TRADE wars OR elsE

DISRUPTION ERA

menurut JO: stidaknya ada 2 peristiwa

terkait era DISRUPSI

1. era digitalisasi

2. era DEGLOBALISASI ala TRUMP reality shows

marketwatch: Meanwhile, veteran strategist Marc Chandler seems to have “Bridge Over Troubled Water” on his playlist, and he provides our call of the day.

“People are presenting this as it’s a trade war. I don’t think this is a trade war.” Brown Brothers Harriman’s old hand says in a Bloomberg TV interview, as he reflects on the Trump administration’s plans for tariffs and the reactions in Beijing and elsewhere.

Chandler doubles down on his take in a blog post.

“We have been to this dance before,” he writes at his Marc to Market blog.

“Countries will respond with some symbolic retaliation on a small number of goods that make a little more than a rounding error in bilateral trade, take some measures to ensure that the defection of the U.S. does not lead to an import surge, and appeal to the conflict resolution mechanism at the WTO.”

U.S. wine, fruit, nuts and seamless steel pipes looks like they’re among the areas targeted, with China’s reaction so far not appearing as substantial as feared.

🌹

Tarif China vs. tarif amrik @ 2020: reda, seh

JAKARTA, investor.id – Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok kian memanas, setelah saling tuduh mengenai penyebaran virus corona. Tudingan tersebut diutarakan Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa kurangnya transparansi Tiongkok mengenai wabah tersebut membuat penyebaran tidak bisa dikendalikan. Hal itu sebagai tanggapan atas pernyataan Pemerintah Tiongkok yang menyebut AS kemungkinan besar menjadi sumber pandemi global saat ini. “Ketegangan yang kembali terjadi antara kedua negara ini berpotensi mengancam kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah ditandatangani,” tulis Pilarmas Investindo Sekuritas dalam ulasannya, Kamis (23/4).

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Fokus Pasar: Corona Bisa Kembali Memicu Perang Dagang"
Penulis: Ghafur Fadillah
Read more at: http://brt.st/6y9B

🍓

DAVOS - Miliarder George Soros melayangkan kritik keras kepada dua pemimpin negara dengan ekonomi terbesar di dunia yakni Amerika Serikat (AS) dan China. Dalam ajang World Economic Forum (WEF), Soros mengatakan Presiden Donald Trump adalah seorang yang mencari perhatian dan sangat narsis dimana telah melanggar batas konstitusi AS.

Dilansir BBC, Jumat (24/1/2020) miliarder yang juga seorang dermawan itu mengutarakan, Presiden China Xi Jinping menggunakan teknologi untuk mengatur semua kehidupan di Negeri Tirai Bambu -julukan China-. "Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika mereka tidak berkuasa," kata Soros.

Dalam pidato tahunan di forum ekonomi dunia, para miliarder dan pemodal memperingatkan ancaman yang berkembang di antaranya terkait populisme dan perubahan iklim. Sementara itu mereka berjanji mengucurkan dana besar hingga USD1 miliar kepada jaringan Universitas global untuk mengatasi intoleransi.

TARIFFS

The United States will not proceed with 15% tariffs scheduled to go into effect on Sunday on nearly $160 billion worth of Chinese goods, including cell phones, laptop computers, toys and clothing.

China canceled its retaliatory tariffs due to take effect that same day, including a 25% tariff on U.S.-made autos.

The United States will cut by half the tariff rate it imposed on Sept 1. on a $120 billion list of Chinese goods, to 7.5%

U.S. tariffs of 25% on $250 billion worth of Chinese goods will remain unchanged, providing U.S. negotiating leverage for a second phase of negotiations next year.

TRADE DEFICIT

U.S. officials say China agreed to increase purchases of American products and services by at least $200 billion over the next two years, with an expectation that the higher purchases will continue after that period.

The purchases include manufactured goods, agricultural goods, energy and services, and are expected to reduce the $419 billion U.S. trade deficit with China, officials said. China bought $130 billion in U.S. goods in 2017, before the trade war began, and $56 billion in services, U.S. data show.

AGRICULTUREChina has committed to increase purchases of U.S. agriculture products by $32 billion over two years. That would average an annual total of about $40 billion, compared to a baseline of $24 billion in 2017 before the trade war started.

Trump has demanded that China buy $50 billion worth of American farm goods annually. U.S. Trade Representative Robert Lighthizer said China agreed to make its best efforts to increase its purchases by another $5 billion annually to get close $50 billion.

China has committed to reduce non-tariff barriers to agricultural products such as poultry, seafood and feed additives as well as approval of biotechnology products.

INTELLECTUAL PROPERTY

The deal includes stronger Chinese legal protections for patents, trademarks, copyrights, including improved criminal and civil procedures to combat online infringement, pirated and counterfeit goods.

The deal contains commitments by China to follow through on previous pledges to eliminate any pressure for foreign companies to transfer technology to Chinese firms as a condition of market access, licensing or administrative approvals and to eliminate any government advantages for such transfers.

China also agreed to refrain from directly supporting outbound investment aimed at acquiring foreign technology to meet its industrial plans — transactions already restricted by stronger U.S. security reviews.

CURRENCY

The currency agreement contains pledges by China to refrain from competitive currency devaluations and to not target its exchange rate for a trade advantage — language that China has accepted for years as part of its commitments to the Group of 20 major economies.

The deal subjects any violations of currency commitments to the agreement’s enforcement mechanism, under which they could incur U.S. tariffs.

A senior Trump administration official said the currency agreement is based on provisions in the U.S.-Mexico-Canada Agreement trade deal, which require the three countries to disclose monthly data on international reserve balances and intervention in foreign exchange markets, along with quarterly balance-of-payments data and other public reporting to the International Monetary Fund.

ENFORCEMENT

Under dispute resolution is an arrangement allowing parties to resolve differences over how the deal is implemented through bilateral consultations, starting at the working level and escalating to top-level officials. If these consultations do not resolve disputes, there is a process for imposing tariffs or other penalties.

Lighthizer told reporters the United States expected neither side would retaliate if appropriate action was taken as part of the process and following “consultation in good faith.”

CHINA FINANCIAL SERVICES

U.S. officials said the deal includes improved access to China’s financial services market for U.S. companies, including in banking, insurance, securities and credit rating services. It aims to address a number of longstanding U.S. complaints about investment barriers in the sector including foreign equity limitations and discriminatory regulatory requirements.

China, which has pledged here for years to open up its financial services sector to more foreign competition, said the deal would boost imports of financial services from the United States.

But China's state-run Global Times newspaper said that not all foreign institution will be able to tap China's financial market. "Naturally, entities from countries which are friendly to China will be favored by the Chinese people," the paper said in a commentary here

🍈

per tgl 09 Des 2019:

Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang Uni Eropa di China mengatakan bahwa perang dagang antara AS-China telah gagal mendorong bisnis keluar dari negeri bambu untuk kembali ke Amerika Serikat.

Hal ini sebagian besar disebabkan karena beberapa perusahaan berhasil menemukan cara untuk menghindari atau justru menanggung tarif di tengah sengketa yang berlarut-larut.

Publikasi survei yang dirilis Senin (9/12/2019), menunjukkan bahwa konflik perdagangan telah memaksa beberapa perusahaan besar Eropa untuk memindahkan produksi, yang terikat dengan AS, dari China ke ekonomi-ekonomi berkembang di sekitarnya.

Lokasi produksi alternatif ini mencakup Asia Tenggara dan India, demi mengejar tenaga kerja murah dan fasilitas produksi yang setidaknya sama dengan di China.

"Itu artinya perusahaan hanya mengalihakan rute asal dan tujuan barang yang terikat dengan AS atau China untuk menghindari batasan tarif," tulis laporan tersebut, dikutip melalui Bloomberg, Senin (9/12/2019).

Survei ini dilaksanakan pada 12-20 September dengan total 174 responden

Perusahaan yang lebih besar terpaksa menambah biaya marginal untuk mengatasi manuver tarif. Sementara itu, perusahaan Eropa dan Amerika yang lebih kecil menggunakan modal sendiri atau mengganti pemasok.

Kelompok perdagangan, yang mewakili lebih dari 1.600 perusahaan Eropa, mengatakan bahwa meskipun beberapa perusahaan yang keluar dari China, yang lain justru memindahkan rantai pasokan mereka di daratan China untuk menghindari tarif.

"Perusahaan Eropa di China secara efektif mengeliminasi dampak tarif dalam waktu yang relatif singkat dan hanya memperjelas teori bahwa tarif bilateral di pasar global adalah langkah yang sia-sia," kata Joerg Wuttke, Ketua Kamar Dagang Uni Eropa di China.

Sekitar 8% dari responden mengatakan mereka telah pindah atau akan memindahkan produksi yang relevan keluar dari China sebagai akibat dari tarif, 6% dari mereka mengungkapkan sedang mempertimbangkan atau telah meningkatkan investasi di China, meningkat tajam dari 2% ketika disurvei pada Januari.

Perusahaan-perusahaan Eropa yang lebih kecil, yang tidak dapat meningkatkan rantai pasokan global untuk menghindari biaya, juga telah mengadaptasi bisnis mereka untuk mengurangi dampak tarif, hasil survei menunjukkan.

🍈

per tgl 06 Des 2019:

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 39 poin (0,64%) ke 6.152,12 pada Kamis (5/12/2019), meski dengan nilai transaksi Rp 6,93 triliun atau di bawah rerata tahun berjalan Rp 9,15 triliun. Hari ini, investor mengantisipasi rilis neraca dagang China, setelah Amerika Serikat (AS) melaporkan koreksi perdagangan.

Kinerja IHSG kemarin senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei terapresiasi 0,76%, Shanghai menguat 0,32%, Hang Seng naik 0,33%, dan Straits Times terkerek 0,51%.

Namun, Indonesia mencatatkan performa impresif di pasar obligasi negara, karena harga surat berharga negara (SBN) yang menjadi acuan di pasar kemarin menguat sendirian ketika pasar negara lain terkoreksi. Sejak pertengahan November, harga SBN telah terkoreksi beruntun.

