s reading marked the fourth straight month that the index remained below the 50 threshold.
The ISM index remains above the 42.9 level, which is associated with a recession in the broader economy. The ISM’s forward-looking new orders sub-index tumbled 1.9 points to a reading of 47.2 last month, matching July’s reading, which was the lowest since June 2012. A measure of export orders dropped 2.5 points to a reading of 47.9.
“There is nothing to point to in this report that signals a bottom in domestic manufacturing and the decline in new orders if anything suggests downside risk,” said Andrew Hollenhorst, an economist at Citigroup in New York.
The survey’s factory employment index fell 1.1 points to a reading of 46.6 last month. This raises the risk that factory payrolls remained depressed in November after being weighed down by striking workers at General Motors (GM.N) in October.
November’s drop in the ISM index is at odds with the so-called hard data, including the surge in October of orders for non-defense capital goods excluding aircraft, that had hinted at some stabilization in manufacturing activity.
A separate survey by IHS Markit showed manufacturing and new orders expanding in November. Still, the sharp contraction in the ISM new orders measure last month poses a high hurdle for any manufacturing recovery. The downturn in manufacturing in the United States bucked trends in the euro zone and China, where factory activity appeared to stabilize in November.
While Washington and Beijing are working towards a partial trade deal, President Donald Trump on Monday said U.S. legislation backing protesters in Hong Kong did not make trade negotiations with China easier. Economists say a complete trade deal is needed to revive manufacturing.
Manufacturing, which is also struggling with a domestic inventory bloat, slowing profit growth and weak overseas demand, was dealt another blow on Monday. Trump restored tariffs on steel and aluminum imports from Brazil and Argentina, accusing them of devaluing their currencies at the expense of U.S. farmers.
POLICY UNCERTAINTY DRAGS
“We expect trade policy uncertainty to continue weighing on manufacturing activity into the new year. Slower external and domestic demand will also constrain manufacturing moving forward,” said Oren Klachkin, lead economist at Oxford Economics in New York.
Continued weakness in manufacturing could see Trump sharpening his attacks on the Federal Reserve, which in October cut interest rates for the third time this year and signaled a pause in the easing cycle that started in July when it reduced borrowing costs for the first time since 2008.
Trump wrote on Twitter on Monday “Lower Rates & Loosen - Fed!”
The weak data pushed the dollar to a two-week low against a basket of currencies. The Treasury yield curve steepened, while stocks on Wall Street fell broadly.
The ISM said “global trade remains the most significant cross-industry issue.” It said only five industries, including paper and computer and electronic products reported growth last month. Transportation equipment, machinery, and electrical equipment, appliances and components were among the 13 industries reporting a contraction.
Wood products manufacturers complained “profits are elusive,” noting that “markets have downshifted further,” and that “the continued confusion surrounding China trade has kept export markets on edge.” Petroleum and coal products manufacturers said the “slowdown in business has us revising our 2020-21 capital spend.”
But manufacturing could get a lift from increased automobile production following the end of the GM strike.
More support could come from Boeing (BA.N) which said recently it hopes to resume deliveries of its fast-selling 737 MAX before the end of the year. Deliveries of the aircraft were suspended after it was grounded in March following fatal crashes in Indonesia and Ethiopia.
But for now, clouds continue to gather over the economy. In a separate report on Monday, the Commerce Department said construction spending dropped 0.8% as investment in private projects tumbled to its lowest level in three years.
Following the dour reports, the Atlanta Fed cut its fourth-quarter GDP growth estimate to a 1.3% annualized rate from a 1.7% pace. The economy grew at a 2.1% rate in the second quarter.
🍉
Reuters:
With China’s economic growth cooling to near 30-year lows and industrial profits shrinking, speculation is mounting that Beijing needs to roll out stimulus more quickly and more aggressively, even if it risks adding to a pile of debt.
The Purchasing Managers’ Index (PMI) bounced back to 50.2 in November, its highest since March, China’s National Bureau of Statistics (NBS) said on Saturday, above the 50-point mark that separates growth from contraction on a monthly basis.
The result compared with 49.3 in October. A Reuters poll showed analysts expected the November PMI to come in at 49.5.
The official factory gauge pointed to an improvement in China’s vast manufacturing sector last month. Total new orders bounced back to expansionary territory with the sub-index rising to 51.3, the highest level seen since April.
That indicates domestic consumption firmed up after Beijing repeatedly urged local governments to kick stimulus up a gear to meet economic goals before year-end. Factory output also rose to 52.6 in November, marking the strongest pace since March.
“In the short term, we may have already passed the low point where the economy hit the bottom,” Zhang Deli, a macro analyst with Lianxun Securities, wrote in a note.
Beijing has front-loaded 1 trillion yuan ($142 billion) of a 2020 local government special bonds quota to this year and has urged that they be issued and used as early as possible to boost infrastructure investment. Some analysts say that could be a sign that the government is worried about downward economic pressure.
Zhang attributed to the better-than-expected November PMI to a government push on infrastructure investment, less property market control, and a de-escalation in U.S.-China trade tension in October, when both sides said they had substantially reached a “Phase 1” agreement and the United States delayed a tariff increase scheduled to take place on October 15.
🍉
Jakarta - Ekonomi AS tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan pada kuartal ketiga ini. Biro Statistik Tenaga Kerja AS telah menyampaikan hasil revisi estimasi PDB negara Paman Sam tersebut pada Rabu (27/11) waktu setempat.Melansir dari CNN pada Kamis (28/11/2019), ekonomi AS mengalami pertumbuhan sebesar 2,1% pada bulan Juli hingga September (kuartal ketiga) kemarin. Sebelumnya, ekonomi AS diprediksi hanya meningkat sebesar 1,9% pada kuartal ketiga ini.
Dikatakan kalau negara Paman Sam berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonominya berkat batuan dari Federal Reserve (The Fed). The Fed memangkas suku bunga untuk pertama kalinya sejak 10 tahun terakhir, telah menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali sejauh ini.
"Kita bisa bersyukur bahwa ekonomi masih di tempat yang baik dengan pertumbuhan ekonomi sedikit lebih baik," kata kepala ekonom keuangan di MUFG Chris Rupkey.
"Kisah bahwa (AS mengalami) resesi tidaklah benar dan tidak akan ada di radar siapa pun pada tahun 2020," tambah Chris.
Melihat adanya peningkatan di kuartal ketiga ini, Capital Economics mengangkat perkiraan pertumbuhan PDB untuk kuartal keempat menjadi 1,5%, dari 1% sebelumnya.
"Secara keseluruhan, kami masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi (AS akan) melambat lebih lanjut dalam waktu dekat, tetapi perlambatan itu tampaknya lebih sederhana dari yang kami perkirakan," kata ekonom senior AS Capital Economics Michael Pearce dalam sebuah catatan.
🍎
JAKARTA okezone– Defisit anggaran AS terus membengkak sejak awal tahun. Hal ini disebabkan pengeluaran pemerintah melampaui pendapatan, walaupun pertumbuhan ekonomi tetap kuat.
Departemen Keuangan mengatakan, kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan tumbuh sebesar 34% dari tahun sebelumnya, menjadi USD134 miliar setara Rp1,8 kuadriliun (kurs Rp14.095) pada Oktober. Ini membawa defisit di atas USD 1 triliun dalam 12 bulan.
Baca juga: The Fed Perkirakan AS Tak Akan Alami Resesi
Melansir Businessinsider, penerimaan bulan lalu turun sekitar 3% dari tahun lalu menjadi USD246 miliar. Sedangkan pengeluaran meningkat 8% menjadi USD380 miliar.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell memperingatkan bahwa kondisi ini akan merusak kemampuan negara untuk melawan resesi.
"Bahkan dengan tarif yang lebih rendah dan pertumbuhan yang baik, masih akan ada kebutuhan untuk mengurangi defisit ini," kata Powell. "Jika kita tidak melakukannya, yang terjadi adalah anak-anak kita akan menghabiskan uang pajak mereka untuk membayar sesuatu yang mereka butuhkan," tambahnya.
Kesepakatan anggaran bipartisan yang ditandatangani Presiden Donald Trump mengangkat pagu utang dan meningkatkan pengeluaran sekitar USD320 miliar pada Agustus ini. Menurut Komite Responsible Federal Budget, ini bisa mencapai peningkatan pendapatan sebesar USD1,7 triliun pada tingkat utang yang diproyeksikan selama dekade berikutnya.
Dengan pertumbuhan yang diperkirakan melambat dalam beberapa bulan mendatang, defisit diproyeksi akan makin membengkak.
(kmj)
🍉JAKARTA okezone- Dalam setahun terakhir, China masih menjadi berita utama akibat pergesekan yang terjadi di sektor perdagangan dengan Amerika Serikat. Meski melambat, namun pertumbuhan PDB di ekonomi terbesar di dunia itu mendekati 6%.
Meski melambat, namun di negara maju seperti China, masyarakatnya masih memiliki banyak keberuntungan yang bisa didapatkan. China memiliki banyak sektor yang dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonominya.
Melansir dari Forbes, Selasa (7/11/2019), nasib farmasi dan layanan kesehatan di China menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi China. Rahasianya adalah, meningkatnya pendapatan membuat orang-orang China menghabiskan uangnya untuk perawatan kesehatan.
Bos Jiangsu Henrui Medicine, Piaoyang, naik menjadi urutan ke empat dan memperoleh kekayaan sebesar USD25,8 miliar. Piaoyang juga membagi saham perusahaan bersama istrinya, Zhong Huijuan. Keduanya memperoleh pertumbuhan bisnis di Sun's Zhong serta IPO Hong Kong oleh perusahaan yang dipimpin Zhong, yaitu Jiangsu Shenzen Mindray.
Distributor peralatan medis Shenzhen Mindray Bio-Medical Electronics, Li Xiting juga mengalami kenaikan menjadi USD8,5 miliar dari USD1,8 miliar karena sahamnya melonjak setelah pencatatan oleh New York Stock Exchange pada 2016.
Selain itu, pembuat pakaian olahraga Anta Sports masuk ke dalam daftar Hong Kong karena Sahamnya naik dua kali lipat dari tahun lalu selama kepemimpinan Ding bersaudara. Dua eksekutif Anta Ding Shizhong dan Ding Shija masuk dalam daftar untuk pertama kalinya.
Tak hanya itu, bahan bakar pendorong pertumbuhan perekonomian di China juga berasal dari IPO, hal ini dibuktikan bahwa perusahaan tradisional masih dapat menciptakan miliarder di China. Seperti, bos produsen makanan ringan Three Squirrels, Zhang Liaoyuan yang memulai debutnya dalam daftar dengan perkiraan kekayaan bersih sebesar USD1,6 miliar dan bos perusahaan perangkat lunak ArcSoft, Dan Hui Deng, yang membuat daftar dengan perkiraan value USD1 miliar. Kedua perusahaan ini go public pada bulan Juli.
grafik
Uniknya, meski perang dagang AS-China tidak berpengaruh terhadap bisnis sektor kesehatan, tapi lain hal dengan penjualan mobil China yang sedang terpuruk. Kekayaan Li Shufu, Bos Geely Group dan pemilik utama Volvo di China, harus merelakan kekayaannya yang terkoreksi menjadi USD12,9 miliar dari USD14,2 miliar.
(kmj)
🍊
asia times: As the US-China relationship has morphed from uneasy cooperation to uneasy rivalry, the leading Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) member states, like many others around the world, have had to recalibrate their relationships with the two great world powers.
But ASEAN itself has been largely absent from the discussion, risking regional division and global irrelevance at exactly the time when it most needs to develop a united front.
The East Asia Summit (EAS) to be held in Bangkok on November 4 provides an opening for ASEAN to go beyond its EAS convening role to a more forward-leaning posture in shaping and influencing its own geopolitical fate.
The fact that both China and the US view Southeast Asia as a key arena for influence gives ASEAN some degree of leverage. Most observers don’t expect ASEAN to use it, however, which would be a missed opportunity.
Unless ASEAN’s larger member states take an active role in strengthening and articulating a cohesive ASEAN view on issues affecting its member states, the US-China rivalry could end up polarizing the regional grouping and rendering the cherished notion of “ASEAN Centrality” a mere slogan.
This need not be the case.
Precisely because Southeast Asia is seen as important to both China and the US, and because neither of the global powers sees it in their interest to weaken ASEAN as a coherent regional grouping, ASEAN has some latitude in carving out its own stance on issues ranging from maritime security to infrastructure project governance.
But a clear ASEAN perspective on these and other relevant regional issues will not come into being on its own. ASEAN’s largest member states – especially Indonesia — will need to invest more leadership time and political capital to craft common ground.
Progress will inevitably be slowed by ASEAN’s consensus-based decision-making and its not unreasonable concerns about causing rifts in relations with China and/or the US. But allowing these concerns to sacrifice ASEAN’s agency and voice in a rapidly changing and challenging geopolitical environment is the poorer alternative.
ASEAN’s weak if not absent response to the growing US-China competition has a number of root causes. Four large ASEAN members – Indonesia, Philippines, Malaysia, Thailand – have been strongly preoccupied with domestic affairs in recent years; all have gone through challenging electoral processes.
Malaysian Prime Minister Mahathir Mohamad excepted, leaders of the other three nations tend to shun the regional stage and are much more inclined to focus on issues at home.
Two, although China is an important trading partner to all ASEAN members, Chinese investment is more dominant in some members than others. This has allowed fault lines to appear between some of the smaller ASEAN members – which receive larger shares of Chinese investment in relation to their small economies – and the bigger ones.
There are also sharply different interests regarding territorial claims in the South China Sea between ASEAN’s maritime and mainland states.
Largely as a consequence of the above two issues, ASEAN has labored through many years of fairly lackluster leadership from its rotating ASEAN chairs. None of the last three – the Philippines, Singapore and Thailand – delivered any particularly notable outcomes during their chairmanship years.
Developments on the trade front have also had the unintended effect of reducing ASEAN’s role.
With both the Trans-Pacific Partnership (now called CP-TPP following the US’s withdrawal) and the not-yet-concluded Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), which includes ASEAN, Australia, China, India, Japan, Korea, and New Zealand, negotiations have taken focus and resources away from ASEAN’s own integration agenda, such as the ASEAN Economic Community.
And while RCEP was initially an ASEAN-driven and ASEAN-centric initiative, it has become, in practice, a free trade agreement (FTA) among six non-ASEAN parties, especially so between India and China, essentially sidelining ASEAN.
All of the above should induce ASEAN’s leaders to develop a common and united front vis-à-vis Sino-American rivalry in the region. But what might this mean in practice?
On the security side, ASEAN could accelerate the adoption of the long-pending Code of Conduct for the South China Sea to ensure that maritime border tensions are limited, defused quickly, and managed transparently.
It could further develop the largely symbolic ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), adopted in June, into a stronger strategic platform with clear objectives and policy frameworks.
Increased military training and exercises among ASEAN members would build familiarity and readiness to act on issues such as counter-terrorism and disaster relief. And ASEAN could build a small but permanent secretariat to support the East Asia Summit to carry forward decisions made at the summit, while also bolstering ASEAN’s role as a content-provider to the EAS agenda in addition to convening it.
On the economic side, ASEAN could further develop its own infrastructure masterplan to both leverage and manage foreign sources of financing for infrastructure.
These could include a set of ASEAN-wide standards for project governance and a scaling up of the ASEAN Infrastructure Fund to include externally funded infrastructure initiatives, including China’s Belt and Road Initiative (BRI) and the US-Japan-Australia Trilateral Infrastructure Partnership.
There is also significant room for the Jakarta-based ASEAN Secretariat to play a bigger role. It could drive further development of an ASEAN-wide infrastructure plan to establish priorities and guide infrastructure investment decisions by non-ASEAN investors.
It could also establish a funded facility which smaller member states could draw upon to hire reputable banks and accounting firms to assess the financial terms and conditions of foreign-funded infrastructure projects.
However, any strategic ASEAN initiative to defuse great power tensions in the region will struggle to develop momentum and credibility without a key ASEAN country – with Indonesia being the obvious candidate — taking an active leadership role, and a willingness of all ASEAN countries to devolve more decision-making rights to the Secretariat or other collectively representative councils.
A failure of ASEAN’s larger-country leaders to push the grouping to develop common regional positions will aggravate the impression that ASEAN’s ability to act in the new geopolitical environment is compromised and that responses to the growing US-China rivalry will be solely determined on a bilateral basis in each ASEAN capital.
This may work out well for some ASEAN members and less well for others. But it will almost certainly undermine the ability of ASEAN as a grouping to effectively represent its constituents.
Adam Schwarz is CEO of Asia Group Advisors, a business advisory firm focused on Southeast Asia
🍓
Produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh 6,0 persen year-on-year pada kuartal III/2019. Capaian ini lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 6,2 persen sekaligus menjadi laju terlemahnya dalam hampir tiga dekade.
Kinerja pada kuartal ketiga tersebut juga berada di ujung bawah target pertumbuhan ekonomi secara full year oleh pemerintah sebesar 6,0 persen – 6,5 persen serta lebih rendah daripada prediksi analis dalam survei Reuters sebesar 6,1 persen.
Kesehatan negara berekonomi terbesar di dunia ini menjadi perhatian khusus para mitra dagang dan investor ketika perang perdagangannya dengan Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran tentang resesi global.
“Masih ada banyak ketidakpastian mengenai perjanjian perdagangan AS-China,” ujar Ho Woei Chen, ekonom di UOB, Singapura, dilansir melalui Reuters (Jumat, 18/10/2019).
“Saya pikir (rencana AS mengenakan) tarif pada 15 Desember akan memiliki implikasi yang sangat penting bagi pertumbuhan Cina pada 2020,” lanjutnya.
Baca juga: Tesla Kantongi Izin Produksi di China
Suramnya data ekonomi dalam beberapa bulan terakhir telah menyoroti permintaan yang lebih lemah di dalam dan luar negeri. Sebagian besar analis mengatakan ruang lingkup untuk stimulus yang agresif tampak terbatas dalam ekonomi yang sudah terbebani dengan tumpukan utang.
Kecil kemungkinan gambaran perekonomian akan berubah menjadi lebih baik dalam waktu dekat bahkan ketika ketegangan dalam perang perdagangan yang berlarut-larut antara Beijing dan Washington sedikit mereda.
Pekan lalu Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan pada fase pertama kesepakatan dan menunda kenaikan tarif. Tapi sejumlah pejabat pemerintahan mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Hambatan permintaan, baik domestik maupun global, telah memukul beberapa elemen utama ekonomi. Penurunan ekspor berakselerasi pada bulan September sementara impor berkontraksi selama lima bulan berturut-turut. Pada September pula, penjualan mobil mencatat penurunan bulan ke-15 berturut-turut.
Pemerintah China mengandalkan kombinasi stimulus fiskal dan pelonggaran moneter untuk mengatasi perlambatan saat ini, termasuk langkah pemotongan pajak dan obligasi pemerintah daerah untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur dan upaya untuk memacu pinjaman bank.
Namun ekonomi telah lambat merespons seiring dengan goyahnya kepercayaan bisnis dan meningkatnya tekanan yang dihadapi pemerintah daerah saat pemotongan pajak menekan pendapatan serta membebani investasi.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan bahwa perang perdagangan AS-China akan memangkas pertumbuhan global 2019 ke laju paling lambat sejak krisis keuangan 2008-2009. Akan tetapi, output akan rebound jika tarif antara satu sama lain dihapuskan.
Berbeda dengan angka PDB yang mengecewakan, produksi industri China tumbuh 5,8 persen pada September, menurut data Biro Statistik Nasional (NBS) China. Raihan ini lebih tinggi dari perkiraan para analis dalam survei Reuters sebesar 5,0 persen.
Pertumbuhan tersebut sejalan dengan beberapa tanda tentatif dari peningkatan pesanan domestik di musim panas, meskipun permintaan secara keseluruhan tetap pada level yang secara historis lemah.
Penjualan ritel juga meningkat 7,8 persen year-on-year pada September setelah mencatat pertumbuhan 7,5 persen pada Agustus. Di sisi lain, investasi aset tetap melambat menjadi 5,4 persen sepanjang Januari-September 2019 dari 5,5 persen sepanjang delapan bulan pertama tahun ini.
Adapun investasi aset tetap sektor swasta, yang berkontribusi untuk 60 persen total investasi negara ini, tumbuh 4,7 persen pada Januari-September dibandingkan dengan 4,9 persen sepanjang Januari-Agustus.
🍉
Bisnis.com, JAKARTA - AS dan China menyepakati garis besar dari perjanjian perdagangan parsial pada pertemuan Jumat (11/10), Presiden Donald Trump mengatakan dia dan mitranya, Presiden Xi Jinping akan menandatangani perjanjian tersebut paling cepat bulan depan.
Dari kesepakatan tersebut, China akan secara signifikan meningkatkan pembelian komoditas pertanian AS, menyetujui kebijakan kekayaan intelektual dan konsesi terkait jasa keuangan dan mata uang.
Sebagai gantinya AS akan menunda kenaikan tarif yang dijadwalkan berlaku mulai 15 Oktober, namun tarif impor tambahan yang berlaku pada Desember, terhadap impor China senilai US$160 miliar, tidak termasuk dalam pembatalan ini.
"Penting bagi kedua negara untuk bekerjasama menyelesaikan masalah masing-masing. Saya harap kedua belah pihak akan bertindak dalam prinsip dan arahan yang telah kita sepakati dan bekerja untuk memajukan hubungan AS-China berdasarkan koordinasi, kerja sama dan stabilitas," tulis surat Trump, dikutip melalui Bloomberg, Sabtu (12/10).
Kantor berita pemerintah China Xinhua mengatakan para negosiator melakukan upaya menuju kesepakatan akhir, tetapi tidak menyebut hasil dari pertemuan itu sebagai sebuah kesepakatan.
Pemimpin Redaksi surat kabar yang dikelola pemerintah paling terkemuka di China, Global Times, Hu Xijin, mengunggah postingan di Twitter yang mengatakan bahwa laporan resmi dari China tidak menyebutkan rencana Trump menandatangani perjanjian bulan depan.
Pernyataan ini menunjukkan Beijing ingin menjaga harapan tetap rendah terhadap Washington.
Pemerintahan Trump juga mengatakan masalah yang berkaitan dengan Huawei Technologies Co. bukan bagian dari kesepakatan hari Jumat dan akan diproses terpisah.
Menurut Trump, isu mengenai perusahaan telekomunikasi China, yang mendapatkan sanksi blacklist ekspor pada bulan Mei, akan dibahas dalam negosiasi fase kedua.
Washington mengungkapkan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan, China akan meningkatkan pembelian komoditas pertanian AS selama dua tahun ke depan, dengan total tahunan mencapai US$40 miliar hingga US$50 miliar.
Beberapa pekan lalu China telah membahas untuk membeli lebih banyak produk AS seperti kedelai, babi dan gandum.
Namun, beberapa pedagang tetap skeptis tentang rencana pembelian tersebut akan menjadi sebuah terobosan dalam perbincangan dagang secara keseluruhan. Mereka memperingatkan bahwa perlu ada tindak lanjut pembelian secara konkret.
🍐
Bisnis.com, JAKARTA – Perbankan di Amerika Serikat mengalami kekeringan likuiditas. Bahkan dalam sepekan terakhir sempat diguyur dana oleh Bank Sentral Amerika Serikat sebesar US$278 miliar. Lalu bagaimana kondisi perbankan di Indonesia yang sempat mengalami pengetatan likuiditas?
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengklaim bahwa rasio likuiditas perbankan cenderung bergerak pada arah positif.
Hal itu terlihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa rasio likuiditas (loan to deposit ratio/LDR) perbankan menurun dari periode Juni 2019 di level 94,28 persen menjadi 93,81 persen pada Juli 2019.
Seiring dengan hal itu, DPK juga tumbuh dari 7,42 persen pada Juni 2019 menjadi 8,01 persen pada Juli 2019. Meskipun dari sisi lain kredit harus melemah menjadi 9,58 persen pada Juli 2019 dari 9,91% pada Juni 2019.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan bahwa cakupan penjaminan LPS sampai Agustus 2019 berada di level yang stabil.
Jumlah rekening yang dijamin LPS sebesar 99,91 persen dari total rekening atau setara 292 juta rekening. Sementara itu, secara nominal jumlah simpanan yang dijamin mencapai 53,13 persen dari total simpanan atau setara dengan Rp2.585,5 triliun.
Sementara itu, posisi kewajiban Bank Indonesia kepada pemerintah pusat atau saldo simpanan pemerintah di bank sentral hingga akhir Agustus 2019 terpantau naik menjadi Rp193,87 triliun dari Rp160,96 triliun pada Juli 2019.
"Meski cenderung naik, tetapi sesuai pola siklusnya pemerintah akan melakukan eskpansi likuiditas ke sistem keuangan melalui belanja fiskal hingga akhir tahun, sehingga hal ini dapat membantu likuiditas perbankan," kata Halim, Selasa (24/9/2019).
Halim menerangkan, sejauh ini LPS memantau perkembangan suku bunga dana yang mulai banyak melakukan penurunan. Alhasil, diharapkan beban dana turun lebih cepat.
Sebelumnya, melalui Rapat Dewan Komisioner (RDK) pada hari Senin, (23/9/2019) telah menetapkan penurunan tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing pada bank umum serta rupiah di bank perkreditan rakyat masing-masing sebesar 25 bps.
Alhasil, tingkat bunga simpanan menjadi 6,50 persen untuk rupiah di bank umum, 2,0 persen untuk valas di bank umum, dan 9,0 persen untuk rupiah di BPR. Tingkat bunga penjaminan tersebut akan berlaku pada 26 September 2019 sampai dengan 24 Januari 2020 mendatang.
🍎
Jakarta detik- Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) kembali menyuntikkan dana ke pasar keuangan untuk meredam bunga pinjaman semalam. The Fed menggelontorkan US$ 75 miliar atau Rp 1.057 triliun (kurs Rp 14.000)
Langkah ini dilakukan setelah suku bunga pinjaman semalam naik menyentuh level 5% pada Senin malam waktu setempat. Tingkat bunga tersebut naik 2,29% dibandingkan akhir pekan lalu. Kemudian pada Selasa kembali naik menjadi 10%.
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, The Fed pada hari Rabu waktu setempat kembali menggelontorkan dana sebesar US$ 75 miliar setelah menyuntikkan US$ 53 miliar Selasa kemarin.
Terhitung sudah dua hari berturut-turut, The Fed menjalankan operasi repo semalam. Operasi Repurchase Agreement (REPO) sendiri merupakan proses di mana bank sentral berupaya mengurangi tekanan di pasar dengan membeli obligasi dan surat berharga lainnya. Tindakan tersebut merupakan upaya The Fed untuk meredam tekanan.
Mengutip CNN, Kamis (19/9/2019), Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa operasi ini berjalan efektif dalam mengurangi tekanan pasar.
Namun, fakta bahwa The Fed menyuntikkan dana US$ 128 miliar dalam dua hari berturut-turut, menunjukkan bahwa muncul celah di Wall Street. Hal ini juga The Fed mulai kehilangan kendali atas suku bunga jangka pendek yang seharusnya dikendalikan olehnya.
Menanggapi hal tersebut, Powell mengakui adanya tekanan tinggi di pasar, tetapi dia menyatakan keyakinannya bahwa ini tidak akan berdampak pada ekonomi.
"Meskipun masalah ini penting untuk fungsi pasar dan pelaku pasar, mereka tidak memiliki implikasi bagi ekonomi atau sikap kebijakan moneter," Jelas Powell.
🍑
BEIJING (Reuters) - The slowdown in China’s economy deepened in August, with growth in industrial production at its weakest 17-1/2 years amid spreading pain from a trade war with the United States and softening domestic demand.
Retail sales and investment gauges worsened too, data released on Monday showed, reinforcing views that China is likely to cut some key interest rates this week for the first time in over three years to prevent a sharper slump in activity.
Despite a slew of growth-boosting measures since last year, the world’s second-largest economy has yet to stabilize, and analysts say Beijing needs to roll out more stimulus to ward off a sharper slowdown.
Industrial output growth unexpectedly weakened to 4.4% in August from the same period a year earlier, the slowest pace since February 2002 and receding from 4.8% in July. Analysts polled by Reuters had forecast a pick-up to 5.2%.
In particular, the value of delivered industrial exports fell 4.3% on-year, the first monthly decline since at least two years, Reuters records showed, reflecting the toll that the escalating Sino-U.S. trade war is taking on Chinese manufacturers.
The protracted trade war escalated dramatically last month, with President Donald Trump announcing new tariffs on Chinese goods from Sept. 1, and China letting its yuan currency sharply weaken days later.
After Beijing hit back with retaliatory tariffs, Trump said existing levies would also be raised in coming months, in October and December.
While the two sides are set to resume face-to-face negotiations in early October, most analysts do not expect a durable trade deal, or even a significant de-escalation, any time soon.
Premier Li Keqiang said in an interview published ahead of the data on Monday that it was “very difficult” for the economy to grow at 6% or more and that it faced “downward pressure”.
Traders expect a cut in the central bank’s medium-term loan facility rate (MLF) as early as Tuesday, which would open the way for a reduction in the new loan prime benchmark rate (LPR) later in the week.
Several analysts said in recent weeks that China’s economic growth was already testing the lower end of Beijing’s full-year target of around 6-6.5%, which is likely to spur more policy easing. Second-quarter growth cooled to 6.2%, the weakest in nearly 30 years.
“The key downside risk is the authorities not stepping up policy support sufficiently,” said Louis Kuijs, Head of Asia Economics at Oxford Economics.
Room for stimulus is believed to be limited by worries about rising debt risks, with policy easing by the People’s Bank of China (PBOC) expected to be more restrained than the U.S. Federal Reserve or European Central Bank.
Ting Lu, Chief China Economist at Nomura wrote in a note after the data release that a cut in the MLF rate by around 10 basis points on Tuesday had become more likely.
OTHER DATA ALSO MISSES EXPECTATIONS
Nomura’s Lu expected September’s industrial output to be further hampered by an anti-pollution campaign ahead of and during a key anniversary of the founding of the People’s Republic of China on Oct. 1.
The gloomy August activity data added to signs of broad-based economic weakness, following soft trade and credit reports last week.
Retail sales missed expectations, with growth easing to 7.5%, from 7.6% in July. Analysts had forecast a slight rebound to 7.9%.
Auto sales have slumped all year, prompting the statistics bureau to recently start reporting a new reading on consumption. Stripping out vehicles, retail sales rose 9.3% on-year.
Fixed-asset investment also disappointed. It rose 5.5% for the first eight months of the year from the same period in 2018, down from Jan-July’s 5.7%. Analysts had expected 5.6%.
Industrial investment appeared to be the main drag as investment growth in the mining and the manufacturing sectors eased off in the first eight months. But infrastructure investment - a key driver of growth - picked up to 4.2% in the first eight months this year, from 3.8% in January-July period.
The real estate sector also held up in August to remain one of the few bright spots, with property investment growing at its fastest pace in four months as sales accelerated to the highest in over a year.
Analysts have been puzzled by slow construction growth earlier in the year, with some citing deteriorating local government finances. China’s state planner last month announced it will ease capital requirements for infrastructure projects in the second half this year.
Data out last week showed producer prices falling at their fastest pace in three years.
That followed a factory survey that showed activity shrank for the fourth straight month as the trade war wore on.
Earlier this month, the PBOC cut the amount of cash banks are required to hold in reserve for the seventh time since early last year in order to increase funds available for lending.
“The PBOC’s RRR cuts alone are insufficient to secure growth above 6.0% this year,” said analysts at ANZ. “In order to guide financing costs lower, the People’s Bank of China will need to cut the open market operation (OMO) rate or medium term lending facility (MLF) rate in the fourth quarter, in our view.”
🍇
NEW YORK okezone- Saham-saham di Wall Street berakhir lebih tinggi pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), pulih dari kerugian awal, karena didorong penguatan saham energi dan keuangan menopang pasar. Namun investor tetap berhati-hati tentang potensi gejolak lain dalam perang dagang AS-China.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 258,20 poin atau 1,00% menjadi ditutup di 26.036,10. Indeks S&P 500 meningkat 18,78 poin atau 0,65% menjadi berakhir di 2.887,94 dan indeks Komposit Nasdaq ditutup meningkat 29,94 poin atau 0,38% menjadi 7.856,88.
Mayoritas dari 30 saham-saham unggulan atau blue-chips di Dow memperpanjang kenaikan, dengan saham UnitedHealth Group naik hampir 2%, memimpin kenaikan.
Sektor keuangan menguat 0,91%, memulihkan semua kerugian hari sebelumnya yang datang karena pendalaman inversi kurva imbal hasil surat utang AS, yang sering mendahului resesi.
Di sektor keuangan, saham Goldman Sachs dan JPMorgan Chase masing-masing naik 1,19% dan 1%, di berada antara para pemain kuat di kelompok tersebut.
Di sektor energi, saham Chevron dan Exxon Mobil masing-masing bertambah sekitar 0,86% dan 0,73%.
Sektor energi dan keuangan juga memimpin kenaikan di 11 sektor utama S&P 500 dengan masing-masing naik sekitar 1,40% dan 0,90%. Sepuluh dari 11 sektor utama diperdagangkan lebih tinggi pada penutupan pasar. Demikian dikutip Antaranews, Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Saham Tiffany naik lebih dari 3,02% setelah raksasa perhiasan mewah AS itu melaporkan laba kuartal kedua yang melampaui perkiraan pasar, meskipun pendapatan kuartalannya lebih rendah dari yang diperkirakan.
Semua imbal hasil surat utang jangka panjang pemerintah AS terus mundur sepanjang hari. Suku bunga jangka pendek 3-bulan juga turun setelah mencatat kenaikan pada pagi hari.
(dni)
🍐
Bisnis.com, JAKARTA - International Monetary Fund atau IMF mengatakan bahwa China harus menjaga mata uangnya tetap fleksibel jika eskalasi perang dagang dengan AS semakin mengancam ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut.
Berdasarkan laporan teranyar IMF, jika AS merealisasikan kenaikan tarif impor sebesar 25% untuk sisa produk China lainnya, maka dapat memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 0,8 poin persentase pada tahun berikutnya seiring dengan lemahnya permintaan dan ketatnya kondisi finansial.
Sebelumnya, IMF pun telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China pada 2019 menjadi 6,2%, karena risiko perang dagang dengan AS yang masih berlangsung sejak tahun lalu.
“Hal tersebut akan mengarah pada dampak negatif yang sangat signifikan secara global,” tulis IMF dalam laporannya seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (11/8/2019).
Oleh karena itu, IMF menilai pelonggaran kebijakan lebih lanjut oleh China, terutama melalui langkah-langkah fiskal, akan dibenarkan. Adapun, pada awal pekan lalu China telah mendepresiasi nilai tukarnya ke level terendah sejak krisis keuangan yaitu di level 7 yuan per dolar AS.
Pelemahan yuan oleh China sebagai balasan dari ancaman Presiden AS Donald Trump atas kenaikan tarif impor 10% untuk produk China senilai US$300 miliar yang direncanakan berlaku pada 1 September 2019.
Namun, aksi Pemerintah China tersebut pun semakin membuat geram Presiden AS Donald Trump, dan menyebut China sebagai manipulator nilai tukar.
Kendati demikian, Kepala Misi IMF untuk China James Daniel mengatakan bahwa depresiasi yuan sudah sejalan dengan fundamentalnya, sehingga tidak dinilai terlalu tinggi ataupun undervalued secara signifikan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (9/8/2019), yuan renmimbi berada di level 7,0623 yuan per dolar AS, melemah 0,24%. Sementara itu, yuan offshore melemah 0,31% menjadi 7,0984.
Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback terhadap sekeranjang mata uang mayor juga bergerak melemah 0,13% menjadi 97,491.
Di sisi lain, Mantan Gubernur Bank Sentral China Chen Yuan mengatakan bahwa pemerintah China harus bersiap untuk konflik jangka panjang dengan AS seiring dengan perang dagang yang diproyeksi akan berkembang menjadi perang mata uang.
Dia menilai balasan AS yang menilai China telah memanipulasi mata uangnya akan berdampak pada China lebih dalam dan luas jika dibandingkan dengan efek perang dagang saat ini.
“Sementara China harus mencoba untuk menghindari perluasan perselisihan dengan AS, pembuat kebijakan harus siap untuk konflik jangka panjang dengan AS terkait mata uang,” tutur dia.
🍈
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Situs The Market memuat wawancara soal perekonomian China dengan Michael Pettis, seorang profesor keuangan di Universitas Peking. Dia memperingatkan akan adanya utang besar yang membebani perekonomian Tiongkok. Menurutnya, stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.
Hanya sedikit pengamat western yang mengetahui China sebaik Michael Pettis. Dia telah tinggal di Beijing selama 17 tahun, untuk mengajar keuangan di Guanghua School of Management di Universitas Peking. Di sini, spesialisasinya adalah pasar finansial China.
Dalam wawancara mendalam dengan The Market, dia berbicara soal perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS), sekaligus semakin sulitnya mencapai kesepakatan setelah mengalami beberapa kali pertemuan. "Xi Jinping menganggap enteng Trump. Dia salah membaca Trump," kata Pettis.
Menurutnya, konflik perdagangan memukul China pada saat yang buruk. "Perekonomian China saat ini benar-benar rentan. Xi harus cepat melakukan reformasi ekonomi domestik. Semua orang di sini tahu ada masalah utang yang sangat serius di China, berdetik layaknya bom waktu," katanya.
Meskipun Pettis meyakini China mampu menghindari terjadinya krisis finansial, namun, tetap saja stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.
Lantas, apa yang menyebabkan semakin memanasnya konflik perdagangan antara AS dan China? Menurut Pettis, untuk memahami masalah ini, kita harus mendengarkan jawaban dari kedua belah pihak. "Masyarakat China bilang, AS membuli mereka. Di Washington, ada keyakinan bahwa sudah ada beberapa hal yang disepakati, dan Beijing mengingkari hal ini. Masalahnya adalah ini merupakan negosiasi antara Donald Trump dan Xi Jinping, kecuali mereka tidak melakukan negosiasi orang ke orang. Yang artinya, siapapun orang yang melakukan negosiasi tidak bisa berkomitmen terhadap apapun sampai hal itu disetujui," paparnya.
Di sisi lain, Pettis juga meragukan data pertumbuhan ekonomi resmi yang dirilis China. Menurutnya, di China, pertumbuhan PDB tidak menunjukkan hal apapun tentang perekonomian. "Jika Beijing ingin pertumbuhan 7%, maka mereka dapat 7%. Jika mereka ingin 5%, mereka dapat 5%. Itu bukan pertumbuhan yang sebenarnya di China. Jika Anda menuliskan semua investasi yang non produktif, angkanya bisa lebih rendah," jawabnya.
Bahkan dia memprediksi, pertumbuhan ekonomi China yang sebenarnya sudah berada di bawah 3%, bukan 6,4% seperti yang dilaporkan pada kuartal I 2019. Dia bilang, perekonomian China tidak berlangsung baik dan perang dagang membuatnya semakin buruk. Tapi sekali lagi, hal ini tidak berdampak pada angka PDB yang dipublikasikan, karena itu adalah angka politis.
Ironinya, lanjut Pettis, semakin buruk perang dagang yang terjadi, kemungkinan semakin tinggi angka PDB resmi China. Dalam rangka menunjukkan bahwa China tidak terkena dampak perang dagang, mereka akan menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi. "Namun Anda harus memahami bahwa pertumbuhan PDB yang dipublikasikan bukan performa yang sesungguhnya," imbuhnya.
Tak heran, jika dia menilai perekonomian China sangat rentan. Apalagi, saat ini, ada utang yang sangat besar yang dimiliki China yang digunakan untuk mendapat dukungan politis pertumbuhan PDB. Pemerintah pusat sudah mencoba bertahun-tahun untuk menurunkan utang, tapi belum berhasil. Politik di China sangat penting, karena pada akhir Kongres Partai ke 19 Oktober 2017, sepertinya Presiden Xi secara substansial melakukan konsolidasi kekuasaan.
"Hal ini yang mendorong dia harus segera mengimplementasikan reformasi ekonomi. Sepertinya dia sudah mulai melakukan hal itu: Anda bisa lihat pertumbuhan utang mulai melambat secara dramatis. Dan kemudian terjadi sesuatu sekitar bulan April 2018, Anda mulai mendengar desas-desus, dan pada Agustus menjadi jelas bahwa ada tantangan yang signifikan bagi Presiden. Rumornya adalah dia ditantang atas dasar kesalahannya dalam penanganan hubungan AS-China," ungkapnya.
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Situs The Market memuat wawancara soal perekonomian China dengan Michael Pettis, seorang profesor keuangan di Universitas Peking. Dia memperingatkan akan adanya hutang besar yang membebani perekonomian Tiongkok. Menurutnya, stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.
Hanya sedikit pengamat western yang mengetahui China sebaik Michael Pettis. Dia telah tinggal di Beijing selama 17 tahun, untuk mengajar keuangan di Guanghua School of Management di Universitas Peking. Di sini, spesialisasinya adalah pasar finansial China.
Dalam wawancara mendalam dengan The Market, dia berbicara soal perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS), sekaligus semakin sulitnya mencapai kesepakatan setelah mengalami beberapa kali pertemuan. "Xi Jinping menganggap enteng Trump. Dia salah membaca Trump," kata Pettis.
Menurutnya, konflik perdagangan memukul China pada saat yang buruk. "Perekonomian China saat ini benar-benar rentan. Xi harus cepat melakukan reformasi ekonomi domestik. Semua orang di sini tahu ada masalah utang yang sangat serius di China, berdetik layaknya bom waktu," katanya.
Presiden Xi, Pettis menambahkan, banyak mendapat tentangan, baik dari partai maupun oposisi di level elit. Tak jarang, Xi memenjarakan mereka selama kampanye antikorupsi. "Sehingga, perang dagang sangat penting dari padangan itu. Harapan terhadap Beijing adalah mereka bisa mendapatkan solusi yang diterima banyak pihak tanpa harus mengubah banyak hal. Sebab, semakin sektor ekspor dilemahkan, semakin tinggi utang yang diciptakan," jelasnya.
Dengan kata lain, jika China kehilangan momentum di sektor ekspor, mereka membutuhkan lebih banyak utang untuk mendanai investasi domestik untuk mendongkrak pertumbuhan. Menurut Pettis, hal ini bertentangan dengan kebutuhan Negeri Panda untuk menurunkan utang. "Jadi perang dagang sangat penting. Sangat berisiko bagi Beijing untuk meningkatkan konfrontasi. Karena jika Washington tidak mundur, maka China terpaksa menjadi pendukung dan itu adalah hal yang sangat memalukan, atau mereka akan menghadapi lingkungan perdagangan yang sangat sulit," analisanya.
Saat ditanyakan seberapa sehat sistem perbankan China, Pettis memberikan jawaban yang mengejutkan. "Sistem perbankan China bangkrut. Itu bangkrut, tetapi dijamin oleh negara. Ketika saya pertama kali datang ke Tiongkok 17 tahun yang lalu, ada banyak bank yang beroperasi di sini. Tetapi pada 2007, banyak bank yang setop beroperasi karena sistem kredibilitas perbankan meningkat pesat. Ada kepercayaan bahwa pemerintah akan menjamin simpanan. Sekarang jaminan itu eksplisit. Jadi selama orang mempercayai jaminan pemerintah, tidak akan ada bank yang beroperasi," urainya panjang lebar.
Selama ini banyak orang yang mengira China dapat menggunakan cadangan mata uangnya yang besar untuk mencegah perlambatan ekonomi. Namun, lagi-lagi, Pettis meragukannya. Menurutnya, cadangan yang besar hanya membantu China jika mereka memiliki banyak utang luar negeri.
Masalahnya adalah China memiliki utang dalam negeri yang sangat besar. Pettis menegaskan, cadangan mata uang besar bukanlah tanda kekuatan, melainkan tanda distorsi domestik yang signifikan.
"Alasan suatu negara membangun cadangan besar biasanya jika mereka memiliki permintaan domestik yang rendah. Coba lihat sejarah: Tiga negara dengan cadangan devisa terbesar dalam 100 tahun terakhir adalah AS pada tahun 1929, China saat ini, dan Jepang pada akhir tahun 1980-an. Dalam kasus AS, cadangan itu tidak mencegah terjadinya Depresi Hebat. Di Jepang, cadangan itu tidak menyelamatkan mereka dari stagnasi ekonomi selama dua dekade," paparnya.
Di sisi lain, China memiliki surat utang AS dengan nilai lebih dari US$ 1,2 triliun. Kendati demikian, China tidak dapat menggunakannya sebagai senjata dalam perang dagang. "Beberapa orang mengatakan China bisa menjual obligasi dan mencederai AS. Itu tidak masuk akal. Itu tidak akan menciptakan gangguan di pasar, karena The Fed dan investor lain dapat membelinya," jelasnya.
Dia juga menjelaskan, China tidak membeli obligasi ini sebagai bantuan, atau tidak membantu AS dengan memberikan pinjaman. Kepemilikan surat utang AS hanya disebabkan karena China mengalami surplus akun berjalan dan perlu menjaga mata uang agar tidak menguat terlalu banyak.
"Mari kita asumsikan mereka menjual semuanya. Apa yang akan mereka lakukan dengan uang itu? Jika mereka membawanya kembali ke China, yuan akan menguat. Beijing tidak menginginkan itu. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Baik orang Eropa maupun Jepang tidak ingin mereka membeli euro dan yen. Secara teori, mereka bisa meminjamkan ke negara-negara berkembang, tetapi orang China memiliki pengalaman yang sangat buruk dalam meminjamkan ke negara-negara berkembang," paparnya.
🍈
BEIJING marketwatch--China's exports rose unexpectedly in July from a year earlier, despite the intensifying trade disputes with the U.S. that have dented market demand and soured confidence.
China's exports rose 3.3% on year last month, reversing a 1.3% decline in June, data from the General Administration of Customs showed Thursday. A Wall Street Journal poll of 13 economists had forecast a drop of 2% on year.
Imports continued to slump, sliding 5.6% on year in July, albeit less steeply than the 7.3% decrease recorded in June, the customs data showed. The WSJ poll forecast expected a decline of 9.0% in imports.
China's trade surplus with all trading partners stood at $45.06 billion in July, narrowed from the $50.98 billion surplus recorded in June, but wider than the $38.7 billion that economist had expected.
In yuan terms, China's exports rose 10.3% on year in July while imports increased 0.4%, the customs bureau said.
--Grace Zhu
🍇
Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China masih menjadi negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia pada periode Januari-Juni 2019.
Berdasarkan data neraca perdagangan Indonesia (NPI) yang dirilis, Senin (15/7/2019), nilai ekspor ke China mencapai US$11,40 miliar dengan peran kontribusi terhadap total ekspor periode Januari-Juni 2019 sebesar 15,36%.
Negara tujuan ekspor terbesar berikutnya adalah Amerika Serikat dengan nilai US$8,33 miliar atau memiliki peranan 11,23%. Sementara itu, Jepang menduduki peringkat ketiga dengan nilai ekspor sebesar US$6,69 miliar atau memiliki kontribusi 9,02%.
Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah lignit, batu bara, dan minyak kelapa sawit.
Baca juga: Neraca Perdagangan Juni Surplus US$196 Juta
Khusus pada periode Juni 2019, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China, AS, dan Jepang masing-masing mencapai US$1,82 miliar, US$1,08 miliar, dan US$1,02 miliar dengan peranan ketiganya mencapai 35,5% dari total nilai ekspor selama Juni 2019.
Dari sisi nilai, kinerja ekspor nonmigas pada Juni 2019 dibandingkan dengan Mei 2019 mengalami penurunan ke sebagian besar negara tujuan utama yakni AS turun 34,20%, China turun 19,88%, India turun 31,77%, Jepang turun 14,63%, Thailan turun 26,3%, Taiwan turun 28,15%, Malaysia turun 13,02%, Italia turun 42,66%, Belanda turun 23,37%, Jerman turun 27,42%, dan Korea Selatan turun 5,25%.
Baca juga: Impor Barang Konsumsi Turun 33,57 Persen
Adapun nilai ekspor yang mengalami peningkatan adalah Singapura naik 11,61% dan Australia naik 2,23%. Sementara itu, ekspor ke uni eropa (28 negara) pada Juni 2019 turun 30,74% dibandingkan dengan Mei 2019.
🍐
BEIJING (Reuters) - China’s economic growth slowed to 6.2% in the second quarter, its weakest pace in at least 27 years, as demand at home and abroad faltered in the face of mounting U.S. trade pressure.
While more upbeat June factory output and retail sales offered signs of improvement, some analysts cautioned the gains may not be sustainable, and expect Beijing will continue to roll out more support measures in coming months.
China’s trading partners and financial markets are closely watching the health of the world’s second-largest economy as the Sino-U.S. trade war gets longer and costlier, fuelling worries of a global recession.
Monday’s growth data marked a loss of momentum for the economy from the first quarter’s 6.4%, adding to expectations that Beijing needs to do more to boost consumption and investment and restore business confidence.
The April-June pace, in line with analysts’ expectations, was the slowest since the first quarter of 1992, the earliest quarterly data on record.
“China’s growth could slow to 6% to 6.1% in the second half,” said Nie Wen, an economist at Hwabao Trust. That would test the lower end of Beijing’s 2019 target range of 6-6.5%.
Cutting banks’ reserve requirement ratios (RRR) “is still very likely as the authorities want to support the real economy in the long run,” he said, predicting the economy would continue to slow before stabilizing around mid-2020.
China has already slashed RRR six times since early 2018 to free up more funds for lending, and analysts polled by Reuters forecast two more cuts by the end of this year.
Beijing has leaned largely on fiscal stimulus to underpin growth this year, announcing massive tax cuts worth nearly 2 trillion yuan ($291 billion) and a quota of 2.15 trillion yuan for special bond issuance by local governments aimed at boosting infrastructure construction.
The economy has been slow to respond, however, and business sentiment remains cautious.
Trade pressures have intensified since Washington sharply raised tariffs on Chinese goods in May. While the two sides have since agreed to resume trade talks and hold off on further punitive action, they remain at odds over significant issues needed for an agreement.
Despite the trade dispute, net exports accounted for a striking 20.7% of the first-half GDP growth, as Chinese exporters had rushed to sell ahead of higher U.S. tariffs and imports had weakened more sharply amid sagging domestic demand.
For June, both exports and imports fell, and an official survey showed factories were shedding jobs at the fastest pace since the global crisis a decade ago..
“Due to the global slowdown and impact from the trade war, our exports will continue to fall and it’s possible they may post zero growth for the year,” said Zhu Baoliang, chief economist at the State Information Centre, a top government think-tank.
The contribution from net exports will decline as domestic demand gradually recovers, Zhu told the official Financial News ahead of the Q2 data, adding that he expects economic growth to slow to 5.8% next year.
MORE SUPPORT ON THE WAY
A string of downbeat data in recent months and the sudden escalation in the trade row had sparked questions over whether more forceful easing may be needed to get the economy back on steadier footing, including some form of interest rate cuts.
China has “tremendous” room to adjust policies if the trade war worsens, the central bank governor was quoted as saying in June.
Premier Li Keqiang said this month that China will make timely use of cuts in banks’ reserve ratios and other financing tools to support smaller firms, while repeating a vow not to use “flood-like” stimulus.
Analysts believe room for more aggressive monetary policy easing is being limited by fears of adding to high debt levels and structural risks.
Moreover, June industrial production, retail sales and fixed-asset investment data all beat analysts’ forecasts, suggesting that Beijing’s earlier growth-boosting efforts may be starting to have an effect.
Industrial output climbed 6.3% from a year earlier, data from the National Bureau of Statistics showed, picking up from May’s 17-year low and handily beating an expected 5.2%.
Retail sales jumped 9.8% - the fastest since March 2018 - and confounding expectations for a slight pullback to 8.3%. Gains were led by a 17.2% surge in car sales.
Mao Shengyong, a spokesman at the National Bureau of Statistics, told a briefing that he expected the benefits of policy measures will be more obvious in the second half.
Some analysts, however, questioned the apparent recovery in both output and sales.
Capital Economics said its in-house model suggested slower industrial growth last month, while the jump in car sales may have been partly due to a one-off factor.
Car dealers in China are offering big discounts to customers to reduce high inventories that have built up due to changing emission standards. Motor vehicle production actually fell 15.2%, the 11th monthly decline in a row, suggesting automakers don’t expect a sustained bounce in demand any time soon.
INVESTMENT ALSO SLOWLY PICKING UP
Fixed-asset investment for the first half of the year rose 5.8% from a year earlier, compared with a 5.5% forecast and 5.6% in the first five months. Infrastructure expanded 4.1%, with railways continuing to grow in the double digits.
Real estate investment, a major growth driver, also quickened in June, rising 10.1% on-year, Reuters calculated. But new home sales shrank for a second month.
“The monthly data were better than expected... (But) we are skeptical of this apparent recovery given broader evidence of weakness in factory activity,” said Julian Evans-Pritchard, senior China economist at Capital Economics.
“Looking ahead, we doubt that the data for June will mark the start of a turnaround.”
🍒
NEW YORK (Reuters) - The S&P 500 ended lower on Wednesday as gains in technology stocks were offset by a drop in healthcare shares, and investors parsed mixed messages over prospects for a deal to end a trade war between the United States and China.
Technology shares led the Nasdaq higher while the Dow Jones Industrial average posted a nominal loss.
U.S. stocks struggled for direction throughout the session as market participants pondered whether a planned meeting between U.S. President Donald Trump and Chinese President Xi Jinping at the Group of 20 summit in Japan would yield any progress in the two country’s protracted tariff dispute.
The market initially perked up after U.S. Treasury Secretary Steven Mnuchin was quoted by CNBC interview as saying the trade deal between the United States and China is “about 90%” complete. His comments were later restated to show he was using the past tense to describe progress in the talks.
Trump later said that while it was “absolutely possible” to avoid imposing additional tariffs on imported Chinese goods, he was “very happy where we are now.”
“(Trade) optimism has been unwound as the day has gone on,” said Robert Pavlik, chief investment strategist at SlateStone Wealth LLC in New York.
“Last week the market had a clear path of what to focus on: A rate cut in July and Trump and Xi meeting at the G20 to discuss reopening trade negotiations,” Pavlik added. “What has happened since is this government has muddied the waters and confused the market.”
The Dow Jones Industrial Average fell 11.4 points, or 0.04%, to 26,536.82, the S&P 500 lost 3.6 points, or 0.12%, to 2,913.78 and the Nasdaq Composite added 25.25 points, or 0.32%, to 7,909.97.
A rise in crude prices boosted energy stocks. Energy and tech companies were the biggest percentage gainers among the 11 major sectors of the S&P 500, while defensive utilities, real estate and consumer staples saw the largest losses.
Chipmakers led the tech rally. The Philadelphia SE Semiconductor index rose 3.2% after Micron Technology Inc posted upbeat results and forecast a recovery in chip demand. Micron’s shares jumped 13.3%.
Apple Inc shares advanced 2.2% after the iPhone maker confirmed that it bought self-driving startup Drive.ai and after Trump suggested in an interview that the European Union was out of line with its lawsuits against U.S. tech firms, saying that the United States was the one that should be taking action.
EU antitrust regulators on Wednesday hit Broadcom with demands that the chipmaker drop its exclusivity clauses with TV and modem makers as part of its ongoing investigation. Nevertheless, Broadcom’s shares gained 1.8%
General Mills Inc was the biggest percentage loser on the S&P 500, dropping 4.5% after the packaged food company missed quarterly sales estimates, hit by lower snacks demand in North America.
In economic news, new orders for non-defense capital goods rose more than economists expected in May, suggesting some stabilization in business spending, which had shown signs of weakness amid trade jitters and bloated inventories. But overall orders for durable goods dropped, driven by a 28.2% plunge in non-defense aircraft orders, partly due to Boeing’s move to cut production of its troubled 737 MAX aircraft.
Advancing issues outnumbered declining ones on the NYSE by a 1.08-to-1 ratio; on Nasdaq, a 1.03-to-1 ratio favored decliners.
The S&P 500 posted 7 new 52-week highs and 4 new lows; the Nasdaq Composite recorded 21 new highs and 94 new lows.
Volume on U.S. exchanges was 6.69 billion shares, compared to the 6.99 billion average for the full session over the last 20 trading days.
🍑
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank sentral Amerika Serikat mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 2,25 persen dan 2,5 persen. Namun mereka menaikkan prospek untuk dua penurunan suku bunga potensial tahun ini. Pembuat kebijakan terus mempertimbangkan waktu yang tepat untuk bertindak di tengah kekhawatiran atas kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump. Gubernur The Fed Jerome Powell menghadapi tekanan besar untuk menjaga ekonomi AS agar tetap stabil. Kekhawatiran semakin meningkat bahwa strategi tarif Trump mungkin berakhir dengan merugikan pertumbuhan global. Keputusan itu juga datang ketika Trump terus mengkritik Powell, yang mungkin masih bersedia mencoba untuk menurunkan peringkat bank sentral negara itu.
"Saya pikir hukumnya jelas, saya mempunyai masa jabatan empat tahun, dan saya sepenuhnya bermaksud melayaninya," kata Powell pada konferensi pers dikutip CNN, Rabu (19/6). Powell telah berulang kali membela independensi The Fed ketika sedang diserang oleh Trump, dan berpendapat bank sentral terisolasi dari tekanan politik sehari-hari. Dia menolak untuk mendorong kembali pada kritik Presiden atas kebijakan suku bunga Fed. "Saya tidak membahas pejabat terpilih secara publik atau pribadi, sungguh," kata Powell. Selain itu, The Fed menghargai independensi, dengan mengatakan telah "melayani negara dengan baik." The Fed memilih untuk membiarkan suku bunga acuannya di kisaran 2,25 persen dan 2,5 persen dengan satu keberatan Presiden Fed Saint Louis James Bullard, yang menandai perbedaan pendapat pertama dalam kepemimpinan Powell. Bullard sebelumnya menyarankan penurunan suku bunga "mungkin akan segera dijamin." Pejabat Fed terpecah antara apakah akan terus mempertahankan tingkat suku bunga tanpa batas untuk sisa tahun ini atau untuk membuat setidaknya satu, jika tidak dua, potensi penurunan suku bunga di babak kedua di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan yang telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan pada ekonomi AS. Delapan dari 17 pejabat mendukung mempertahankan tingkat yang sama.
Selama konferensi pers, Powell mencatat pasar pekerjaan sehat, meskipun The Fed mengkhawatirkan beberapa laporan melemah baru-baru ini. The Fed memperkirakan pengangguran akan tetap rendah tahun ini dan selanjutnya. Pengeluaran konsumen, sekitar 70 persen dari ekonomi AS, tetap kuat. Namun Powell mencatat "risiko hasil yang kurang menguntungkan telah meningkat" dan ketidakpastian "jelas" meningkat sejak pertemuan terakhir The Fed pada Mei.
🍐
NEW YORK - Saham-saham di Wall Street sedikit menguat pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena investor mengamati lebih banyak petunjuk untuk penurunan suku bunga menjelang pertemuan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed) minggu ini.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 22,92 poin atau 0,09% menjadi ditutup di 26.112,53 poin. Indeks S&P 500 naik 2,69 poin atau 0,09% menjadi berakhir di 2.889,67 poin. Indeks Komposit Nasdaq berakhir 48,37 poin atau 0,62% lebih tinggi menjadi 7.845,02. Demikian seperti dilansir Antaranews, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Enam dari 11 sektor utama S&P 500 diperdagangkan lebih tinggi di sekitar bel penutupan, dengan sektor layanan komunikasi terangkat lebih dari satu persen, memimpin kenaikan.
Saham Pfizer naik hampir 0,3%, setelah raksasa farmasi yang berbasis di New York itu mengumumkan pada Senin (17/6/2019) bahwa pihaknya akan membeli perusahaan farmasi Array Biopharma yang berbasis di Colorado dalam kesepakatan senilai USD10,64 miliar.
Akuisisi ini akan memungkinkan pembuat obat terbesar di AS untuk mencapai obat-obat Array yang disetujui untuk kanker kulit dan obat-obatan kanker yang ditargetkan.
Saham Sotheby naik tajam 58,6%, setelah rumah lelang yang berbasis di New York itu mengumumkan pada Senin (17/6/2019) bahwa Sotheby akan diakuisisi oleh BidFair USA, dalam kesepakatan senilai USD3,7 miliar.
BidFair USA dimiliki oleh media Prancis dan pengusaha telekomunikasi serta kolektor seni Patrick Drahi. BidFair USA akan membayar USD57 per saham tunai, premi 61% dari harga penutupan saham perusahaan Jumat lalu (14/6/2019).
Bank sentral AS akan mengadakan pertemuan kebijakan moneter pada 18-19 Juni. Wall Street telah mencari petunjuk tentang kemungkinan langkah-langkah The Fed mendatang.
Baca Juga: Wall Street Melemah Jelang Pertemuan The Fed
Ekspektasi pasar menunjukkan pada pemotongan suku bunga tahun ini untuk menopang ekonomi AS, di tengah kekhawatiran bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan telah membebani laju pertumbuhan.
Di sisi ekonomi, perusahaan manufaktur di Negara Bagian New York melaporkan penurunan tajam dalam aktivitas bisnis, menurut Survei Manufaktur Negara Bagian New York pada Juni 2019 yang dirilis pada Senin (17/6/2019).
Indeks kondisi bisnis umum anjlok 26 poin, penurunan bulanan terbesar dalam catatan, menjadi minus 8,6, menandai angka negatif pertama dalam lebih dari dua tahun.
Indeks pesanan baru jatuh 22 poin menjadi minus 12, menunjukkan penurunan pesanan. Sementara indeks pengiriman turun tujuh poin menjadi 9,7, menunjuk penurunan moderat dalam pengiriman.
(dni)
🍓
Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah titik terang kemungkinan akan muncul pada Rabu (19/6/2019) mendatang menyusul pertemuan bulanan FOMC The Fed.
Semua mata akan teruju pada The Fed di tengah tuntutan kebijakan yang lebih longgar mengingat semakin meningkatnya ketegangan perang dagang, pelemahan data ekonomi, hingga kritik Presiden AS Donald Trump yang membandingkan kerja bank sentral dengan PBOC.
Para investor yakin bahwa The Fed akan menunjukkan keinginan untuk memangkas suku bunga acuan AS dalam beberapa bulan mendatang. Deutsche Bank AG memprediksi pelonggaran moneter akan di mulai pada bulan Juli, sementara JPMorgan mengatakan September.
Goldman Sachs Group Inc., bersama dengan Bloomberg Economics dan Citigroup Inc. memperhitungkan bahwa The Fed akan tetap stabil sepanjang 2019.
Setidaknya, The Fed telah menciptakan ruang untuk stimulus dengan menaikkan suku bunga dalam beberapa tahun terakhir.
Di zona euro, Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi dan koleganya akan berkumpul pada Senin (17/6/2019), di Sintra, sebuah kota di Portugal.
Di sisi lain, keputusan Bank Sentral Inggris pada pertemuan Kamis mendatang diperkirakan tidak akan menunjukkan kebijakan kenaikan suku bunga, namun kemungkinan akan memberikan suara yang terpecah antara pembuat kebijakan.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda dan para pembuat kebijakan BOJ akan mengadakan pertemuan pada Kamis (20/6).
"Kami dapat memberikan lebih banyak stimulus moneter jika perlu, tetapi perlu berhati-hati dengan efek sampingnya pada sistem keuangan," ujar Kuroda dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Bloomberg TV pada 10 Juni yang dikutip dari Bloomberg, Senin (17/6/2019).
Namun, stimulus tersebut besar kemungkinan tidak akan dirilis pada pertemuan pekan ini meskipun data inflasi yang akan dipublikasikan pada Jumat (21/6/2019), kemungkinan akan menunjukkan pelambatan lebih lanjut jika pengukur harga tetap kurang dari setengah target BOJ.
Pertemuan dewan bank sentral lainnya pada pekan ini termasuk di antaranya bank sentral Inggirs, Brazil, Indonesia dan Filipina. Menariknya, bank sentral Norwegia kemungkinan akan melawan tren dengan menaikkan suku bunganya.
🍅
JAKARTA okezone - Nilai mata uang China, yuan menyentuh level terendahnya atas dolar Amerika Serikat (AS) sejak November 2018.
Hal ini diproyeksi bakal membuat trade war alias perang dagang antara China dan AS bakal lebih complicated. Demikian dilansir dari CNN, Senin (20/5/2019).
Pada Jumat akhir pekan lalu, nilai yuan mencapai 6,92 yuan per USD. Mata uang China ini terkoreksi sebanyak 2,7% sepanjang bulan ini.
Nilai yuan telah menembus level psikologisnya, yakni 7 yuan per USD, di mana pernah diraihnya pada saat krisis finansial 2008.
Apa yang terjadi selanjutnya menjadi sangat penting. China memiliki kepentingannya sendiri dalam menstabilkan mata uangnya.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump memiliki argumen sejak lama, jika China sengaja melemahkan nilai mata uangnya untuk membuat negaranya lebih kompetitif.
Depresiasi nilai yuan ini akan membantu China menangkis dampak dari pemberlakukan tarif dari AS, dan membuat ekspornya tetap bisa diterima di AS.
Walau begitu, penurunan yang terlalu signifikan dari yuan akan membuat modal asing keluar dari China dan mengganggu kestabilan perekonomiannya.
(dni)
🍒
Bisnis.com, JAKARTA – Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China selama satu bulan terakhir telah meningkatkan risiko resesi ekonomi di Negeri Paman Sam.
Menurut mayoritas ekonom dalam survei Reuters, peluang terjadinya resesi di AS dalam dua tahun ke depan kini mencapai 40 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan median sebesar 35 persen dalam survei Reuters bulan lalu.
Perang dagang antara China dan AS kembali memanas setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor menjadi 25 persen dari 10 persen terhadap barang-barang senilai US$200 miliar asal China mulai 10 Mei 2019.
Tak berselang lama, China melancarkan serangan balasan dengan mengumumkan akan mulai menaikkan tarif pada sejumlah barang AS pada 1 Juni.
Oleh Trump, perang dagang yang sedang berlangsung dengan China hanya dianggap sebagai "pertengkaran kecil”. Tapi jelas terlihat tanda-tanda dampak dari konflik ini baik terhadap ekonomi kedua negara maupun dunia. Pasar finansial global pun bertambah resahnya.
"Sulit memikirkan skenario dimana eskalasi lebih lanjut dari ketegangan perdagangan yang kita alami saat ini tidak akan membuat risiko resesi lebih tinggi,” ujar Michael Hanson, kepala strategi makro global di TD Securities.
“Kita sudah berada dalam situasi dimana tingkat tarif yang dikenakan atau terancam akan dikenakan selama beberapa pekan ke depan benar-benar sangat tinggi. Pada dasarnya, langkah untuk menetapkan tarif 25 persen untuk semua yang diimpor dari China adalah hambatan yang sangat nyata dalam perekonomian,” lanjutnya.
Meski hanya sedikit responden yang mengatakan resesi AS kemungkinan akan terjadi pada tahun mendatang, lebih dari seperempat ekonom dalam survei terbaru Reuters melihat peluang lebih besar dari 50 persen bahwa resesi akan terjadi dalam dua tahun.
Pendapat paling pesimistis untuk kemungkinan resesi terjadi dalam satu tahun mendatang juga telah merangkak naik, dari 60 persen menjadi 70 persen.
Hampir 75 persen dari para ekonom berpendapat bahwa dampak perkembangan perang dagang AS-China bulan ini terhadap risiko resesi AS telah meningkat.
Ekonomi AS sendiri diperkirakan telah kehilangan momentum yang cukup besar, melambat menjadi 2,0 persen pada kuartal saat ini dari 3,2 persen dalam kuartal pertama tahun ini, menurut perkiraan median dari survei bulanan terbaru terhadap 120 ekonom.
Angka prediksi untuk kuartal kedua itu turun tajam dari 2,5 persen yang tampak dalam survei bulan lalu. Pada kuartal keempat tahun 2020, pertumbuhan ekonomi bahkan diperkirakan akan melambat menjadi 1,8 persen atau di bawah tren.
🍌
Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup menguat pada perdagangan hari ketiga berturut-turut, Kamis (16/5/2019) karena optimisme data ekonomi yang kuat membuat investor dalam mood beli.
Ketiga indeks saham utama AS mengurangi penguatan di akhir sesi, berakhir kurang dari 1 persen dan membawa indeks S&P 500 mendekati 2 persen di bawah level tertinggi sepanjang masa yang dicapai pada 30 April.
Dow Jones Industrial Average naik 214,66 poin atau 0,84 persen ke level 25.862,68, indeks S&P 500 menguat 25,36 poin atau 0,89 persen ke posisi 2.876,32 dan Nasdaq Composite menguat 75,90 poin atau 0,97 persen ke 7.898,05.
Semua 11 sektor utama dalam S&P 500 diperdagangkan di wilayah positif, dengan sektor bahan baku bahan, keuangan dan konsumen mencatat persentase kenaikan terbesar.
Sementara perang tarif AS-China yang meningkat terus menjadi perhatian bagi para pelaku pasar, kinerja kuartalan emiten dan data yang menunjukkan kuatnya ekonomi membantu meredakan kekhawatiran terkait perdagangan.
Saham Walmart naik 1,4 persen kinerja kuartal pertama perusahaan mengalahkan ekspektasi analis.
Saham Cisco Systems mengalami lonjakan persentase terbesar sejak Februari 2016, dan ditutup menguat naik 6,7 persen setelah merilis laporan keuangan yang lebih baik dari perkiraan.
Di sisi ekonomi, Departemen Perdagangan mencatat jumlah perumahan baru AS meningkat lebih dari yang diperkirakan pada bulan April, karena penurunan suku bunga memberikan dukungan kepada sektor perumahan.
"Jika Anda melihat ekonomi secara keseluruhan, kami berada dalam posisi yang secara fundamental kuat dan ini merupakan penguatannya," kata Matthew Keator, managing partner di Keator Group, seperti dikutip Reuters.
Mengenai negosiasi perdagangan AS-China, Keator yakin yang terburuk mungkin sudah berakhir.
AS menempatkan Huawei Technologies Co pada daftar perusahaan yang dilarang memperoleh komponen dan teknologi dari perusahaan AS tanpa persetujuan sebelumnya.
Saham pemasok Huawei Qorvo Inc, Skyworks Solutions Inc, Qualcomm Inc, Xilinx Inc, dan Micron Technology Inc seluruhnya melemah, sedangkan indeks Philadelphia SE Semiconductor berakhir dengan pelemahan 1,7 persen.