Baca:

Akhir Bulan AS-China Diprediksi Kian Selow, Pasar SUN Bersemi

Di sisi lain, rupiah berjaya dengan langsung menguat pada sesi pembukaan, sebesar 0,04% ke Rp 14.095/US$. Penguatan rupiah semakin membesar selepas tengah hari. Hingga akhir perdagangan, rupiah mencatat penguatan 0,28% di US$ 14.060/US$. Mata Uang Garuda kini berada di level terkuat sejak 15 November.

Untuk perdagangan hari terakhir pekan ini, IHSG cenderung bergerak menguat dan berpeluang menyentuh level tertinggi terbaru dalam 10 hari terakhir. Kecenderungan bullish itu tercermin dari posisi chart IHSG yang bergerak di atas rata-rata nilainya selama lima hari terakhir (moving average/MA-5).

Baca:

Melesat Bersama Bursa Saham Asia, IHSG Besok Masih Bisa Naik

Penguatan serempak di tiga pasar keuangan nasional itu menunjukkan bahwa investor domestik menemukan ruang untuk mengoleksi aset di Indonesia bahkan ketika selera mengambil risiko (risk appetite) investor asing belum pulih dan cenderung angin-anginan mengikuti arah angin pasar global.

Investor asing yang menyumbang 33% dari transaksi harian bursa saham Indonesia, membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 85 miliar di pasar reguler kemarin, atau lebih kecil dari net sell sehari sebelumnya Rp 199 miliar.

Di pasar obligasi, investor asing tercatat keluar dari pasar SUN senilai Rp 1,02 triliun pekan lalu. Namun data terbaru (4 Desember) menunjukkan kepemilikan asing sebesar Rp 1.066 triliun, atau 38,55% dari total suara utang negara (Rp 2.767 triliun), alias masih terhitung naik dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu (37,71%).

Investor asing terlihat waspada dan wait and see, sehingga memilih menggenggam dana tunai. Kekhawatiran yang ada masih berpusar pada perang dagang, meski kita bisa menebak ending-nya tahun ini seperti apa: bisa jadi ada kesepakatan, tapi belum tentu mencapai perdamaian.

Baca:

Jangan Berharap Damai Dagang Desember, Ini Perang Hegemoni!

Jika mengacu pada data fundamental, sentimen positif sebenarnya masih merebak dari China (aktivitas manufaktur dan jasa yang masih ekspansif), bahkan dari AS dengan data terbaru mengenai angka pengangguran yang landai. Data negatif di AS (aktivitas manufaktur yang kontraktif) dalam titik tertentu justru bisa bermanfaat untuk mengurai konflik.

🍊

per tgl 15 Okt 2019:

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Indeks bursa Wall Street melorot pada Senin (14/10) menyusul ketidakpastian negosiasi perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China. Ketidakpastian ini menggerus sentimen dan investor mengalihkan fokus mereka pada laporan pendapatan emiten di kuartal III 2019 yang dimulai pada Selasa besok.

Ketiga indeks saham utama AS ditutup di zona merah, menghentikan kenaikan beruntun tiga hari perdagangan berturut.

Senin (14/10), Indeks Dow Jones Industrial Average turun 29,23 poin atau 0,11% menjadi 26.787,36. Lalu indeks S&P 500 melorot 4,09 poin atau 0,14% ke level 2.966,18 dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 8,39 poin atau 0,1% menjadi 8.048,65.

Harapan negosiasi perdagangan antara AS dan China akan membuahkan hasil meredup setelah China mengindikasikan perlunya pembicaraan lebih lanjut. Sementara Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan putaran berikutnya untuk pemberlakukan tarif impor terhadap Tiongkok akan mulai berlaku pada 15 Desember jika kesepakatan belum tercapai saat itu.

Baca Juga: China ingin berbicara lebih banyak sebelum menandatangani kesepakatan dengan AS

Sedangkan Presiden AS Donald Trump memuji tahap I dari kesepakatan perdagangan AS-China sebagai kesepakatan terbesar yang pernah dibuat. Namun tidak ada kesepakatan yang dibuat di atas kertas dan sebagian besar tarif impor terhadap barang dari Tiongkok tetap berlaku.

"Tampaknya ada komitmen yang lebih lembut di pihak Cina daripada yang ditunjukkan pada hari Jumat," kata Joseph Sroka, Kepala Investasi NovaPoint di Atlanta seperti dikutip Reuters.

Fokus investor kini beralih ke musim pelaporan kinerja emiten kuartal III 2019 yang dimulai Selasa (16/10).

Baca Juga: Manufaktur Amerika sedang sakit, dan perang dagang hanya salah satu faktornya

Bank-bank besar AS diperkirakan melaporkan penurunan 1,2% dalam pendapatan, sebagian karena suku bunga rendah dan ketegangan perdagangan.

JPMorgan Chase & Co, Goldman Sachs Group Inc, Citigroup Inc dan Wells Fargo and Co dijadwalkan melaporkan kinerja kuartal ketiga pada Selasa besok. Pun Johnson & Johnson dan UnitedHealth Group.

Analis memperkirakan laba emiten di indeks S&P 500 mengalami kontraksi di kuartal ketiga sebesar 3,2%, menurut data Refinitiv, menandai penurunan pertama sejak resesi pendapatan yang berakhir pada 2016.

🍓

per tgl 14 Okt 2019:

Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan jasa keuangan Morgan Stanley menyatakan kesepakatan perdagangan parsial antara Presiden Donald Trump dengan China merupakan kesepakatan yang tidak pasti dan tidak ada peluang untuk mengurangi tarif impor yang ada saat ini.

AS setuju untuk menunda kenaikan tarif barang-barang China senilai US$ 250 miliar menjadi 30 persen dari 25 persen yang ditetapkan berlaku mulai besok waktu setempat.

Namun, kenaikan tarif yang diterapkan pada bulan September tidak dibatalkan dan rencana untuk kenaikan lagi saat sebelum liburan Natal pada 15 Desember 15 tetap diberlakukan.

Tanpa mekanisme penyelesaian sengketa jagka panjang, putaran kenaikan tarif lainnya tidak dapat dikesampingkan, menurut Morgan Stanley seperti dikutip CNBC.com, Senin (14/10/2019).

"Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada dan kenaikan tarif tetap menjadi risiko yang berarti," menurut bank itu dalam sebuah catatan.

Karena itu bank tersebut menyatakan belum akan ada rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi.

Presiden Trump mengatakan bahwa fase pertama dari perjanjian perdagangan akan ditandatangani dalam tiga minggu ke depan. Sebagai bagian dari fase satu, China akan membeli produk pertanian AS senilai antara US$40 miliar hingga US$50 miliar.

Sedangkan perusahaan jasa perbankan Evercore menulis bahwa fase pertama dari kesepakatan perdagangan AS-China tidak memberi kejelasan bagi perusahaan-perusahaan global untuk memutuskan di mana akan berinvestasi, menghasilkan tenaga kerja atau sumber pendanaan.

Jika AS mempertahankan perspektif mentalitas "menekan China" maka perang dagang akan berlanjut, menurut perusahaan itu.

🍐

per tgl 10 Oktober 2019:

JAKARTA okezone - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) yang baru Kristalina Georgieva mengeluarkan peringatan yang keras mengenai ekonomi global. Ia menuturkan bahwa perlambatan ekonomi terjadi karena meningkatnya perang dagang yang akan mengurangi output produk domestik bruto (PDB) global sebesar USD700 miliar atau sekitar 0,8% pada tahun 2020.

"Pada 2019, kami memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat di hampir 90% dunia," kata Georgieva seperti dilansir Business Insider, Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Menurutnya, ekonomi global sekarang dalam perlambatan tersinkronisasi. Sebagian besar perlambatan akan datang dari reaksi pasar negatif dan memudarnya kepercayaan bisnis. Deselerasi yang meluas menandakan pertumbuhan tahun ini akan turun ke tingkat terendah sejak awal dekade.

Proyeksi IMF mencakup kenaikan tarif yang telah direncanakan Presiden Donald Trump atas impor China senilai USD300 miliar. Hal tersebut merupakan penelitian IMF yang baru saat pidato pengukuhan Georgieva pada 1 Oktober 2019.

Komentar itu muncul karena saham AS mengalami aksi jual tajam pada hari Selasa menyusul meningkatnya ketegangan antara AS dan China. Gedung Putih dilaporkan mempertimbangkan batasan investasi AS ke China dan Commerce Deparment menambahkan 28 entitas China ke dalam daftar larangan ekspor pada hari Senin. Menurutnya, negara-negara perlu membahas masalah perdagangan yang sah seperti subsidi, hak kekayaan intelektual, dan transfer teknologi.

Baca Sekarang: Bos IMF yang Baru Gregetan Sama Perang Dagang

(rzy)

🍐

per tgl 05 Sep 2019:
Liputan6.com, Jakarta Harga emas naik lebih dari 1 persrn pada hari Selasa setelah data manufaktur AS melemah. Dengan ini sekaligus memperkuat kekhawatiran penurunan ekonomim Sementara ketidakpastian atas perdagangan AS-China dan Brexit semakin meningkatkan membuat daya tarik safe-haven.

Dikutip dari CNBC, Rabu (4/9/2019), harga emas di pasar spot naik 0,83 persen menjadi USD 1.543,11 per ounce, tidak jauh dari level tertinggi selama enam tahun di USD 1.554,56. Sementara harga emas berjangka AS melonjak 1,5 persen menjadi USD 1.552,4 per ounce.

Aktivitas manufaktur AS mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pada Agustus. Hal ini menambah kekhawatiran pasar terhadap ekonomi global.

"Data manufaktur yang lemah akan semakin menguatkan pandangan bahwa Federal Reserve AS akan lebih agresif dengan penurunan suku bunga," kata Ryan McKay, ahli strategi komoditas di TD Securities.

"Ada banyak ketidakpastian mulai dari Brexit, politik di Italia, juga protes di Hong Kong, banyak hal yang positif untuk harga emas," tambah dia.

"Dolar juga dipandang sebagai aset safe-haven. Bahkan Treasury naik, dolar naik, perak naik, emas naik, itu semua aset safe-haven," kata Phillip Streible, ahli strategi komoditas senior di RJO Futures.

Sentimen Global Lainnya

Sementara itu, mata uang Eropa seperti Euro dan Pound telah melemah terhadap Dolar karena para pedagang tetap waspada terhadap perkembangan yang akan segera terjadi di Inggris yang keluar dari Uni Eropa dan kekacauan politik Italia.