Produsen mobil listrik Tesla Inc turun 1,6 persen setelah agen keselamatan melaporkan bahwa fitur Autopilot terlibat selama kecelakaan fatal di Florida pada bulan Maret lalu.
🍐
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang memanas lagi sejak akhir pekan lalu memicu aksi jual dan penarikan dana dari emerging market. Bahkan, menurut Institute of International Finance (IIF) arus dana keluar beberapa pekan ini merupakan arus paling deras sejak Oktober.
IIF mengungkapkan bahwa penarikan dana dari emerging market dipimpin oleh cabutnya investasi dari pasar saham China. Senin lalu, arus keluar dari pasar saham China mencapai US$ 1,5 miliar. Menurut IIF, penjualan ini menyusul penarikan US$ 2,5 miliar pada pekan lalu.
BACA JUGA
Outflow di Taiwan mencapai US$ 400 juta pada hari Rabu. "Outflow negara emerging Asia lainnya seperti Korea Selatan, India, dan Indonesia juga mencerminkan tren China akibat kenaikan tensi perdagangan AS-China," ungkap Jonathan Fortun dan Greg Basile, ekonom IIF seperti dikutip Reuters.
Tapi, aliran dana masuk di pasar obligasi masih stabil. Bahkan, Thailand mencatat aliran dana masuk tertinggi secara harian pada pekan ini. Aliran dana masuk ke pasar obligasi Thailand mencapai lebih dari US$ 240 juta, tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
🍊
washington times: Stocks plunged in trading Monday after China announced retaliatory tariffs on U.S. goods and as prospects for a deal to avert a trade war seemed more remote.
China said it will impose higher tariffs on $60 billion worth of American-made products on June 1 as payback for President Trump’s decision last week to jack up U.S. tariffs on Chinese goods to punish Beijing after trade talks fell apart heading into the weekend.
Mr. Trump said Monday that he expected some measure of retaliation but insisted that the U.S. is ready to withstand China’s move.
“I love the position we’re in,” Mr. Trump told reporters at the White House just before meeting with Hungarian Prime Minister Viktor Orban.
The stock market, however, did not like the position. The Dow Jones Industrial Average lost more than 2% of its value, dropping by over 617 points to close at 25,324.99, with poor performance from stocks for companies such as Boeing and Apple, which rely on Chinese trade. The Standard & Poors 500 and Nasdaq Composite indexes sustained similar losses, dropping by, respectively, 2.4% and 3.4%.
Mr. Trump, unbowed, said the U.S. could up the ante by imposing import taxes on another $325 billion worth of Chinese goods. The Washington Post reported Monday evening that the Office of the U.S. Trade Representative had begun to prepare those levies.
🍑
NEW YORK okezone - Saham-saham pada bursa Wall Street lebih tinggi pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), menghentikan penurunan beruntun empat hari, setelah Presiden Donald Trump dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengatakan pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China konstruktif.
BERITA TERKAIT+
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 114,01 poin atau 0,44% menjadi ditutup di 25.942,37 poin. Indeks S&P 500 bertambah 10,68 poin atau 0,37% menjadi berakhir di 2.881,40 poin. Sementara Indeks Komposit Nasdaq ditutup naik 6,35 poin atau 0,08% menjadi 7.916,94 poin. Demikian seperti dilansir Antaranews, Jakarta, Sabtu (11/5/2019).
Indeks acuan S&P 500 telah turun sebanyak 1,6% tetapi rebound dari terendah sesi setelah Mnuchin berbicara positif tentang negosiasi dua hari antara Amerika Serikat (AS) dan China. Indeks menambah kenaikan setelah Trump menggemakan sentimen itu dalam serangkaian cuitan.
Namun indeks mundur kembali dari tertinggi sesi, setelah Mnuchin mengatakan tidak ada pembicaraan perdagangan lebih lanjut yang direncanakan, menurut CNBC.
Tetapi, meskipun pada Jumat (10/5/2019) rebound, S&P 500 dan Nasdaq mencatat persentase kerugian mingguan terbesar mereka untuk tahun ini. Untuk minggu ini, Dow turun 2,12%, S&P 500 turun 2,17% dan Nasdaq turun 3,03%.
Sepuluh dari 11 sektor utama S&P 500 diperdagangkan lebih tinggi di sekitar penutupan pasar, dengan sektor utilitas naik lebih dari 1,7%, memimpin keuntungan.
Saham Uber Technologies Inc turun 7,6% setelah dibuka di bawah harga penawaran umum perdananya, di tengah banyaknya perhatian pasar pada hari perdagangan pertama penyedia layanan berbagi perjalanan AS, yang go public di New York Stock Exchange pada Jumat (10/5/2019).
Uber memberi harga penawaran umum perdana pada USD45 per saham, harga terendah dari kisaran yang ditargetkan. Jika sepenuhnya terdilusi, Uber akan memiliki valuasi pasar USD82,4 miliar.
Saham Marriott International turun hampir 2,8% setelah raksasa hotel itu membukukan pendapatan kuartal pertama yang jauh dari perkiraan pasar.
Saham Ford naik hampir 1,8%, setelah Bank of America Merrill Lynch meningkatkan peringkat saham perusahaan menjadi beli dari netral.
Bank mengatakan dalam sebuah catatan bahwa raksasa produsen mobil itu telah memulai "infleksi laba yang lebih berkelanjutan" didorong oleh produk yang menguntungkan dan upaya restrukturisasi.
🍑
Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menaikkan tarif impor terhadap produk asal China yang senilai US$200 miliar pada Jumat (10/5/2019) menyeret turun IHSG yang sempat dibuka di zona hijau.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 14.04 WIB, indeks terpantau melemah 0,26% ke level 6.182.
Hampir seluruh sektor melemah dipimpin oleh sektor industri dasar dan kimia yang turun 1,27% serta sektor pertanian dan sektor tambang yang sama-sama memerah 0,68%.
Adapun, hanya sektor infrastruktur yang masih mampu menghijau dengan penguatan 0,44%.
Baca juga: HMSP dan INTP Penekan Utama IHSG Sesi I
Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, kenaikan tarif dari AS terhadap China di tengah-tengah perundingan telah membawa efek negatif yang signifikan terhadap kinerja indeks yang telah melemah beberapa hari terakhir.
“Hal ini merupakan efek dari kebijakan Trump,” kata Nafan kepada Bisnis.com, mengacu kepada pelemahan IHSG siang ini, Jumat (10/5/2019).
Adapun, penopang sektor infrastruktur yang dapat menguat sendiri, lanjut Nafan, ditopang oleh kebijakan strategis yang akan dilakukan para emiten, seperti persiapan belanja modal dalam rangka ekspansi bisnis pada pengembangan infrastruktur tanah air dalam rangka mendukung konektivitas.
🍄
china daily: Producer price expansion could reflect improving industrial profits, experts say
China's factory-gate inflation picked up moderately in April for a second consecutive month and may point to stable economic expansion and improving industrial profits, experts said.
The producer price index rose to a four-month high of 0.9 percent year-on-year last month, up from 0.4 percent in March, with the extractive industry leading the rise, the National Bureau of Statistics said on Thursday.
On a monthly basis, producer prices rose 0.3 percent in April, faster that the 0.1 percent increase in March, the NBS said.
Liu Chunsheng, an associate professor at the Central University of Finance and Economics in Beijing, said the PPI rise may be attributable to this year's economic recovery and supportive macro policies.
"On the other hand, the stumbling global economic recovery has weighed on prices of some bulk commodities, constraining the PPI from a higher rise," Liu said.
Niu Li, deputy head of the Department of Economic Forecasting at the State Information Center, said the moderate rise in the PPI means producers charged more in April and probably reaped higher revenues and profits.
Looking ahead, as the effect of value-added tax cuts-which affected enterprises starting from April 1-filters through, the PPI may continuously recover in the remaining quarters of this year, said Hua Changchun, chief economist at Shanghai-based Guotai Junan Securities.
"As the PPI highly correlates with industrial profits, further improvements in industrial profits can also be expected," Hua said in a research note.
In March, industrial profits rose 13.9 percent year-on-year to 589.5 billion yuan ($86.4 billion), reversing a decline of 14 percent in the January-February period, the NBS said.
Despite potential improvements, experts said this year's PPI may still remain at a relatively low level, 1 percent or below.
"The PPI is closely related to enterprises' investment confidence, whose recovery often lags behind the ease in downside pressure," said Dong Dengxin, a professor at Wuhan University of Science and Technology.
The consumer price index, a gauge of inflation, rose 2.5 percent year-on-year in April, up from 2.3 percent in March, setting a half-year high as tighter supplies of pork, vegetables and fruit drove up food prices, the NBS said.
Pork prices rose 14.4 percent in April from a year earlier due in part to the African swine fever outbreak, driving the CPI up by 0.31 percentage point, the bureau said.
On a month-on-month basis, consumer prices edged up 0.1 percent, compared with the 0.4-percent drop seen a month earlier.
The CPI is on a mild inflationary trajectory, an indication of economic stability, Niu said, adding that China is likely to retain a generally stable inflation level this year, despite the expected continuation of pork price rises.
Experts projected that pork prices may rise by more than 70 percent year-on-year in the second half of the year, the Ministry of Agriculture and Rural Affairs said in April.
As domestic and external uncertainties may still weigh on domestic demand, and prudent monetary policy will work to prevent liquidity overflow, the rise in pork prices itself is unlikely to pose major inflationary pressure, Niu said.
Nevertheless, Liu from the Central University of Finance and Economics, cautioned about the need to monitor and control inflationary risks brought on by rising pork prices as these may directly affect people's lives and elevate prices of other commodities.
"The Chinese economy is gradually stabilizing, during which policymakers should properly react to various uncertainties, including the ongoing trade tensions," Liu said.
🍒
JAKARTA okezone- Kurs dolar AS cenderung datar terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan 9 Mei 2019, karena pedagang valuta asing menahan diri dari membuat langkah besar, mereka menunggu berita definitif dari pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang dilanjutkan pada Kamis waktu setempat.
Trump men-tweet bahwa ia akan dengan senang hati mempertahankan tarif impor China, mendorong Beijing untuk mengancam pembalasan. China akhir pekan lalu telah mundur pada hampir semua aspek rancangan perjanjian perdagangan, mengancam akan menggagalkan perundingan.
BERITA TERKAIT+
Namun Wakil Perdana Menteri perunding Cina Liu He akan menuju ke Washington untuk mengadakan pembicaraan pada Kamis waktu setempat, dan beberapa investor menafsirkan ancaman tarif Trump hanya sebagai taktik negosiasi.
Dolar AS melemah moderat terhadap mata uang utama lainnya di tengah pembelian safe-haven yen Jepang oleh para pedagang. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, turun 0,01% menjadi 97,6219 pada akhir perdagangan.
Para pelaku pasar terus menunjukkan minat terhadap mata uang Jepang sebagai cara menghindari risiko (risk-off) klasik dalam menanggapi ketidakpastian ekonomi global.
Selama episode penghindaran risiko, yen adalah aset safe haven yang lebih disukai dan rata-rata menghargai terhadap dolar AS, menurut beberapa ahli. Baca juga: Harga emas turun, hentikan kenaikan beruntun karena ekuitas AS pulih
Pada akhir perdagangan New York, euro naik menjadi USD1,1192 dari USD1,1183 pada sesi sebelumnya, dan pound Inggris turun menjadi USD1,3005 dari USD1,3063 pada sesi sebelumnya. Dolar Australia turun menjadi USD0,6989 dari USD0,7004.
Dolar AS dibeli 110,14 yen Jepang, lebih rendah dari 110,26 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS naik menjadi 1,0200 franc Swiss dari 1,0195 franc Swiss, dan turun menjadi 1,3474 dolar Kanada dari 1,3480 dolar Kanada. Demikian dilansir dari Antaranews, Kamis (9/5/2019).
(kmj)
🍓
china daily: BEIJING - China's foreign exchange reserves snapped a five-month rising streak to fall in April, official data showed Tuesday.
Forex reserves fell to $3.094 trillion at the end of April, compared with $3.098 trillion at the end of March, according to the State Administration of Foreign Exchange (SAFE).
SAFE spokesperson Wang Chunying attributed the fall to exchange rate fluctuations and changes in asset prices.
The US dollar appreciated against other major currencies in April, with the dollar index up 0.2 percent.
A decrease in bond prices also led to the fall in the country's forex reserves, said Zhao Qingming, chief economist of the derivatives institute of the China Financial Futures Exchange.
"Looking ahead, despite uncertainties in the world economy and global financial markets, China will continue to maintain the momentum of economic growth in the long term and deepen reforms and opening-up," Wang said.
Cross-border capital flows will remain balanced, which will help ensure stable forex reserves, she added.
🍑
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang berencana untuk meningkatkan tarif impor barang dari China tampaknya berdampak langsung kepada pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini, Senin (6/5). IHSG hari ini tercatat tertekan cukup dalam sebesar 1,00% ke level 6.256.
Analis Royal Investium Wijen Ponthus mengatakan, dampak dari cuitan Trump terkait ancamannya kepada China tampaknya hanya menimbulkan efek minor terhadap IHSG, itu di karenakan di tengah IHSG dibuka merosot hingga 1% di level 6.254, IHSG mampu ditutup di 6.256.
BACA JUGA
“Kalau melihat dari harga pembukaan, justru IHSG naik tipis 2 poin, padahal di sesi I IHSG sempat ke level 6.207. Artinya, efek cuitan Trump hanya bersifat sementara, investor langsung kembali rasional lagi dan melakukan aksi beli menjelang akhir closing market,” ujar Wijen kepada Kontan, Senin (6/5).
Pihaknya melihat gejala ini sebagai tanda oversold pada IHSG, dimana IHSG sudah sulit untuk turun lebih jauh dan memang idealnya IHSG harus rebound ke level 6.348-6.350 kemudian secara ideal ke atas 6.400 di pekan ini.
“Secara sektor perbankan akan baik. Pengganti perbankan adalah consumer good, ini juga jadi salah satu sektor yang menahan IHSG hari ini,” ujar Wijen.
🍎
Liputan6.com, Washington - Amerika Serikat (AS) menambah 263 ribu tenaga kerja pada April. Hal ini menunjukkan sinyal pertumbuhan ekonomi.
Tingkat pengangguran di AS pun turun menjadi 3,6 persen. Angka itu terendah sejak 1969. Tingkat pengganguran di bawah empat persen lebih dari setahun. Hal itu berdasarkan data departemen tenaga kerja.
Perekrutan karyawan sangat kuat di sebagian besar sektor dengan peningkatan besar di layanan bisnis mencapai 76 ribu, konstruksi bertambah 33 ribu tenaga kerja, dan perawatan kesehatan ada penambahan tenaga kerja 27 ribu.
BACA JUGA
Para ekonom mencermati pekerja pemerintah sejak Biro Sensus mulai meningkatkan perekrutan jelang sensus 2020. Pemerintah federal menambahkan 12.500 pekerjaan pada April yang kemungkinan termasuk beberapa dari Biro Sensus meski belum pengaruh besar.
"Tidak dapat disangkal ini adalah laporan data tenaga kerja yang kuat," tutur Joel Prakken, Ekonom Macroeconomics Advisers, seperti dikutip dari Washington Post, Sabtu (4/5/2019).
"Satunya-satunya angka yang bisa Anda tunjukkan yang terlihat mengecewakan yaitu pekerjaan manufaktur telah terhenti," tutur dia.
Ekonom Deutsche Bank, Matthew Luzzetti menuturkan, pasar kerja terlihat bagus dalam ukuran apapun.
"Sementara tingkat pengangguran adalah yang terendah sejak 1969, ukuran lebih baik adalah melihat tingkat pengangguran yang mencakup orang bekerja paruh waktu karena mereka tidak dapat menemukan pekerjaan penuh waktu. Itu rendah, tetapi ini hanya terendah sejak 2000," ujar dia.
Tingkat pengangguran yang rendah memaksa pengusaha untuk menaikkan upah dan menjadi lebih agresif dalam merekrut dan melatih pekerja. Penghasilan rata-rata per jam naik 3,2 persen dalam setahun terakhir. Angka ini jauh di atas inflasi.
Pekerja upah rendah juga menikmati beberapa keuntungan karena perusahaan berjuang untuk mengisi pekerjaan dan banyak negara telah menaikkan upah minimumnya.
Para pemimpin perusahaan mengatakan kalau tantangan utama yaitu menemukan cukup banyak orang untuk mengisi lowongan kerja.
Ini salah satunya yang dialami McLane Co, perusahaan angkutan truk dan gudang besar spesialisasi pemindahan makanan dan bahan makanan di AS. Perseroan bahkan menawarkan tingkat penghasilan USD 70.000 dan bonus USD 6.000, tetapi sulit mendapatkan banyak pekerja.
"Ekonomi bagus, tapi itu sangat sulit bagi pengusaha. Orang-orang yang ingin kamu pekerjakan dipekerjakan orang lain," ujar Joe Stagnaro, Direktur McLane.
🍏
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Indeks S&P 500 dan Nasdaq menyentuh rekor tertinggi pada hari Senin (29/4). Setelah data ekonomi terbaru Amerika Serikat (AS) menunjukkan pengeluaran konsumen melonjak pada bulan Maret.
Mengutip Reuters, pukul 9:52 waktu setempat, Dow Jones Industrial Average turun 8,42 poin, atau 0,03% pada 26.534,91, S&P 500 naik 2,55 poin, atau 0,09% pada 2.942,43 dan Nasdaq Composite naik 1,67 poin, atau 0,02% pada 8,148.07.
BACA JUGA
Harapan resolusi perdagangan dan Federal Reserve dovish tahun ini telah memperkuat indeks acuan, yang melampaui rekor tertinggi 2.940,91 yang dicapai pada 21 September untuk pertama kalinya selama sesi perdagangan.
Data terbaru dari Departemen Perdagangan menunjukkan, pengeluaran konsumen dalam negeri AS meningkat paling tinggi lebih dari 9 1/2 tahun di bulan Maret.
"Kami keluar dari patch yang lemah di sektor konsumen, sektor ini terpukul oleh penutupan sebagian pemerintah, sehingga sebagian dari kekuatan ini adalah rebound dari itu," kata Scott Brown, kepala ekonom di Raymond James di St. Petersburg, Florida.
"Ada sedikit kehati-hatian, kami memiliki banyak informasi yang akan dibahas pekan ini, terutama pertemuan The Fed."
Federal Open Market Committee (FOMC) akan mengumumkan keputusan suku bunga pada akhir pertemuan dua hari, mulai Selasa.
🍒
Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Eropa telah menyusun daftar impor AS senilai sekitar 20 miliar euro (US$22,6 miliar) agar dapat dikenakan tarif atas sengketa subsidi pesawat transatlantik.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengancam untuk memberlakukan tarif pada produk-produk Uni Eropa senilai US$11 miliar. Hal tersebut merupakan jawaban atas keresahan Washington yang melihat subsidi yang diberikan kepada pembuat pesawat Airbus Eropa tidak adil.
Salah seorang diplomat Uni Eropa mengatakan Awal pekan ini bahwa Komisi telah memulai persiapan untuk penanggulangan dalam kasus Boeing.
"Bisa dibilang Komisi sedang mempersiapkan lebih awal, diprovokasi oleh AS," kata seorang diplomat UE seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (13/4/2019).
Akan tetapi, hal itu juga mengisyaratkan terbukanya kesempatan untuk pembicaraan dengan AS, asalkan ini tanpa prasyarat dan bertujuan untuk mencapai hasil yang adil.
Diplomat tersebut melanjutkan, pembahasan Uni Eropa akan fokus pada keluhan World Trade Organization atas subsidi untuk saingan Boeing tersebut. Para arbiter WTO juga belum menetapkan jumlah akhir dari tindakan pencegahan potensial dalam setiap kasus.
Sementara itu, komisi UE diharapkan dapat menerbitkan daftar produk pada 17 April dan memulai proses konsultasi publik, setelah itu daftar itu kemudian bisa disesuaikan.
Jumlah akhir yang diputuskan oleh arbiter WTO juga bisa lebih rendah. UE, awalnya meminta agar WTO mengesahkan tindakan pencegahan sebesar US$12 miliar.
Keputusan arbiter mungkin belum datang sebelum Maret 2020. Dalam kasus A.S., keputusan WTO dapat datang pada bulan Juni atau Juli tahun ini.
🍭
Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street ditutup turun dipicu kecemasan yang meningkat terkait perlambatan ekonomi global, mengimbangi optimisme tentang data dan investor yang menunggu musim pelaporan pendapatan.
Melansir laman Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average turun 14,11 poin, atau 0,05 persen menjadi 26.143,05. Sementara indeks S&P 500 ditutup datar menjadi 2.888,32 dan Nasdaq Composite turun 16,89 poin, atau 0,21 persen, menjadi 7.947,36.
BACA JUGA
Nasdaq dan Dow ditutup lebih rendah, dengan saham perawatan kesehatan membebani ketiga indeks saham utama AS.
"Anda mengalami hari-hari tarik-menarik di mana tidak banyak yang terjadi. Ini mencerminkan orang-orang menunggu lebih banyak informasi, seperti pendapatan perusahaan," kata Chuck Carlson, chief executive officer Horizon Investment Services di Hammond, Indiana.
Di sisi ekonomi, klaim pengangguran turun pada minggu lalu ke level terendah sejak 1969. Sementara pada bulan Maret, harga produk yang naik menuju peningkatan terbesar sejak Oktober, menurut laporan Departemen Tenaga Kerja AS.
Data yang optimis dapat meredakan kekhawatiran tentang penurunan tajam ekonomi global. Kekhawatiran tercermin dalam beberapa menit dari pertemuan Federal Reserve yang dirilis pada hari Rabu.
Saham
Kemudian Komite Keuangan Senat mengakhiri audiensi untuk membahas peran yang dimainkan oleh para pengelola manfaat farmasi dalam penentuan harga obat-obatan.
"Saya sedikit terkejut kami melihat reaksi semacam itu terhadap proposal ini. Mungkin itu pertanda perubahan," kata Carlson. Saham UnitedHealth Group Inc jatuh 4,3 persen dan membebani Dow.
Di sisi lain, saham Steel Corp turun 3,2 persen setelah Bank of America Merrill Lynch memangkas peringkat sahamnya menjadi “berkinerja buruk.
Saham Peers AK Steel Holding Corp dan Steel Dynamics Inc masing-masing turun 8,3 persen dan 2,5 persen.
Adapun volume perdagangan kali ini mencapai 6 miliar saham, dibandingkan dengan rata-rata 7,17 miliar selama 20 hari perdagangan terakhir.
Wall Street Kemarin
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street menguat didorong sektor saham teknologi. Sebagian investor pun mengabaikan data ekonomi inflasi AS yang jinak dan risalah tidak mengejutkan dari pertemuan bank sentral AS atau the Federal Reserve pada Maret 2019.
Pada penutupan perdagangan saham Rabu (Kamis pagi WIB), indeks saham Dow Jones naik 6,58 poin atau 0,03 persen menjadi 26.157,16. Indeks saham S&P 500 menguat 10,04 poin atau 0,35 persen menjadi 2.888,24. Indeks saham Nasdaq bertambah 54,97 poin atau 0,69 persen menjadi 7.964,24.
Saham industri bikin indeks saham Dow Jones tertahan. Tiga indeks saham acuan wall street stabil setelah rilis risalah pertemuan the Fed yang menegaskan kembali kesabaran bank sentral AS mengenai kenaikan suku bunga ke depan.
"Rilis risalah rapat the Fed tidak terlalu pengaruhi, persis seperti yang diperkirakan pasar. Begitulah bank sentral AS. Mereka ingin menegaskan kembali harapan yang ada, yang mereka lakukan," ujar Wakil Presiden Wedbush Securities, Stephen Massocca, seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (11/4/2019).
BACA JUGA
Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, harga inti konsumen AS menguat dengan laju tahunan paling lambat dalam setahun. Data inflasi ini semakin mendukung keputusan the Fed untuk menunda kenaikan suku bunga.
"Angka inti tidak menunjukkan inflasi dan berita utama mencerminkan harga bensin lebih tinggi yang merupakan angin bagi pertumbuhan, pajak pada konsumen," ujar Bucky Hellwig, Wakil Presiden Senior BB&T Wealth Management.
Selain itu, para sejumlah bos dari beberapa bank terbesar AS bersaksi di depan Kongres untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan 2007-2009. Hal ini terjadi beberapa hari sebelum bank melaporkan hasil kuartalan di tengah harapan lebih rendah oleh para analis.
Perkiraan laba untuk kuartal I turun dalam enam bulan terakhir. Dengan laba perusaaan di indeks S&P 500 terlihat merosot 2,5 persen, yang akan menandai kontraksi pertama year on year (YoY) sejak 2016. Berdasarkan data Refinitiv.
Musim laporan keuangan dimulai saat Delta Air Lines menaikkan ramalan pendapatannya dan membukukan laba lebih baik dari perkiraan. Hal itu mengangkat saham perusahaan penerbangan sebesar 1,6 persen di wall street.
🍏
HONG KONG sindonews- Pasar saham Hong Kong yaitu Hang Seng melampaui bursa saham Jepang, dan merebut takhta ketiga bursa saham terbesar di dunia, dibelakang bursa saham Amerika Serikat dan China. Ini merupakan prestasi setelah mengalami masa terburuk sejak 2011.
Melansir dari Bloomberg, Rabu (10/4/2019), nilai kapitaliasi pasar Hang Seng Hong Kong pada data terbaru Selasa kemarin, mencapai USD5,78 triliun. Jumlah ini melampaui nilai kapitaliasi pasar saham Jepang sebesar USD5,76 triliun.
Adapun indeks Hang Seng Hong Kong, sepanjang tahun ini (year to date) telah meningkat 17%. Dan pada Selasa kemarin, indeks Hang Seng bertambah 0,17% ke level 30.157,49, yang merupakan level tertinggi sejak 15 Juni 2018.
Sementara, sepanjang tahun 2019 ini, indeks Nikkei 225 Jepang hanya naik 8,36% dan Topix bertambah 7,60%.
Adapun pada perdagangan Rabu ini, melansir dari CNBC, indeks Hang Seng Hong Kong ditutup turun 0,13% menjadi 30.119,56, Nikkei 225 melemah 0,53% ke level 21.687,57, dan Topix jatuh 0,69% ke level 1.607,66.
Melemahnya kedua pasar saham Asia ini karena Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global dari 3,5% menjadi 3,3%, menambah kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia. Seiring itu, Amerika Serikat membuka front konflik dagang baru dengan Uni Eropa.
china daily: Prospects supported by expected stability, policies, analysts say
Melansir dari Bloomberg, Rabu (10/4/2019), nilai kapitaliasi pasar Hang Seng Hong Kong pada data terbaru Selasa kemarin, mencapai USD5,78 triliun. Jumlah ini melampaui nilai kapitaliasi pasar saham Jepang sebesar USD5,76 triliun.
Adapun indeks Hang Seng Hong Kong, sepanjang tahun ini (year to date) telah meningkat 17%. Dan pada Selasa kemarin, indeks Hang Seng bertambah 0,17% ke level 30.157,49, yang merupakan level tertinggi sejak 15 Juni 2018.
Baca Juga:
Sementara, sepanjang tahun 2019 ini, indeks Nikkei 225 Jepang hanya naik 8,36% dan Topix bertambah 7,60%.
Adapun pada perdagangan Rabu ini, melansir dari CNBC, indeks Hang Seng Hong Kong ditutup turun 0,13% menjadi 30.119,56, Nikkei 225 melemah 0,53% ke level 21.687,57, dan Topix jatuh 0,69% ke level 1.607,66.
Melemahnya kedua pasar saham Asia ini karena Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global dari 3,5% menjadi 3,3%, menambah kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia. Seiring itu, Amerika Serikat membuka front konflik dagang baru dengan Uni Eropa.
(ven)
🍉
china daily: Prospects supported by expected stability, policies, analysts say
The International Monetary Fund said on Tuesday that it expects China's economy to grow 6.3 percent in 2019-up 0.1 percentage point from its prediction in January. Analysts said the world's second-largest economy is set to remain stable as authorities continue to implement supportive policies.
The latest World Economic Outlook, released at the start of the spring meetings of the IMF and the World Bank in Washington, also predicted the United States economy would grow 2.3 percent this year, 0.2 percentage point lower than the IMF's earlier forecast.
The outlook for China falls within the range of the country's targeted goal of securing between 6 percent and 6.5 percent growth for this year, and is very close to that of Chinese researchers.
On April 1, Zhang Ping, a researcher at the Institute of Economics of the Chinese Academy of Social Sciences, said China's GDP growth should remain at 6.2 percent in the first half, and average 6.3 percent for the whole year, thanks to incentives including tax and fee cuts.
The World Economic Outlook noted that Chinese authorities have responded to the slowdown in 2018 by limiting the extent of financial regulatory tightening, injecting liquidity through cuts in the reserve requirement ratio, and reducing personal income taxes and corporate value-added taxes.
The overall outlook for emerging Asian economies remains favorable, with China's growth projected to slow gradually toward sustainable levels. It predicts the country's growth will moderate to 6.1 percent in 2020.
"China's growth is set to stabilize," said Cheng Shi, chief economist at ICBC International.
"As China increased its growth stabilization policy efforts, its economy has shown signs of stability in the first quarter and may further consolidate in the second," Cheng told China Daily.
China's business activity revived and beat market expectations in March, with the manufacturing purchasing managers index return-ing into expansion territory after three months of contraction, according to the National Bureau of Statistics.
"Growth resilience may surprise on the upside in more aspects," he said, adding that besides a growth rate within a reasonable range, the economy is likely to register accelerated progress toward higher-quality development this year amid a new round of reform and opening-up.
"Structural opportunities (in the capital market) may continuously emerge from the development of the new economy and mass consumption upgrades, fueling the long-term inflow of international capital," he said.
IMF Managing Director Christine Lagarde said in a recent interview with China Central Television that China's economic development now allows for "a focus on quality growth", rather than necessarily quantity growth.
"And China's development is clearly at the stage where it can afford and should afford to do that," Lagarde said.
Over the past year, amid the escalation of US-China trade tensions, credit tightening took place in China, macroeconomic stress was seen in Argentina and Turkey, disruptions to the auto sector occurred in Germany, and financial tightening in larger advanced economies have all contributed to a "significantly weakened global expansion", said IMF Chief Economist Gita Gopinath.
"With this weakness expected to persist into the first half of 2019, our new World Economic Outlook projects a slowdown in growth in 2019 for 70 percent of the world economy," she wrote in a blog on Tuesday.
With improved prospects for the second half of 2019, global growth in 2020 is projected to return to the 2018 level of 3.6 percent, according to the IMF report.
"This recovery is precarious and predicated to rebound in emerging markets and developing economies, where growth is projected to increase from 4.4 percent in 2019 to 4.8 percent in 2020," Gopinath said.
🍀
SAN FRANCISCO-A recruiter's booth outside the ballroom of a gathering of Chinese American engineers in Silicon Valley turned out to be very popular.
Within an hour, the recruiter, Angela Gao, had received many inquiries from those engineers attending the conference in February.
"There has been a rising interest from Chinese engineers working in the United States in returning to China," said Gao. "Most of them cite 'better career opportunities' and 'more room for development' as the main reasons," she said.
A semiconductor engineer in San Jose, who gave only his last name Yang, took a brochure of Gao's company, a Santa Clara, California-based headhunter called WE Career.
"I would expect a higher position or better compensation," said Yang, who currently holds a senior-level position in a big company.
He said it is not uncommon to see such recruiting booths set up at the venues of engineers' conferences. Major Chinese companies also come to the Silicon Valley to seek talent every year, he said.
To meet the increasing demand from Chinese clients, Gao said her company has been actively organizing recruitment events across the United States, especially on the campuses of top US universities, such as Stanford University and the University of California, Berkeley on the west Coast, and the Massachusetts Institute of Technology on the east Coast.
A growing number of overseas Chinese professionals are returning to China, with a majority of them from the US, according to a 2018 report on overseas Chinese talent by the employment-oriented social networking platform LinkedIn.
The report, which surveyed between 2,000 and 3,000 members in the first half of 2018, found the top reasons for returning to China include the ceiling for career development in foreign countries and pay rises as Chinese firms invest big to attract talent.
"Some friends of mine have recently accepted the offers of Chinese companies and their whole families have moved to China," said Yichiang Chang, an application engineer.
Chinese companies paid the relocation cost and offered at least doubled salaries, he said. He also admitted that the benefits of living in the San Francisco Bay Area were its "nice weather" and "better education for children".
Concerns for engineers seeking career opportunities in China include the lack of understanding the working environment of Chinese companies, he said.
Being promoted as "a role model of high-quality development", China's Guangdong-Hong Kong-Macao Greater Bay Area is poised to become "an international first-class bay area" and "a world-class city cluster" with a marked increase in its economic strength and regional competitiveness, according to a development blueprint released by the Chinese government in February.
Aside from the two special administrative regions of Hong Kong and Macao, the Greater Bay Area also covers nine cities of Guangdong province, including innovation hub Shenzhen and "world's factory" Dongguan.
"Hong Kong is a great fit for those engineers who want to start up their own companies," said Robin Won, a senior manager for investment promotion at Hong Kong Economic and Trade Office in San Francisco.
Her office also set up a booth at the engineers' event to promote the Greater Bay Area among Silicon Valley engineers.
"Hong Kong is part of China, but it has its own legal, tax and monetary systems," said Won.
"It will act as a facilitator for overseas high-tech professionals to tap into the opportunities of China's Bay Area," she said.
🍓
BEIJING marketwatch--A private gauge of China's factory activity rebounded to expansionary territory in March for the first time in four months, in line with the official gauge and reflecting a recovery in the growth momentum in the world's second largest economy.
The Caixin China manufacturing purchasing managers index rose to 50.8 in March from 49.9 in February, Caixin Media Co. and research firm Markit said on Monday.
Hitting the highest level since October, the index rebounded above the 50 mark that separates expansion from contraction, after staying below that level for three months in a row.
Subindex of new orders climbed to its highest level in four months, and new export orders returned to expansionary territory. Factory production continued to rise in expansionary territory and employment subindex surged to a high not seen since January 2013, said Caixin.
"Overall, with a more relaxed financing environment, government efforts to bail out the private sector and positive progress in Sino-U.S. trade talks, the situation across the manufacturing sector recovered in March," said Zhengsheng Zhong, director of Macroeconomic Analysis at CEBM Group.
China's official manufacturing PMI released Sunday rose to its highest level in six months thanks to higher production and more new orders. The index rose to a six-month high of 50.5 in March from 49.2 in February, well above the forecasts of many economists.
The Caixin China Manufacturing PMI is based on data compiled from monthly replies to questionnaires sent to purchasing executives at more than 500 manufacturing companies.
Compared with the official gauge's coverage of large state-owned companies, the Caixin PMI tends to track small, private manufacturers more closely.
🍇
BEIJING, iNews.id - Manufaktur China mencatatkan pertumbuhan positif pada Maret setelah turun dalam empat bulan berturut-turut. Meski data manufaktur positif, tapi ekspor tercatat masih terus merosot karena perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Mengutip AFP, Minggu (31/3/2019), Indeks Manajer Pembelian, ukuran aktivitas industri China naik menjadi 50,5 pada Maret dari kontraksi bulan sebelumnya dan terendah tiga tahun di 49,2.
Pertumbuhan itu kemungkinan didorong oleh faktor musiman karena industri meningkatkan produksinya setelah liburan Tahun Baru Imlek bulan Februari. Beberapa industri baja dan pembangkit listrik batu bara juga meningkatkan produksi karena pembatasan kabut asap musim dingin berakhir.
Produksi industri juga tumbuh pada laju tercepat dalam enam bulan pada bulan Maret, Biro Statistik Nasional Cina melaporkan, tetapi pesanan ekspor menyusut selama 10 bulan berturut-turut di tengah melambatnya pertumbuhan global dan belum berakhirnya perang dagang dengan AS.
Selama delapan bulan terakhir, Washington dan Beijing telah mengenakan tarif lebih dari 360 miliar dolar AS dalam kebijakan dagangnya, sehingga membebani sektor manufaktur kedua negara. China mengumumkan telah membuat strategi untuk langkah stimulus sehingga bisa meredam dampak perlambatan ekonomi global.
Awal bulan ini, Perdana Menteri Li Keqiang mengumumkan untuk belanja pembangunan, seperti jalan, kereta api, dan proyek infrastruktur besar lainnya. China juga memotong pajak senilai 2 triliun yuan atau setara 297,27 miliar dolar AS untuk mengurangi tekanan pada perusahaan dan memacu sektor ketenagakerkaan.
Cina mengumumkan target pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari menjadi 6,5 persen tahun ini, turun dari 6,6 persen pada 2018.
🍑
detik: Mengutip CNBC, Selasa (26/3/2019), memang isu resesi negeri Paman Sam muncul setelah imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan imbal hasil obligasi jangka waktu 10 tahun mengalami inversi sejak 11 tahun lalu.
Inversi terjadi karena yield obligasi pada tenor jangka pendek lebih tinggi dibandingkan yang bertenor jangka panjang. Padahal, seharusnya yield obligasi dengan tenor panjang lebih tinggi karena tingkat risikonya.
Akhir 2018 lalu bank sentral AS atau The Federal Reserve menyesuaikan suku bunga. Pada Desember 2018 The Fed memberikan pernyataan jika ia hanya akan menaikkan bunga sebanyak dua kali 2019 ini.
Hal ini menyebabkan dolar AS kehilangan mesin penggeraknya sehingga investor meninggalkan The Greenback dalam jumlah besar.
Mengutip Reuters, data ekonomi AS seperti manufaktur menunjukkan angka yang tidak cukup baik. Sehingga tembaga yang juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi mengalami tekanan karena adanya perlambatan di AS.
Ketakutan resesi ini juga turut mempengaruhi pergerakan harga saham di Asia, dari data Reuters disebut indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 1,4% menuju level terendah dalam satu pekan.
Sementara itu Nikkei Jepang turun lebih dari 3% dengan China CSI 300 kehilangan 1,7% pada saat ini.
Kesepakatan dagang antara AS dan China saat ini sudah mendekati tahap akhir negosiasi karena kedua pimpinan negara akan bertemu untuk berdikusi soal perang dagang.
Sementara itu lesunya ekonomi negara besar seperti AS, China dan Uni Eropa juga menimbulkan kekhawatiran pasar saham beberapa waktu terakhir.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan kurva imbal hasil surat utang AS atau inverted yield curves menjadi salah satu indikator pra resesi di AS. Saat ini ada kecenderungan sinyal resesi AS menguat dan menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar global.
"Dampaknya jika AS masuk resesi tentu cukup cepat ke sektor finansial Indonesia. Belajar dari krisis subprime mortgage 2008, transmisinya semakin cepat ke pasar modal dan perbankan," ujar Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (26/3/2019).
Menurut dia, sistem keuangan Indonesia saat ini sudah makin terintegrasi dengan pasar global. Sehingga investor yang panik akan menarik modalnya dari Indonesia (panic sell off) dan memicu krisis likuiditas.
"Sementara untuk sektor riil misalnya ekspor ada jeda dampaknya. Resesi AS memicu pelemahan permintaan produk dari Indonesia misalnya alas kaki, pakaian jadi, makanan minuman dan lainnya," ujar dia.
Bhima menyebutkan, sebagai catatan pasar ekspor ke AS porsinya terbilang cukup besar besar yaitu 11,5% dari total ekspor non migas per Februari 2019. Secara tidak langsung seluruh negara lain di dunia akan mengalami penurunan permintaan.
Defisit perdagangan Indonesia bisa memburuk sampai 2020. Ini bisa ke mana-mana imbasnya rupiah melemah lagi, CAD melebar dan investasi asing turun.
"Jika AS terjadi resesi lagi ini semacam Armageddon ekonomi lebih parah dibanding krisis yang pernah ada dalam sejarah. Kita harus bersiap yang terburuk. Ibarat sedia payung sebelum hujan, KSSK perlu memantau risiko ke sistem keuangan dan bantalan fiskal juga harus disiapkan jika Indonesia terpapar krisis," ujar dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan mewaspadai kemungkinan terjadinya resesi atau kemerosotan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, pemerintah akan mengamati perkembangan ekonomi di AS atas kemungkinan terjadinya resesi yang bisa berdampak ke Indonesia.
"Memang Amerika dan RRT sekarang ekonomi cenderung melemah semuanya, dan ini harus kita waspadai secara baik," kata Sri Mulyani ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Pihaknya akan mempelajari faktor-faktor yang mengarah pada resesi di AS. Dia mengatakan, pemerintah sebetulnya sudah melihat bahwa di tahun 2019 ini tantangannya berbeda dari 2018, di mana proyeksi ekonomi dunia menunjukkan pelemahan.
"Dan pelemahannya cukup signifikan. Kalau kita lihat koreksinya (pertumbuhan ekonomi) dari 3,9% ke 3,7%, 3,5%, bahkan sekarang mungkin lebih rendah dari ini. Dan beberapa indikator tadi disebutkan inverse curve dari yield curve US treasury Amerika yang satu tahun, 3 bulan, dan 10 tahun," ujarnya.
Faktor-faktor di atas, lanjut Sri Mulyani bisa menjadi indikator apakah AS akan mengalami resesi alias pelemahan atau tidak.
"Ini biasanya sebagai leading indicator terhadap kemungkinan terjadinya resesi atau pelemahan di Amerika Serikat," tambahnya.
(ang/ang)Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, pemerintah akan mengamati perkembangan ekonomi di AS atas kemungkinan terjadinya resesi yang bisa berdampak ke Indonesia.
"Memang Amerika dan RRT sekarang ekonomi cenderung melemah semuanya, dan ini harus kita waspadai secara baik," kata Sri Mulyani ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Pihaknya akan mempelajari faktor-faktor yang mengarah pada resesi di AS. Dia mengatakan, pemerintah sebetulnya sudah melihat bahwa di tahun 2019 ini tantangannya berbeda dari 2018, di mana proyeksi ekonomi dunia menunjukkan pelemahan.
"Dan pelemahannya cukup signifikan. Kalau kita lihat koreksinya (pertumbuhan ekonomi) dari 3,9% ke 3,7%, 3,5%, bahkan sekarang mungkin lebih rendah dari ini. Dan beberapa indikator tadi disebutkan inverse curve dari yield curve US treasury Amerika yang satu tahun, 3 bulan, dan 10 tahun," ujarnya.
Faktor-faktor di atas, lanjut Sri Mulyani bisa menjadi indikator apakah AS akan mengalami resesi alias pelemahan atau tidak.
"Ini biasanya sebagai leading indicator terhadap kemungkinan terjadinya resesi atau pelemahan di Amerika Serikat," tambahnya.
🍓
usa today: The world economy is headed for a period of "dull, low" growth, according to fund manager Janus Henderson, but the risk of an outright recession remains small.
Market participants are increasingly worried about the prospect of a serious economic downturn this year.
A long-running U.S.-China trade war and uncertainty around the U.K.'s exit from the European Union has soured business and consumer sentiment in recent months.
Most economists, as well as some the world's business elite, agree that economic growth is slowing but policymakers have expressed some hope for a soft landing rather than a full-blown recession.
"There is definitely a slowdown in the momentum of the global economy. I don't think the economy is going to be as strong as it was last year," Jane Shoemake, investment director of global equity income at Janus Henderson Investors, told CNBC's "Squawk Box Europe" on Monday.
"Our central forecast is not for a recession… It is just for dull, low growth," she added.
A long-running U.S.-China trade war and uncertainty around the U.K.'s exit from the European Union has soured business and consumer sentiment in recent months.
A long-running U.S.-China trade war and uncertainty around the U.K.'s exit from the European Union has soured business and consumer sentiment in recent months. (Photo: Getty Images)
Economic growth in Europe has been a "real disappointment"
In contrast, Nobel Prize-winning economist Paul Krugman warned earlier this month that there is a significant chance the world economy is headed for a recession either later this year or early next year.
Krugman warned there is "quite a good chance" of a recession in 2019, adding he was worried economic policymakers "do not have an effective response" if the economy slows down.
At the start of February, the European Commission sharply downgraded its forecast for euro zone economic growth in 2019 and 2020.
The Commission said euro zone growth will slow to 1.3 percent this year from 1.9 percent in 2018 and is expected to rebound in 2020 to 1.6 percent.
The estimates were markedly less optimistic than the EU executive's previous forecasts, exacerbating fears that a global economic downturn is spreading to Europe.
An economic downturn in China, the world's second-largest economy, has heightened concerns of a global recession but Europe has been the "real disappointment," Shoemake said.
"We have had a massive change in what expectations are for the Federal Reserve and so if they don't raise any further, dividend yields (regular payouts from a stock) are going to look very attractive because bond yields are not going to be moving any higher particularly," she added.
On Wednesday, investors are likely to closely monitor the release of minutes from the Federal Reserve's last policy meeting. They are expected to give investors a better idea about the prospect of any interest rate hikes later this year.
🍉
marketwatch: There is no better barometer on the health of the U.S. economy than housing. It’s an industry that encompasses a myriad of vital sectors — banking, manufacturing, commodities, international trade, transportation and, of course, consumer spending. So it’s not surprising the Federal Reserve closely monitors housing trends in the course of setting monetary policy.
When the Fed made its surprise announcement this week to refrain from any further rate increases in 2019, it was due in part to the persistent weakness in housing. This concern was raised not just in the Beige Book but also in subsequent speeches by FOMC voters.
Behind this worry is a simple truism: Sound economic growth in the U.S. is not possible without a robust residential real-estate market. And housing has been anything but robust this past year.
Early this month, the government reported that new home sales dropped 6.9% in January to a 607,000 annual rate, which happens to be 4.1% below its year ago level. Not a great start to 2019. Sales crept up a disappointing 2.2% all of last year.
Existing home sales for February, on the other hand, rebounded with an 11.8% jump over January. It was certainly better than consensus expectations, which was in the range of a 5% increase. (Yet even with this bounce, the pace is still 1.8% off the same month last year.) But before any euphoria set in that the industry is on the comeback trail, it’s important to take a step back for a more sober look at the outlook.
We believe the housing industry is at risk to face a perfect storm.
Demand
1. The rate of household formation remains consistently below its long-term trend of 1.2 million a year. Several factors account for this. The U.S. birthrate has been declining for years and presently stands at a 30-year low. The number of births in 2017 (latest available) slipped to 3.85 million, the lowest since 1987. One consequence of fewer newborns is that it reduces the demand for single-family homes.
A second factor are the new limits the White House placed on immigration into the U.S. The number of immigrants receiving green cards fell 5% in 2017 (to 1.127 million) from the year before. The administration’s goal is to slash legal immigration by half. Keep in mind that immigration has historically contributed more than 50% of this country’s population growth. If you substantially restrict foreign entry into the U.S., you remove another important source of home buying.
2. With baby boomers retiring at a rate of 10,000 a day, one would look to the millennial generation as the next wave of demand for homeownership. But many in this cohort are incapable of making such a financial commitment. They are burdened with a record $1.6 trillion in college debt. And “serious delinquencies” (those at least 90 days overdue or in default) of student debt topped a record $166 billion in the final quarter of 2018.
Millennials are also skeptical about the future solvency of Social Security and Medicare and so feel added pressure to save more of their income for retirement, rather than for a down payment to buy a house or condo.
More difficult to measure is the psychological impact the Great Recession (2008-2009) had on millennials. They witnessed many of their friends and families lose homes or declare bankruptcy, and watched how the steep economic downturn eviscerated the long held dogma that real-estate values can forever defy gravity.
3. The 2017 Tax Act also increases the after-tax cost of homeownership, especially in regions of the country where residents face high state and local taxes. Prospective home buyers have since recalculated the cost of homeownership versus renting.
4. With household debt reaching an all-time high of $13.5 trillion and interest rates rising the last three years, lenders have also turned more cautious about granting credit to households, according to the Federal Reserve’s Senior Loan Officer Survey on Banking.
5. The average low rate of 4.50% last year on a 30-year conventional mortgage was not enough of a catalyst to spur much home buying, especially for existing units. With the Fed now declaring a pause on further hikes in short-term rates, mortgage rates have dropped to 4.34% this week, which is the lowest in a year. That rate will certainly drop further in the next few days now that Treasury yieldsTMUBMUSD10Y, +0.00% have plummeted to a 14-year low Friday morning, and this could entice more prospective home buyers to get off the fence and act.
But there are two offsets to consider. If the economy is markedly weakening, as the Fed’s downward revisions to growth show, Americans may instead choose to back away from such a major purchase until they feel more confident the U.S. is not heading into recession. That is especially the case now that 3-month-to-10-year Treasury yield curve inverted.
Secondly, we believe the current low mortgage rate is just not sustainable. Borrowing rates to purchase a home are closely tied to the 10-year Treasury yield. We’re projecting the T-note yield will climb about 100 basis points over the next year and a half. What would be driving this surge?
Simple. The U.S. will need to lure U.S. and foreign investors to fund trillion-dollar budget deficits every year for perhaps the next decade. The problem is global investors are already top-heavy owning dollar-denominated assets. In fact, foreign investors have begun shedding U.S. government debt from their portfolio in recent years. The percentage of U.S. federal debt held by foreigners has fallen from 53% in 2009 to 41% last year.
What this suggests is that investors will demand a more attractive return (i.e., higher yield) that is commensurate with the risk of carrying an excessive amount of new U.S. debt on their portfolios. Stated another way, the Treasury department will pay whatever rate the market demands in order to successfully unload an unprecedented volume of new debt issuances. Our forecast thus calls for the 10-year Treasury yield to climb over the next 18 months, and that could lift the 30-year mortgage rate to 6% or more by the second half of 2020.
Supply
Aside from the challenges home buyers face, builders have hurdles of their own to overcome.
1. The current tariffs on imports and the retaliatory actions by our trading partners have significantly raised the cost of building a home. The price of steel mill products, softwood lumber, aluminum mill shapes, and plywood have jumped 20% to 30% in the past year.
2. Home builders still face a plethora of regulations, which account for 25% of the cost of constructing a home.
3. Finding skilled labor has become especially difficult in this tight labor market. After the housing bubble and credit crisis of 2007-2009, many construction workers found more secure and even-better-paying jobs in the growing shale oil/gas industry. As a result, home builders have had little choice but to lure new hires by offering higher compensation. Others have resorted to investing more in robotic technology to offset the scarcity of workers.
4. Finally, there’s a shortage of suitable land in key cities. What lots are available have skyrocketed in price, but that ultimately reduces the affordability of purchasing a newly built home, especially for entry-level buyers.
The bottom line
While the latest NAHB figures on home builder sentiment show that confidence has stabilized in March with the index holding at 62 (any figure above 50 should be viewed as positive), the metric with a better predictive track record is the traffic flow of prospective buyers into home builder showroom. That component fell another 4 points this month, to 44, which marks the fourth month it has been in negative territory.
A second sign flashing yellow is the ratio between housing permits filed and new starts for single-family homes. Permits are by definition a leading indicator of future construction. But for the pace of construction to increase in the future, we need to see permits consistently exceed starts. Ideally the ratio of permits to starts should be higher than 1. But the latest data points for January show permits actually slipped below starts. (Starts = 926,000 annual rate vs. permits = 812,000)
Should such a trend be repeated in the months ahead, it would represent the clearest evidence yet that housing may be in a prolonged slump — and that will suppress overall economic growth this year and next.
Bernard Baumohl is chief global economist at The Economic Outlook Group in Princeton, N.J.
🍑
INILAHCOM, New York - Para pemimpin bisnis top AS mulai bersiap menghadapi resesi," dan banyak yang sudah mulai memangkas biaya untuk mempersiapkan perusahaan mereka menghadapi penurunan di masa depan.
Demikian kata perusahaan riset Gartner, setelah mempelajari semua pengumuman hasil perusahaan kuartal keempat baru-baru ini, dan transkrip dari pendapatan para pemimpin bisnis panggilan dengan analis Wall Street seperti mengutip marketwatch.com.
Berita itu datang hanya beberapa hari setelah pengusaha nasional mengejutkan Wall Street dengan angka pertumbuhan pekerjaan suram untuk bulan Februari.
Sementara itu Federal Reserve cabang Atlanta, yang melacak angka-angka ekonomi nasional secara real time, memperingatkan bahwa ekonomi A.S. sudah dalam bahaya terhenti.
"Sejumlah besar perusahaan terkemuka mengambil posisi resesi dan membuat persiapan untuk memanfaatkan penurunan daripada menjadi korbannya," kata Tim Raiswell, Gartner.
"Banyak perusahaan terbesar di dunia mulai bersikap seolah-olah mereka dalam resesi," kata Tim Raiswell, wakil presiden praktik keuangan Gartner, dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan.
"Sejumlah besar perusahaan terkemuka mengambil posisi resesi dan membuat persiapan untuk memanfaatkan penurunan daripada menjadi korban dari satu."
Raiswell mengatakan bahwa eksekutif A.S. masih menawarkan pandangan "positif secara luas" untuk ekonomi. Tetapi semakin banyak berbicara tentang kemungkinan "penurunan" atau "resesi," dan telah mengumumkan langkah-langkah efisiensi untuk memotong biaya.
Itu tidak bisa menjadi perkembangan positif untuk pasar pekerjaan yang menghasilkan hanya 20.000 pekerjaan nonpertanian pada bulan Februari, angka yang jauh di bawah perkiraan konsensus para ekonom.
Eksekutif bank telah membunyikan alarm tentang kenaikan pinjaman konsumen berisiko oleh penyedia nonbank, Gartner menemukan.
Dan para pemimpin perusahaan di seluruh papan khawatir tentang kekacauan di Washington dan perlambatan tajam dalam ekonomi Tiongkok, yang sekarang merupakan yang terbesar di dunia dengan beberapa langkah.
Sabre intermiten Donald Trump yang berderak terhadap Cina karena perdagangan, bersama dengan penutupan pemerintah baru-baru ini dan masalah luar negeri seperti Brexit, juga merupakan faktor.
Para ekonom mengatakan bahwa perusahaan lebih tidak menyukai ketidakpastian daripada hampir semua skenario kebijakan lainnya, karena itu membuat perencanaan sulit. “Sebagian besar pihak memperkirakan tentang sejauh mana retorika politik akan menjadi kebijakan yang tegas dan apa dampaknya terhadap buku pesanan perusahaan,” kata Raiswell dari Gartner.
Ekonom Wall Street berpikir ekonomi masih di jalur untuk tumbuh sekitar 1,5% kuartal ini. The New York Federal Reserve setuju secara luas - meskipun telah memangkas angka itu dari 2,4% yang jauh lebih sehat diprediksi hanya enam minggu lalu.
Tapi Fed Atlanta, melihat data ekonomi terbaru, menempatkan angka hanya 0,4% - hampir tidak di atas kecepatan terhenti. Ia percaya bahwa investasi swasta domestik benar-benar turun di kuartal ini, sekitar 2,4% dan 2,9% secara riil.
🍑
asia times: Markets expected forbearance from the Federal Reserve, but the US central bank Wednesday leaned further towards monetary ease than the optimists expected. The Fed envisions no change in interest rates until sometime in 2020, and not at all if the economy weakens further. It won’t reduce the $4 trillion securities portfolio it built up through so-called quantitative easing.
This is a market that rewards cowardice – holdings of stable income-earning assets like credit and real estate – more than it rewards bravery. I continue to believe that carry will be king in 2019 as the Fed keeps interest rates low.
I noted yesterday that the weakness in the US consumer sector had registered in forward-looking equity prices as well as backward-looking data on spending. The US consumer has been the marginal provider of demand in the world economy, and continues to represent the biggest risk to the world economy. All signals pointed to a sharp slowdown in economic growth, which the Federal Reserve more or less acknowledged.
For the most part, stocks erased earlier losses while corporate credit, real estate and other risk assets jumped. The Fed now projects 2019 growth at 1.9%-2.2%, about 0.4% below its forecast at the last meeting. “Growth is slowing more than expected,” and “financial conditions remain less supportive of growth than in 2018,” Fed Chair Jerome Powell told a press conference after a meeting of the Federal Open Market Committee. Employment, retail sales and business fixed investment are all growing more slowly, Powell added.
The federal funds rate is now neutral, Powell added, and the FOMC believes that “we should be patient,” and that “there is no need to rush to judgment,” because it will be some time before economic conditions warrant a change in policy. The most important formal change in Fed policy is a reduction in the rate of reduction of the Fed’s $4 trillion balance sheet to just $15 billion a month starting in May, and to zero by the end of the year.
The biggest winners are carry assets – bonds, corporate credit, real estate, and mortgages. The yield on 10-year US Treasury notes dropped 0.08% to 2.535%. The largest US real estate ETF, Vanguard’s VNQ, reversed a slight loss to trade 0.75% higher after the FOMC announcement. The high yield bond ETF HYG jumped 0.5%. Major equity market indices had been down around half a percentage point, and regained the round to trade unchanged. As the chart shows, REITS and high-yield debt outperformed stocks as of 3:00 p.m. New York Times.
The big losers were bank stocks, which fell after the Fed announcement. Banks don’t like a low-interest-rate environment. Earlier in the day, FedEx lost almost 6% of its value after warning of worse-than-respected results for 2019. FedEx’s woes are yet another indication of a stressed economy. Economic reports outside of the United States continue to disappoint, notably South Korea’s February exports and Taiwan’s February exports. By all indications, world trade continues to shrink, and global capital expenditures remain on hold as corporations await the resolution –if any—of the US-China tariff war.
🍚
asia times: When Zhou Xiaochuan speaks, Beijing listens. The former People’s Bank of China governor has a reputation as a reformer and a pragmatist.
Feted in the world’s second-largest economy, he raised a few eyebrows in London earlier this week when he warned that China must learn the lessons from Japan’s lost decade of economic stagnation in the 1990s.
“Japan had very fast development and later a so-called lost decade,” Zhou said in a speech at Chatham House, the influential foreign affairs organization. “The Chinese economy may have a similar over-leveraged problem, and we need to absorb the knowledge and lessons from what happened.”
His remarks are certain to resonate in Beijing.
During a record 15-year tenure at China’s central bank, he helped steer the country through the Global Financial Crisis of 2009 and the resulting Great Recession, which swept through the United States and the rest of the West.
Zhou finally stepped down last year, but he has continued to highlight the dangers of excessive debt in a cooling economy and the prolonged trade war between Beijing and Washington.
Data released in the past few weeks have shown that car sales dropped by 13.8% last month compared to the same period in 2018.
Trade dollar-denominated exports also plunged 20.7% during the same timeframe while smartphone shipments dipped as consumer spending tightened.
Still, Zhou expressed confidence in the economic fundamentals, echoing Beijing’s line.
He then went on to confirm that financial sector reforms would continue as China’s vast market is further opened up to foreign investors.
“After so many years, China is more confident to have further reforms and [an] open-door policy,” he said while acknowledging that the pace of the process has at times been glacier-like slow.”
🍋
LONDON (Reuters) - MPs crushed Prime Minister Theresa May’s European Union divorce deal on Tuesday, thrusting Britain deeper into crisis and forcing parliament to decide within days whether to back a no-deal Brexit or seek a last-minute delay.
MPs voted against May’s amended Brexit deal by 391 to 242 as her last-minute talks with EU chiefs on Monday to assuage her critics’ concerns ultimately proved fruitless.
The vote puts the world’s fifth largest economy in uncharted territory with no obvious way forward; exiting the EU without a deal, delaying the March 29 divorce date, a snap election or even another referendum are all now possible.
May might even try a third time to get parliamentary support in the hope that hardline eurosceptic MPs in her Conservative Party, the most vocal critics of her withdrawal treaty, might change their minds if it becomes more likely that Britain might stay in the EU after all.
While she lost, the margin of defeat was smaller than the record 230-vote loss her deal suffered in January.
MPs will now vote at 1900 GMT on Wednesday on whether Britain should quit the world’s biggest trading bloc without a deal, a scenario that business leaders warn would bring chaos to markets and supply chains, and other critics say could cause shortages of food and medicines.
May said the government would not instruct her own party’s MPs how to vote, as would normally be the case.
An opposition Labour Party spokesman said this meant she had “given up any pretence of leading the country”. May’s political spokesman said she had not discussed resigning.
The prime minister, hoarse after Monday’s late-night talks, told MPs: “Let me be clear. Voting against leaving without a deal and for an extension does not solve the problems we face.”
IMPASSE
She said parliament was now at an impasse: “Does it wish to revoke Article 50 (announcing intention to leave the EU)? Does it want to hold a second referendum? Or does it want to leave with a deal, but not this deal?”
Graham Brady, an influential Conservative lawmaker, said the two most likely scenarios were leaving the EU without a deal “or some kind of endless delay”.
Andrea Leadsom, who manages government business in parliament, insisted however that “it is still our intention, if at all possible, to leave the EU on March 29 with a good deal”.
The European Union said the risk of a damaging no-deal Brexit has “increased significantly” but there would be no more negotiations with London on the divorce terms.
Sterling, which had earlier in the day fallen by 2 percent to $1.3005, was trading at around $1.3086 shortly after the vote. [GBP/]
“One door has closed but other possibilities have opened up and markets are hopeful that Wednesday’s vote on a no-deal Brexit will suffer a big defeat,” said Timothy Graf, head of macro strategy at State Street Global Advisors in London.
Opposition to May’s deal among members of the Conservative Party derives from a belief that it does not offer the clean break from the European Union that many voted for.
Supporters of Brexit argue that, while a “no-deal” divorce might bring some short-term instability, in the longer term it would allow the United Kingdom to thrive and forge beneficial trade deals across the world.
Slideshow (16 Images)
However, parliament is expected firmly to reject a “no-deal” Brexit as well, so MPs would then vote again on Thursday - on whether government should request a delay to the leaving date to allow further talks.
Both May and the EU have already ruled out any other changes to the deal, struck after two-and-a-half years of tortuous negotiations.
“NO THIRD CHANCE”
“There will be no third chance,” European Commission President Jean-Claude Juncker said on Monday. “There will be no further interpretations of the interpretations, no further assurances of the reassurances if the ‘meaningful vote’ tomorrow fails.”
U.S. pulls diplomats from Venezuela, blackout continues
The government had been expected to offer parliament the chance to press for a short extension, but announced on Tuesday night that it would be for parliament to decide on the length of the delay that the government would request.
This raised the possibility that it might ask to push the exit date past late May, when Britain would have to participate in European Parliament elections - a prospect that both sides have been keen to avoid.
A spokesman for European Council President Donald Tusk, representing EU governments, said Britain would have to provide a “credible justification” for any request to delay Brexit.
Britons voted by 52-48 percent in 2016 to leave the EU but the decision has not only divided the main parties but also exposed deep rifts in British society, bringing concerns about immigration and globalisation to the fore.
Many fear that Brexit will divide the West as it grapples with both the unconventional U.S. presidency of Donald Trump and growing assertiveness from Russia and China, leaving Britain economically weaker and with its security capabilities depleted.
Supporters say it allows Britain to control immigration and take advantage of global opportunities, striking new trade deals with the United States and others while still keeping close links to the EU, which, even without Britain, would be a single market of 440 million people.
🍑
WASHINGTON okezone- Defisit perdagangan Amerika Serikat (AS) melonjak menjadi USD621 miliar pada 2018. Berdasarkan data yang dirilis Departemen Perdagangan AS, angka ini merupakan yang tertinggi dalam satu dekade.
Peningkatan tahunan USD68,8 miliar atau 12,5%, datang bersama dengan kerugian bersih dalam perdagangan barang dan jasa USD59,8 miliarpada Desember, naik 15,2% dari USD51,9 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada basis bulan ke bulan, angka Desember, yang juga mencapai rekor tertinggi 10-tahun, adalah hasil dari kenaikan 2,1% impor menjadi USD264,9 miliar, dan penurunan ekspor 1,9% menjadi USD205,1 miliar, menurut departemen.
(dni)
🍑
KONTAN.CO.ID - SHANGHAI. Tingkat pertumbuhan ekonomi China yang sesungguhnya kemungkinan hanya separuh dari yang selama ini dilaporkan secara resmi oleh pemerintah. Kondisi itu akan terlihat jika utang-utang berkualitas buruk negeri tirai bambu ikut diperhitungkan.
Pernyataan tersebut disampaikan Michael Pettis di Shanghai pekan ini. Ia adalah ekonom Amerika Serikat (AS) yang juga profesor di Universitas Peking. Ia menuding pemerintah China memelihara keberadaan "perusahaan zombie", dengan memberikan pinjaman kepada perusahaan yang merugi. Pada gilirannya, bank memperlakukan perusahaan-perusahaan ini sebagai institusi yang layak diberikan kredit.
Ia memperingatkan bahwa utang China terkait erat dengan persepsi berlebihan pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). "Jika kita dapat menghitung PDB dengan benar, itu mungkin setengah dari jumlah yang tercatat." katanya.
Sejatinya bukan hanya Pettis yang melihat masalah dalam catatan resmi pertumbuhan ekonomi yang dirilis pemerintah China. Pekan ini empat ekonom menerbitkan sebuah makalah bersama yang menyebut, China kemungkinan telah melebih-lebihkan tingkat pertumbuhan tahunannya rata-rata sebesar 2% dari 2008 hingga 2016.
Pada Desember 2018, Xiang Songzuo, seorang profesor dari Universitas Renmin Cina yang pernah menjabat sebagai Kepala Ekonom Bank Pertanian Tiongkok juga menyampaikan hal senada. Ia mengutip laporan internal yang menyebutkan, pertumbuhan PDB China untuk 2018 bisa 1,67% atau bahkan negatif.
Sebagai perbandingan, publikasi resmi Badan Statistik China menyebut, tingkat pertumbuhan ekonomi China pada 2018 adalah 6,6%. Tahun ini pemerintah China berusaha mencapai target pertumuhan ekonomi antara 6,0% hingga 6,5%. Lebih rendah dari tahun lalu, namun tetap jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara besar lainnya.
Utang membengkak
Sementara itu, Chen Yulu, Wakil Gubernur Bank Sentral China menyampaikan, rasio total utang China terhadap PDB turun 1,5 poin persentase pada tahun 2018. Namun sejumlah kalangan khawatir angkanya bakal terus meningkat. Pettis sendiri yakin, pertumbuhan ekonomi China akan melambat secara signifikan karena tingkat utang negara yang terus membengkak.
Maklum, pemerintah China memang mendorong ekspansi kredit perbankan demi membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Sekaligus untuk mencegah perlambatan ekonomi global dan meredam dampak perang perdagangan AS-Cina.
Meski demikian, Pettis menilai potensi terjadinya krisis utang China kecil. Hanya saja, upaya pemerintah merestrukturisasi utangnya bisa berbahaya bagi perekonomian dalam jangka panjang.
Untuk menghindari tekanan lebih jauh ke pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi hutang, ia menyarankan pemerintah China untuk mengalihkan 2%-3% PDB dari sektor negara ke rumah tangga dalam bentuk pengeluaran konsumen. Meski secara politis ia ragu langkah itu akan diambil, namun, dampaknya akan positif dalam bentuk kenaikan konsumsi rumah tangga China secara signifikan.
🍒
BEIJING sindonews - Ekspor China pada Februari anjlok terbesar dalam tiga tahun, sementara impor turun untuk bulan ketiga berturut-turut. Perkembangan itu menunjukkan perlambatan lebih lanjut dalam perekonomian China, meski pemerintah negara itu telah menggelar serangkaian langkah dukungan.
Kendati faktor musiman mungkin berperan, bacaan yang sangat lemah dari negara dengan perdagangan terbesar di dunia itu menambah kekhawatiran tentang perlambatan global.
Investor global dan mitra dagang utama China mengamati dengan cermat reaksi kebijakan Beijing saat pertumbuhan ekonomi negara itu melambat dari tahun lalu yang merupakan level terendah dalam 28 tahun terakhir.
Baca Juga:
Data Bea Cukai menunjukkan, ekspor Februari China turun 20,7% dari tahun sebelumnya, penurunan terbesar sejak Februari 2016. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan 4,8% setelah Januari yang tiba-tiba melonjak 9,1%.
"Angka perdagangan hari ini memperkuat pandangan kami bahwa resesi perdagangan China telah mulai muncul," tulis Raymond Yeung, kepala ekonom Gerater China di ANZ, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Jumat (8/3/2019).
Dia mengatakan, ekspor China sudah mencatat pertumbuhan negatif sejak bulan Desember lalu. Sementara angka-angka kuat di bulan Januari menurutnya tidak dapat diandalkan karena distorsi dari periode liburan Tahun Baru Imlek.
Impor turun 5,2% dari tahun sebelumnya, lebih buruk dari perkiraan analis sebesar 1,4% dan melebar dari penurunan 1,5% pada Januari. Secara keseluruhan impor komoditas utama menunjukkan penurunan. Hal itu membuat China hanya mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD4,12 miliar untuk bulan itu, jauh lebih kecil dari perkiraan USD26,38 miliar.
Analis memperingatkan bahwa data dari China dalam dua bulan pertama tahun ini harus dibaca dengan hati-hati karena gangguan bisnis yang disebabkan oleh liburan panjang Tahun Baru Imlek.
Namun, banyak pengamat menilai awal yang lemah untuk tahun ini karena survei pabrik menunjukkan berkurangnya pesanan domestik dan ekspor, serta perang perdagangan dengan AS yang masih berlanjut.
🍜
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Cina memangkas target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi berkisar 6 - 6,5 persen pada tahun 2019 ini. Sepanjang tahun lalu Cina mencatatkan pertumbuhan ekonomi 6,4 persen.
Proyeksi tersebut terdapat dalam target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang dirilis dalam laporan kerja tahunan Premier Li Keqiang kepada Kongres Rakyat Nasional dan dilansir Bloomberg pada Selasa pagi, 5 Maret 2019.
Selain menurunkan target pertumbuhan, pemerintah Cina juga mengumumkan pemotongan pajak besar-besaran. Hal itu sebagai upaya pemerintah menekan perlambatan di tengah pergulatan dengan warisan utang dan kebuntuan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Batas bawah dari target PDB itu akan menjadi laju pertumbuhan ekonomi yang paling lambat dalam hampir tiga dekade terakhir. Pemangkasan target pertumbuhan ekonomi ini menjadi konsekuensi dari perlambatan Cina karena pembuat kebijakan memprioritaskan mengurangi risiko utang, memperbaiki lingkungan dan mengurangi kemiskinan.
Ekonom yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan pertumbuhan melambat menjadi 6,2 persen tahun ini dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6,6 persen. Angka ini bakal lebih menurun lebih lanjut pada tahun 2020 dan 2021.