Di bidang perdagangan, China telah mengajukan keluhan di Organisasi Perdagangan Dunia atas bea masuk A.S. Hal ini dianggap melanggar konsensus yang dicapai oleh para pemimpin kedua negara pada pertemuan di Osaka.

“Emas telah secara agresif mendorong pemotongan suku bunga Fed. Dengan sedikit memberi peluant bagi para pemegang emas dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi terkait dengan meningkatnya ketegangan perdagangan AS-Cina, selera investor untuk logam kuning telah meningjat,” tulis analis BNP Paribas dalam sebuah catatan.

Dia memperkirakan harga emas rata-rata naik di atas USD 1.600 didorong oleh The Fed terkait pelonggaran moneter.

Federal fund futures menyatakan pesar melihat kemungkinan 91 persen pemotongan suku bunga 25 basis poin akan dilakukan oleh Federal Reserve AS bulan ini.

🍐

per tgl 02 September 2019:

NEW YORK okezone- Amerika dan China hari Minggu (1/9/2019) waktu setempat memberlakukan tarif baru terhadap produk ekspor masing-masing. Hal ini merupakan perselisihan terbaru dalam perang dagang yang panjang dan kontroversial antara dua ekonomi terbesar di dunia.

Mengutip VoA Indonesia, Jakarta, Senin (2/9/2019), Presiden Amerika Donald Trump memungut 15 % pajak atas produk-produk ekspor China senilai USD112 miliar yang dikirim ke Amerika. Bagi konsumen Amerika, tarif itu mungkin menyebabkan harga naik untuk beberapa makanan, peralatan olahraga, pakaian olahraga, alat musik, dan mebel.

Sementara itu, China mulai menambahkan tarif 5% dan 10% pada sebagian dari ekspor Amerika senilai USD75 miliar yang dikirim ke China yang dikatakannya akan diberlakukan dalam perang tarif dengan Amerika. Awalnya, China mengatakan ekspor Amerika untuk jagung manis beku, hati babi, marmer dan ban sepeda adalah di antara lebih dari 1.700 produk yang akan dikenakan pajak.

Trump hari Jumat 30 Agustus 2019 mengesampingkan keterlambatan dalam tarif baru terhadap barang-barang impor China, dan mengatakan, "Mereka akan diberlakukan."

Ketika diberlakukan hari Minggu, Trump menyatakan, "Kita tidak bisa membiarkan China merampok kita lagi."

Kantor berita resmi China, Xinhua melaporkan, "Amerika seharusnya belajar berperilaku selayaknya kekuatan global yang bertanggung jawab dan berhenti berlaku sebagai 'perundung di sekolah.' Sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia, Amerika harus memikul tanggung jawab yang semestinya, dan bergabung dengan negara-negara lain untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik dan lebih makmur. Hanya dengan begitu Amerika bisa kembali hebat."

(rzy)

🍑

per tgl 25 Feb 2019:

WASHINGTON china daily -- China and the United States have achieved substantial progress on specific issues following their latest round of high-level economic and trade talks in Washington, the Chinese delegation said Sunday.

During the Feb 21-24 talks, the seventh round since February last year, Chinese and US negotiators further implemented the important consensus reached by the presidents of the two countries during their December meeting in Argentina, and focused their talks on the text of an agreement.

The Chinese delegation said that substantial progress was made on such specific issues as technology transfer, protection of intellectual property rights, non-tariff barriers, service industry, agriculture and exchange rates.

On the basis of the latest progress, the two sides will continue their work for the next stage in accordance with the instructions of the two countries' heads of state, added the Chinese delegation.

The Chinese team is headed by Vice-Premier Liu He, who also came as the special envoy of Chinese President Xi Jinping, and the US team is led by Trade Representative Robert Lighthizer and Treasury Secretary Steven Mnuchin.

🍒

per tgl 21 Februari 2019:

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Amerika Serikat dan China disebut telah mulai menguraikan komitmen prinsipnya tentang isu-isu paling sulit dalam perselisihan perdagangan di antara kedua negara. Hal ini menandai kemajuan signifikan dalam upaya mengakhiri perang dagang yang berjalan selama tujuh bulan.

Dilansir dari Reuters, sumber yang mengatahui soal perkembangan negosiasi perdagangan tersebut menyebut secara garis besar mulai muncul gambaran soal kesepakatan dalam perundingan yang mendorong terwujdunya perjanjian pada 1 Maret mendatang. Hal tersebut akan menandai akhir dari gencatan senjata selama 90 hari bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.

BACA JUGA :

Adapun kedua pemimpin ekonomi terbesar di dunia tersebut membuat pernyataan optimistis yang sama, setelah keduanya berkomunikasi lewat telepon secara publik, atau komunikasi pertama sejak enam bulan terakhir.

“Baru saja berbicara panjang dengan Presiden Xi Jinping dari China. Kami berbicara mengenai banyak hal, dengan tekanan yang kuat mengenai perdagangan. Diskusi ini berjalan lancar dan pertemuan sudah dijadwalkan di G20 di Argentina,” tulis Trump lewat akun Twitter-nya pada Kamis (1/11/2018), seperti dikutip pada Jumat (2/11/2018).

Bloomberg melaporkan, kedua presiden tersebut saling berbagi informasi mengenai diskusi konstruktif mengenai Korea Utara dan perang.

Media China bahkan menyebut bahwa Trump mendukung komunikasi langsung yang sering antara kedua presiden dan ingin bersama-sama mengupayakan keberhasilan pertemuan dengan Xi yang rencananya dilakukan di sela-sela KTT G20.

Adapun dalam reli kampanye di Kolumbia, Missouri, Trump selalu mengulang bahwa, “mereka [China] ingin melakukannya [kesepakatan], Dia [Xi] ingin melakukannya. Mereka semua [China] ingin melakukannya.”

Sementara itu, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyampaikan bahwa Trump dan Xi kemungkinan dapat mengambil terobosan dalam sengketa dagang dalam pertemuan pada 30 November—1 Desember 2018 tersebut.

Namun, Kudlow menegaskan, Trump akan secara agresif mengupayakan agendanya terhadap China. Seperti diketahui, bahkan AS telah mempersiapkan pengumuman tarifnya jika tidak ada kesepakatan yang tercapai dalam pertemuan itu.

“Diskusi berjalan lancar,” tulis Trump lewat akun Twitter-nya pada Kamis (1/11/2018), seperti dikutip.

Adapun setiap langkah Trump terhadap China telah sangat dicermati oleh investor, yang sedang mencari kemungkinan bahwa tensi dagang dapat berkurang dan melegakan pasar keuangan.

Adapun Trump menunjuk bahwa harga saham merupakan barometer atas keesuksesan pemerintahannya. Sejauh ini dia telah menuding Bank Sentral AS (Federal Reserve) dan pengeluaran dari Partai Demokrat sebagai “perusak” sentimen pasar.

Selain itu, keberhasilan Trump dalam pertemuan dengan Xi nanti juga dapat memuluskan jalannya untuk mendapatkan dukungan di Pemilu Kongres yang akan dilaksanakan pada Selasa (6/10/2018). Adapun dari Pemilu tersebut nantinya bakal diketahui partai mana yang akan menduduki kursi mayoritas di Kongres AS.

🌿

per tgl 02 November 2018:
Jakarta, CNN Indonesia -- Gedung Putih menyatakan sampai saat ini Presiden Amerika Serikat Donald Trump belum membuat satu keputusan pun tentang rencana meningkatkan serangan dagang terhadap China walaupun nanti pertemuan yang dilakukannya dengan Presiden China Xi Jinping bulan ini tidak membuahkan hasil bagus untuk perdagangan dua negara.

Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan rencana pertemuan Trump dengan Xi sampai saat ini juga belum disusun.

"Saya tidak bisa mengatakan apapun. Tapi presiden di salah satu acara TV, ia mengatakan, itu (tarif baru) tidak bisa diambil- jika kesepakatan damai dengan China terjadi, maka banyak tarif yang mungkin ditarik kembali," katanya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (1/11).

Kudlow mengatakan Trump tidak membuat janji. Menurutnya, Trump hanya memberikan "hipotesa penting".

Lihat juga:

Perang Dagang, Kegiatan Industri di China Turun Oktober

AS disebut oleh seorang pejabat negara tersebut pada awal pekan ini akan melancarkan serangan dagang baru terhadap China. Serangan akan dilancarkan kalau pertemuan antara Donald Trump dan Xi Xinping bulan ini gagal membuahkan hasil memuaskan bagi penyelesaian sengketa dagang yang tengah terjadi di antara dua negara tersebut.

Trump sejak beberapa bulan lalu memang melancarkan serangan dagang terhadap China. Ia telah memberlakukan tarif pada barang impor Cina bernilai US$250 miliar. Tarif tersebut banyak dikenakan pada barang modal, setengah dan setengah jadi.

Gayung bersambut, China membalas serangan tersebut dengan memberlakukan tarif atas impor AS bernilai 110 miliar dolar AS. Trump sudah sejak lama mengancam akan terus mengenakan tarif atas semua sisa barang impor Cina ke Amerika Serikat, jika Beijing tidak memenuhi tuntutan AS memperbaiki kebijakan dagangnya terhadap Negeri Paman Sam tersebut.

Sampai saat ini, total nilai sisa impor China ke AS yang sampai saat ini belum terkena tarif di AS mencapai US$257 miliar. Barang yang belum terkena tersebut antara lain; produk konsumen, telpon seluler, komputer, pakaian jadi dan sepatu.

🍓

per tgl 30 Okt 2018:

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Amerika Serikat sedang mempersiapkan pengumuman tarif terhadap semua impor China yang tersisa pada awal Desember, jika pembicaraan bulan depan antara presiden Donald Trump dan Xi Jinping gagal menurunkan tensi perang dagang.

Bloomberg melaporkan kabar tersbeut pada hari Senin, mengutip sumber tanpa nama, seperti dikutip Reuters.

BACA JUGA

Menurut laporan tersebut, tidak ada keputusan yang dibuat, tetapi persiapan daftar baru tarif AS sedang disusun jika pertemuan Trump-Xi tidak menghasilkan kemajuan dalam menyelesaikan perselisihan AS-China.