Dalam laporan kerja tahunan Perdana Menteri Cina itu juga disebutkan komitmen menjaga rasio leverage di level stabil pada 2019. Para pembuat kebijakan berusaha kembali memacu pinjaman ke sektor swasta sambil menghindari percepatan kenaikan utang, dengan total tumpukan utang sekarang mendekati 300 persen dari PDB.
Selain itu, pemerintah juga memotong batas atas pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 3 poin persentase, yang bertujuan memberi keuntungan bagi sektor manufaktur. Rencana itu dilaporkan oleh Bloomberg News pada hari Senin.
Morgan Stanley memperkirakan, pemotongan 3 poin persentase PPN dapat memberikan dorongan senilai hingga 600 miliar yuan (US$ 90 miliar) atau 0,6 persen dari PDB. Sementara itu, target defisit anggaran tahun 2019 ditetapkan sebesar 2,8 persen dari PDB, dibandingkan dengan target tahun lalu sebesar 2,6 persen.
Target pertumbuhan yang lebih rendah dan diiringi langkah-langkah stimulus yang ditargetkan lebih lanjut menggambarkan upaya pemerintah Cina untuk menstabilkan ekonomi dan menandai pergeseran dari kebijakan tahun lalu. Laporan tersebut menegaskan kembali bahwa kebijakan moneter akan tetap bijaksana, sementara kebijakan fiskal akan lebih proaktif, lebih kuat, dan lebih efektif.
🍎
Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Jepang berhasil rebound dan berakhir menguat pada perdagangan hari ini, Jumat (1/3/2019), menyusul rilis data aktivitas manufaktur China yang mengindikasikan perbaikan pada Februari.
Indeks Topix ditutup menguat 0,50% atau 8,06 poin di posisi 1.615,72 dari level penutupan perdagangan sebelumnya. Pada Kamis (28/2), Topix berakhir melemah 0,79% atau 12,76 poin di level 1.607,66.
Baca juga: Laba Japfa Melonjak 132% Jadi Rp2,17 Triliun
Berdasarkan data Bloomberg, dari 2.125 saham pada indeks Topix, 1.179 saham di antaranya menguat, 856 saham melemah, dan 90 saham stagnan.
Saham Takeda Pharmaceutical Co. Ltd. dan SoftBank Group Corp. yang masing-masing naik 2,91% dan 1,41% menjadi pendongkrak utama Topix hari ini.
Sejalan dengan Topix, indeks Nikkei 225 berakhir menguat 1,02% atau 217,53 poin di level 21.602,69, setelah ditutup melemah 0,79% atau 171,35 poin di level 21.385,16 pada perdagangan kemarin.
Dari 225 saham yang diperdagangkan pada indeks Nikkei, 144 saham menguat, 74 saham melemah, dan 7 saham stagnan. Saham Fast Retailing Co. Ltd. (+2,13%), SoftBank Group Corp. (+1,41%), dan TDK Corp. (+4,25%) menjadi pendongkrak utamanya.
Aktivitas manufaktur China berkontraksi untuk bulan ketiga berturut-turut pada Februari tetapi dengan laju yang lebih lambat, ditunjang peningkatan dalam manufaktur domestik, menurut laporan Caixin yang dirilis hari ini.
Melansir Reuters, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) manufaktur Caixin/Markit untuk Februari naik menjadi 49,9 dari 48,3 pada Januari.
Meski masih bertahan di bawah level 50 yang menandakan kontraksi untuk bulan ketiga, angka PMI tersebut lebih baik ketimbang proyeksi ekonom dalam survey Reuters yakni 48,5.
Angka PMI Caixin juga lebih optimistis daripada angka yang dirilis survei resmi pada Kamis (28/2/2019) yang menunjukkan anjloknya sentimen bisnis di sektor ini turun ke level terendah dalam tiga tahun dan merosotnya pesanan ekspor ke level terendah dalam satu dekade.
Di sisi lain, Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa ekonomi AS melambat lebih kecil dari ekspektasi pada kuartal IV/2018. Pertumbuhan secara tahunan untuk kuartal tersebut mencapai 2,6%, lebih besar dari proyeksi sebesar 2,2% meskipun lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal III sebesar 3,4%.
Pertumbuhan yang lebih baik dari perkiraan pada kuartal keempat itu berhasil mendorong produk domestik bruto (PDB) AS naik 2,9% untuk tahun tersebut, sedikit di bawah target yang ditetapkan pemerintahan Trump yakni 3%.
“Selain data AS, yang menunjukkan bahwa ekonomi berjalan baik dan tidak terlalu buruk, kita melihat data China ini, sehingga membantu sentimen menjadi lebih baik,” ujar Ayako Sera, pakar strategi di Sumitomo Mitsui Trust Bank Ltd.
“Sentimen memburuk kemarin setelah KTT AS-Korea tidak berakhir dengan hasil yang baik. Tapi suasana hati pasar telah berubah dalam semalam dengan pandangan bahwa ekonomi tidak terlihat buruk,” lanjutnya, seperti dilansir Bloomberg.
Turut menopang sentimen bursa Jepang adalah berlanjutnya pelemahan nilai tukar yen sebesar 0,42 poin atau 0,38% ke level 111,81 yen per dolar AS pukul 14.22 WIB, setelah berakhir melemah 0,37% atau 0,41 poin di posisi 111,39 pada Kamis (28/2). Pelemahan nilai tukar yen terhadap dolar AS berpotensi mengerek laba eksportir.
🍎
Bisnis.com, JAKARTA - Sikap dovish Bank Sentral Jepang (BOJ) menempatkan obligasi pemerintah berimbal hasil (yield) negatif ke dalam menu investasi asing atau global fund.
Data Kementerian Keuangan Jepang pada Kamis (7/2) menunjukkan, investor luar negeri membeli 638,3 miliar yen atau sebesar US$5,8 miliar obligasi Jepang lima hari hingga 1 Februari.
Bukti lain yang menunjukkan ketertarikan investor asing terhadap obligasi Jepang adalah, pelelangan Japan Government Bond (JGB) bertenor 10 tahun pada Selasa (6/2) menunjukkan permintaan terkuat dalam 13 tahun terakhir, diikuti oleh penjualan obligasi bertenor 30 tahun yang optimis dua hari kemudian.
Poros dovish dari bank sentral utama lainnya seperti The Fed dan Bank Sentral Inggris, telah mengurangi kekhawatiran terhadap potensi pelebaran yield antara Jepang dan negara-negara berkembang lain ditambah lagi dengan risiko pertumbuhan global justru mendukung reli obligasi.
Meskipun Japan Government Bond memiliki yield negatif dan mendekati nol, investor masih dapat membuat pengembalian besar dengan menukar mata uang asing ke yen dan kemudian menginvestasikan hasilnya ke dalam utang.
"Permintaan asing akan tetap kuat tahun ini, terutama untuk futures dan obligasi dengan tenor yang lebih pendek, berkat basis swap," kata Naoya Oshikubo, seorang ekonom senior di Sumitomo Mitsui Trust Asset Management Co di Tokyo, seperti dikutip melalui Bloomberg, Jumat (8/2).
Asosiasi Penjual Efek Jepang mencatat ivestasi asing bersih (net) terhadap JGB angka panjang 2,04 triliun yen pada bulan Desember.
Penggunaan transaksi swap yang mengunci nilai tukar memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak imbal balik dari obligasi Jepang - - yang menawarkan hasil terendah secara global setelah Swiss - jika dibandingkan dengan investasi pada tresuri.
Sebagai contoh, yield efektif pada JGB dengan tenor lima tahun adalah sebesar 2,95% , menawarkan 50 basis poin kenaikan tambahan di atas nominal untuk investasi dengan tenor yang sama pada tresuri Amerika Serikat.
Bank Sentral Australia telah memangkas perkiraan pertumbuhan dan inflasi sebagai tanggapan terhadap potensi konsumsi yang melemah hanya satu setelah Komisi Eropa memangkas perkiraan ekspansi untuk semua ekonomi utama di zona euro dari Jerman hingga Italia.
Ini merupakan tanda bahwa proses Brexit dan perlambatan ekonomi China merupakan ancaman yang berpotensi membuat prospek ekonomi menjadi lebih buruk.
Kekhawatiran pertumbuhan global yang meningkat akan mendukung permintaan berjangka obligasi Jepang, kata Oshikubo.
"Akan terus ada permintaan asing untuk invetasi pada JGB sebagai langkah arbitrase untuk mengurangi investasi pada futures. Langkah yang sama pernah dilakukan pada akhir tahun lalu," katanya.
Shinji Kunibe, Kepala Fixed Income di Daiwa SB Investments Ltd., mengatakan obligasi JGB jangka pendek akan sangat menarik bagi investor asing dan merupakan instrumen trading teraman selama neraca mereka tidak memiliki kendala
Tingginya permintaan asing mungkin dapat membantu menjaga keseimbangan aliran uang di Jepang sepanjang tahun ini, mengingat yield negatif di dalam negeri dan nilai tukar yen yang belum kokoh dapat mendorong investor lokal seperti perusahaan asuransi jiwa untuk mengejar investasi di luar negeri.
Menurut Kunibe, dengan yield obligasi AS memuncak dan janji Bank Sentral Eropa yang tidak akan menaikkan suku bunga tahun ini, investasi asing akan menjadi kunci untuk menentukan seberapa rendah yield obligasi Jepang akan melemah.
Nomura Securities menyatakan optimisme yang sama dimana kebijakan BOJ untuk menahan yield JGB dengan tenor 10 tahun pada level mendekati 0% menandakan permintaan obligasi pemerintah akan menguat.
Di tambah lagi dengan penundaan kenaikan bunga acuan The Fed dan Bank Sentral Inggris.
"Selama ada penurunan yang curam pada kurva relatif, JGB memegang prioritas dan daya tarik mereka untuk investasi asing tetap kuat," ujar Takenobu Nakashima, senior rates strategies di Nomura, perusahaan finansial asal Tokyo.
🍅
Bisnis.com, JAKARTA – Prospek yang lebih suram tentang ekonomi global menggerus ekspektasi pengetatan kebijakan moneter oleh bank-bank sentral utama dunia.
Menurut sejumlah analis di Moody's Investors Service, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve kemungkinan akan menaikkan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini paling banyak, alih-alih tiga atau empat kali seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Adapun Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) akan menunda peningkatan fasilitas deposito dan suku bunga refinancing hingga 2020, alih-alih paruh kedua 2019.
“Dengan laju ekspansi ekonomi melambat di seluruh negara maju dan keseimbangan risiko mengarah cenderung ke bawah, bank-bank sentral negara G-3 - Federal Reserve AS, Bank Sentral Eropa, dan Bank of Japan - semuanya mengisyaratkan pendekatan wait and see,” tulis analis Moody, seperti dilansir Bloomberg.
Baca juga: Ini Pratinjau Ekonomi 2019
Pandangan lembaga pemeringkatan tersebut sebagian diubah karena penekanan yang disampaikan The Fed baru-baru ini untuk menjadi "sabar" dan "hati-hati" terkait langkahnya melancarkan kebijakan moneter.
Sejumlah isu ketidakpastian yang berdampak di antaranya adalah pembicaraan perdagangan AS-China, perlambatan ekonomi China, dan pergeseran sentimen pasar.
Baca juga: Manufaktur Asia Melambat
Penutupan sebagian layanan pemerintah (government shutdown) AS yang berkepanjangan, dan baru berakhir untuk sementara, pun telah meninggalkan beban besar pada data ekonomi AS.
Di Eropa, para analis merujuk pada data pertumbuhan yang suram, terutama angka yang lebih buruk dari perkiraan di Jerman dan Prancis serta tanda-tanda ekspansi yang sudah lesu di Italia. Sementara itu, inflasi inti tetap jauh di bawah kisaran target ECB, menurut catatan Moody's.
“Adapun di Jepang, prospek inflasi Bank of Japan menjadi lebih buruk, ini artinya kemungkinan tidak akan ada pengetatan kebijakan moneter pada tahun ini atau pada 2020,” lanjut Moody's.
🍒
Bisnis.com, JAKARTA — Di antara tiga aset investasi aman, yaitu yen Jepang, dolar Amerika Serikat (AS), dan emas, ternyata logam mulia menjadi yang paling diminati oleh investor dalam 6 bulan terakhir, tecermin dari pergerakannya yang memimpin penguatan di antara aset investasi aman lainnya.
Berdasarkan data Bloomberg, dalam periode 6 bulan terakhir, emas memimpin penguatan dengan berhasil mencetak pergerakan positif sebesar 4,6%.
Baca juga: KOMODITAS LOGAM : Kilau Emas Berpendar
Sementara itu, dolar AS bergerak positif hanya naik 1,91%, sedangkan posisi terakhir, yaitu yen Jepang hanya berhasil menguat 1,76% sepanjang 6 bulan terakhir.
Adapun, dalam periode 6 bulan terakhir, bursa komoditas dibayangi oleh kekhawatiran pasar terkait dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global akibat perang dagang antara AS dan China yang semakin melemahkan pertumbuhan ekonomi Negeri Panda.
Baca juga: Investor Cari Aset Safe Haven, Yen Menguat
Selain itu, dalam periode tersebut pasar juga dibayangi ketidakpastian Brexit sehingga gejolak geopolitik tersebut memberikan tekanan harga pada sebagian besar komoditas dan aset investasi aman menjadi semakin menarik bagi sebagian investor.
Memasuki awal tahun, dengan mayoritas harga komoditas berhasil berbalik positif, perlahan aset investasi aman juga ikut bergerak, meskipun volatile.
Sinyal perlambatan ekonomi global menguat seiring dengan laporan International Moneter Fund yang memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2019—2020.
Oleh karena itu, permintaan aset investasi aman pun disinyalir semakin menguat. Posisi gerakan yang terkuat pun berubah pada awal tahun.
Secara year to date (ytd), yen Jepang berhasil memimpin penguatan, di antara ketiga aset investasi aman tersebut. Hanya mata uang Negeri Sakura yang mencetak pergerakan di zona hijau, yaitu menguat 0,247% (ytd).
Pada perdagangan hari ini, Selasa (22/1/2019) pukul 14.53 WIB, yen menguat 0,228% terhadap dolar AS atau naik 0,24 poin menjadi 109,42 yen per dolar AS.
Adapun, emas, pada perdagangan, hari ini, Selasa (22/1/2019) pukul 14.52 WIB, harga emas di bursa spot bergerak menguat tipis 0,02% atau naik 0,29 poin menjadi US$1.280 per troy ounce.
Sementara itu, pada perdagangan hari ini, Senin (22/1/2019) pukul 14.44 WIB, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback dihadapan sejumlah mata uang lainnya telah menguat 0,11% atau naik 0,104 poin menjadi 96,440.
🌼
JAKARTA okezone - Pertumbuhan ekonomi China 2018 hanya 6,6%. Capaian ini terendah dalam 28 tahun terakhir atau sejak 1990.
Pengumuman pertumbuhan ekonomi China ini sangat diantisipasi dan dinanti banyak orang di seuruh dunia, di tengah polemik perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Demikian seperti dilansir CNBC, Jakarta, Senin (21/1/2019).
BERITA TERKAIT+
Pertumbuhan ekonomi China ini menurut beberapa ekonom memang akan tidak jauh dari angka 6,6% atau turun dari revisi 6,8% pada 2017.
Baca Juga: Ekonomi China Tumbuh 6,9% di 2017
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2018 sebesar 6,4 persen. Angka ini sesuai harapan walaupaun mengalami penurunan jika dibandingkan kuartal III-2018 sebesar 6,5%.
Ada beberapa penyebab pertumbuhan ekonomi China 6,6% yang diumumkan hari ini.
Pertama, pertumbuhan industri tumbuh 5,7% pada Desember dari tahun sebelumnya, yang mengalahkan ekspektasi ekonom di level 5,3% dan meningkat dibandingkan November sebesar 5,4%.
Data penjualan ritel naik 8,2% pada Desember, sejalan prediksi. Hal ini mengalami kenaikan dibandingkan bulan November yang sebesar 8,1%.
"Apa yang kita lihat pada kuartal keempat adalah pertumbuhan ekonomi melambat, kita sebenarnya masih memiliki beberapa dukungan dari sebagian besar kuartal dari front-loading ekspor," kata Kepala Ekuitas BlackRock Helen Zhu.
Hal ini merujuk eksportir untuk bergegas mengirimkan barang-barang mereka keluar dari China sebelum tarif baru AS disepakati.
Zhu mengatakan, meskipun dia mengharapkan beberapa dukungan dari konsumsi China dan pemotongan pajak, pertumbuhan ekonomi 2019 akan melambat tahun ini dibandingkan dengan 2018.
Meskipun angka pertumbuhan ekonomi sudah diumumkan, namun sebagai indikator kesehatan ekonomi terbesar kedua di dunia, banyak ahli telah lama menyatakan skeptis tentang kebenaran laporan China.
"Angka PDB resmi terlalu stabil dalam beberapa tahun terakhir untuk menjadi panduan yang baik untuk kinerja ekonomi China," kata ekonom senior China Capital Economics, Julian Evans-Pritchard.
"Tapi untuk apa nilainya, rincian tajuk menunjukkan bahwa aktivitas sektor jasa menguat sedikit kuartal terakhir," tambahnya.
Kepala BPS China mengatakan, perselisihan perdagangan negaranya dengan AS telah mempengaruhi ekonomi domestik, tetapi dampaknya dapat dikelola, menurut laporan Reuters.
Dia mengatakan, ekonomi China telah menunjukkan tren yang melambat tetapi stabil dalam dua bulan terakhir, dan bahwa itu masih didorong secara keseluruhan oleh permintaan domestik.
Bahkan sebelum meningkatnya ketegangan perdagangan dengan AS, China sudah berusaha mengelola perlambatan ekonomi.
(dni)
The last time economic growth was so tepid was 1990, when the economy slumped in the aftermath of the Tiananmen Square incident. Last year, the economy was hampered by a drive to cut regional government and corporate debt, as well as China's trade war with the U.S.
Despite the slowdown, the growth rate for 2018 exceeded the target of about 6.5% set by the Chinese government. The economy grew faster in 2017 for the first time in seven years, but slowed again in 2018.
The growth rate was 6.4% in real terms on the year in the October-December period of 2018. It was down 0.1 of a percentage point from the July-September period, marking a slowdown for the third consecutive quarter below or equal to 6.4% for the first time since January-March 2009, just after the collapse of Lehman Brothers Holdings.
The growth rate for the October-December quarter of 2018 was the same as the average figure of 6.4% in a market survey conducted jointly by Nikkei and group company Nikkei Quick News. It was the lowest quarterly figure since 1993, the first year for which such statistics are available. Quarter-on-quarter growth slowed to 1.5% from the 1.6% for July-September. Annualized as in developed countries, the growth rate was about 6%.
Other economic data was also released on Monday. Fixed-asset investment, including construction of plants and condominiums, rose 5.9% on the year in 2018, contracting from the previous year's 7.2% increase. The biggest factor was slowing infrastructure investment, including in railways and roads, which grew 3.8% on the year in 2018, down markedly from the previous year's 19% increase.
Total retail sales of consumer goods -- a sum of the sales of department stores, supermarkets and online shopping -- jumped 9.0% on the year in 2018, but was slower than previous year's 10.2% increase. The growth rate of retail consumer goods sales fell below 10% for the first time since 2003, dragged down by sluggish sales of cars and smartphones. Total retail consumer goods sales grew only 8.2% in December.
Industrial output increased 6.2% on the year in 2018, contracting from last year's 6.6% increase, dragged down by slumping production of cars, smartphones and PCs. Industrial output grew 5.7% in December.
The U.S. and China imposed additional tariffs of up to 25% on each other in July-September. Chinese products worth a total of $250 billion were affected by the additional U.S. tariffs, and exports to the U.S. fell for these products. As the impact of the trade war became clear, both consumption and production have shown steep declines since autumn.
Yusuke Miura, senior economist of Mizuho Research Institute, said that the "decline in the fourth quarter in 2018 is caused by slowing consumption rather than the direct impact of the trade war."
He noted that auto sales are falling in reaction to the tapering of stimulus measures from 2017, and home loans are burdening people who bought houses during the 2016 boom, putting further downward pressure on consumption. "The trade war might lead employees of exporting companies to cut spending," he added.
The slowdown should continue in 2019 because it is likely that the influence of the trade tiff will spread and exports will decline further.
Market analysts see strong downward pressures in the first half of the year, with the world's No. 2 economy expected to expand only 6.2% in real terms, according to the average of forecasts from 32 economists polled by Nikkei and Nikkei Quick News in December.
There may be some improvement in the second half as the government has already announced support measures, including monetary easing, large tax cuts and an expansion of infrastructure investment, but the surge could be temporary.
"We expect the uptick in industrial output and consumer spending to prove short-lived," said Julian Evans-Pritchard of Capital Economics in a report on Monday. He points out that headwinds from weakening global growth and slower credit growth could likely intensify in the coming months.
Nikkei staff writer Akihide Anzai in Tokyo and Kentaro Iwamoto in Singapore contributed to this article.
🍭
Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan tiga indeks saham utama di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) berhasil bangkit dari pelemahannya dan berakhir naik pada perdagangan Selasa (15/1/2019), bersama dengan saham global, didorong harapan langkah stimulus lebih lanjut oleh China.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup naik 0,65% atau 155,75 poin di level 24.065,59, indeks S&P 500 menanjak 1,07% atau 27,69 poin ke 2.610,3, sedangkan indeks Nasdaq Composite berakhir menguat 1,71% atau 117,92 poin di level 7.023,83.
Sentimen untuk Wall Street terangkat setelah Presiden AS Donald Trump berbicara tentang peluang kesepakatan perdagangan dengan China dan para pejabat pemerintahan China mengisyaratkan lebih banyak stimulus untuk ekonomi mereka yang melambat.
Pemerintah China mengisyaratkan akan melancarkan lebih banyak stimulus, termasuk memangkas pajak, untuk menunjang ekonomi negara tersebut, sehari setelah rilis data perdagangan yang lebih lemah dari perkiraan.
Asisten menteri keuangan, Xu Hongcai, mengatakan skala pengurangan pajak untuk tahun ini akan menjadi sekitar 1,3 triliun yuan (US$ 190 miliar), seperti dilansir Bloomberg.
Sementara itu, menurut Lian Weiliang, wakil ketua Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China, pemerintah berencana untuk memulai pembangunan proyek-proyek besar serta mendorong pemukiman migran pedesaan di kota-kota, memangkas birokrasi, mengurangi konsumsi energi, serta membuka lebih banyak area bisnis untuk investasi asing.
China sebelumnya dilaporkan mencatat penurunan ekspor dan impor pada bulan Desember 2018. Fakta ini menunjukkan pelemahan lebih lanjut dalam negara berekonomi terbesar kedua di dunia tersebut dan permintaan global yang lebih lesu.
“Setiap langkah untuk menstabilkan ekonomi global oleh China harus dilihat secara positif juga oleh AS,” tutur Chris Zaccarelli, Chief Investment Officer, Independent Advisor Alliance di Charlotte, North Carolina, dikutip Reuters.
Kenaikan 6,5% dalam saham Netflix turut mengangkat bursa saham AS. Sementara itu, saham JPMorgan Chase & Co mampu berakhir sedikit naik meskipun melaporkan kenaikan laba dan pendapatan kuartalan yang lebih rendah dari perkiraan, akibat terbebani kelesuan dalam perdagangan obligasi.
🌽
BEIJING (Reuters) - China will aim to achieve “a good start” in the first quarter for the economy, the state planner said on Tuesday, signaling authorities could roll out more stimulus measures in the near term to counter slowing growth.
China will strengthen monitoring of its economic situation and improve its “reserve” of economic policies, the National Development and Reform Commission (NDRC) said in a statement.
The world’s second-biggest economy slowed in 2018 as Chinese authorities carried out painful long-term structural adjustments to transition to a more gradual but sustainable growth trajectory.
A trade war with the United States has also heaped uncertainty on China’s near-term outlook. Exports unexpectedly fell the most in two years in December in a sign of mounting pressure on the economy.
Premier Li Keqiang said China achieved its key 2018 economic targets, which were “hard-worn”, and seeks a strong start to the economy in the first quarter to establish conditions helpful to meeting this year’s goals, according to state television on Monday.
Sources told Reuters last week that Beijing was planning to lower its growth target to 6-6.5 percent this year after an expected 6.6 percent in 2018, the slowest pace in 28 years.
The proposed target, to be unveiled at the annual parliamentary session in March, was endorsed by top leaders at the annual closed-door Central Economic Work Conference in mid-December, the sources told Reuters.
Annual growth of about 6.2 percent is needed this year and in 2020 to meet the ruling Communist Party’s longstanding goal of doubling gross domestic product and incomes in the decade to 2020, and to turn China into a “modestly prosperous” nation.
China has lowered the level of reserves that commercial banks need to set aside for the fifth time in a year, to spur lending, particularly to small and medium-sized firms. Beijing has also cut taxes and fees, and stepped up infrastructure investment to shore up the economy.
This year, China will step up fiscal expenditure and implement larger tax and fee cuts. The cuts will focus on reducing burdens for small firms and manufacturers, the finance ministry said in a statement on Tuesday.
Stabilizing employment is the government’s top priority, NDRC Vice Chairman Lian Weiliang said at a press conference on Tuesday.
NO FLOOD OF STIMULUS
China will speed up investment projects and local government bond issuances, but will not resort to “flood-like” stimulus, Lian said.
The central bank, in a separate statement, said it will maintain prudent monetary policy, keeping it neither too tight nor too loose, and strengthen the counter-cyclical adjustments.
Monetary policy will be made more forward-looking, flexible and targeted, the People’s Bank of China (PBOC) said.
A prudent monetary policy does not mean that there will be no changes, PBOC Deputy Governor Zhu Hexin said at the press conference.
When asked if the PBOC should cut benchmark interest rates, Zhu said existing monetary policy measures should be improved.
A few analysts believe interest rate cuts are a possibility, but most expect Beijing will refrain from massive stimulus measures like those deployed in the past, due to worries that it could add to a mountain of debt and weaken the yuan.
“Both fiscal and monetary policy have been loosened over the past few months and this should start to feed through to the real economy by the second half of this year,” analysts at Capital Economics said in a note.
Wall Street falls amid growth concerns
“However, the scale of the stimulus so far has been more limited than in 2015-16, and the effect on activity is likely to be correspondingly smaller.”
Chinese banks extended 16.17 trillion yuan ($2.40 trillion) in net new yuan loans last year, the PBOC said in its statement, blowing past the previous record of 13.53 trillion yuan in 2017.
Outstanding yuan loans were up 13.5 percent at the end of 2018 from a year earlier, according to the central bank.
($1 = 6.7507 Chinese yuan renminbi)
Reporting by Kevin Yao; Writing by Ryan Woo; Editing by Richard Borsuk & Shri Navaratnam
🍐
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Bursa saham Wall Street menanjak lagi pada awal perdagangan, Selasa (8/1). Penguatan saham sektor industri dan lonjakan harga saham Amazon membantu memperpanjang rebound bursa Wall Street untuk hari ketiga berturut di tengah meningkatnya harapan kemajuan dalam pembicaraan perdagangan Amerika Serikat (AS)-China.
Meskipun baru sedikit perincian yang muncul dari negosiasi perdagangan tersebut, namun seorang anggota delegasi AS mengatakan, pembicaraan akan berlanjut untuk hari ketiga yang sebetulnya tidak dijadwalkan.
BACA JUGA
Presiden AS Donald Trump sebelumnya men-tweet bahwa perundingan tersebut berjalan sangat baik. Komentar Trump itu ikut mengangkat indeks bursa saham AS.
Saham-saham yang sensitif terhadap perdagangan seperti Boeing Co dan Caterpillar Inc naik lebih dari 2% persen dan mendorong indeks Dow Jones Industrial Average.
Harga saham Amazon.com Inc yang naik 2% juga membantu mendongkrak indeks Wall Street. Kenaikan saham Amazon membuat kapitalisasi pasar pengecer online itu menyalip market cap Microsoft Corp untuk menjadi perusahaan Wall Street yang paling berharga. Harga saham Microsoft sendiri naik 1,2%.
Mengutip Reuters hingga pukul 10.06 waktu AS, Selasa (8/1), indeks Dow Jones Industrial Average naik 271,57 poin atau 1,15% menjadi 23.802,92. Indeks S&P 500 naik 23,77 poin atau 0,93% ke level 2.573,46 dan indeks Nasdaq Composite naik 56,01 poin atau 0,82% menjadi 6.879,48.
Indeks Wall Street telah melonjak dalam dua hari terakhir, terdorong data pekerjaan yang kuat dan pernyataan Kepala The Federal Reserve yang menenangkan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga akan mengganggu pertumbuhan ekonomi AS.
"Dengan AS dan China dalam pembicaraan untuk mengurangi konflik perdagangan mereka, The menunjukkan kesediaan untuk memperlambat siklus pengetatan dan ekonomi masih berkinerja baik. Pasar mungkin terlihat sedikit lebih menarik," kata Craig Erlam, analis senior Oanda di London seperti dikutip Reuters.
Sengketa perdagangan dan kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi AS telah memicu aksi jual di pasar saham AS pada akhir 2018 lalu.
🍃
Liputan6.com, Shanghai - Bursa saham China terutama indeks saham Shanghai membukukan performa terburuk di dunia pada 2018. Indeks saham Shanghai melemah 24,6 persen sepanjang 2018. Indeks saham Shanghai tergelincir ke posisi 2.493,90.
Hal itu dipicu dari perang dagang Amerika Serikat (AS)-China membebani ekonomi dan menekan kinerja pendapatan perusahaan.
Indeks saham Shenzhen turun 33,2 persen ke posisi 1.267,87. Kapitalisasi pasar dari dua bursa saham tersebut turun USD 2,4 triliun menjadi 43,3 triliun yuan (USD 6,3 triliun atau sekitar Rp 91.182 triliun-asumsi kurs Rp 14.473 per dolar AS).
BACA JUGA
"Bursa saham sering dijadikan sebagai barometer kesehatan ekonomi domestik atau nasional. Pelemahan saham seri A China merefleksikan sejumlah masalah serius dalam ekonomi China," ujar Analis Huatai United Securities, Li Wenhui, seperti dikutip dari laman SCMP, Selasa (1/1/2019).
Pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 6,5 persen pada kuartal III 2018. Pertumbuhan tersebut terlambat sejak 1992.
Dampak perang dagang pun diperkirakan lebih buruk terhadap perusahaan dan kondisi rumah tangga di China. Berdasarkan survei Nikkei terhadap 32 ekonom, pertumbuhan ekonomi China bisa melambat menjadi 6,2 persen pada 2019.
Selain itu, berdasarkan statistic terbaru menunjukkan laba industri November turun untuk pertama kali dalam hampir tiga tahun. Sementara pertumbuhan penjualan ritel melambat ke level terendah dlaam 15 tahun.
Direktur Eddid Securities and Futures, Ryan Chan menuturkan, perang dagang yang saat ini dalam gencatan senjata selama 90 hari menimbulkan bayangan panjang atas prospek ekonomi global. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran global.
"Situasi ekonomi mengkhawatirkan di China dan AS. Ekonomi AS telah melambat, sementara China sedang berjuang dengan utang perusahaan besar-besaran, tekanan likuiditas dan kesengsaraan sektor swasta," ujar Chan.
Adapun indeks saham lainnya yaitu indeks saham Hang Seng naik 0,1 persen ke posisi 25.504,20. Indeks saham China Enterprise sedikit berubah ke 9.992. Dengan pasar telah memburuk diharapkan dapat mendorong pemerintah memberikan stimulus keuangan.
"Kami berharap pemerintah melonggarkan likuiditas tahun depan di tengah penurunan ekonomi saat ini," kata Zhang Xia, Chief Strategist China Merchants Securities.
2 dari 3 halaman
Kapitalisasi Pasar Saham di Bursa Asia Terpangkas USD 5 Triliun
Mengutip laman Bloomberg, untuk bursa saham Asia dapat dibagi menjadi dua hal yaitu reli capai rekor dan pasar bergejolak sehingga menekan kapitalisasi pasar saham USD 5,2 triliun.
Indeks saham MSCI Asia Pasifik pun turun 22 persen dari puncak tertinggi pada Januari. Adapun reli yang terjadi pun tidak banyak membantu untuk meringankan tekanan dari apa yang telah menjadi tahun terburuk sejak 2011.
Sejumlah faktor pengaruhi bursa saham Asia antara lain kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi, perang dagang AS-China.
"Ada sangat sedikit safa havens yang bekerja pada 2018. Bursa saham di Asia tidak terhindar dari meningkatnya ketegangan perang dagang dan kenaikan suku bunga. Investor mungkin terkejut dengan besarnya dampak ke pasar," ujar Senior Investment Strategist DBS Group Holdings, Jason Low.
Selain faktor perang dagang, sektor saham teknologi pun berimbas ke bursa saham Asia. Saham Apple Inc dan Amazon.com yang anjlok sekitar 30 persen pada pertengahan tahun.
Saham-saham internet di Asia pun ikut lesu. Saham Tencent Holdings Ltd turun 47 persen. Ditambah kondisi bursa saham China terutama Shanghai yang kurang menggembirakan juga berdampak ke Asia.
3 dari 3 halaman
Emiten Indonesia Masuk Saham Catatkan Pertumbuhan Tinggi di Asia
Meski begitu ada sejumlah saham-saham di Asia catatkan pertumbuhan terbaik dan terburuk di Asia pada 2018 versi Bloomberg. Saham-saham itu bahkan ada yang merupakan emiten asal Indonesia.
Saham-saham catatkan top gainers antara lain:
1. PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM) dengan naik 280 persen. Hal itu dipicu dari kenaikan ritel online global.
2 . PT Indah Kiat Kiat Pulp and Paper (INKP) mendaki 114 persen sepanjang 2018.
3. Fila Korea Ltd. Saham Fila Korea Ltd menanjak 228 persen. Saham Fila Korea cetak rekor pada November usai perseroan membukukan kinerja laba operasional naik signifikan pada kuartal III 2018.
4. Yihai International Holding Ltd. Saham Yihai International Holding menanjak 156 persen.
4. Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co. Saham Daewoo menanjak 146 persen.
Sedangkan saham-saham yang tertekan antara lain:
1.Meitu Inc. Saham Meitu Inc melemah 80 persen usai pelaku pasar fokus terhadap privasi data dan peringatan laba.
2. Brilliance China Automative Holdings Ltd merosot 72 persen.
3. Sharp Corp. Saham Sharp Corp tergelincir 72 persen usai menunjukkan perlambatan untuk permintaan produk Apple Inc yaitu iPhone.
4. AAC Technologies Holdings Inc. Saham AAC Technologies merosot 67 persen.
5. Saham Vodafone Idea Ltd. Saham Vodafone merosot 65 persen.
🍀
NEW YORK okezone - Kurs dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), setelah pasar ekuitas rebound dari tingkat terendah satu setengah tahun terakhir.
Pada akhir perdagangan New York, euro turun menjadi 1,1352 dolar AS dari 1,1387 dolar AS pada sesi sebelumnya, dan pound Inggris turun menjadi 1,2647 dolar AS dari 1,2674 dolar AS pada sesi sebelumnya. Dolar Australia naik menjadi 0,7056 dolar AS dari 0,7035 dolar AS.
BERITA TERKAIT+
Dolar AS dibeli 111,35 yen Jepang, lebih tinggi dari 110,12 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS naik menjadi 0,9950 franc Swiss dari 0,9862 franc Swiss, dan turun menjadi 1,3582 dolar Kanada dari 1,3659 dolar Kanada. Demikian seperti dilansir Xinhua, Jakarta, Kamis (27/12/2018).
Saham-saham di Wall Street mencatat hari terbaik mereka dalam hampir satu dekade pada perdagangan Rabu dengan ketiga indeks utama mencatat kenaikan lebih dari 4,00%.
Para analis mengatakan pasar saham menunjukkan tanda stabilisasi, yang membantu mengangkat dolar AS.
Indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, naik 0,36% menjadi 97,0577 pada akhir perdagangan.
(dni)
🍒
NEW YORK (Reuters) - U.S. stocks are down only slightly for 2018, but that masks a volatile year for investors
Trade-related tensions between the United States and China, weakness in the tech sector, concerns about slowing global growth and jitters about the Federal Reserve marching toward higher interest rates have kept investors on their toes.
Daily gyrations for the S&P 500 Index .SPX spiked sharply this year and remain near a one-year high.
One-month historical volatility - a measure of how much stocks have swung on a daily basis over the course of a month - has risen to 21 percent, up from about 7 percent a year ago.
(Graphic: Daily gyrations for the S&P 500 Index - tmsnrt.rs/2SJjOaH)
That jump has fueled option traders’ expectations for future stock swings. The Cboe Volatility Index, a widely followed barometer of expected near-term volatility for stocks, has logged an average daily close of 15.8 so far in 2018, up from 11.2 last year.
(Graphic: Wall Street fear gauge - tmsnrt.rs/2PC6nHx)
And option traders expect stock gyrations to persist beyond just the near term. The VIX futures curve, which depicts prices of contracts of different expiration dates, is very flat, indicating traders expect the VIX will hang around current levels for the foreseeable future.
(Graphic: VIX futures curve - tmsnrt.rs/2PAXYnK)
Speculators’ positions in VIX futures have also undergone a sea change. Asset managers, leveraged funds and other reporting classes that make up the so-called buy side are net long VIX futures. A year ago, they were significantly net short.
(Graphic: Buy side positions in VIX futures - tmsnrt.rs/2PCm0P8)
U.S. equity investors, who spent 2017 cocooned in one of the most tranquil periods in history, were jolted by the return of volatility. The resurgence was so extreme it derailed several products that employed VIX futures.
Some VIX-linked products that thrived in the calm of 2017 went belly up, and the number of VIX futures open contracts logged its largest percentage decline in a decade.
(Graphic: VIX Futures - tmsnrt.rs/2QTmyoA)
The turmoil in equity markets has meanwhile spurred a rush of options trading and boosted U.S. equity options trading volume to a record high year.
(Graphic: U.S. equity options volume - tmsnrt.rs/2zX8SiA)
🌷
NEW YORK, KOMPAS.com - China merilis data hasil produksi industri dan pertumbuhan penjualan ritel bulan November 2018 yang berada di bawah ekspektasi. Hal ini berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Nasional. Dikutip dari CNBC, Jumat (14/12/2018), data tersebut sejalan dengan ekonomi China menunjukkan tanda-tanda perlambatan karena perang dagang dengan AS. Hasil produksi industri pada November 2018 tumbuh 5,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Capaian tersebut merupakan angka terendah dalam tiga tahun. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan poling para analis Reuters yang mencapai 5,9 persen. Sementara itu, penjualan ritel tumbuh 8,1 persen pada November 2018, angka terendah sejak 2003 dan lebih rendah dibandingkan pada bulan Oktober 2018 yang mencapai 8,6 persen. Investasi aset tetap tumbuh 5,9 persen selama Januari-November 2018, lebih tinggi dibandingkan proyeksi ekonom yakni 5,8 persen. Data ekonomi China sangat dipantau oleh banyak pihak, terkait dengan perang dagang dengan AS. Ini sejalan pula dengan defisit transaksi berjalan dengan China yang dikeluhkan Trump.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ada Perang Dagang, Data Ekonomi China Jadi "Jelek"", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/14/224344326/ada-perang-dagang-data-ekonomi-china-jadi-jelek.
Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan
🍅
bbc.com: Prime Minister Theresa May has won a vote of confidence in her leadership of the Conservative Party by 200 to 117.
After securing 63% of the total vote, she is now immune from a leadership challenge for a year.
Speaking in Downing Street, she vowed to deliver the Brexit "people voted for" but said she had listened to the concerns of MPs who voted against her.
Her supporters urged the party to move on but critics warned of a stalemate over finding an acceptable Brexit deal.
The prime minister won the confidence vote with a majority of 83, with 63% of Conservative MPs backing her and 37% voting against her.
The secret ballot was triggered by 48 of her MPs angry at her Brexit policy, which they say betrays the 2016 referendum result.
Reaction as Theresa May wins confidence vote
Pound eases as May wins confidence vote
For or against? How Tory MPs said they would vote
Brexit: A really simple guide
The BBC's Laura Kuenssberg said the level of opposition was "not at all comfortable" for the prime minister and a "real blow" to her authority.
Skip Twitter post by @bbclaurak
Laura Kuenssberg
✔
@bbclaurak
Replying to @bbclaurak
Of course her colleagues in govt relieved that she can try to carry on but it's a survival not success tonight - another big knock to the PM's credibility, and no solution at all to the gridlock in Parliament - she's survived, her brexit compromise can't in its current form
314
4:44 AM - Dec 13, 2018
Twitter Ads info and privacy
219 people are talking about this
Twitter Ads info and privacy
Report
End of Twitter post by @bbclaurak
Speaking shortly after the result was announced, Mrs May said she would be fighting for changes to her Brexit deal at an EU summit on Thursday.
"I am pleased to have received the backing of my colleagues in tonight's ballot," she said.
"Whilst I am grateful for that support, a significant number of colleagues did cast a vote against me and I have listened to what they said."
She spoke of a "renewed mission - delivering the Brexit people voted for, bringing the country back together and building a country that really works for everyone".
How have Conservative MPs reacted?
Jacob Rees-Mogg, who led calls for the confidence vote, said losing the support of a third of her MPs was a "terrible result for the prime minister" and called on her to resign.
Andrew Bridgen, who voted against Mrs May, said it was "huge opportunity missed to reset our Brexit negotiations with a new prime minister" and there was a risk of "deadlock" in Parliament.
Transport Secretary Chris Grayling said there were "lessons for the prime minister and the party" in the result but former cabinet minister Damian Green said it was a "decisive" victory for the prime minister, which should allow her to "move on and get on with the job in hand".
Media captionMay survives confidence vote
Conservative grandee Nicholas Soames urged Brexiteers to "throw their weight" behind the PM as she sought to address the "grave concerns" many MPs had about aspects of the EU deal.
The result was greeted by cheers and applause from Tory MPs as it was announced by backbench Tory chairman Sir Graham Brady.
The prime minister still faces a battle to get the Brexit deal she agreed with the EU through the UK Parliament, with all opposition parties and, clearly, dozens of her own MPs against it.
What are the opposition saying?
Labour leader Jeremy Corbyn said the vote had "changed nothing".
"Theresa May has lost her majority in Parliament, her government is in chaos and she's unable to deliver a Brexit deal that works for the country."
Media captionBrexit battles: How May lived to fight another day
Labour has said it will table a no-confidence motion that all MPs - not just Conservatives - will be able to vote in when they felt they had a chance of winning it, and forcing a general election.
The SNP's Stephen Gethins urged Labour to "step up to the plate" and call a vote of no confidence in Mrs May, accusing the government of "playing games with people's lives".
DUP deputy leader Nigel Dodds said his party, which helps keep Mrs May in power, was still concerned about the Irish backstop plan, which most MPs were against.
"I don't think this vote really changes anything very much in terms of the arithmetic," he told BBC News.
But he said the DUP would not support a no-confidence motion in Parliament at this stage.
PM pledges not to fight next election
Mrs May earlier vowed to fight on to deliver her Brexit deal, which she argues is the only option for leaving the EU in an orderly way on 29 March.
But in a last-minute pitch to her MPs before the vote she promised to stand down as leader before the next scheduled election in 2022.
While "in her heart" she wanted to fight another election as leader, she realised her party did not want her to. However, she resisted calls to name a firm date for her departure.
If she had lost the confidence vote Mrs May would have been forced to stand down as Conservative Party leader, and then as prime minister.
But she is now expected to travel to a summit in Brussels on Thursday to continue trying to persuade EU leaders to change the deal - they have previously said it can not be renegotiated.
The outcome of the vote was welcomed by Austrian chancellor Sebastian Kurz, who said avoiding a no-deal exit from the EU was their "shared goal".
🌹
bbc.com: Recessions are painful. Shrinking output tends to mean huge job losses, stagnant incomes and widespread misery.
And when that recession is in the world's largest economy, it's a major headache for its trading partners, not least the UK which sells 30% of its exports to the US.
Investors are increasingly concerned there's an American recession brewing.
Of course, they, and also economists, can get it wrong. But is there a sure-fire way of predicting recessions?
Government bond markets may be one the most accurate form of financial tea leaves.
A central bank study in the US found that the bond markets had successfully foreshadowed all five US recessions since 1955.
Those bonds, known as Treasuries in the US, are issued as a form of borrowing by governments, to fund spending.
They come with different lengths of maturity - and offer investors a rate of return, paid out in regular instalments.
That rate is a fixed proportion of the ultimate value of the bond. As bonds can be freely traded, their prices change.
If demand is high, the price rises, and the bond's rate of return relative to the market price, or its yield, falls. Conversely, a lower price means a rising yield.
Healthy clip
What influences the price of bonds? Their relative attractiveness compared to other investments (if the yield is high and so price low, buyers are likely to be lured in) and also, expectations of further interest rate movements.
What does this have to do with a recession? Analysts monitor the yields of bonds across the range of maturities, right up to 30 years to plot the yield curve.
The lower the yield, the lower the expected interest rate, the worse the economy is expected to be performing.
Bonds with a longer maturity would be expected to have a higher return anyway, to compensate holders for inflation and a longer holding period.
Typically, when the outlook is for activity to expand at a healthy clip, the yield curve will slope upwards, implying interest rates on an upward trend.
But if the yield curve "inverts" - normally meaning the yield on a 10-year bond is below that of 2-year bond, it serves as an economic health warning.
But how good are these curves for predicting recessions?
Reliable indicator
The bond markets were dependable signals of all the recessions in the US since 1955.
But in the mid-1960s, the inversion of the Treasuries yield curve was followed by a slowing in activity rather than an outright contraction.
So it's not foolproof but it's probably the most reliable indicator around
What the yield curve doesn't tell us is when the US economy could go into reverse.
Over the last 60 years or so, recessions have begun from 9 to 24 months after a yield curve inverts. At present, the unemployment rate is a very modest 3.7%, while the economy continues to grow apace. But a turning point may not be far off.
What's more, predictions drawn from yield curves may be self-fulfilling.
Much as consumers react to warnings about tough times by reining in spending, banks tend to become more cautious about lending when they notice the yield curve inverting.
Less credit swilling around- in the form of mortgages, car finance, cards or corporate loans - equals less spending to fuel growth.
The warning from the bond markets should be taken seriously - and not just by those in the markets.
Capital Economics warns that there is 30% chance of the US entering recession within 18 months: just in time for the run-up to the next US presidential election.
🌷
A currency crisis, credit-rating downgrades and U.S. sanctions wreaked havoc on Turkish markets this year. Yet that turmoil has set the stage for one of next year’s most attractive trades in the developing world, according to AllianceBernstein and NWI Management.
Shamaila Khan, AllianceBernstein’s director of emerging-market debt, and Hari Hariharan, chief executive officer at NWI Management, both picked Turkish bonds as their top trade idea for 2019 during a panel discussion Thursday at the Emerging Markets Traders Association’s annual meeting in New York. Khan said she favored lira-denominated notes, while Hariharan preferred Turkish dollar bonds, especially in the banking industry.
There are some signs the tide has begun to turn. Since slumping to an all-time low in August, the lira has rallied 30 percent, more than any other major currency tracked by Bloomberg. Still, higher interest rates have crippled some Turkish companies and Moody’s Investors Service expects the economy to shrink through 2019’s first half.
"The last time, two months ago, I had the same trade and people almost killed me on the panel," Khan said.
Two other investors on Thursday’s panel had different ideas. Jim Barrineau, the New York-based head of emerging-market debt at Schroders, said he recommends a basket of short-duration non-investment grade bonds from developing nations.
"Hold it and go to sleep, and you’ll outperform virtually every other asset class," he said.
The fourth panelist, BlackRock Inc. portfolio manager Pablo Goldberg, said he expects emerging-market debt to look more attractive next year compared with U.S. high-yield notes as U.S. growth slows.
Here’s what else they had to say:
Khan
Hariharan
Barrineau
☕
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wall Street merosot lebih dari 3% pada perdagangan Selasa (4/12) akibat kekhawatiran investor akan perdagangan global. Indeks Dow Jones Industrial Average turun 3,10% ke 25.027,07.
Indeks S&P 500 turun 3,24% ke 2.700,06. Indeks Nasdaq turun 3,80% ke 7.158,68.
BACA JUGA
Komentar pejabat penting Federal Reserve soal kenaikan suku bunga menambah ketidakpastian investor. Hal lain yang memengaruhi pasar adalah kemunduran rencana Inggris yang akan keluar dari Uni Eropa.
Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah Amerika Serikat (AS) atau US Treasury bertenor 10 tahun turun ke level terendah sejak pertengahan September. Selisih antara yield 10 tahun dengan tenor pendek 2 tahun menyempit ke level terendah dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran. Ketika yield US Treasury bertenor 2 tahun lebih dari 10 tahun, secara historis mengawali periode resesi dalam 50 tahun terakhir.
Yield US Treasury tenor 2 dan 3 tahun kini berada di atas yield 5 tahun. "Pasar khawatir akan kurva yield yang terbalik dan artinya bagi ekonomi. Karena biasanya hal ini terjadi mengawali resesi," kata Chuck Carlson, chief executive officer Horizon Investment Services kepada Reuters.
Senin (3/12), pasar saham menguat setelah munculnya masa tenggang penerapan tarif perdagangan antara AS dan China selama 90 hari. Tapi optimisme ini mulai luntur. Presiden AS Donald Trump memperingatkan bahwa dia akan beralih ke tarif jika kedua pihak tidak mencapai kesepakatan.
"Aksi jual yang terjadi sepanjang hari adalah akibat tarif dan kesadaran investor bahwa belum ada sesuatu yang diselesaikan. Masalah perdagangan ini masih perlu pembicaraan lebih lanjut," kata Delores Rubin, senior equities trader Deutsche Bank Wealth Management.
Presiden Federal Reserve New York John Williams mengatakan bahwa bank sentral AS seharusnya melanjutkan kenaikan suku bunga hingga tahun depan meski The Fed akan tetap memerhatikan kemungkinan risiko pasar finansial. Komentar ii muncul setelah Gubernur The Fed Jerome Powell pekan lalu memunculkan sinyal kenaikan suku bunga yang kurang agresif.
🍎
Bisnis.com, JAKARTA – Tiga indeks saham utama di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) kompak terpelanting lebih dari 3% pada perdagangan Selasa (4/12/2018).
Merosotnya indeks saham tersebut didorong pelemahan saham bank dan industri, saat pasar obligasi AS mengirimkan tanda-tanda mengganggu tentang pertumbuhan ekonomi dan investor kembali mengkhawatirkan perdagangan global.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 3,1% atau 799,36 poin di level 25.027,07, indeks S&P 500 terjungkal 3,24% atau 90,31 poin di 2.700,06, sedangkan indeks Nasdaq Composite berakhir terpelanting 3,8% atau 283,09 poin di level 7.158,43.
Indeks S&P 500 membukukan persentase penurunan harian terbesarnya dalam sekitar dua bulan, sekaligus mengikis sebagian kenaikan yang mampu dibukukan pada perdagangan Senin (3/12) dan sepekan sebelumnya.
Fokus para investor tertuju pada imbal hasil obligasi AS, dimana imbal hasil bertenor 10 tahun turun ke titik terendahnya sejak pertengahan September.
Spread antara imbal hasil bertenor 10 tahun terhadap tenor dua tahun juga menyusut ke yang terkecil dalam lebih dari satu dekade. Ini menjadi hal yang dicermati karena apa yang disebut “inversi” kurva imbal hasil mengawali semua resesi dalam 50 tahun terakhir.
Sebagian dari kurva itu memang membalik, dengan imbal hasil obligasi bertenor dua tahun dan tiga tahun bertahan di atas imbal hasil lima tahun untuk hari kedua.
“Ini adalah kekhawatiran tentang kurva imbal hasil yang terinversi, apa artinya bagi perekonomian dan merupakan awal untuk resesi,” kata Chuck Carlson, chief executive officer di Horizon Investment Services di Hammond, Indiana, seperti dilansir Reuters.
Padahal, Wall Street mampu menguat pada perdagangan Senin (3/12) menyusul 'gencatan senjata' yang disepakati antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping terkait konflik perdagangan mereka setelah melalui pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir pekan kemarin.
Namun, optimisme investor atas tercapainya resolusi menyurut pada hari Selasa (4/12). Trump sendiri memperingatkan dia akan kembali mempertimbangkan tarif jika kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan.
“Aksi jual yang telah kita lihat sepanjang hari ini benar-benar tentang mencermati pembicaraan tarif dan menyadari bahwa tidak ada yang diselesaikan,” kata Delores Rubin, pedagang ekuitas senior di Deutsche Bank Wealth Management di New York.
“Masih ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dan sebagian euforia yang kita rasakan kemarin lebih karena pemberitaan ketimbang substansi.”
Saham finansial, yang sangat sensitif terhadap perubahan pasar obligasi, turun 4,4%. Adapun sektor industri yang sensitif terhadap isu perdagangan turun 4,4%, dengan saham Boeing dan Caterpillar masing-masing melemah 4,9% dan 6,9%.
Komentar dari seorang pejabat Federal Reserve tentang arah kenaikan suku bunga menambah ketidakpastian bagi investor, seperti halnya kemunduran bagi rencana Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa.
Pada Selasa (4/12), Presiden Fed New York John Williams mengatakan bank sentral AS tersebut akan berharap untuk terus menaikkan suku bunga "pada tahun depan atau lebih" bahkan ketika mencermati risiko yang mungkin disorot oleh pasar keuangan.
Komentar itu muncul setelah pernyataan yang disampaikan Gubernur Fed Jerome Powell pekan lalu, yang mengangkat saham karena ditafsirkan menunjukkan jalur kenaikan suku bunga yang kurang agresif.
🍐
Bisnis.com, JAKARTA - Periode 'gencatan senjata' dalam perang dagang akan menimbulkan gairah baru bagi pasar modal Indonesia.
Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo menuturkan, pasar modal Indonesia sempat terkena sentimen negatif dari perang dagang. 'Gencatan senjata' ini akan membuat pasar modal lebih sehat dan bergairah.
BACA JUGA :
"Capital inflow akan masuk kembali dan saham-saham yang berkapitalisasi besar akan diuntungkan," ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (2/12/2018).
Menurutnya, saham yang akan terkena dampak positif adalah BMRI, BBRI, BBNI, BBTN, BBCA, UNVR, ICBP, UNVR, HMSP, GGRM, MYOR, SIDO, SRIL, TLKM dan ASII. Sebab, saham-saham tersebut telah tekena dampak negatif dari perang dagang.
Dia pun memproyeksikan indeks harga saham gabungan (IHSG) akan bergerak pada menuju 6.200 hingga akhir tahun. Wisnu menilai, potensi untuk window dressing semakin kencang bila perang dagang mereda.
Dari sisi capital inflow, dana yang masuk ke pasar modal Indonesia dalam seminggu telah mencapai Rp588,38 miliar. Namun, selama sebulan terakhir, dana yang masuk pasar modal mencapai Rp7,82 triliun.
Saat dihubungi terpisah, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, aksi Tiongkok yang bersedia membeli produk dari Amerika Serikat akan memberikan dampak positif bagi negara berkembang, karena ketengangan telah mereda.
"Bagi Indonesia, ini sentimen positif jangka pendek, tetapi jangka panjang harus hati-hati. Sebab, AS mulai mengarah pada Jepang untuk menyeimbangkan neraca perdagangan," katanya.
Hans menilai, 'gencatan senjata' pada perang dagang akan menyebabkan perubahan konsumsi, investasi, penurunan risiko pasar dan penguatan rupiah. Harapannya, investasi bisa kembali masuk ke pasar modal Indonesia.
Awalnya Hans memproyeksikan IHSG akan berkisar 6.100-6.200 hingga akhir tahun, akan tetapi setelah memperhitungkan 'gencatan senjata' perang dagang, maka IHSG berpotensi bergerak pada kisaran 6.250-6.350.
Dalam catatan Bisnis, Trump setuju tidak akan menaikkan tarif untuk produk impor asal China senilai US$200 miliar menjadi 25% dari 10% pada 1 Januari 2018, seperti yang direncanakan sebelumnya.
Sebagai penawarnya, Beijing sepakat akan membeli sejumlah, kendati tidak spesifik tetapi sangat substansial, produk pertanian, energi, industri, dan produk lainnya dari AS.
🍅
Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat dan China sepakat untuk tidak menambah tarif impor. Kedua negara sepakat melaksanakan negosiasi perdagangan baru dengan tujuan mencapai kesepakatan dalam waktu 90 hari.
Hal tersebut disampaikan pihak Gedung Putih, Sabtu (1/12/2018), setelah kedua kepala negara, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping mengadakan pembicaraan tingkat tinggi di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires, Argentina.
Diberitakan Reuters, Trump setuju untuk tidak menambah tarif impor menjadi 25% yang sedianya ditujukan untuk barang asal China senilai US$200 miliar pada 1 Januari 2019 mendatang.
Sementara itu, pemerintah China sepakat untuk membeli sejumlah besar produk pertanian, energi, industri dan lainnya yang tidak spesifik, namun sangat penting, kata Gedung Putih dalam pernyataan resmi.
"China terbuka untuk menyetujui perjanjian yang sebelumnya tidak disetujui berkaitan dengan akuisisi NXP Semikonduktor yang berbasis di Belanda oleh perusahaan Qualcomm Inc asal AS," tambah Gedung Putih sebagaimana diwartakan Reuters.
Juli lalu, Qualcomm menjadi korban perang dagang antara AS-China setelah gagal mengantongi persetujuan dari regulasi China. Perusahaan pembuat chipset smartphone terbesar di dunia itu pun gagal mengakuisisi NXP Semikonduktor senilai US$44 miliar.
Gedung Putih mengatakan, apabila kesepakatan dagang baru yang mencakup transfer teknologi, properti intelektual, dan hambatan nontarif, pencurian siber, dan agrikultur tidak tercapai dalam 90 hari, maka Amerika Serikat akan menambah tarif dari 10% menjadi 25%.
Tarif impor 10% dikeluarkan Trump pada September lalu yang kemudian dibalas pula oleh China. Otoritas Trump juga mengancam akan mengenakan tarif pada impor asal China lain yang mencapai US$267 miliar.
Perusahaan AS dan konsumen Negeri Paman Sam harus membayar harga barang lebih tinggi sebagai dampak dari kebijakan tarif tersebut. Demikian pula perusahaan AS yang harus menaikkan harga barang-barang impor sejak tarif impor diberlakukan.
Di saat bersamaan, petani AS juga merasakan dampak tarif akibat berkurang pasokan impor kedelai asal China dan komoditas pertanian lain.
Sumber : Reuters
🍒
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mensyukuri adanya kesepahaman dalam pertemuan G20 untuk mereformasi world trade organization (WTO) sebagai akibat dari perang dagang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan salah satu hasil pertemuan G20 adalah perang dagang antar negara melahirkan keinginan G20 untuk melakukan reformasi multilateral World Trade Organization (WTO).
BACA JUGA :
"Indonesia harus menyiapkan materi dan posisi yang jelas dan negosiator yang unggul dalam menghadapi era perang dagang bilateral dan melemahnya mekanisme solusi multilateral yang makin kompleks," ungkapnya seperti dikutip dari laman Facebook resminya, Minggu (2/12/2018).
Selain itu, lanjutnya, ancaman dan peluang digital ekonomi terhadap kesempatan dan jenis kerja di masa depan terus menjadi perhatian G20 serta implikasinya terhadap kebijakan kenetagakerjaan, jaring pengaman sosial, dan perpajakan.
Dunia katanya, akan semakin kompleks, globalisasi serta kemajuan teknologi akan memberikan banyak kesempatan untuk maju dan mengejar ketertinggalan. Di sisi lain, kemajuan menyajikan kerumitan dalam mengelola perekonomian dan sosial suatu negara. Indonesia jelasnya, harus semakin keras dan cerdas dalam membangun perekonomian.
"Fokus Presiden Jokowi untuk membangun kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur adalah benar yaitu untuk pemerataan dan peningkatan produktivitas dan daya kompetisi negara kita," tuturnya.
Indonesia menurutnya, tetap perlu membangun kapasitas sumber daya manusianya dalam memahami dan menghadapi globalisasi ekonomi, perubahan teknologi dan dinamika geo-politik yang semakin rumit dan menantang.
"Ini tantangan yang harus dihadapi dan dijawab oleh generasi milenial kita," imbuhnya.
🌹
Bisnis.com, JAKARTA—Pernyataan bersama (komunike) yang dihasilkan dari KTT negara kelompok 20 (G20) dinilai lemah, kendati menjadi kemenangan bagi sistem perdagangan multilateral.
Menurut Thomas Bernes, seorang mitra senior Center for International Governance Innovation di Kanada, hasil akhir KTT G20 yang ke-13 tersebut memperlihatkan kemenangan agenda proteksionisme yang diusung AS.
BACA JUGA :
“Ini merupakan pernyataan terlemah yang kita miliki terkait perdagangan. Ke-19 negara lainnya memilih untuk mengubur perbedaan dan menghasilkan komunike lemah, yang menimbulkan pertanyaan terkait kemampuan mereka memperlihatkan sikap kepemimpinan,” ujar Bernes, seperti dikutip Bloomberg, Minggu (1/12/2018).
Adapun, setelah melewati perundingan alot untuk menyusun komunike, beberapa pejabat yang hadir dalam KTT menyampaikan bahwa tercapainya komunike saja sudah memberikan hasil yang baik untuk KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, yang berakhir pada Sabtu (1/12/2018).
Pasalnya, sulit sekali bagi penyusun berkas komunike untuk menyamakan pendapat terkait isu perdagangan, migrasi, dan perubahan iklim.
Dalam komunike tersebut, para pemimpin G20 menyadari pentingnya manfaat perdagangan multilateral. Namun, sistem perdagangan global saat ini dianggap sudah tidak relevan lagi dan harus diperbarui atau direformasi.
Pemimpin negara-negara terkaya di dunia tersebut pun berkomitmen untuk mereformasi badan dagang internasional, Organisasi Dagang Internasional (WTO).
Nantinya, langkah yang diambil untuk mereformasi WTO akan didiskusikan lewat pertemuan pada Juni 2019 di Jepang.
Gedung Putih pun langsung mengklaim pencapaian tersebut sebagai kemenangan bagi keluhan-keluhan yang diutarakan Presiden AS Donald Trump selama ini terkait praktik perdagangan multilateral.
“Tambahan mengenai penjelasan keputusan Trump untuk keluar dari Kesepakatan Iklim Paris Agreement juga sangat diterima oleh AS,” kata seorang pejabat AS.
Adapun selaku tuan rumah, Presiden Argentina Mauricio Macri menilai reformasi WTO memang diperlukan untuk menjaga “perdagangan yang adil, permainan yang adil”, seperti yang biasa digaungkan Trump.
Namun demikian, tidak semua pihak menilai bahwa komunike tersebut merupakan kemenangan bagi Washington.
“Dari pandangan saya, ini adalah kemenangan bagi multilateralisme,” kata Wakil Menkeu Brazil Marcello Estevao.
Sementara itu, penyusun komunike dari Rusia Svetlana Lukash juga menyebut komunike tersebut merupakan “kesuksesan besar” bagi seluruh pihak dan memperlihatkan bahwa lima hari penyusunan komunike tidak berakhir sia-sia.
“[KTT] terselamatkan. Dengan tercapainya komunike saja, kita sudah sukses,” tuturnya.
Adapun menurut seorang sumber yang mengerti jalannya diskusi, hilangnya kata “proteksionisme” dari komunike tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena negara-negara G20 telah banyak yang meningkatkan hambatan dagang sejauh ini.
“Selain itu, perunding dari China dan Eropa juga mendorong agar pentingnya reformasi WTO dimasukkan ke dalam komunike, jadi ini bukan kemenangan untuk pihak AS saja,” tuturnya.
Selain mengenai perdagangan, para pemimpin G20 juga menyambut baik pertumbuhan ekonomi gobal yang kuat pada tahun ini, kendati laju pertumbuhannya mulai tidak merata di setiap negara karena risiko geopolitik dan kerentanan keuangan mulai tampak menjadi nyata.
“[Kebijakan fiskal] harus dibangun untuk dapat menyangga berbagai risiko ketika dibutuhkan, harus fleksibel dan ramah terhadap pertumbuhan, sambil menjaga utang publik di jalur berkelanjutan,” tulis komunike tersebut.
Adapun Presiden Perancis Emmanuel Macron menilai pertemuan G20 sangatlah penting di tengah-tengah kondisi global seperti ini. Dia menilai, ketiadaan pertemuan seperti KTT G20 akan menimbulkan perang dagang, sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menilai komunike yang dihasilkan kemarin sangat berguna kendati masih sangat umum.
PM Kanada Justin Trudeau. menambahkan, selama bertahun-tahun forum G20 telah memperlihatkan nilainya karena para pemimpin negara industri tersebut selalu mengupayakan untuk membangun dunia yang lebih stabil dan sejahtera.
“Ketika neagra-negara ekonomi utama dunia berkumpul dan berkomitmen untuk bekerja sama menyelesaikan isu besar, itu hal yang bagus,” ujarnya.
🌹
ING: Federal Reserve: A steady grind
2018 has been a great year for the US economy with output likely expanding at the fastest rate for 13 years and the unemployment rate falling to a 49 year low. There is broad-based momentum with huge tax cuts providing additional thrust over recent quarters. As such the Federal Reserve has raised its Fed funds target rate in each of the first three quarters of the year with another rate rise looking highly probable in December. After all, the economy is booming, inflation is at or above the 2% target on all the key measures and the jobs market is finally generating wage pressures.
With the Fed funds target range set to end 2018 at 2.25-2.50% the Fed’s monetary policy stance is no longer be described as “accommodative”, but it remains some way off from being restrictive. As such we expect interest rate rises to continue in 2019.
The US economy will face increasing headwinds as the lagged effects of higher interest rates and a stronger dollar act as a brake on activity. The support from the fiscal stimulus will also gradually fade with the mid-term election results limiting the chances of further tax cuts or spending increases. Then there is the weaker global growth outlook, with Europe and Asia seeing clear signs of slowdown while intensifying trade protectionism could exacerbate the softening trend. Recent equity market weakness underlines these concerns for 2019 growth.
However, there will be some positives. Wage growth has broken above 3%YoY and we think there is more upside ahead given the tightness of the labour market. Indeed, the NFIB survey suggests that companies are finding it increasingly difficult to find labour and are consequently increasing compensation while the Federal Reserve has noted increasing competition on benefit packages including healthcare, vacation days and signing bonuses. If we are right and wages continue rising then this will support consumption while adding to medium-term inflation pressures.
On balance we think growth will slow in 2019, but inflation will likely persist above target for much of the year ahead. Consequently, we favour three 25bp Federal Reserve rate rises in 2019 versus four in 2018.
US still leading the way in post-crisis recovery
Macrobond, ING
European Central Bank: Growth and inflation doubts raise questions about first rate hike
For the ECB, 2019 will be the year – at least attempted – next step of policy normalization. With the end of the net-QE purchases, all eyes will be on the timing of the first rate hike. However, given doubts about the strength of the Eurozone recovery and underlying inflation not gaining momentum, the ECB will take a very dovish stance, pushing the timing of a first deposit rate hike towards the end of the year. A refi-rate hike may not happen until 2020!
The ECB should also try to prevent speculation about a series of rate hikes by using forward guidance on rates, and announcing that reinvestments of maturing assets will continue at least until the end of 2020.
bloomberg: Federal Reserve Chairman Jerome Powell said interest rates are “just below” a range of estimates of the so-called neutral level, softening previous comments that seemed to suggest a greater distance and spurring speculation that central bankers are increasingly open to pausing their series of hikes next year.
Wall Street embraced the news with a rally for Treasuries and the biggest surge in major U.S. stock indexes since March. Powell’s “just-below” description tempered remarks last month that markets read as a signal of more aggressive monetary policy tightening. Speaking on Oct. 3, he said that “we may go past neutral. But we’re a long way from neutral at this point, probably.”
In his speech Wednesday to the Economic Club of New York, Powell said the Fed’s benchmark interest rate was “just below the broad range of estimates of the level that would be neutral for the economy -- that is, neither speeding up nor slowing down growth.”
The S&P 500 rose 2.3 percent in New York to the highest close in more than two weeks, while the Dow Jones Industrial Average advanced more than 600 points. The rise in Treasuries pushed down the yield on two-year notes as low as 2.79 percent, from 2.84 percent before Powell’s speech. The Bloomberg Dollar Spot index was down 0.6 percent after rising earlier in the day.
If rates are closer to what policy makers ultimately judge is the neutral level, that could signal the Fed will act less than previously projected. Eurodollar futures pricing reacted to Powell’s comments, reflecting even firmer expectations that the Fed will hike only once next year.
Powell’s remarks on the economy and monetary policy were seen as keeping the Fed on track to raise its benchmark in December from the current 2 percent to 2.25 percent range. They offered few explicit clues, however, as to how many hikes he thinks will be necessary in 2019. Powell repeated his view that the Fed will have to be especially responsive to incoming economic data.
“We also know that the economic effects of our gradual rate increases are uncertain, and may take a year or more to be fully realized,” he said. “While FOMC participants’ projections are based on our best assessments of the outlook, there is no preset policy path,” Powell said, referring to the central bank’s Federal Open Market Committee, which sets interest rates.
Investors Skeptical
Even before the speech, investors had grown skeptical that Fed officials will reach their own median projection for three hikes in 2019 against a backdrop of slowing growth and uncertainty over the U.S.’s ongoing trade dispute with China.
“As always, our decisions on monetary policy will be designed to keep the economy on track in light of the changing outlook for jobs and inflation,” Powell said.
Economists are divided beyond December. Those at Goldman Sachs Group Inc. and JPMorgan Chase & Co. predict four hikes next year, while their counterparts at Morgan Stanley and Citigroup Inc. forecast two. Bloomberg Economics anticipates three increases.
The Fed still sees the economic outlook as relatively strong. “My FOMC colleagues and I, as well as many private-sector economists, are forecasting continued solid growth, low unemployment, and inflation near 2 percent,” Powell said in the speech.
On the same day the Fed released its first-ever semi-annual Financial Stability Report, Powell highlighted some concern over corporate debt levels, pointing especially to highly-leveraged borrowers who may “surely face distress if the economy turned down.” Still, he judged the area posed little systemic risk, labeling broader, overall risks to financial stability as “moderate.”
“Such losses are unlikely to pose a threat to the safety and soundness of the institutions at the core of the system,” he said.