Seseorang yang akrab dengan pertimbangan tarif pemerintah mengatakan kepada Reuters bahwa akan segera ada gerakan menuju putaran tarif baru, tanpa elaborasi lebih lanjut.

Trump telah lama mengancam akan mengenakan tarif atas semua impor Cina yang tersisa ke Amerika Serikat senilai lebih US$ 257 miliar, jika Beijing gagal memenuhi tuntutan AS untuk melakukan perubahan pada perdagangan China, transfer teknologi, dan kebijakan subsidi industri.

Trump telah memberlakukan tarif atas barang-barang China senilai US$ 250 miliar dan China telah menanggapi dengan kewajiban balas dendam atas barang-barang AS senilai US$ 110 miliar.

Putaran tarif sebelumnya ditujukan pada barang modal China dan barang setengah jadi, tetapi putaran akhir akan memukul produk konsumen termasuk ponsel, komputer, pakaian, dan sepatu.

Ditanya tentang pengumuman tarif baru, Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan pada briefing: "Saya tidak akan mendului pertemuan presiden, dan saya harap itu berjalan dengan baik."

Juru bicara Gedung Putih lain mengatakan ada "tidak ada yang baru pada saat ini" mengenai tarif barang-barang China.

Para pemimpin dua ekonomi terbesar dunia akan bertemu di sela-sela KTT para pemimpin Kelompok 20 di Argentina pada akhir November.

Seorang juru bicara kantor Perwakilan Perdagangan AS merujuk Reuters ke pernyataan Sanders, sementara para pejabat Departemen Perdagangan AS tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan pada Reuters awal bulan ini di Bali, Indonesia, bahwa China perlu menyetujui "item tindakan" khusus untuk menyeimbangkan hubungan ekonomi AS-China, membuka pasar dan mengubah transfer teknologi, serta kebijakan subsidi dan mata uang.

Wakil Presiden Senior Dewan Bisnis China-AS Erin Ennis mengatakan bahwa tidak mengejutkan Trump bergerak ke arah mengumumkan tarif lebih, mengingat ancaman berulang yang dia benar-benar lakukan.

Namun dia mengatakan kelompok yang mewakili perusahaan AS yang melakukan bisnis di China mendesak kedua belah pihak lebih baik menggunakan waktu sebelum pertemuan Trump-Xi untuk mencari tahu bagaimana kemajuan dapat dibuat pada isu-isu substantif.

🌸

per tgl 23 Okt 2018:

Merdeka.com - Bank Indonesia (BI) menyatakan pertumbuhan perekonomian dunia akan lebih rendah dari proyeksi. Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan global juga masih tinggi.

BERITA TERKAIT

"Di satu sisi, ekonomi AS diperkirakan makin kuat didukung permintaan domestik yang kemudian menyebabkan ekspektasi inflasi AS tetap tinggi dan akan direspons the Fed dengan tetap menaikkan suku bunga kebijakannya," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, di Gedung BI, Jakarta, Selasa (23/10).

Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Eropa dan negara-negara berkembang, termasuk China, diperkirakan lebih rendah dari proyeksi semula. "Yang pada gilirannya menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi secara global," ujarnya.

Penurunan proyeksi ekonomi dunia tersebut dipengaruhi ketegangan hubungan dagang antara AS dan negara lain yang berimbas pada penurunan volume perdagangan dunia. Imbas pada Indonesia ialah ekspor tumbuh lebih lambat.

Sementara itu, ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih tinggi juga mendorong investor global menempatkan dananya di aset-aset yang dianggap aman, khususnya di AS.

"Berbagai perkembangan tersebut pada gilirannya mengakibatkan Dolar AS terus menguat dan akhirnya membuat tren pelemahan banyak mata uang negara berkembang berlanjut sampai dengan pertengahan Oktober 2018," tutupnya.

[bim]

🌹

JAKARTA, KOMPAS.com - Negara-negara kawasan Asia Tenggara mengalami ledakan investasi langsung asing (FDI) seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang mendorong beberapa perusahaan memindahkan basis produksi mereka ke wilayah lain. Seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (23/10/2018), di Vietnam, aliran dana untuk sektor manufaktur meningkat 18 persen dalam sembilan bulan pertama tahun 2018. Menurut data Maybank Kim Eng Research Pte. yang dirilis pada Senin, (22/10/2018), hal itu didorong oleh investasi salah satunya proyek produksi polypropylene senilai 1,2 miliar dollar AS oleh Hyosung Corp Korea Selatan. Sementara di Thailand, berdasarkan data bank sentral setempat sepanjang Januari hingga Juli, total FDI melonjak hingga 53 persen dibanding tahun sebelumnya menjadi 7,6 miliar dollar AS, dengan arus masuk untuk sektor manufaktur meningkat lima kali lipat. Baca juga: Imbas Perang Dagang, Pertumbuhan Ekonomi China Merosot Bahkan di Filipina, nilai FDI untuk sektor manufaktur mengalami lonjakan mencapai 861 miliar dollar AS sementara tahun lalu sebesar 144 miliar dollar AS. " Perang dagang antara AS dan China bisa jadi merupakan daya tarik tersendiri bagi perusahaan untuk berinvestasi di ASEAN untuk menghindari tarif," ujar ekonom Maybank Chua Hak Bin dan Lee Yu Je. Beberapa sektor seperti produk konsumer, industri, alat dan teknologi telekomunikasi, otomotif dan bahan kimia pun memiliki ketertarikan sendiri terhadap kawasan Asia Tenggara. Namun sayangnya, dalam laporan ini tidak disebutkan apakah Indonesia juga kecipratan berkah dari perdagang dagang AS-China tersebut. Perang dagang secara tidak langsung memberi keuntungan tersendiri bagi kawasan Asia Tenggara, sebab menjadi basis alternatif bagi perusahaan yang merelokasi produksinya dari China untuk menghindari tarif. Setidaknya, sepertiga dari sekitar 430 perusahaan Amerika Serikat di China telah atau sedang mempertimbangkan untuk memindahkan lokasi produksi di luar negeri di tengah semakin meningkatnya ketegangan perang dagang. "Ketegangan perdagangan yang meningkat justru mempercepat tren yang sedang berlangsung, Asia Tenggara berfungsi baik sebagai pasar berkembang yang besar, tempat untuk menetap lantaran biaya produksi yang lebih rendah dan terbukanya perdagangan, sekaligis sumber mitigasi dari risiko geopolitik," kata ekonom senior Natixis Asia Ltd Hong Kong Trinh Nguyen. Meski demikian kawasan Asia Tenggara sendiri tidak kebal terhadap dampak dari perselisihan perdagangan ini, dalam sebuah laporan bahkan disebutkan perang dagang merupakan faktor yang menyebabkan anjloknya ekspor di Thailand pada bulan September lalu. Adapun beberapa perusahaan yang dilaporkan akan memindahkan basis produksinya ke kawasan Asia Tenggara antara lain: 1. Harley Davidson memindahkan sebagian proses produksinya ke Thailand. 2. Panasonic menutup pabriknya di AS pada awal 2017 dan memindahkan produksi serta proses ekspor dari Malaysia. 3. Steven Madden, perusahaan sepatu dan aksesoris ini mengumumkan telah memindahkan produksi tasnya dari China ke Kamboja. 4. Kayamatics memiliki 2 pabrik di kawasan China, namun berencana memindahkan lini produksinya ke Kuala Lumpur dan Penang, Malaysia. 5. Delta Electronics yang merupakan komponen dari Apple menawarkan investasi sebesar 2,1 miliar dollar AS pada bulan Julu untuk melakukan ekspansi produksi di Thailand. 6. Merry Electronics sebagai produsen headphone juga berencana memindahkan beberapa pabriknya dari China ke Thailand.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Akibat Perang Dagang, Kawasan Asia Tenggara Dibanjiri Investasi", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/23/120700626/akibat-perang-dagang-kawasan-asia-tenggara-dibanjiri-investasi.
Penulis : Mutia Fauzia
Editor : Erlangga Djumena

🌹

per tgl 01 Oktober 2018:

Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia melakukan upaya darurat untuk mereformasi sistem perdagangan multilateral menyusul mundurnya AS dari perjanjian sebelumnya.

"Tantangan mendesak hari ini adalah untuk memanfaatkan kekuatan unik WTO," ungkap tiga badan tersebut dalam laporan gabungan, Minggu (30/9/2018), seperti dikutip Bloomberg.

"Lambatnya reformasi sejak awal 2000-an, perubahan mendasar dalam ekonomi modern yang lebih terhubung, dan risiko pembalikan kebijakan perdagangan menyerukan urgensi untuk menghidupkan kembali reformasi kebijakan perdagangan," lanjutnya.

Presiden Donald Trump sebelumnya telah mengecam keras globalisme secara umum dan mempertanyakan partisipasi AS di lembaga multilateral seperti WTO dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pekan lalu.

Sementara itu, kejatuhan ekonomi dari konflik perdagangan AS-China yang semakin meningkat menyebabkan WTO memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangannya pekan ini.

Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo memperingatkan bahwa perang dagang besar-besaran akan menggerus sekitar 17% pertumbuhan perdagangan global dan 1,9% pertumbuhan PDB. "

Laporan gabungan WTO tersebut menguraikan inisiatif khusus yang bertujuan untuk memodernkan aturan WTO, termasuk fokus pada peningkatan akses pasar untuk e-commerce, struktur negosiasi yang lebih fleksibel, dan peningkatan transparansi kebijakan perdagangan pemerintah.

Uni Eropa, Kanada

Rekomendasi tersebut menggemakan banyak tujuan yang diuraikan dalam berbagai proposal reformasi WTO yang ditawarkan bulan ini oleh Uni Eropa dan Kanada.

Menyadari keadaan yang mendesak WTO, negara-negara seperti Kanada dan Uni Eropa sedang mempersiapkan landasan untuk memperbarui buku aturan organisasi perdagangan dunia yang telah berusia 23 tahun ini.

Meskipun China dan AS mendukung perlunya perubahan WTO, keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai cara perubahan tersebut.

WTO, IMF, dan Bank Dunia bersama-sama menyerukan aturan baru untuk mengatasi perluasan peran e-commerce bersama dengan investasi dan perdagangan jasa pada abad ke-21.

"Peluang yang diberikan oleh teknologi informasi dan perubahan mendasar lainnya dalam ekonomi global belum tercermin dalam bidang modern kebijakan perdagangan," kata laporan tersebut.

Ketiga lembaga tersebut juga menganjurkan lebih banyak pembicaraan plurilateral untuk membantu membuka blokir perundingan perdagangan yang gagal di tingkat multilateral.

Perjanjian plurilateral adalah kesepakatan yang dinegosiasikan di antara sekelompok anggota yang berpikiran sama yang terbatas pada sektor barang atau jasa tertentu. Kesepakatan semacam tersebut biasanya lebih mudah dan lebih cepat untuk dinegosiasikan daripada perjanjian multilateral yang membutuhkan konsensus di antara 164 anggota WTO.

Laporan gabungan tersebut mendesak anggota WTO untuk bekerja sama memperbaiki kebuntuan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, yang berisiko mengalami kelumpuhan karena penolakan pemerintahan AS terhadap penunjukan anggota badan banding.

Selama setahun terakhir, AS mempermasalahkan pola peradilan yang melampaui batas di WTO dan telah menentang penunjukan para ahli ke badan banding, yang memiliki keputusan akhir dalam keputusan perselisihan WTO.

Pada 1 Oktober, badan yang semestinya beranggotakan tujuh orang tersebut hanya memiliki tiga anggota, jumlah minimum yang diperlukan untuk menandatangani putusan.

Jika AS terus menentang penunjukan anggota baru hingga Desember 2019, badan tersebut akan memiliki cukup panelis untuk menandatangani keputusan dan WTO akan kekurangan kemampuan untuk sepenuhnya memutuskan sengketa perdagangan dunia.

🍍

per tgl 26 September 2018:

JAKARTA, KOMPAS.com - Asia sebagai wilayah pasar berkembang dihadapkan oleh berbagai tekanan sepanjang tahun 2018 ini. Bank Pembangunan Asia ( ADB) dalam Asian Development Outlook (ADO) 2018 meski mempertahankan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 6 persen, namun menurunkan prediksi Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kawasan Asia tahun 2019 menjadi 5,8 persen dari 5,9 persen. Memuncaknya ketegangan perdagangan antara China dengan Amerika Serikat dikhawatirkan memunculkan risiko yang merambat ke negara-negara lain di kawasan Asia. "Risiko terbesar dari pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia adalah meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China yang mendisrupsi perdagangan di kawasan Asia dan meningkatkan ketidak pastian," ujar ekonom ADB Emma Ellen ketika memberikan paparan ADO di kantornya, Rabu (26/9/2018). Dia menjelaskan, meski penuh risiko tetapi seharusnya kawasan Asia mampu bertahan lantaran beberapa negara di kawasan Asia telah melakukan langkah-langkah stabilisasi. Baca juga: Rupiah Tergencet Sentimen Perang Dagang Permintaan domestik sendiri dinilai cukup kuat dan menjadi penggerak bagi perekonomian kawasan berkembang ini. Harga minyak dan gas yang sedang melonjak tinggi dinilai dapat memicu pertumbuhan ekonomi negara-negara eksportir komoditas energi. Adapun pertumbuhan perekonomian industri di kawasan Asia mencapai 2,3 persen di tahun 2018 dan turun menjadi 2,0 persen di tahun 2018. Di sisi lain di tengah mengetatnya likuditas global, tingkat inflasi di kawasan Asia diperkirakan berada pada kisaran 2,8 persen baik di tahun 2018 maupun 2019. Proyeksi inflasi untuk tahun 2019 meningkat dari yang sebelumnya 2,7 persen di bulan Juli lalu. "Berbagai hambatan yang mulai muncul menimbulkan tanda tanya mengenai arah pertumbuhan ini di masa yang akan datang. Tidak ada yang bisa memrediksi apa yang terjadi dengan perdagangan Amerika dan China," ujar Kepala Perwakilan ADB di Indonesia Winfried Wicklein. Untuk China sendiri, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sesuai perkiraan sebesar 6,6 persen. Namun, untuk tahun 2019 mendatang, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tadinya sebesar 6,4 persen diturunkan menjadi 6,3 persen. "Angka tersebut merefleksikan masih adanya risiko peningkatan tarif lebih lanjut," sebut Emma. Sebagai informasi, Amerika Serikat awal pekan ini baru saja menerapkan tarif sebesar 10 persen untuk 200 miliar dollar AS produk impor asal China. Tarif tersebut akan ditingkatkan menjadi 25 persen pada Januari 2019. Adapun China membalas dengan memberikan tarif sebesar 5 persen dan 10 persen untuk 60 miliar dollar AS produk impor asal AS.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perang Dagang AS-China, Pertumbuhan Ekonomi Asia Diliputi Risiko", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/26/151945826/perang-dagang-as-china-pertumbuhan-ekonomi-asia-diliputi-risiko.
Penulis : Mutia Fauzia
Editor : Erlangga Djumena

☕

per tgl 23 Agustus 2018:

Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat berisiko menjadi pihak paling merugi setelah membatasi hubungan dagang dengan sejumlah negara saingannya seperti China dan Eropa yang kini menyambung hubungan dagang dengan satu sama lain.

“Saat ini sudah banyak negara yang ingin memperkuat hubungan dagang dengan negara lainnya, AS justru ingin membatasi hubungan tersebut. China menjadi salah satu yang mendapat keuntungan jarena semakin banyak pihak yang ingin bekerja sama,” ungkap Andrew Mackenzie, Vhief Executive Officer BHP Billiton Ltd., dikutip dari Bloomberg, Rabu (22/8/2018).

Dengan pangsa pasar dan hasil produksi bijih besi, tembaga hingga minyak bumi yang stabil, BHP berada di posisi yang baik untuk meninjau kerugian yang diterima AS dalam kebijakan perlindungan dari Presiden AS Donald Trump serta respons dari China dan Uni Eropa.

Pada Maret, Mackenzie memberikan pernyataan soal tarif terhadap komoditas logam, menyebutnya sebagai “apa yang buruk bagi Amerika, maka buruk bagi dunia”.

Dalam outlook yang terakhir dirilis pertambangan tersebut menyatakan bahwa kebijakan proteksionis AS akan menghambat pertumbuhan global, mendorong harga, dan akirnya mendesak konsumen untuk mundur karena takut harus membayar biaya yang terlalu mahal.

Peningkatan proteksi akan memberi efek peredam pada pertumbuhan ekonomi global, meskipun China masih bisa memitigasi sejumlah dampak dengan memberikan stimulasi untuk permintaan domestik dan mendorong pengekspornya.

Pada bulan ini, Soren Skou, yang mengelola perusahaan pengiriman terbesar di dunia, A.P. Moller – Maersk A/S, memperingatkan bahwa perekonomian AS akan lebih terpukul, berkali-kali lipat dibandingkan dengan negara lain karena perang dagang.

Laporan BHP menyatakan bahwa pertumbuhan global akan melambat dari kisaran 3,5% - 4% tahun ini menjadi antara 3,25% - 3,75%.

“Kami telah merevisi pertumbuhan global jangka pendek. Perlambatan mencerminkan dampak dari sikap proteksionis dagang, yang diperkirakan akan diimbangi oleh perluasan kebijakan domestik AS,” kata Huw McKay, Wakil Kepala Analis Pasar BHP Billiton Ltd.

Tembaga menjadi salah satu komoditas yang sangat dirugikan atas adanya perang dagang dan pertumbuhan risiko, dengan harganya masuk ke pasarbearish. BHP melaporkan bahwa logam dasar itu, yang digunakan untuk membuat pipa saluran dan kabel, terus tergerus karena minat para investor akan aset tersebut berkurang dengan kenaikan tensi perang dagang.

Perusahaan tambang raksasa tersebut juga menyoroti komoditas bajau, mengatakan bahwa pengguna dari AS justru harus membayar lebih mahal.

“Respons dan dampak dari kenaikan tarif baja di AS menjadi sumber ketidakpastian. Yang pasti, pengguna di AS harus membayarlebih mahal untuk pembelian bajanya dibandingkan dengan di wilayah atau negara lain,” kata McKay.

Saat ini, BHP mengatakan bahwa konsumen diprediksi akan memberikan pandangan reli terhadap tarif.

🌵

per tgl 01 Agustus 2018:

NEW YORK, iNews.id – Bursa saham Amerika Serikat (AS) dibuka menguat pada perdagangan Selasa (31/7/2018) di tengah menurunnya tensi perang dagang antara AS dan China.

Dilansir CNBC, indeks Dow Jones industrial average menguat 100 poin, ditopang saham 3M dan Boeing. S&P 500 tumbuh 0,4 persen sementara Nasdaq melaju 0,7 persen.

Bloomberg melaporkan, AS dan China kembali memulai negosiasi untuk menghindari perang dagang. Negosiasi tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Wakil Perdana Menteri China Liu He secara privat. Minggu lalu, Mnuchin menyebut, negosiasi diam-diam antara kedua negara terus dilakukan.

“Itu hanya kesepakatan untuk bernegosiasi. Kita tidak tahu dimana negosiasi dilakukan atau apakah negosiasi itu berhasil atau tidak. Mereka sepertinya akan melanjutkan negosiasi di tingkat yang lebih tinggi. Kita tunggu saja apa hasilnya,” kata Peter Boockvar, Chief Investment Officer Bleakley Advisory Group.

Laporan pertemuan tersebut muncul beberapa menit sebelum bursa dibuka pada pukul 09:30 waktu setempat dan mendorong Dow Futures menguat. Sejumlah saham emiten eksportir besar seperti Boeing dan Caterpillar menguat lebih dari 1 persen sementara Deere’s juga naik hampir 2 persen.

Selain itu, kenaikan Wall Street juga mendapat tenaga dari bangkitnya saham-saham teknologi. Sektor ini naik 0,8 persen setelah tertekan dalam tiga hari terakhir. Saham Facebook, Amazon, Apple, Netflix, Alphabet, dan Twitter menghijau.