Powell spoke a day after President Donald Trump renewed his criticism of the Fed’s recent policy by telling the Washington Post that he wasn’t “even a little bit happy with my selection of Jay.”
The chairman has repeatedly said he won’t be swayed by political pressure and will stay focused on the Fed’s dual mandate. Neither of the two questioners of Powell at Wednesday’s event asked him for his views on the president’s complaints.
— With assistance by Sarah McGregor
(Updates market reaction in second and fourth paragraphs.)
2018 has been a great year for the US economy with output likely expanding at the fastest rate for 13 years and the unemployment rate falling to a 49 year low. There is broad-based momentum with huge tax cuts providing additional thrust over recent quarters. As such the Federal Reserve has raised its Fed funds target rate in each of the first three quarters of the year with another rate rise looking highly probable in December. After all, the economy is booming, inflation is at or above the 2% target on all the key measures and the jobs market is finally generating wage pressures.
With the Fed funds target range set to end 2018 at 2.25-2.50% the Fed’s monetary policy stance is no longer be described as “accommodative”, but it remains some way off from being restrictive. As such we expect interest rate rises to continue in 2019.
The US economy will face increasing headwinds as the lagged effects of higher interest rates and a stronger dollar act as a brake on activity. The support from the fiscal stimulus will also gradually fade with the mid-term election results limiting the chances of further tax cuts or spending increases. Then there is the weaker global growth outlook, with Europe and Asia seeing clear signs of slowdown while intensifying trade protectionism could exacerbate the softening trend. Recent equity market weakness underlines these concerns for 2019 growth.
However, there will be some positives. Wage growth has broken above 3%YoY and we think there is more upside ahead given the tightness of the labour market. Indeed, the NFIB survey suggests that companies are finding it increasingly difficult to find labour and are consequently increasing compensation while the Federal Reserve has noted increasing competition on benefit packages including healthcare, vacation days and signing bonuses. If we are right and wages continue rising then this will support consumption while adding to medium-term inflation pressures.
On balance we think growth will slow in 2019, but inflation will likely persist above target for much of the year ahead. Consequently, we favour three 25bp Federal Reserve rate rises in 2019 versus four in 2018.
US still leading the way in post-crisis recovery
Macrobond, ING
European Central Bank: Growth and inflation doubts raise questions about first rate hike
For the ECB, 2019 will be the year – at least attempted – next step of policy normalization. With the end of the net-QE purchases, all eyes will be on the timing of the first rate hike. However, given doubts about the strength of the Eurozone recovery and underlying inflation not gaining momentum, the ECB will take a very dovish stance, pushing the timing of a first deposit rate hike towards the end of the year. A refi-rate hike may not happen until 2020!
The ECB should also try to prevent speculation about a series of rate hikes by using forward guidance on rates, and announcing that reinvestments of maturing assets will continue at least until the end of 2020.
🍄
bloomberg: Federal Reserve Chairman Jerome Powell said interest rates are “just below” a range of estimates of the so-called neutral level, softening previous comments that seemed to suggest a greater distance and spurring speculation that central bankers are increasingly open to pausing their series of hikes next year.
Wall Street embraced the news with a rally for Treasuries and the biggest surge in major U.S. stock indexes since March. Powell’s “just-below” description tempered remarks last month that markets read as a signal of more aggressive monetary policy tightening. Speaking on Oct. 3, he said that “we may go past neutral. But we’re a long way from neutral at this point, probably.”
In his speech Wednesday to the Economic Club of New York, Powell said the Fed’s benchmark interest rate was “just below the broad range of estimates of the level that would be neutral for the economy -- that is, neither speeding up nor slowing down growth.”
The S&P 500 rose 2.3 percent in New York to the highest close in more than two weeks, while the Dow Jones Industrial Average advanced more than 600 points. The rise in Treasuries pushed down the yield on two-year notes as low as 2.79 percent, from 2.84 percent before Powell’s speech. The Bloomberg Dollar Spot index was down 0.6 percent after rising earlier in the day.
If rates are closer to what policy makers ultimately judge is the neutral level, that could signal the Fed will act less than previously projected. Eurodollar futures pricing reacted to Powell’s comments, reflecting even firmer expectations that the Fed will hike only once next year.
Powell’s remarks on the economy and monetary policy were seen as keeping the Fed on track to raise its benchmark in December from the current 2 percent to 2.25 percent range. They offered few explicit clues, however, as to how many hikes he thinks will be necessary in 2019. Powell repeated his view that the Fed will have to be especially responsive to incoming economic data.
“We also know that the economic effects of our gradual rate increases are uncertain, and may take a year or more to be fully realized,” he said. “While FOMC participants’ projections are based on our best assessments of the outlook, there is no preset policy path,” Powell said, referring to the central bank’s Federal Open Market Committee, which sets interest rates.
Investors Skeptical
Even before the speech, investors had grown skeptical that Fed officials will reach their own median projection for three hikes in 2019 against a backdrop of slowing growth and uncertainty over the U.S.’s ongoing trade dispute with China.
“As always, our decisions on monetary policy will be designed to keep the economy on track in light of the changing outlook for jobs and inflation,” Powell said.
Economists are divided beyond December. Those at Goldman Sachs Group Inc. and JPMorgan Chase & Co. predict four hikes next year, while their counterparts at Morgan Stanley and Citigroup Inc. forecast two. Bloomberg Economics anticipates three increases.
The Fed still sees the economic outlook as relatively strong. “My FOMC colleagues and I, as well as many private-sector economists, are forecasting continued solid growth, low unemployment, and inflation near 2 percent,” Powell said in the speech.
On the same day the Fed released its first-ever semi-annual Financial Stability Report, Powell highlighted some concern over corporate debt levels, pointing especially to highly-leveraged borrowers who may “surely face distress if the economy turned down.” Still, he judged the area posed little systemic risk, labeling broader, overall risks to financial stability as “moderate.”
“Such losses are unlikely to pose a threat to the safety and soundness of the institutions at the core of the system,” he said.
Powell spoke a day after President Donald Trump renewed his criticism of the Fed’s recent policy by telling the Washington Post that he wasn’t “even a little bit happy with my selection of Jay.”
The chairman has repeatedly said he won’t be swayed by political pressure and will stay focused on the Fed’s dual mandate. Neither of the two questioners of Powell at Wednesday’s event asked him for his views on the president’s complaints.
— With assistance by Sarah McGregor
(Updates market reaction in second and fourth paragraphs.)
🌹
Bisnis.com, JAKARTA – Uni Eropa dan Inggris telah menyepakati draf perjanjian Brexit, Selasa (13/11/2018) waktu setempat.
Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May dijadwalkan menyampaikan draf tersebut kepada para menterinya pada Rabu (14/11). Namun, masih menjadi pertanyaan apakah dia bisa mendapatkan persetujuan dari Parlemen Inggris atas draf ini.
“Kabinet akan bertemu pada Rabu (14/11) jam 2 siang untuk membahas dan menentukan langkah selanjutnya atas kesepakatan draf dalam negosiasi Brexit yang telah dicapai oleh tim di Brussels, Belgia,” ujar juru bicara Kantor PM Inggris seperti dilansir Reuters.
Sebelum pertemuan kabinet, para menteri sudah diundang untuk membaca berbagai dokumen terkait.
UE dan Inggris memerlukan perjanjian khusus untuk memungkinkan tetap terjadi perdagangan antara kedua pihak. Tetapi, May kesulitan untuk memisahkan keanggotan Inggris dari UE yang sudah berlangsung selama 46 tahun tanpa memberikan efek buruk terhadap perdagangan.
Dia juga harus menjaga hubungan baik dengan parlemen jika ingin Brexit tetap berjalan.
Keluarnya Inggris dari UE akan menjadi tantangan tersendiri bagi negara Eropa Barat itu. Sebagian pihak juga khawatir kebijakan tersebut justru akan memecah negara-negara Barat di tengah dinamika global, seperti perubahan kebijakan AS dan aksi Rusia serta China yang menuai kecemasan dunia.
Namun, sebagian pihak lainnya memandang Brexit akan membuka peluang bagi Inggris untuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih luas.
Inggris akan resmi keluar dari UE pada Maret 2019. Tetapi, masih ada beberapa hal yang mesti dibereskan, salah satunya adalah kebijakan asuransi di perbatasan antara Irlandia dengan Irlandia Utara.
Alotnya pembahasan atas kesepakatan ini juga membuat May kehilangan beberapa menterinya, di antaranya Boris Johnson yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Sumber : Reuters
🌹
Bisnis.com, JAKARTA—Bank Sentral Jepang (BOJ) melaporkan kepemilikan aset melebihi PDB nasional, sebesar 553,6 triliun yen (US$4,9 triliun), yang terkumpul lewat program pembelian obligasi besar-besarannya selama lima tahun terakhir.
Hal itu pun menjadikan BOJ sebagai bank sentral pertama dari negara kelompok 7 (G7) yang memegang aset kolektif melebihi PDB nasional. Adapun PDB Jepang per akhir Juni adalah sebesar 552,8 triliun yen.
Sebagai perbandingan, aset yang dimiliki oleh Bank Sentral AS (Federal Reserve) hanya sebesar 20% dari PDB AS dan kepemilikan aset yang dipegang Bank Sentral Eropa (ECB) bernilai sekitar 40% dari PDB Zona Euro.
“Tidak ada teori dan konsensus mengenai seberapa besar kepemilikan bank sentral sampai ke tingkat yang berbahaya. Ada rasa tidak nyaman ketika kepemilikan terus meningkat, sementara masih belum jelas sampai di tingkat mana laju kepemilikan itu dapat berhenti,” kata Nobuyasu Atago, Kepala Ekonom di Okasan Securities Co. dan mantan pejabat BOJ, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (12/11/2018).
Kendati BOJ secara signifikan telah mengurangi kepemilikan obligasi yang dibelinya, tumpukan dari obligasi pemerintah (Japanese Government Bond/JGB) justru masih melimpah.
Otoritas moneter Jepang tersebut memiliki JGB senilai 456 triliun yen per 10 November 2018, atau naik dari 125 triliun yen ketika Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda meluncurkan program pelonggaran stimulusnya pada April 2013. Per akhir Juni, BOJ memegang 42,3% obligasi pemerintah dan T-bills.
Dengan inflasi yang masih setengah dari target bank sentral sebesar 2%, BOJ telah memastikan bahwa program pembelian aset yang termasuk ke dalam kebijakan stimulus longgar itu ke depannya akan dilanjutkan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan.
Pasalnya, bank sentral masih berupaya menggairahkan perekonomian meskipun pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan melambat.
“BOJ harus melanjutkan perjalanannya sendirian, untuk memperlebar neraca keuangan dan menahan suku bunga rendah,” kata Masamichi Adachi, ekonom di JPMorgan Chase&Co. dan mantan pejabat BOJ.
Adapun dibandingkan bank sentral di negara maju lainnya, seperti The Fed dan ECB, hanya BOJ yang masih belum bergerak menuju pengetatan karena terkendala dengan inflasi.
Sementara The Fed telah berada dalam jalur kenaikan suku bunga dan ECB telah siap menghentikan program pembelian obligasinya pada akhir tahun ini dan berpeluang menaikkan suku bunga pada tahun depan.
“Kebijakan BOJ jelas sekali tidak berkelanjutan. BOJ akan menderita kerugian jika harus menaikkan suku bunga, sebut saja sebesar 2%. Selain itu, dalam situasi darurat seperti bencana alam atau perang, BOJ tidak akan dapat lagi membiayai obligasi pemerintah,” ujar Hidenori Suezawa, analis fiskal di SMBC Nikko Securities.
Ekonom Bloomberg Economics Yuki Masujima menilai, jumlah obligasi yang telah diakumulasikan tersebut tetap harus dibeli kembali oleh bank sentral untuk menutupi obligasi yang jatuh tempo. Dia mengungkapkan, laju obligasi yang jatuh tempo saat ini telah bergerak mendekati 50 triliun yen secara tahunan.
“Kami tidak mengantisipasikan kekacauan apapun, tapi seiring kebijakan moneter BOJ bergerak ke area berlebihan, tampaknya bank sentral akan menghadapi lebih banyak tantangan,” tutur Masujima.
🍀
WASHINGTON ID – The Federal Reserve (The Fed) terus menerus memberi sinyal sejak pertemuan 8 November 2018, bahwa kenaikan bertahap lebih lanjut dalam tingkat suku bunga atau federal fund rate (FFR) adalah untuk mendorong penguatan ekonomi Amerika Serikat (AS).
Namun, pesan tersebut tidak disukai di kalangan anggota Partai Demokrat dan Republik karena mereka ingin menggelontorkan anggaran belanja lebih besar di tahun depan seraya bersiap untuk menghadapi perjuangan 2020 guna menguasai Kongres dan Gedung Putih.
Sementara itu, Demokrat akan segera menjadi penguasa Dewan Perwakilan Rakyat yang menginginkan belanja infrastruktur dan ditribusi keuntungan yang lebih luas bagi para pekerja dari pasar tenaga kerja yang sulit.
Sedangkan Republik menginginkan pertumbuhan ekonomi mengalami percepatan dari hasil kebijakan pengurangan pajak, deregulasi dan belanja pertahanan mereka. Alhasil jika terjadi kenaikan tingkat suku bunga terus menerus, sepertinya dapat memicu pertentangan di antara dua tujuan tersebut. Gubernur The Fed Jerome Powell pun terjebak diantaranya. Apalagi dia kerap mendapat kritik dari Presiden AS Donald Trump supaya menaikkan biaya pinjaman ketika ekonomi Negara sedang kuat.
Powell sepertinya telah mengantisipasi semakin panasnya suasana panas politik sehingga dia bersikap proaktif dengan mendekati Kongres – yang melakukan pengawasan terhadap bank sentral AS.
Menurut catatan kalendernya, Powell bahkan telah bertemu dengan atau menghubungi anggota parlemen sebanyak 77 kali sejak menjabat sebagai gubernur The Fed pada Februari. Pada September saja – bulan yang sibuk karena dipadati oleg rapat kebijakan – catatannya menunjukkan terdapat 18 pertemuan dan perbincangan melalui telepon dengan para anggota kongres.
“Di hadapan DPR pasti akan ada kritik lebih banyak. Mereka akan mengatakan dengan jelas bahwa kita memiliki hasil yang baik, lalu mengapa terburu-buru? Sedangkan di pihak Republik, pertanyaannya adalah: Jika kami mengeluarkan stimulus lebih banyak, apakah Anda akan mengimbanginya? Itu tidak berhasil buat kami,” ujar Edward Al-Hussainy, analis senior untuk suku bunga dan mata uang dari Columbia Threadneedle Investments, seperti dilansir dari Bloomberg News, Sabtu (10/11). (sumber lain/pya)
🌹
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Dow Jones Industrial Average serta indeks utama Wall Street yang lain ambrol pada Senin (12/11) seiring kejatuhan saham Apple Inc dan Goldman Sachs Group Inc yang menyeret turun sektor teknologi dan keuangan.
Penurunan semalam waktu AS menghapus kenaikan singkat ketiga indeks tersebut yang terjadai usai pemilihan kongres AS pada 6 November lalu.
BACA JUGA
Saham Apple turun 5,0% setelah beberapa pemasok perusahaan ini, termasuk Lumentum Holdings Inc yang mendukung teknologi Face ID iPhone, memangkas perkiraan pendapatan mereka. Penurunan Apple menjadi pemberat indeks Nasdaq yang anjlok lebih dari 2%.
Saham Lumentum sendiri benar-benar rontok sampai sedalam 33%. Saham beberapa produsen chip yang memasok Apple, seperti Cirrus Logic Inc, Qorvo Inc, dan Skyworks Solutions Inc, juga berjamaah turun. Indeks SE Semiconductor di Philadelphia turun 4,4%.
"Kekhawatiran pasar adalah tentang pertumbuhan ekonomi global, khususnya permintaan terhadap produk perusahaan seperti Apple," kata Kate Warne, ahli strategi investasi di Edward Jones di St Louis. "Investor menjadi lebih khawatir apakah perusahaan yang telah tumbuh cepat akan terus tumbuh pada kecepatan itu."
Di sektor keuangan Saham Goldman Sachs anjlok sampai 7,5%. Ambrolnya harga ini terjadi seteah Bloomberg mengabarkan Menteri Keuangan Malaysia Lim Guan Eng mencari pengembalian penuh dari semua biaya yang dibayarkan ke bank tersebut untuk mengatur miliaran dolar kesepakatan dana negara 1MDB yang bermasalah. Goldman Sachs adalah bandul terberat Dow yang turun lebih dari 2%.
Saham General Electric Co juga ambrol hingga 6,9% setelah Chief Executive Officer Larry Culp mengatakan perusahaan itu menanggung terlau banyak utang dan akan segera menjual aset untuk mengurangi bebannya. Harga saham ini turun di bawah US$ 8 per saham untuk pertama kalinya sejak Maret 2009.
Di antara 11 sektor utama S&P 500, saham teknologi dan keuangan sangat membebani. Indeks sektor teknologi S&P 500 turun 3,5% dan indeks sektor keuangan turun 2%.
Saham-saham energi juga mempercepat penurunan indeks menjelang akhir perdagangan menyusul kejatuhan harga minyak.
Dow Jones Industrial Average turun 602.12 poin (-2,32%) menjadi 25.387,18. S&P 500 kehilangan 54,79 poin (-1,97%) menjadi 2,726.22. Adapun Nasdaq Composite turun 206,03 poin (-2,78%) menjadi 7.200,87.
Libur perdagangan pasar obligasi AS memperingati hari Veteran membuat volume perdagangan saham turut teredam. Volume perdagangan saham di bursa AS kemarin mencapai 7,30 miliar saham, jauh di bawah rata-rata 8,41 miliar selama 20 hari perdagangan terakhir.
🌸
JAKARTA okezone - Dolar AS rebound terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan 2 November 2018. Dolar menguat di tengah pertumbuhan pekerjaan AS yang tinggi pada bulan Oktober.
Baca Juga: Indeks Dolar AS Melemah Tertekan Isu Brexit
BERITA TERKAIT+
Melansir Xinhua, Sabtu (3/11/2018), total lapangan kerja non-pertanian gaji naik 250.000 pada bulan Oktober, dan tingkat pengangguran tetap datar di 3,7 persen, terendah sejak 1969, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS pada hari Jumat. Penghasilan rata-rata naik 0,2 persen dan naik 3,1 persen selama setahun terakhir.
Data pekerjaan secara luas dianggap sebagai indikator kunci kekuatan ekonomi AS. Analis percaya bahwa pembacaan ekonomi akan mendorong Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga lagi pada bulan Desember menyusul kenaikan suku bunga pada bulan September untuk ketiga kalinya.
Baik pertumbuhan lapangan kerja maupun kenaikan Fed dapat mengarah ke penguatan dolar, karena meningkatkan prospek pertumbuhan domestik dan membuat greenback lebih berharga di pasar global.
Baca Juga: Dolar AS Kian Menguat Ditopang Data Ekonomi
Pada akhir perdagangan New York, euro turun menjadi USD1,1392 dari USD1,1409 pada sesi sebelumnya, dan pound Inggris turun menjadi USD1,2964 dari USD1,3017 pada sesi sebelumnya. Dolar Australia turun menjadi USD0,7192 dari USD0,7206.
Dolar AS membeli 113,27 yen Jepang, lebih tinggi dari 112,70 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS naik menjadi 1,0043 franc Swiss dari 1,0018 franc Swiss, dan naik menjadi 1,3112 dolar Kanada dari 1,3087 dolar Kanada.
(kmj)
🍎
nikkei: TOKYO -- Stocks underwent a sharp sell-off in Asia on Thursday, following the biggest decline in U.S. technology stocks in more than seven years overnight.
Japanese stocks led the fall, with the Nikkei Stock Average suffering a loss of more than 800 points to reach a seven-month low, closing the session at 21,268.73, off 3.7%.
Semiconductor shares were among the biggest losers, taking their cue from the Nasdaq composite index's 4.4% drop overnight, its worst one-day loss since August 2011. The Nasdaq index is now in correction territory, off more than 10% from its recent peak.
The selling of semiconductor stocks was triggered by weaker-than-expected sales targets from Texas Instruments and a warning from Advanced Micro Devices about fragility in its graphics business. The announcements came amid heightened trade tensions between Washington and Beijing over access to the Chinese market, intellectual property rights violations and Chinese ambitions in the technology sector.
"Large investors are increasing their cash holdings by reducing their holdings on semiconductor shares," said a fund manager at Aizawa Securities in Tokyo. Semiconductor stocks had been rising on the back of expectations that the spread of internet of things and artificial intelligence technologies would drive up demand. The trade war and slowing global growth could cut short such a scenario, brokers say.
In the Japanese capital, shares of Tokyo Electron dropped 4%, while in South Korea, shares of Samsung Electronics fell more than 3%, as Taiwan Semiconductor Manufacturing lost over 4%.
South Korea's Kospi Index was off nearly 2%, and down more than 20% from its January peak to enter bear market territory. Taiwan's Taiex was off more than 2%.
Stocks were also weaker in mainland China. The Shanghai Composite Index lost nearly 3% and fell as low as 2,531 at one point, brushing a recent low of 2,486. Earlier in the weak, investors cheered market support measures announced by Beijing, such as personal income tax cuts. But on Thursday, the market was weighed down by talk of foreign investors reducing their holdings of Chinese stocks. Shares recouped their losses near the end of trading after a round of selling, with large-cap stocks in real estate and financial sectors rising. The Shanghai Composite Index ended flat at just 0.1% above the previous day.
The Hang Seng Index in Hong Kong was down nearly 2% and marked a fresh year-to-date low, as market heavyweight Tencent fell more than 3%.
Singapore's Straits Times Index was off nearly 1%.
Jada Nagumo contributed to this report.
🌹
CD: The decline in China's infrastructure spending is likely to be stemmed next year, with more projects expected to start in the next three to five years and sufficient funding support, according to an official with the nation's top economic regulator involved in the approval of fixed-asset projects.
"Expectations for next year's infrastructure spending are not as pessimistic as some people have predicted, at least the trend is unlikely to be the same compared with this year's," said the official with the fixed-asset department of the National Development and Reform Commission, who declined to be identified due to lack of authority to speak to the media.
That is because projects in the pool remain "abundant", he said, referring to those expected to commence in the next year and in the next three to five years, mainly in the transportation and urban rail sectors.
In response to concerns over a possible shortage of finance, as funding channels may be tightened as the government is committed to curbing local government debt risks, the official said there is no major shortfall in funds supporting infrastructure projects, as the money mainly comes from special funds allocated by local governments.
In the meantime, project approval may tend to speed up in the near future, after the government released guidelines to accelerate the approval process, the official said.
Local projects - those not in the national key project pool, only require approval from local bureaus of the National Development and Reform Commission.
The comments came as concerns over infrastructure spending increased after data appeared to dampen economic prospects.
A thorough government crackdown on risky lending and the hidden debt of local governments added to concerns over funding and a possible continued slowdown of investment in infrastructure projects.
Only a major relaxation of off-sheet financing and the issuance of special bonds will help infrastructure spending bottom out, said a report by China Merchants Securities released in September.
Local governments have been required to hasten their pace of issuing special bonds to fund infrastructure projects, according to an earlier notice issued by the Ministry of Finance.
Local governments are allowed to issue 1.35 trillion yuan ($196 billion) of special bonds this year.
Some improvements have been made after the government implemented a number of measures.
From January to September, the decline of infrastructure projects intended to be implemented narrowed by 0.1 percentage point compared to the January-August period, according to report by the commission.
🌸
Bisnis.com, JAKARTA – Logam industri tembaga dan nikel berjangka melanjutkan pelemahan harga di tengah kekhawatiran yang masih berlanjut terkait dengan outlook perekonomian China.
Sejumlah investor masih berpandangan skeptis terhadap permintaan dari negara konsumen tembaga terbesar di dunia, China. Soalnya, Presiden Xi Jin Ping berjanji akan menawarkan dukungan untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah perang dagang dengan Amerika Serikat.
Pemerintah China berencana untuk memberikan dana sebesar 10 miliar yuan atau US$1,4 miliar untuk mengamankan penjualan obligasinya. Keputusan tersebut mengikuti langkah-langkah lainnya yang diumumkan pada Senin (22/10).
Selain itu, dolar AS, meski indeksnya merosot, masih diperdagangkan mendekati level tertinggi selama dua bulan pada posisi 95,98.
Analis Marex Spectron Alastair Munro mengatakan bahwa meskipun akan ada perbaikan likuiditas di sejumlah perusahaan, dari sisi makro masih menunjukkan pelemahan karena terdampak oleh kemerosotan ekuitas AS dan penguatan dolar AS.
“Keberlanjutan reli pada minat risiko belum bisa diprediksi hingga 2018,” ujarnya, dilansir dari Bloomberg, Rabu (24/10/2018).
Wu Xiangfeng, analis Huatai Futures menyebutkan bahwa banyaknya kekacauan dari sisi makro masih menjadi penyebab kenaikan sentimen negatif dari investor pada logam merah itu beserta logam industri lainnya.
Pada Rabu (24/10), harga tembaga memerah 46 poin atau 0,74% menjadi US%6.196 per ton dan turun 14,50% secara year-to-date (ytd). Adapun, harga nikel juga merosot parah ke US$12.375 per ton, turun 155 poin atau 1,24% dari perdagangan hari sebelumnya dan turun 3,02% selama 2018 berjalan.
Kemudian, pada logam industri lainnya yang juga mengalami penurunan harga, aluminium, tercatat turun 6 poin atau 0,39% menjadi US$2.001 per ton dan turun11,77% sepanjang 2018.
🌲
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Bursa Amerika Serikat ditutup lebih rendah dini hari tadi, untuk perdagangan Senin waktu setempat (22/10). Jelang akhir musim laporan keuangan kuartal ketiga, investor yang khawatir dengan kondisi Eropa mendorong penguatan dollar AS terhadap euro.
Euro tertekan atas ketidakpastian bujet Italia, sementara poundsterling jatuh di tengah negosiasi Brexit.
Indeks dollar melaju 0,32%, sementara euro turun 0,41% menjadi US$ 1,1466.
Selain itu, pemilu kongres AS yang akan digelar 6 November mendatang, sudah melemahkan selera investor.
"Setidaknya sampai pemilu pertengahan, bursa akan sulit mencetak kenaikan," kata Alan Lancz, President Alan B. Lancz & Associates Inc di Toledo, Ohio, seperti dikutip Reuters.
Beberapa indeks utama AS melandai. Dow Jones Industrial Average jatuh 126,93 poin atau 0,5% menjadi 25.317,41.
Indeks S&P 500 kehilangan 11,9 poin atau 0,43% menjadi 2.755,88. Sedangkan Nasdaq Composite bertambah 19,60 poin atau 0,26% menjadi 7.468,63.
Sementara, AS segera mengakhiri puncak laporan keuangan, di mana pekan ini pasar menantikan segelintir laporan keuangan korporasi besar seperti Amazon, Alphabet, Microsoft, dan Caterpillar.
Didorong pertumbuhan ekonomi dan pemangkasan pajak korporasi, emiten di AS penghuni S&P 500 diperkirakan mencetak kenaikan earning per share 22% di akhir kuartal III.
🌲
BEIJING CD - There have not been any bilateral talks over trade frictions between China and the United States, China's Ministry of Commerce said Thursday.
The United States submitted a file to the World Trade Organization on April 17 claiming that they are willing to negotiate over the trade dispute with China.
The US move follows WTO procedures, which order members to respond to a request for settlement from another member within ten days, said MOC spokesperson Gao Feng.
Gao reiterated that US Section 232 and Section 301 measures to slap tariffs on Chinese products seriously violate WTO rules.
Gao said the two sides have not yet held any bilateral talks over the US Section 301 investigation and the proposed US tariff list on Chinese goods.
🌸
Asahi Shimbun: Japan recorded a trade surplus for September of 139.6 billion yen ($1.2 billion), but exports fell 1.2 percent from the previous year in the first decline for the world's third largest economy since 2016.
A series of natural disasters took a toll, but the lag in exports also reflects uncertainties over trade tensions after U.S. President Donald Trump imposed penalty tariffs on billions of dollars' worth of Chinese exports. Weaker U.S.-China trade generally hurts the export-dependent Japanese economy.
Imports rose 7 percent, according to data released Thursday by the Finance Ministry.
During the month, a major earthquake hit the northernmost island of Hokkaido, causing fatal landslides and widespread blackouts, while a typhoon struck the western Kansai area and temporarily shut down a major airport.
Those events followed deadly flooding in southwestern Japan and a quake in Osaka earlier this year.
The last time Japan's exports fell on-year was in November 2016, when they slipped 0.4 percent, data show.
For the six months through September, the first fiscal half, exports grew 5.2 percent, while imports rose 10 percent.
Junichi Makino, analyst with SMBC Nikko Securities, said one factor behind the numbers was the recent rise in oil prices, which boosts the value of Japan's imports. Japan imports almost all its oil. But Makino said the volume of global trade was holding up overall despite the trade war between China and the United States.
The Trump administration intends to pursue trade agreements with the European Union and Britain, as well as Japan. The administration recently reached a deal with Canada and Mexico to revamp the North American Free Trade Agreement.
🌲
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa China mencatat kenaikan terbesar dalam dua tahun, setelah pihak regulator menyatakan niatnya mendorong ekonomi dan membantu sektor swasta.
Shanghai Composite Index melompat 4,2% sampai akhir sesi pertama perdagangannya, Senin (22/10). Ini merupakan lompatan terbesar Indeks Shanghai sejak Maret 2016, dan melampaui kenaikan Jumat lalu yang sebesar 2,6%.
BACA JUGA
Sekadar mengingatkan, Indeks Shanghai pekan lalu melemah ke level terendah empat tahun terakhir, setelah melaporkan pertumbuhan ekonomi 6,5% year on year di akhir kuartal III-2018. Ini sekaligus menjadi level pertumbuhan terendah sejak krisis finansial tahun 2009.
Presiden Xi Jinping berjanji dengan teguh mendukung bisnis perusahaan non-BUMN, mengelola risiko pasar, serta berencana memangkas pajak pribadi. Pernyataan pemerintah ini mengikuti pertemuan pejabat top keuangan China di Jumat lalu yang berkoordinasi untuk menguatkan kembali pasar saham.
"Komentar dan kebijakan yang dirilis sejak Jumat dilihat sebagai dosis yang cukup untuk saat ini. Dan regulator tampaknya tak akan berhenti sampai sini karena ekonomi masih belum terlihat optimis," kata Weining Chen, fund manager di Miyuan, Beijing seperti dikutip Bloomberg.
🌸
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekonomi China pada kuartal ketiga 2018 hanya tumbuh 6,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, meleset dari perkiraan pasar. Angka pertumbuhan ekonomi ini pun merupakan yang terlemah sejak krisis finansial 2009.
Analis yang dihimpun Reuters sebelumnya memperkirakan, Beijing bisa melaporkan pertumbuhan ekonomi China 6,6% pada periode Juli-September tersebut. Meskipun, itu melambat dari pertumbuhan 6,7% di kuartal sebelumnya.
Data ekonomi yang dirilis Biro Statistik Nasional setempat tersebut memperlihatkan, China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua dunia, tumbuh tidak terlalu tinggi, di tengah upaya pemerintah untuk memangkas risiko utang dan berhadapan dengan ancaman hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Salah satu penyebab pelambatan laju ekonomi ini adalah melemahnya permintaan rumah tangga. Sementara itu, aktivitas manufaktur hingga investasi infrastruktur melunak untuk menghindari paparan risiko ketika ongkos berutang perusahaan lebih besar.
Secara kuartalan, Produk Domestik Bruto (PDB) China tumbuh 1,6%, lebih lemah ketimbang pertumbuhan April-Juni yaitu 1,8%. Namun, perkiraan pertumbuhan kuartal ini masih senada dengan perkiraan analis.
☕
Bisnis.com, JAKARTA - Seluruh pejabat Federal Reserve mendukung kenaikan suku bunga dalam pertemuan kebijakan bulan lalu.
Mereka juga secara umum setuju bahwa Federal Funds Rate akan meningkat lebih lanjut, menurut risalah pertemuan Federal Open Market Committee yang dirilis Rabu (17/10/2018).
Kenaikan suku bunga acuan tersebut adalah yang ketiga tahun ini dan bulatnya suara seluruh pembuat kebijakan pada pertemuan yang berlangsung 25-26 September tersebut dapat meningkatkan harapan bahwa FOMC akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan Desember.
"Seluruh peserta menyatakan pandangan bahwa akan lebih tepat bagi komite untuk melanjutkan pendekatan bertahapnya pengencangan kebijakan dengan meningkatkan kisaran target untuk level Federal Funds Rate (FFR)," menurut risalah tersebut, seperti dikutip Reuters.
Dibandingkan dengan notulen pertemuan The Fed sebelumnya yang diadakan pada bulan Agustus, notulen bulan September tampak menunjukkan lebih sedikit diskusi di seputar prospek bahwa resesi mungkin akan terjadi. Sebaliknya, sejumlah pejabat bank sentral melihat beberapa indikasi ekonomi AS yang lebih kuat.
"Hampir semua peserta melihat sedikit perubahan dalam penilaian mereka terhadap prospek ekonomi, meskipun beberapa dari mereka menilai bahwa data terbaru menunjukkan laju aktivitas ekonomi yang lebih kuat dari yang mereka duga pada awal tahun ini," menurut risalah.
Namun, para pembuat kebijakan mencatat bahwa kelemahan relatif ekonomi global dapat menciptakan potensi penguatan dolar AS lebih lanjut, dan dapat menjadi faktor yang membebani ekspor AS.
Mereka juga mencatat bahwa beberapa bisnis mengatakan telah mengurangi investasi di sektor energi karena tarif impor baja dan aluminium, bagian dari serangkaian konflik perdagangan pemerintah Trump dengan mitra dagang mereka.
Perekonomian AS yang tumbuh lebih cepat tahun ini daripada yang diperkirakan banyak ekonom mungkin terjadi tanpa menghasilkan inflasi yang lebih tinggi, dengan tingkat pengangguran di level terendah dalam beberapa dekade.
The Fed telah menaikkan suku bunga sejak 2015 dan setelah kenaikan suku bunga bulan lalu berhenti menggambarkan sikap kebijakan moneter sebagai "akomodatif," yang berarti The Fed tidak lagi berpandangan suku bunga merangsang ekonomi.
🌸
bloomberg.com: The Federal Reserve is presiding over a solid economy right now. That’s good news, because it’s short on tools to deal with a downturn.
The central bank’s balance sheet remains swollen after years of quantitative easing and interest rates are nowhere near the levels they’ve reached in previous expansions, while fiscal policy is boosting the government’s debt load and potentially leaving less political will for future stimulus packages. As if that weren’t enough, new research suggests that rate cuts might work less effectively after a long period near zero.
That’s the lead item in this week’s economic research roundup. We also summarize a study on the racial marriage divide and a blog post on buyer power in the U.S. housing market. Check this column each Tuesday for the latest in new and interesting economic research.
Past Is Future
The Fed’s ability to boost the economy with interest-rate cuts today might depend on where borrowing costs stood yesterday, according to this NBER working paper by researchers at the University of Chicago, Copenhagen Business School and Northwestern University. The insight here is that a large share of U.S. household debt is tied up in fixed-rate mortgages. While many households might refinance if the Fed cuts rates to 2 percent after a long period at 3 percent, far fewer will react to a reduction if borrowing costs touched 3 percent briefly after a long period near rock-bottom.