Selama tiga hari terakhir, sektor teknologi melemah 5,4 persen dipicu rilis kinerja keuangan yang beragam. Minggu lalu, Facebook melaporkan data keuangan terbaru yang mengecewakan pelaku pasar karena turunnya jumlah pengguna secara global. Begitu juga dengan Twitter yang mengalami nasib serupa.

Bursa saham AS tengah memasuki musim rilis laporan keuangan. Pada hari ini, dua emiten yakni Procter & Gamble dan Pfizer melaporkan kinerja keuangan yang lebih tinggi dari harapan. Saham Procter mendatar sementara Pfizer naik setengah persen. Adapun Apple dijadwalkan merilis laporan keuangan hari ini setelah bursa ditutup.

Sementara itu, bank sentral AS The Fed memulai pertemuan dua hari untuk menentukan suku bunga acuan. Pengumuman akan dilakukan pada Rabu besok. Pelaku pasar memprediksi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga kali ini meski tetap yakin lembaga yang dinakhodai Jerome Powell itu akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi hingga akhir tahun 2018.

Editor : Rahmat Fiansyah

🍈

per tgl 27 Juli 2018:

DW.COM: Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker dan Presiden AS Donald Trump bertemu di Gedung Putih hari Rabu (25/07) untuk mencari penyelesaian sengketa perdagangan. Setelah pertemuan itu mereka mengumumkan bahwa AS dan Uni Eropa akan bekerja sama untuk mengurangi ketegangan perdagangan yang muncul selama beberapa bulan terakhir.

Pertemuan itu dilakukan setelah ketegangan berminggu-minggu antara AS dan Uni Eropa karena kedua belah pihak saling menerapkan tarif impor terhadap pihak lain. Uni Eropa dan AS menguasai 50 persen perdagangan dunia.

Dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih, Trump dan Juncker menyatakan bahwa mereka telah mencapai beberapa kesepakatan dalam hubungan perdagangan.

Merundingkan penghapusan tarif

AS dan Uni Eropa antara lain akan merundingkan "tarif nol dan nol subsidi pada barang-barang industri non-otomotif," kata Donald Trump. Uni Eropa setuju untuk membeli sejumlah besar gas alam cair dan meningkatkan impor kedelai dari AS.

Kedua belah pihak juga sepakat menunda semua rencana penerapan tarif impor baru dan akan meninjau kembali tarif impor atas baja dan aluminium, selama perundingan berlangsung.

Selanjutnya kedua pihak menyatakan, baik AS dan Uni Eropa akan bekerja untuk mereformasi Organisasi Perdagangan Dunia WTO, yang selama ini dikritik pemerintahan Trump.

Ketua Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker dan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih

"Kami mencapai kesepakatan hari ini"

Donald Trump mengatakan, AS dan Uni Eropa telah membuka "fase baru persahabatan yang erat dan hubungan dagang yang kuat di mana kita berdua akan menang."

"Jika kita bekerja sama, kita dapat membuat planet kita menjadi tempat yang lebih baik, lebih aman dan makmur," tambah Presiden AS.

Jean Claude Juncker menggambarkan pembicaraannya dengan Trump sebagai "pertemuan yang baik dan konstruktif."

"Kami telah membuat kesepakatan hari ini," kata Juncker dan menambahkan: "Kami telah mengidentifikasi sejumlah area untuk bekerja bersama."

Jerman sambut kesepakatan UE-AS

Sesaat sebelum melakukan pertemuan, kedua pemimpin kepada wartawan sudah menyuarakan optimisme bahwa dapat ditemukan kebersamaan pada masalah tarif perdagangan yang diperdebatkan.

Setelah mengumumkan adanya kesepakatan, terutama Jerman menyatakan menyambut terobosan terbaru ini. Menteri Ekonomi Jerman Peter Altmaier mengucapkan selamat kepada kedua pemimpin atas hasil pertemuan hari Rabu, dan menulis di Twitter bahwa "terobosan" itu dapat menghindari perang dagang "dan menyelamatkan jutaan tempat kerja."

Namun kalangan industri dan perdagangan menanggapi perkembangan itu dengan lebih hati-hati, terutama menyangkut masalah tarif impor mobil ke AS. Presiden Kamar Dagang dan Industri Jerman (DIHK) Eric Schweitzer mengatakan setelah pernyataan Trump dan Juncker: "Solusi yang diusulkan bergerak ke arah yang benar, tetapi sebagian sikap skeptis masih ada."

🍊

per tgl 13 Juli 2018:

Jakarta - Rencana negosiasi perdagangan AS-Tiongkok menjadi sentimen yang membawa angin segar bagi bursa lokal dan global. Negosiasi ini diharapkan dapat meredam efek negatif perang dagang. Investor asing juga mulai gencar melakukan aksi beli dalam antisipasi laporan keuangan kuartal-II 2018.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,51 persen ke 5.938,28 pada awal perdagangan hari ini, Jumat (13/7).

Saham-saham unggulan yang tergabung dalam Investor33 naik 0,5 persen ke kisaran 409,17, indeks LQ45 naik 0,7 persen ke kisaran 936,74, JII naik 0,3 persen ke 670,66.

Sektor agri naik 0,6 persen, industri dasar naik 0,5 persen, konsumsi naik 0,2 persen, keuangan naik 1 persen, infrastruktur turun 0,2 persen.

Sektor manufaktur naik 0,3 persen, tambang naik 1 persen, aneka industri naik 0,6 persen, properti naik 0,2 persen, perdagangan naik 0,7 persen.

Sumber: BeritaSatu.com

🌴

per tgl 09 Juli 2018:

JAKARTA okezone - Pemerintah berupaya keras untuk mengantisipasi dampak buruk akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Salah satu strategi yang tengah disiapkan adalah memacu ekspor dan mengurangi impor.

Hanya, bagaimana implementasi langkah tersebut, termasuk ekspor apa akan dipacu dan impor apa saja yang akan ditekan, pemerintah masih mengidentifikasi. Rencananya pemerintah membentuk task force untuk mengawal kebijakan ini.

BERITA TERKAIT+

Antisipasi mau tidak mau harus dilakukan karena perang dagang antara AS vs China kali ini tidak main-main. Washington mulai memberlakukan tarif dagang senilai 25% terhadap USD34 miliar (Rp488 triliun) produk impor China.

Beijing pun tidak tinggal diam dan melakukan balasan. Perang dagang yang disebut terbesar dalam sejarah ekonomi dunia tersebut tentu ber dam pak pada terjadinya stagnasi ekonomi global dan memicu penurunan pasar saham.

Baca Selengkapnya: Indonesia Siaga I Antisipasi Dampak Perang Dagang AS-China

🐜

JAKARTA (Reuters) – Indonesia will send a team to the United States to lobby for preserving special tariff treatment for some Indonesian exports under a programme for poor and developing countries, a government official said on Monday.

Friday’s imposition of tariffs on some of China’s exports to the United States has caused some concern in Jakarta as Indonesia could be facing the loss of some trade preferences given by Washington for some Indonesian goods.

In April, the U.S. Trade Representative’s Office said it was reviewing the eligibility of Indonesia, along with India and Kazakhstan, for the Generalized System of Preferences (GSP) based on concerns over compliance with services and investment criterion.

“We will send a team to the U.S. to negotiate so that the GSP facility is maintained,” Oke Nurwan, director general of foreign trade at Indonesia’s trade ministry, told reporters on Monday.

Under GSP, Indonesia gets reduced tariffs on about $2 billion worth of U.S. exports, including some agricultural, textile and timber products, Shinta Widjaja Kamdani, deputy chairwoman of Indonesia’s employers association, said in a statement.

Total exports to the U.S. were $17.8 billion, data from Indonesia’s trade ministry showed. Indonesia ran a $9.7 billion trade surplus with the United States last year.

Kamdani said that keeping Indonesia in the GSP programme would benefit small- and medium-sized companies as well as U.S. consumers by “providing them good quality products with affordable prices” and also by diversifying U.S. import dependence on other countries.

Indonesian policymakers met on Sunday to discuss the U.S.-China trade war and the GSP review, and the cabinet on Monday was expected to discuss trade issues in the wake of a U.S-China trade war.

Also on Monday, Indonesia’s central bank governor Perry Warjiyo said such a trade war would hurt Indonesia and other economies.

Indonesia would respond by strengthening domestic demand, controlling its current account deficit and attracting capital inflows, he said.

(Reporting by Maikel Jefriando; and Cindy Silviana; Writing by Gayatri Suroyo; Editing by Ed Davies and Richard Borsuk)

🌷

per tgl 05 Juli 2018:

WASHINGTON sindonews - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Eropa, China, Kanada dan Meksiko memakan korban. Harley Davidson Inc, perusahaan sepeda motor terbesar di AS memutuskan memindahkan sebagian produksinya ke luar negeri. Saat ini, Harley sudah memiliki tempat produksi sepeda motor dan suku cadang antara lain di Brasil, Australia, India dan Thailand.

Pilihan Harley hengkang sudah bulat kendati Presiden AS Donald Trump terus membujuknya. Keputusan Harley ini demi menghindari aturan tarif tinggi yang diterapkan Uni Eropa (UE) sebagai respons dari kebijakan Amerika Serikat (AS). Perusahaan yang berbasis di Wisconsin itu menyatakan langkah tersebut dilakukan agar harga Harley Davidson tetap dapat bersaing bagi para konsumennya di UE.

“Langkah ini bukan pilihan perusahaan, tapi mewakili opsi berkelanjutan untuk membuat sepeda motor kami dapat dimiliki konsumen di UE dan menjaga kelayakan bisnis di Eropa,” papar pernyataan Harley Davidson, dikutip New York Times.

Awalnya, bulan lalu UE membebankan bea masuk terhadap sejumlah produk AS senilai USD3,2 miliar. Produk yang terkena bea tinggi ini antara lain sepeda motor, kapal motor, selai kacang, sari jeruk, bourbon, rokok, dan denim. Langkah ini dilakukan UE sebagai balasan atas pembebanan bea masuk AS untuk produk baja serta aluminium.

Harley makin dilematis karena khusus untuk sepeda motor, UE justru menaikkan bea masuk 6% hingga menjadi 31%. Dengan begitu, ekspor satu unit motor Harley Davidson ke UE menjadi sangat mahal karena kenaikan bea bisa mencapai USD2.200. Harley makin dilematis karena di tengah kondisi tersebut, sulit untuk menaikkan harga jual motor.

Di sisi lain, Eropa adalah pasar terbesar penjualan mereka setelah AS sendiri. Pada 2017, penjualan mencapai 40.000 unit atau 27,02% dari total penjualan Harley di AS yakni 148.000 unit. Dengan penjualan di AS yang melemah dan Eropa pasar penting yang meningkat, Harley menyatakan memindahkan produksi ke fasilitas luar negeri untuk menghindari kenaikan biaya.

Dampak perang dagang yang dilancarkan Presiden Trump memang sangat terasa di tengah sejumlah perusahaan menghadapi gelombang tarif di dalam dan luar negeri. Meski Trump menyatakan kebijakan perdagangannya bertujuan menghidupkan kembali manufaktur domestik, namun langkah Harley Davidson menunjukkan tindakan AS dapat berdampak buruk. Saat ini sejumlah perusahaan di AS sangat tergantung pada pasar luar negeri dari bahan baku, produksi hingga penjualan.

Selain ke UE, Gedung Putih saat ini melancarkan perang dagang sekaligus terhadap China, Kanada, dan Meksiko. Setiap negara dan kawasan itu pun merespons dengan langkah pembalasan mereka sendiri. Perang dagang ini pun memicu berbagai konsekuensi yang tak dapat dihindari termasuk peringatan laba oleh Daimler yang menuduh kebijakan tarif China mengurangi penjualan mobil SUV yang dibuat di Tuscaloosa, AS.

Perusahaan paku yang berbasis di Missouri, Mid Continent Nail Corporation, juga merumahkan 60 pegawai dari total 500 karyawannya. Mereka mungkin terpaksa harus tutup karena menghadapi tingginya biaya baja yang diimpor dari Meksiko untuk memproduksi paku.

Bursa saham juga khawatir dengan prospek memburuknya perang dagang yang dapat semakin menekan perusahaan-perusahaan AS.

Khusus kasus Harley, Trump menuduh Harley menggunakan tarif sebagai alasan untuk memindahkan produknya keluar AS. Meski demikian dia tetap menegaskan strategi dagangnya akan bekerja. “Terkejut bahwa Harley Davidson, semua perusahaan, akan menjadi yang pertama mengibarkan bendera putih. Saya berjuang keras untuk mereka dan puncaknya mereka tidak akan membayar tarif penjualan ke UE yang melukai kita dalam perdagangan,” ungkap Trump.

Trump sering menyebut Harley Davidson sebagai cerita sukses dalam manufaktur domestik. Segera setelah menjabat pada 2017, Trump pun mengundang para eksekutif Harley di Gedung Putih tempat dia menyebut perusahaan itu sebagai “ikon Amerika sejati”. Tak lupa dia juga berterima kasih pada perusahaan itu karena membangun produk-produk di Amerika.

Namun seperti banyak perusahaan AS, Harley Davidson semakin tergantung pada pasar luar negeri untuk penjualan dan sejak beberapa tahun lalu telah mengalihkan beberapa produksinya. Di antara negara tempat produksi sepeda motor dan suku cadang Harley adalah Brasil, Australia, India dan Thailand. Langkah ini dilakukan untuk menghindari tarif impor tinggi di negara-negara itu.

Perusahaan itu menjual 40.000 sepeda motor baru tahun lalu di Eropa, setara dengan seperenam penjualan global. Itu menjadikan Eropa sebagai pasar paling penting setelah AS.

Harley Davidson tidak menjelaskan berapa banyak pekerjaan yang akan dipindahkan ke fasilitas luar negeri saat perusahaan itu memperkuat produksi di Eropa. Juru bicara perusahaan menyatakan pihaknya masih mengevaluasi kebutuhan untuk pemangkasan pekerjaan di AS. Perusahaan juga telah merampingkan operasi di AS, mengurangi ratusan tenaga kerja dalam prosesnya. Januari lalu misalnya, perusahaan telah menutup pabrik di Kansas City kemudian memusatkan operasional pabrik di York, Pennsylvania.

Pukulan untuk Trump
Pemindahan produksi ke luar negeri dapat menjadi pukulan besar bagi Trump. Anggota parlemen dari Partai Republik Paul D Ryan menyatakan keputusan Harley Davidson membuktikan penguatan dinding perdagangan adalah ide buruk. “Ini bukti lebih lanjut kerusakan dari tarif sepihak. Cara terbaik membantu pekerja, konsumen dan manufaktur AS ialah membuka pasar baru untuk mereka, bukan meningkatkan dinding pada pasar kita sendiri,” kata Ryan.

Merespons perkembangan itu, Trump menyatakan pemerintahannya bekerja untuk membawa perusahaan sepeda motor lain ke AS. Trump tidak menjelaskan langkah pemerintahan yang telah diambilnya. “Sekarang Harley Davidson memindahkan sebagian operasinya keluar AS, pemerintahan saya bekerja dengan perusahaan sepeda motor lain yang ingin pindah ke AS. AS ialah tempat Aksi itu!” tweet Trump, Selasa (2/7).

Beberapa perusahaan sepeda motor yang kemungkinan membangun pabrik di AS adalah Honda Motor Co Ltd dan Yamaha Corp dari Jepang, BMW dan Ducati dari Eropa, serta Hero MotoCorp Ltd India dan Bajaj Auto Ltd dari India.

Trump mengancam menerapkan pajak lebih tinggi pada Harley setelah mengungkapkan rencana memindahkan sebagian produksi keluar AS. “Isu utama Harley ialah perubahan dalam demografi yang mulai membaik sebelum ada pembicaraan tentang tarif dan perang dagang. Reaksi Trump tampak emosional. Harley jelas memainkan cara Trump memperlakukan mereka,” kata David Beckel pengamat dari Bernstein. (Syarifudin)

🐒

per tgl 19 April 2018:

The global economy would be severely impacted if the trade dispute between China and the United States turns into a cycle of widespread actions and counteractions, economists said on Wednesday.

Their responses came after the US Commerce Department announced on Tuesday it was starting new investigations to determine if certain steel wheels from China are dumped in the US and whether manufacturers in China are receiving subsidies.

The US government on the same day also made a preliminary determination that aluminum sheet imports from China are being subsidized.

Maurice Obstfeld, economic counselor and director of research at the International Monetary Fund, said that major economies are flirting with a trade war at a time of widespread economic expansion may seem paradoxical, especially when the expansion is so reliant on investment and trade.

“Particularly in advanced economies, public optimism about the benefits of economic integration has been eroded over time by long-standing trends of job and wage polarization, coupled with persistent subpar growth in median wages. Many households have seen little or no benefit from growth,” Obstfeld said.

“These trends are more due to technology change than to trade,” he said.

The IMF forecasts that recent US policies will actually widen the US trade deficit. It expects the US current account deficit for 2019 to be roughly $150 billion higher, considering the US tax cut and spending changes effective in the past months.

“The Trump administration must broaden economic scales via investments in people and enhancing people’s sense of security to adapt to impending technological changes, rather than advancing trade tensions,” said Wei Jianguo, former vice-minister of commerce.

Wei said the US is trying to form alliances with the European Union and Japan to further suppress China’s manufacturing, which has been boosted by the Made in China 2025 strategy. But he said those two other economies must be aware that the US doesn’t want to see any other country have a technological advantage in modern manufacturing because that would affect its global dominance.

“They will be the next targets after China if they follow the US’s mistaken stance,” Wei said.
The US has begun to attack China’s high-tech manufacturing because it thinks that will damage the Chinese economy, said Dong Yan, director of the International Trade Office at Institute of World Economics and Politics at the Chinese Academy of Social Sciences.

The US Federal Communications Commission voted unanimously on Tuesday to ban federally subsidized telecom carriers from using suppliers deemed to pose a risk to national security. The move targets Chinese tech leaders Huawei Technologies Co and ZTE Corp, two names that appeared in the FCC’s order.

Though the ban needs a second FCC vote to take effect, it highlights once again that Chinese tech players are finding it increasingly hard to access the US market, said Bai Ming, a researcher at the Ministry of Commerce.

“After protectionism in trade, the US government is using national security concerns as a tool to exclude Chinese tech players and protect its domestic tech industry,” Bai said.

This comes as China and the US are scrambling for the top spot in the high-tech sector. The US government feels threatened as Chinese tech firms emerge as innovation pioneers, Bai added.
Contact the writers at zhongnan@chinadaily.com.cn

🌹

per tgl 18 April 2018:

Bisnis.com, WASHINGTON — Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan negara-negara melakukan kolaborasi dan memperkuat sistem perdagangan multilateral, sebagai bentuk dukungan dalam menjaga momentum pertumbuhan dunia.

Penasihat Ekonomi dan Direktur Departemen Penelitian IMF Maurice Obstfeld mengatakan salah satu tema yang diusung dalam Spring Meeting IMF – The World Bank 2018 adalah mengingatkan negara-negara tentang adanya sistem multilateral.

“Karena tidak ada pemenang yang keluar dari perang dagang,” tuturnya dalam konferensi pers World Economic Outlook 2018, di kantor pusat IMF, Selasa (17/4/18).

Perdagangan lintas negara memungkinkan pertumbuhan yang signifikan tidak hanya bagi negara maju, tetapi juga negara berkembang berpenghasilan rendah. Menurutnya, tujuan akhirnya mengarah pada pemangkasan kemiskinan, dan peningkatan jumlah kesejahteraan manusia.

“Secara keseluruhan, defisit ataupun surplus neraca berjalan mungkin merupakan faktor, tetapi sebagia besar, keterbukaan terhadap perdagangan dan ketergantungannya adalah masalah utama” tegasnya.

IMF memperkirakan perdagangan dunia akan bertumbuh di level 5,1% pada 2018 atau lebih besar dari perkiraan Januari lalu Pertumbuhan impor di negara maju bertumbuh sebesar 5,1% semenatara untuk negara berkembang sebesar 6%.

Untuk aktivitas ekspor, negara masu akan menikmati pertumbuhan sebesar 4,5% dan negara berkembang sebesar 5,1% pada 2018.