“Looking only at the level of current rates provides an incomplete view of the Fed’s stimulative power,” the authors write. “It may take an extended period of time with elevated rates before the Fed regains ‘ammunition’ to stimulate the economy.” Even if the Fed can get rates substantially higher, that is, it’s likely to enter the next recession with less power than in the past.
It’s worth noting that Fed officials are acutely aware that they’re going to be short on traditional tools come the next downturn. Policy makers tend to focus on the fact that rates won’t rise as much as in the past this cycle, so they won’t have as far to fall. This added effect would only compound that concern.
🌸
KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Gubernur bank sentral China Yi Gang mengatakan bahwa ketidakpastian yang luar biasa di depan kita. Dia mengatakan hal itu di sebuah seminar di sela-sela pertemuan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia tahunan di Bali.
Namun demikian, dia masih melihat banyak ruang untuk penyesuaian suku bunga dan rasio persyaratan cadangan (RRR).
BACA JUGA
China menghadapi "ketidakpastian yang luar biasa" karena dampak tarif dan friksi perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) dan mencari "solusi konstruktif" terhadap ketegangan perdagangan saat ini, kata dia.
"Kami masih memiliki banyak instrumen kebijakan moneter dalam hal kebijakan suku bunga, dalam hal RRR. Kami memiliki banyak ruang untuk penyesuaian, kalau-kalau kami membutuhkannya," kata Yi.
Beijing dan Washington telah saling menaikkan tarif perdagangan dan berhenti melakukan pembicaraan perdagangan bilateral untuk menyelesaikan perselisihan itu.
Yi mengatakan pertumbuhan ekonomi China masih akan nyaman mencapai target setahun penuh sekitar 6,5% pada 2018 dengan kemungkinan overshooting, seraya menambahkan masih nyaman dengan tingkat inflasi saat ini.
China telah menerapkan empat pemotongan RRR tahun ini, melepaskan miliaran likuiditas baru ke pasar, dan menggunakan alat lain untuk menekan suku bunga kredit korporasi. Namun, Yi mengatakan, ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat dapat menekan ekonomi lebih lanjut.
"Saya pikir risiko penurunan akibat ketegangan perdagangan signifikan," kata kepala bank sentral. "Ketidakpastian yang luar biasa di depan kita."
Yi mengatakan sikap moneter China pada dasarnya masih netral, tanpa mengurangi atau mengencangkan bias, menambahkan bahwa ia yakin jumlah likuiditas yang dipompa ke pasar sesuai untuk menstabilkan leverage.
Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, Yi mengatakan bahwa bank sentral sedang mempersiapkan berbagai risiko dalam kebijakan mata uangnya, termasuk skenario terburuk. Namun dia mengatakan kepada Bloomberg bahwa mata uang berada pada "tingkat yang wajar dan setimbang."
China telah berusaha untuk mengurangi tumpukan utangnya yang sangat besar, dengan tindakan keras terhadap perbankan bayangan dan pinjaman berlebihan pada sektor-sektor tidak produktif seperti real estate.
"Leverage keseluruhan kami telah stabil, sehingga merupakan sebuah prestasi. Penurunan RRR atau instrumen moneter baru-baru ini pada dasarnya adalah untuk menyediakan likuiditas yang memadai," katanya.
Yi memperkirakan inflasi harga konsumen China akan mencapai sekitar 2% untuk tahun ini, dengan inflasi harga produsen jatuh ke kisaran 3% hingga 4%.
Aliran modal lintas perbatasan telah normal, tambahnya, sementara ekonomi China telah bergeser dari ekspor menjadi lebih didorong secara domestik.
Neraca berjalan China bisa berubah positif tahun ini dengan "sedikit" surplus, meskipun masih akan kurang dari 1% dari produk domestik bruto, kata Yi.
Sementara China mencari solusi konstruktif untuk perdagangan, mereka mempercepat reformasi untuk memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual dan "secara signifikan" membuka layanan keuangan.
"Kami tulus menunjukkan bahwa kami bersedia memiliki solusi yang konstruktif. Dan solusi konstruktif lebih baik daripada perang dagang, yang kalah-kalah," katanya.
🌸
Bisnis.com, NUSADUA—Dana Moneter Internasional menunjukkan bahwa outlook ekonomi untuk kawasan Asia masih positif didukung oleh momentum stabilitas ekonomi global dan kebijakan yang akomodatif. Asia juga akan tetap menjadi mesin pertumbuhan utama di dunia.
Namun, menurut IMF, gambaran pertumbuhan ekonomi global telah menjadi beragam pada tahun ini karena risiko negatif (downside risk) yang mulai menjadi nyata. Hal itu terlihat dari meningkatnya tensi dagang dan arus modal keluar dari negara berkembang yang memiliki fundamental lemah.
BACA JUGA :
Hal itu disampaikan Direktur Departement Asia Pasifik IMF Changyong Rhee. Menurut Rhee, risiko negatif semakin jelas, tidak hanya untuk perekonomian global melainkan juga untuk pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Kendati, lanjutnya, saat ini masih kuat.
“Kawasan Asia Pasifik masih berkontribusi sebesar 60% untuk pertumbuhan global, kami memperkirakan pertumbuhannya ke level 5,6% pada 2018, tidak berubah dari perkiraan kami pada April,” katanya dalam konferensi pers Departemen Asia Pasifik IMF dalam rangkaian Annual Meeting IMF—WBG 2018, Jumat (12/8/2018).
Tapi, dia melanjutkan, IMF telah memangkas pertumbuhan ekonomi Benua Kuning untuk tahun depan sebesar 0,2% menjadi 5,4% akibat tekanan dari pasar keuangan, pengetatan kebijakan di beberapa negara, dan tensi dagang.
Adapun untuk Indonesia, pertumbuhannya diperkirakan mencapai 5,1% pada tahun ini dan tahun depan, atau direvisi turun sebesar 0,2% dan 04% dari perkiraan pada April.
“Revisi itu karena out turn lebih lemah daripada yang diperkirakan pada paruh pertama 2018, kenaikan harga minyak, kondisi pengetatan keuangan global, dan kebijakan domestik yang ketat,” tuturnya.
Untuk menghadapi risiko tersebut, dia melanjutkan, kebijakan dan reformasi harus dilakukan untuk menjaga tingkat ekspansi saat ini. Tidak hanya Indonesia, negara-negara Asia Pasifik harus mengelola risiko dan memperkuat ketahanan terhadap downside risk.
“Negara berkembang Asia harus tetap waspada. Kondisi keuangan diperkirakan semakin ketat karena normalisasi kebijakan moneter di AS,” katanya.
Dia memperingatkan kondisi ketat tersebut akan dapat merusak stabilitas negara-negara yang memiliki fundamental lemah dan memiliki tingkat utang tinggi.
“Untuk Indonesia, seperti emerging market lainnya, akan terkena dampak dari kondisi pengetatan itu. Otoritas harus selalu waspada, tapi kami percaya situasinya akan terkendali karena Indonesia memiliki fundamental kuat dan memiliki ruang dalam kebijakannya,” kata Rhee.
Menurut Rhee, Indonesia saat ini telah lebih tahan dalam menghadapi pengetatan dari bank sentral di negara maju, ditopang oleh membaiknya bingkai kerja yang menopang fundamental baik saat ini. Di antaranya, ia menyebut soal cadangan devisa yang memadai sekitar US$115 miliar, rendahnya utang publik (sekitar 30% dari PDB), dan neraca keuangan perbankan dan korporasi yang sehat.
“Saran kami beragam untuk setiap negara, tapi secara umum Indonesia dapat menjadikan fleksibilitas nilai tukar sebagai garis pertahanan pertama, bekerja sebagai shock absorber dan memungkinkan kebijakan moneter untuk fokus pada faktor-faktor domestik seperti inflasi dan kesenjangan output,” ujar Rhee.
Akan tetapi, lanjutnya, hal itu bukan berarti kebijakan moneter mengacuhkan kondisi eksternal. Kebijakan moneter harus diketatkan jika depresiasi membawa risiko untuk inflasi dan stabilitas keuangan.
Selanjutnya, Rhee juga menyarankan agar intervensi nilai tukar dilakukan untuk menghadapi kondisi pasar yang tidak teratur, sehingga tingkat cadangan devisa dapat memadai.
Terakhir, dia menjelaskan, kebijakan fiskal juga harus menjadi bagian dari perangkat kebijakan, dengan fokus untuk membangun ulang beberapa retakan, seperti mendukung pertumbuhan inklusif, dan sustainability utang.
🌺
NEW YORK okezone- Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kembali keok pada pembukaan perdagangan Kamis waktu setempat.
Penurunan Wall Street ini disebabkan karena kenaikan Data Indeks Harga Konsumen (IHK) tidak sesuai ekspektasi pada bulan September, sehingga data inflasi di AS lebih rendah.
BERITA TERKAIT+
Melansir Reuters, Kamis (11/10/2018), indeks Dow Jones Industrial Average turun 80,35 poin, atau 0,31% ke level 25.518,39. Sementara, indeks S&P 500 turun 8,81 poin, atau 0,32% ke 2.776,87.
Sedangkan, indeks Nasdaq Composite turun 33,98 poin atau 0,46% menjadi 7.388,07.
Seperti yang diberitakan Okezone, Wall Street jatuh pada penutupan perdagangan Rabu waktu setempat. Hal tersebut terlihat dengan terjadinya penurunan pada dua indeks utama, yakni Dow Jones dan S&P 500.
Dua indeks utama Wall Street mengalami penurunan harian terbesar sejak 8 Februari. Saham teknologi terkena imbasnya karena meningkatnya hasil treasury AS yang membuat investor menghindari dari aset berisiko.
🍁
Bisnis.com, NUSA DUA — Dana Moneter Internasional menegaskan ekonomi dunia tetap kuat di tengah ketidakpastian global yang terjadi saat ini.
“Ya, ekonomi global tetap kuat sekarang ini, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tetap stabil sebesar 3,7% tahun ini dan tahun depan,” kata Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde dalam paparannya di acara Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia Grup di Nusa Duam Bali, Kamis (11/10/2018).
BACA JUGA :
Seperti diketahui, IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global dari 3,9% menjadi 3,7% pada tahun ini. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak cukup kuat saat ini. Pasalnya, potensi pertumbuhan tersebut menurun dari perkiraan sebelumnya. Indikasi yang telah dilihat sebelumnya oleh IMF akhirnya semakin jelas, yaitu ketegangan perdagangan.
Ketika ketegangan meningkat, dia mengatakan hal tersebut tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam hal ini, Lagarde menyarankan agar semua negara yang mengalami dampak dari perang dagang tersebut untuk berupaya menurunkan ketegangan atau pengaruh perang dagang (de-escalate) dan menjalankan kebijakan yang sesuai dengan sistem perdagangan global yang kuat dan adil.
Selain itu, dia berharap pemerintah negara-negara di dunia mampu memperbaiki sistem dan kebijakan perdagangannya. Salah satunya dengan memanfaatkan ekonomi digital. Jika satu negara tidak mampu menjalankan hal tersebut, Lagarde menilai negara tersebut dapat merugi karena tertinggal dari kemajuan sistem global dan kehilangan produktivitas.
Kendati pertumbuhan melandai dari perkiraan semula, Lagarde melihat ekonomi dunia dalam kondisi yang aman dibandingkan dengan krisis keuangan 2008. Namun, tingkat aman dapat berubah melihat tingkat utang publik dan swasta saat ini.
“Sedikit saja perubahan arah angin dapat menimbulkan arus modal keluar dan ketidakstabilan di pasar negara berkembang seperti yang kita lihat saat ini,” ujar Lagarde.
Kepada negara berkembang yang rentan, Lagarde menyarankan untuk mengambil bauran kebijakan yang tepat, menggunakan semua instrumen yang ada.
🌷
NEW YORK okezone- Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street jatuh pada penutupan perdagangan Rabu waktu setempat. Hal tersebut terlihat dengan terjadinya penurunan pada dua indeks utama, yakni Dow Jones dan S&P 500.
Melansir Reuters, Kamis (11/10/2018), dua indeks utama Wall Street mengalami penurunan harian terbesar sejak 8 Februari. Saham teknologi terkena imbasnya karena meningkatnya hasil treasury AS yang membuat investor menghindari dari aset berisiko.
BERITA TERKAIT+
Dow Jones Industrial Average turun 831,83 poin atau 3,15% menjadi 25.598,74, S & P 500 kehilangan 94,66 poin atau 3,29% menjadi 2,785.68 dan Nasdaq Composite turun 315,97 poin atau 4,08% menjadi 7.422,05.
Hasil treasury jangka panjang AS naik lagi dalam perluasan tren selama beberapa minggu terakhir didorong oleh data ekonomi AS yang semakin kuat. Tentu hal ini membuat ekspektasi bahwa akan terjadi kenaikan suku bunga selama 12 bulan ke depan.
Investor pun khawatir tentang dampak ketegangan perdagangan pada keuntungan perusahaan dan pendaratan Hurricane Michael di Florida menambah ketidakpastian.
Nasdaq mencatat penurunan harian terbesar sejak 24 Juni 2016. Saham teknologi mengalami penurunan satu hari terbesar sejak Agustus 2011.
"Ini efek kumulatif dari pergerakan suku bunga selama lima hari terakhir dan laporan berita tentang perdagangan yang berdampak pada perusahaan," kata Manajer Portofolio Senior Ed Campbell.
“Kami melihat saham yang menggantung di sana cukup bagus karena suku bunga bergerak dan sekarang mereka mulai turun. Pasar mulai merenungkan bahwa ini bisa menjadi Fed yang terlalu bersemangat dalam hal kenaikan suku bunga," tambahnya.
Ahli Strategi Investasi AS Mona Mahajan menambahkan, pasar berpotensi menjual sebanyak 10% dari catatannya sebelum maju lagi.
"Pasar mencerna potensi bahwa harga bergerak ke atas akhirnya meresap ke dalam ekonomi rill dalam bentuk tingkat hipotek, suku bunga, suku bunga pinjaman mahasiswa," kata Mahajan.
(Feb)
(rhs)
🌳
Bisnis.com, JAKARTA – Perekonomian Inggris berada pada jalur kuartal terbaik dalam hampir dua tahun terakhir, meskipun meskipun kinerja bulan Agustus lebih lemah dari perkiraan.
Dilansir Bloomberg, berdasarkan data Kantor Statistik Nasional yang dirilis Rabu (10/10/2018), Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 0,7% dalam tiga bulan terakhir hingga Agustus.
Pada bulan Agustus sendiri, pertumbuhan PDB stagnan, lebih rendah dari estimasi ekonom yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,1%. Namun, kinerja serupa pada bulan September akan membuat pertumbuhan PDB pada kuartal ketiga mencapai 0,6%, naik dari 0,4% di kuartal kedua dan yang paling tinggi sejak akhir 2016.
Angka PDB tersebut membantu menjelaskan mengapa Bank of England menaikkan suku bunga ke level tertinggi sejak 2009 pada bulan Agustus. Pertumbuhan tahunan dalam tiga bulan terakhir mencapai 1,5%, di sekitar “batas kecepatan” BOE.
Ekonomi Inggris juga diuntungkan selama musim panas dari tingginya gelombang panas yang mendorong penjualan ritel dan industri jasa dominan serta proyek konstruksi, selain pertumbuhan sektor manufaktur.
Pada bulan Agustus, pertumbuhan sektor jasa juga stagnan, sedangkan output sektor infrastruktur melemah 0,7%. Produksi industri menguat 0,2% karena output minyak, gas, dan utilitas yang lebih tinggi mengimbangi penurunan 0,2% persen dalam manufaktur.
Di bulan yang sama, defisit perdagangan Inggris juga melebar menjadi 11,2 miliar poundsterling (US$14,8 miliar) karena impor meningkat lebih cepat daripada ekspor. Namun, defisit diperkirakan menyempit kuartal ketiga dibandingkan kuartal kedua.
🌷
KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Presiden Federal Reserve New York John Williams menyatakan bahwa dengan kebijakan moneter yang sudah bergerak ke arah normal, The Fed tidak akan dapat memberikan banyak petunjuk tentang apa yang akan terjadi ke depannya.
Hal ini disampaikan dalam pidatonya pada Central Banking Forum di Bali, Rabu (10/10). “Arah kebijakan masa depan tidak akan lagi sejelas selama beberapa tahun terakhir. Ketika suku bunga sangat rendah, sudah jelas bahwa arahnya adalah ke atas, ke arah tingkat yang lebih normal,” kata dia di Bali, Rabu.
“Di masa depan, tidak akan lagi jelas apakah suku bunga perlu naik atau turun, dan panduan ke depan yang jelas tentang jalur kebijakan masa depan tidak akan lagi sesuai,” lanjutnya.
Dalam pidatonya, ia juga mengatakan ekonomi AS kemungkinan akan tumbuh sebesar 3% tahun ini dan sebesar 2,5% tahun depan. Ia pun mengharapkan tingkat pengangguran turun menjadi di bawah 3,5% tahun depan.
Adapun, ia juga melihat target inflasi 2% akan terlampaui sedikit. Meski menurut dia, tidak ada tanda-tanda tekanan inflasi yang lebih besar.
Asal tahu saja, September lalu The Fed menaikkan suku bunga acuannya menjadi 2% dan 2,25%. Setelah ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan Desember dan beberapa kali lagi tahun depan jika ekonomi berjalan sesuai yang diharapkan.
🌽
NUSA DUA- Dana Moneter Internasional (IMF) perkirakan ekonomi beberapa negara yang disebut sebagai kelompok ASEAN-5, termasuk Indonesia, akan tumbuh 5,2% pada 2019, atau direvisi 0,1 poin dari perkiraan awal 2018 lalu.
"Pertumbuhan Indonesia telah menjadi cerita sukses yang nyata, meskipun kami menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia untuk beberapa tahun ke depan, pertumbuhannya masih diharapkan cukup kuat," kata Penasihat Ekonomi dan Direktur Penelitian IMF Maurice Obstfeld dalam konferensi pers tentang Proyeksi Ekonomi Dunia (WEO) di Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10).
IMF menggarisbawahi bahwa revisi proyeksi pertumbuhan tidak hanya terjadi di kawasan ekonomi ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam), tetapi juga di ekonomi penting lainnya di kawasan Amerika Latin (Argentina, Brazil, Meksiko), ekonomi bertumbuh Eropa (Turki), Asia Selatan (India), Timur Tengah (Iran), dan Afrika (Afrika Selatan) yang mengalami pelemahan sekitar 0,2 hingga 0,4 poin.
"Berbicara secara luas, kami melihat tanda-tanda investasi dan sektor manufaktur yang menurun, ditambah perdagangan yang melemah," kata Obstfeld.
Secara khusus, ekonom senior IMF tersebut mengemukakan beberapa faktor eksternal yang memengaruhi perlambatan pertumbuhan Indonesia, yakni kondisi fiskal global yang makin ketat, harga minyak, dan ketegangan antara Amerika Serikat dan China soal perdagangan.
"Semua itu kemungkinan berimbas pada ekonomi Indonesia, namun hal ini juga memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara lebih konsisten dan berkelanjutan," kata dia.
Obstfeld menganjurkan agar pemerintah Indonesia juga meningkatkan pendapatan pajak yang akan mendukung investasi di bidang pendidikan, infrastruktur, dan jaring pengaman sosial yang semuanya bermanfaat bagi rakyat.
"Pesan kami untuk negara-negara dengan pendapatan seperti Indonesia, cobalah untuk meningkatkan keterampilan dan kualitas sumber daya tenaga kerja, serta meneruskan usaha untuk memerangi ketimpangan, yang telah menurun dalam beberapa tahun ini," kata dia.
Secara global, IMF memproyeksikan pertumbuhan dunia akan tetap pada 3,7% untuk periode 2018-2019 yang dipengaruhi berbagai risiko yang makin menjadi nyata.
IMF menyebutkan bahwa risiko dan tantangan masih akan membayangi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019. Secara sektoral, tantangan yang dihadapi ekonomi maju berpusat pada pendapatan tenaga kerja yang menurun, persepsi mobilitas sosial yang rendah, dan respon kebijakan yang tidak memadai untuk perubahan struktutal ekonomi di beberapa negara.
Sementara itu, tantangan ekonomi yang sedang tumbuh dan berkembang lebih bervariasi dan lebih mungkin menghadapi risiko dalam jangka panjang, mulai dari pentingnya memperbaiki iklim investasi untuk mengurangi dualitas pasar tenaga kerja (segmentasi karyawan penuh waktu dan kontrak) hingga ancaman perubahan iklim dan bencana alam.
Proyeksi IMF untuk pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik (termasuk Indonesia) secara khusus akan diumumkan pada Jumat (12/10). (ant/gor)
🌸
NEW YORK - Dana Moneter Internasional (IMF) telah sepakat untuk memberikan bailout yang lebih besar dan lebih cepat kepada Argentina dari yang direncanakan semula dalam upaya untuk memulihkan kepercayaan pasar di negara tersebut. IMF setuju menggelontorkan dana talangan ke Argentina sebesar USD57,1 miliar yang setara Rp851 triliun.
Angka tersebut sejatinya lebih besar dari USD50 miliar atau Rp745 triliun yang semula diumumkan sebelumnya. Langka ini diambil ketika Argentina mengalami defisit anggaran dan krisis ekonomi., dimana ekonominya kontraksi saat nilai mata uang peso Argentina jatuh sangat dalam ditambah kekeringan membuat ekspor pertanian merosot tajam.
Investor yang khawatir telah menarik uang dari negara tersebut, meninggalkan pemerintah dan perusahaan yang menyimpan utang dalam dolar dalam kekacauan. Bulan lalu, Presiden Mauricio Macri meminta IMF untuk mempercepat penggelontoran dana talangan yang rencananya bakal dipakai untuk menopang anggaran. Di sisi lain, pemerintah Argentina menyatakan bakal memangkas pengeluaran dan mewujudkan anggaran yang seimbang pada 2019 atau setahun lebih dini dari yang semula direncanakan.
Protes dan Pemogokan
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan, dia yakin paket tersebut menjadi salah satu paket dana talangan terbesar dalam sejarah IMF. Hal tersebut diyakini bakal membantu memulihkan kepercayaan pasar di Argentina sekaligus menolong kelompok masyarakat yang "paling rentan". Namun dana talangan IMF ke negara tersebut mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat.
Lagarde menekankan pentingnya persetujuan Kongres Argentina untuk anggaran 2019. Dana talangan juga perlu persetujuan dari dewan eksekutif IMF. "Pekerjaan besar harus dilakukan jika Argentina hendak merespons kondisi saat ini yang menantang secara efektif. Upaya ini barulah awalan. IMF berkomitmen untuk terus mendukung pemerintah Argentina dalam upaya mereka," kata Lagarde dalam jumpa pers di New York.
(akr)
🍆
Bisnis.com, JAKARTA – Tiga indeks saham utama di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) berbalik ke zona negatif tepat sebelum mengakhiri pergerakannya pada perdagangan Rabu (26/9/2018), setelah investor mencermati kembali pernyataan kebijakan Federal Reserve.
Indeks S&P 500 ditutup melemah 0,33% di 2.905,97, indeks Dow Jones Industrial Average melemah 0,4% di level 26.385,28, dan indeks Nasdaq Composite berakhir turun 0,21% di level 7.990,37.
Padahal, bursa saham AS sebelumnya mampu memperpanjang kenaikan setelah The Fed, seperti yang diperkirakan, menaikkan suku bunga dan mempertahankan prospek kebijakan moneternya untuk tahun-tahun mendatang. Langkah ini dilakukan di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pasar kerja yang kuat.
The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi kisaran 2%-2,25%.
Namun, pasar kemudian berbalik arah setelah investor mencermati sampai sejauh mana penghapusan kata "akomodatif" dari pernyataan kebijakan Fed menunjukkan bahwa berakhirnya siklus kenaikan suku bunga mungkin akan terlihat.
“Pelaku pasar salah menafsirkan penghapusan kata 'akomodatif' dalam pernyataan tersebut,” kata Mike O'Rourke, kepala strategi pasar di JonesTrading, seperti dilansir dari Reuters.
“Pasar menyadari kebijakan moneter tetap di jalurnya dan ada ekspektasi kenaikan suku bunga lebih lanjut tahun ini. Mereka melepaskan pembelian yang mereka lakukan akibat rilis pernyataan itu.”
Indeks finansial pada S&P 500 pun melorot 1,27% sekaligus mendorong pelemahan pada akhir sesi perdagangan,
Adapun indeks utilitas dan real estate S&P 500, yang sensitif terhadap suku bunga karena komponennya seringkali lebih disukai untuk imbal hasil dividen, masing-masing turun lebih dari 1%.
Dalam pertemuan kebijakan yang berakhir Rabu (26/9) waktu setempat, The Fed masih memperkirakan kenaikan suku bunga lebih lanjut pada bulan Desember, tiga kali kenaikan pada tahun depan, dan satu kali pada 2020.
Setelah pertemuan, Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral AS tersebut memantau ketat inflasi serta menggarisbawahi kekhawatiran pertumbuhan ekonomi AS yang cepat dapat menyebabkan kondisi yang terlalu panas dan memaksa The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.
Terkait penghapusan kata "akomodatif", Powell menanggapi, "Perubahan ini tidak menandakan perubahan dalam jalur kebijakan. Sebaliknya, itu adalah tanda bahwa kebijakan berjalan sesuai dengan harapan kami.”
Pasar saham telah menikmati periode penguatan dan berada pada level rekornya. Tetapi ketika suku bunga naik, ekuitas menghadapi persaingan yang meningkat karena dana investor tidak hanya dari obligasi, tetapi juga dari uang tunai, yang telah menjadi paling menarik dalam sekitar satu dekade.
🌻
NEW YORK, iNews.id - Global Finance, majalah keuangan berbasis di New York, merilis daftar bank-bank paling aman di berbagai wilayah, termasuk emerging market.
Bank-bank di Asia kembali mendominasi daftar teratas tahun ini. Bank-bank asal Korea Selatan (Korsel) berada di tiga posisi teratas.
"Emerging market sering dipandang cukup menantang karena ketidakpastian dan volalitasnya lebih tinggi daripada nbegara negara maju meski mereka berupaya untuk terlibat dalam pasar global," kata Joseph D. Giarraputo, Pendiri sekaligus Direktur Editorial Global Finance, dikutip Selasa (25/9/2018).
Global Finance mengevaluasi rating dan total aset bank-bank di emerging market untuk melihat yang menawarkan keamanan terbaik. Rating tersebut diambil dari long-term foreign currency dari tiga lembaga pemeringkat internasional Moody's, Standard & Poor’s, dan Fitch Rating. Seleksi dilakukan terhadap 500 bank terbesar di emerging market.
Global Finance sebenarnya merilis 50 bank. Namun, iNews.id mengambil 25 bank paling aman di emerging market yaitu:
1. Korea Development Bank (Korsel)
2. The Export-Import Bank of Korea (Korsel)
3. Industrial Bank of Korea (Korsel)
4. First Abu Dhabi Bank (UEA)
5. National Bank of Kuwait (Kuwait)
6. Bank of Taiwan (Taiwan)
7. China Development Bank (China)
8. Agricultural Development Bank of China (China)
9. The Export-Import Bank of China (China)
10. Shinhan Bank (Korsel)
11. Qatar National Bank (Qatar)
12. Kookmin Bank (Korsel)
13. Abu Dhabi Commercial Bank (UEA)
14. Banco del Estado de Chile (Cile)
15. Kuwait Finance House (Kuwait)
16. Union National Bank (UEA)
17. Al-Hilal Bank (UEA)
18. Industrial and Commercial Bank of China (China)
19. China Construction Bank (China)
20. Agriculture Bank of China (China)
21. Bank of China (China)
22. KEB Hana Bank (Korsel)
23. Nonhyup Bank (Korsel)
24. Banco Santander Chile (Cile)
25. Banco de Chile (Cile)
Editor : Rahmat Fiansyah
🌲
JAKARTA okezone - Pelaku pasar selama dua hari ke depan akan memantau hasil sidang Federal Open Market Committee (FOMC). Rapat Dewan Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat itu akan membahas selama dua hari terhitung 25-26 September 2018 ini.
Hasil yang dinantikan oleh para pelaku ekonomi dan pasar dunia adalah mengenai posisi The Fed Rate atau tingkat suku bunga Amerika Serikat. Pada rapat terakhir yang digelar 31-1 Agustus 2018 memutuskan tingkat suku bunga berada di posisi 1,75 sampai 2 persen. Kenaikan tersebut merupakan yang keduakalinya sepanjang 2018.
BERITA TERKAIT+
Rapat yang dipimpin Jerome H Powell itu, rencananya tidak hanya membahas tingkat suku bunga, namun juga membahas perkembangan ekonomi Amerika terkini.
Banyak kalangan menilai, the Fed rate akan masih akan dinaikan kembali sebanyak dua kali hingga akhir tahun, yakni pada Rapat FOMC Semptember dan Desember 2018. Namun hal itu masih sebatas proyeksi.
Dikutip dari CBSnews, Rabu (26/9/2018), para analis di Negeri Paman Sam memperkirakan ekonomi melemah tahun depan, sebagian karena efek dari konflik Presiden AS Donald Trump dengan China, Kanada, Eropa, dan mitra dagang lainnya. Tarif dan countertariff yang telah dikenakan pada impor dan ekspor memiliki efek kenaikan harga untuk barang dan pasokan utama dan pertumbuhan yang berpotensi melambat.
Di sisi lain, pelambatan ekonomi kemungkinan akan menyebabkan the Fed untuk mengurangi kenaikan suku bunganya untuk menghindari pertumbuhan yang menyesakkan. Dalam skenario itu, mungkin FOMC akan menaikkan suku hanya dua kali pada 2019.
Kepala ekonom di Moody's Analytics Mark Zandi mengatakan melihat perkembangan ekonomi, the Fed diramalkan dalam posisi yang netral.
"Kami telah mengalami pemotongan pajak besar-besaran dan peningkatan besar-besaran dalam belanja pemerintah yang bahkan tidak ada di layar radar pada awal 2017," ujar Zandi.
🌸
Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan indeks S&P 500 dan Dow Jones berakhir lebih rendah di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (24/9/2018) setelah putaran baru dari tarif perdagangan AS-China mulai diberlakukan.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 0,68% atau 181,45 poin di level 26.562,05 dan indeks S&P 500 turun 0,35% atau 10,3 poin di 2.919,37. Namun indeks Nasdaq Composite mampu berakhir positif dengan kenaikan tipis 0,08% atau 6,29 poin di level 7.993,25.
Tujuh dari 11 sektor utama pada S&P kehilangan kekuatannya setelah tarif AS pada barang-barang China senilai US$200 miliar mulai berlaku pada Senin (24/9) waktu setempat, yang dibalas dengan tarif China terhadap barang-barang asal AS senilai US$60 miliar.
“Terlihat situasi penghindaran risiko secara umum, pelaku pasar menjadi sedikit lebih berhati-hati,” ujar Chris Zaccarelli, chief investment officer di Independent Advisor Alliance, North Carolina, seperti dikutip Reuters.
Padahal, pasar ekuitas AS berhasil membuat kenaikan kuat pekan lalu saat investor memiliki ekspektasi bahwa Amerika Serikat dan China akan mengadakan pembicaraan perdagangan.
Akan tetapi dengan kedua belah pihak sekarang tampak bercokol di posisi mereka, Zaccarelli mengatakan tidak akan terkejut jika semua kenaikan yang dibukukan pekan lalu terkikis.
Sektor industri, yang telah terbebani isu perang perdagangan yang berlarut-larut, menjadi salah satu hambatan terbesar pada S&P dengan penurunan 1,3%.
Sementara itu, sektor yang sensitif dengan isu suku bunga seperti konsumen, turun 1,5% dan real estate yang turun 1,9%, berada di bawah tekanan menjelang pertemuan kebijakan The Fed yang akan dimulai Selasa (25/9) waktu setempat dan diperkirakan akan berakhir dengan kenaikan suku bunga.
Di sisi lain, sektor energi membukukan persentase terbesar di antara sektor-sektor pada S&P setelah harga minyak naik ke level tertinggi dalam empat tahun, di atas US$80 per barel.
Arab Saudi dan Rusia mengesampingkan peningkatan produksi dalam waktu dekat terlepas dari permintaan Presiden AS Donald Trump untuk mengambil tindakan demi meningkatkan suplai global.
🌲
SEOUL – Semakin banyak perusahaan Asia yang berupaya memindahkan produksi dari China ke pabrik lain di kawasan seiring penerapan tarif impor China oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Perusahaan-perusahaan termasuk SK Hynix dari Korea Selatan (Korsel) dan Mitsubishi Electric, Toshiba Machine Co, serta Komatsu dari Jepang mulai merencanakan pemindahan produksi sejak Juli, saat tarif pertama berlaku.
Pemindahan itu sekarang sedang berlangsung menurut perwakilan perusahaan dan pihak lain yang mengetahui rencana tersebut. Produsen komputer asal Taiwan, Compal Electronics dan LG Electronics asal Korsel sedang membuat rencana antisipasi jika perang dagang terus berlanjut atau kian memburuk. Sejumlah perwakilan dan sumber lain itu menjelaskan perkembangan itu secara anonim pada kantor berita Reuters karena isu itu sensitif.
Reaksi cepat terhadap tarif AS itu mungkin terjadi karena banyak manufaktur besar memiliki fasilitas di sejumlah negara dan bisa memindahkan sebagian kecil produksi tanpa membangun pabrik baru.
Beberapa pemerintahan seperti di Taiwan dan Thailand secara aktif mendorong perusahaan- perusahaan untuk memindahkan pekerjaan dari China. AS menerapkan 25% tarif mencakup barang-barang buatan China senilai USD50 miliar pada Juli lalu.
AS kemudian menerapkan lagi tarif 10% pada barang-barang China sebesar USD200 miliar yang akan mulai berlaku pekan depan. Tarif yang diberlakukan akan naik menjadi 25% pada akhir tahun ini. Presiden AS Donald Trump juga mengancam paket tarif ketiga sebesar USD267 miliar yang akan menjadikan semua produk impor dari China ke AS terkena tarif.
Tarif itu mengancam status China sebagai basis produksi rendah biaya seiring meluasnya pasar China yang menarik banyak perusahaan membangun pabrik dan jaringan suplai di negara itu dalam beberapa dekade terakhir.
Pada perusahaan pembuat chip memori komputer SK Hynix, pekerjaan sedang berlangsung untuk memindahkan produksi beberapa modul chip kembali ke Korsel dari China. Seperti juga perusahaan AS, Micron Technology yang memindahkan beberapa produksi chip memori dari China ke negara Asia lainnya.
(Syarifudin)
Hallo semua saya hanya ingin
ReplyDeletemereferensiin bbrp web yang sudah terkenal
Prediksi bola dari tipster berpengalaman
ada di link bawah ini
Asianbookie
Prediksi Bola
Kompetisi tipster bola yang ada diindonesia
Turnamen prediksi Bola
Rahasia menang ratusan juta dari permainan slot
Tips dan trik slot online
Preview dari orang lain
Preview bola
Profil angga unso
Agen Slot Online
Galeri Fans sepakbola
Bola Online
thx before
ReplyDeleteKABAR BAIK!!!
Nama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.
Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
ReplyDeletepinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
telah diselesaikan, sekarang saya memiliki nilai yang sangat besar dan
usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
francasmithloancompany@gmail.com)