🍱

per tgl 13 April 2018 :
BOAO sindonews- Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping mengumumkan rencana untuk membuka ekonomi China, termasuk menurunkan tarif untuk mobil dan produk impor, serta mematuhi kekayaan intelektual dari perusahaan-perusahaan asing yang masuk ke China.

Pernyataan Xi ini mengendurkan ketegangan perang dagang antara China dan Amerika Serikat belakangan ini, di mana dua negara ekonomi besar dunia tersebut saling mengumumkan hukuman perdagangan satu sama lain.

Melansir CNBC, Selasa (10/4/2018), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima keluhan dari China yang menentang tarif Presiden AS Donald Trump atas produk baja dan aluminium impor. China meminta waktu 60 hari konsultasi dengan Amerika untuk menyelesaikan sengketa baja dan aluminium. Jika konsultasi gagal, Beijing dapat meminta keputusan dari panel ahli perdagangan di WTO.

Dalam pidato di Forum Boao untuk Asia--pertemuan tahunan yang dijuluki Asia Davos--di Provinsi Hainan, Xi mengatakan China akan mengambil inisiatif untuk memperluas impor pada tahun ini dan mengimpor produk yang dibutuhkan oleh penduduk mereka.

“China tidak mencari surplus perdagangan. Kami memiliki keinginan yang tulus untuk meningkatkan impor dan mencapai keseimbangan pembayaran internasional yang lebih besar,” ujar Xi.

Dengan menerapkan sistem ekonomi terbuka ini, China ingin memupus gambaran negara-negara maju yang menyebut Negeri Tirai Bambu telah melakukan perdagangan bebas yang tidak adil. “Kami berharap negara-negara maju berhenti melakukan pembatasan perdagangan dengan China,” kata Xi, tanpa menyebut negara tertentu.

Menurut Xi, bahwa sistem ekonomi terbuka adalah tindakan terbaik bagi dunia. “Kita harus menahan diri dari upaya mencari dominasi dan menolak permainan zero-sum, mencari keuntungan dengan membuat yang lain rugi. Kita menolak hegemoni yang kuat menindas yang lemah”.

Sebaliknya, kata Xi, negara-negara harus tetap berkomitmen untuk sistem ekonomi terbuka, konektivitas, dan saling menguntungkan demi membangun ekonomi global yang terbuka. Presiden China juga mengajak semua negara bekerja sama memperkuat G-20, APEC, dan kerangka multilateral lainnya.

“Kita harus mempromosikan liberalisasi perdagangan dan investasi, mendukung sistem perdagangan multilateral,” sambungnya. Dengan cara ini, kata Xi membuat ekonomi global lebih terbuka, inklusif, seimbang, dan bermanfaat bagi semua.

Terkait dengan kekayaan intelektual perusahaan asing yang ada di China, Xi mengemukakan bakal membentuk undang-undang yang relevan untuk melindungi kekayaan intelektual perusahaan asing di negaranya.

Jadi, sambung dia, China ingin melakukan pertukaran teknologi secara normal dan bekerja sama antara perusahaan China dengan perusahaan asing, serta melindungi kekayaan intelektual sah yang dimiliki perusahaan asing di China.

(ven)

🌹

per tgl 09 April 2018:

DW: The trade row between the US and China seems to be spiraling out of control. What does this row between the world's two largest economies mean for Germany?

Holger Bingmann: I first of all want to stress that it's so far only a trade dispute and not a "trade war." Trade has always brought people together, not separated them. What's happening now, however, is unfortunately the opposite, as people are starting to associate trading fundamentals with emotional entanglements. I regret that development very much.

The direct consequences of the dispute for Germany's exporters are rather small. But German companies that produce goods in the US destined for the Chinese market, such as German automakers, will eventually feel the pain. In addition, German exporters could indirectly be hurt by a trade row between the world's two biggest economies, as they are heavily dependent on free markets and are threatened by trade conflicts.

Furthermore, the developments in recent weeks have contributed to an escalation of uncertainty, which could result in stock markets slumping, exchange rate volatility and a decline in investment, among other things. Indirectly, therefore, Germany could get caught up in this trade turmoil arising from the dispute between the US and China.

Bingmann: 'I very much regret the emotionality of Donald Trump'

Would Germany end up as a loser or winner of this trade dispute?

I believe Germany — together with European institutions — should try and talk to the parties involved in this trade dispute to resolve their differences amicably. We should appeal to both the US and China to adhere to World Trade Organization (WTO) rules and to talk to each other, instead of hitting at each other. That's our responsibility now.

We should keep in mind that if Trump succeeds with his strategy of imposing punitive tariffs, the EU and Germany — with their large export surplus — could quickly become a target again for US tariffs. The logic would be: what works once will work again.

China is accused by many in the West of profiting from open global markets while sealing off its own market to hinder competition from foreign firms. In this context, how should Germany respond if Trump demands Berlin's support to fight China's trade practices?

Trump is calling for China to provide the same business environment that we offer Chinese companies in Europe and the United States. This demand is, in my view, more than justified. German and European authorities have also repeatedly taken up this issue with Chinese officials.

It is an open secret that China has been doing way too little for many years to protect the intellectual property rights of foreign companies and has even been systematically engaging in the involuntary transfer of foreign technology. This problem has to be resolved, but we believe that unilaterally imposed punitive duties are not the right means to achieve it.

What happens if Trump really links the suspension of his punitive tariffs on European products with the condition that Europe imposes sanctions on China?

I think that's not they way to go forward, because we have a common interest and that is to persuade China to create a level-playing field on its market. There is no need for any underhand dealings here; instead, an open and clear approach is needed to achieve this common goal.

Are you hopeful that this dispute can still be resolved amicably?

I very much regret the emotionality of Donald Trump. I find it tough to believe he will be reasonable in his approach and decision-making. We see that a spanner is thrown repeatedly into the works, and that the level of punitive tariffs has increased drastically.

It's only about four weeks ago that the first round of tariffs were announced. Now we have seen both sides announcing tariffs and counter tariffs on goods worth tens of billions of dollars.

The screw has suddenly been tightened quite massively. And even if the tariffs didn't turn out to be as high as Trump warned they would be, I am always afraid of emotional outbursts, upon which our German and European companies cannot build any investments or a medium-term strategy.

So has the damage already been done with these moves by the US and China or can it be prevented?

It is not too late to limit the damage that has been done. In the current good global economic situation, the damage is not yet reflected in the numbers in Germany, but it will be felt in the medium to long term.

Look at the US, for instance. German corporate investment there has declined, tourism has fallen and everything is a bit insecure. The aggravation of all sorts of conflicts in the world makes life everywhere more insecure and also leads to a reticence on the part of business people to invest.

I also see that hardliners are calling the shots in many key and powerful countries worldwide and I believe that they should talk to each other more in order to resolve the problems facing us.

Holger Bingmann is president of the German Federation of Wholesale, Foreign Trade and Services (BGA).

The interview was conducted by Klaus Ulrich.

🌾

WASHINGTON, KOMPAS.com - Pemerintah Amerika Serikat mengakui, ada risiko terjadinya perang dagang yang sesungguhnya dengan China. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin. "Ada potensi (terjadinya) perang dagang," jelas Mnuchin seperti dikutip dari CBS News, Sabtu (7/4/2018). Pernyataan Mnuchin tersebut kemudian membuat indeks saham AS anjlok pada perdagangan Jumat (6/4/2018) waktu setempat. Indeks Dow Jones anjlok lebih dari 570 poin atau 2,3 persen. "Kita tahu akan ada beberapa fluktuasi, namun pada saat yang sama Presiden menyatakan cukup adalah cukup. China harus mengubah praktik ilegal dan tak adil yang selama ini mereka lakukan," sebut Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Sanders. Gedung Putih kini mengancam China dengan tarif impor senilai 150 miliar dollar AS. Angka tersebut lebih tinggi 100 miliar dollar AS dari yang diajukan sebelumnya. "Tujuan kami bukan untuk perang dagang dengan mereka. Saya rasa kita bisa mengelola ini tanpa kesulitan signifikan terhadap perekonomian secara umum," tutur Mnuchin. Ia menyebut, akan ada dampak signifikan dalam jangka pendek. Akan tetapi, imbuh Mnuchin, penerapan tarif impor terhadap barang-barang dari China tersebut adalah sesuatu yang harus dilakukan. Presiden AS Donald Trump menuduh China mencuri properti intelektual AS dan menyalahi aturan perdagangan global. Tarif impor tersebut belum diberlakukan dan Gedung Putih menyatakan terbuka untuk negosiasi dengan China. China telah mengancam AS dengan mengenakan pula tarif impor terhadap sejumlah produk dari Negeri Paman Sam, seperti daging babi dan kedelai. "Kami meminta China untuk membuka pasar, kami meminta China untuk menurunkan batasan yang menghambat perusahaan-perusahaan AS untuk melakukan hal lebih di China dan mengekspor lebih banyak ke China," terang penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow. Kudlow dan Mnuchin menyatakan mereka tidak ingin ada perang dagang. Selain itu, mereka menjelaskan ada waktu setidaknya dua bulan bagi kedua negara untuk menyelesaikan pertikaian dagang tersebut melalui jalur negosiasi. Akan tetapi, keduanya menegaskan bahwa penerapan tarif adalah hal nyata dan bukan sekedar ancaman.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "AS Akui Ada Risiko Perang Dagang dengan China", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/07/200232926/as-akui-ada-risiko-perang-dagang-dengan-china.
Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Sandro Gatra

🍟

nikkei asian review: CHONGQING, China -- Internet users in China are increasingly calling for a boycott of U.S. products in response to President Donald Trump's decision to target their country with tariffs.

Since Trump announced plans in late March to impose levies on $50 billion worth of Chinese goods, calls for fighting back have been spreading on the Weibo microblogging platform. The online commenters are not alone: The state-backed English-language tabloid Global Times stressed in a late March editorial that China could easily boycott American soybeans.

From Apple iPhones to General Motors cars, all sorts of potential targets have been suggested. U.S. retailers like Starbucks Coffee and Walmart have also been blasted online.

For now, there has been no indication that actual sales have been affected. But the potential impact of Chinese boycotting has been clear since last year, when trade and business exchanges with South Korea slumped after Seoul deployed a U.S. missile defense system despite Beijing's vehement objections.

South Korean conglomerate Lotte Group was forced to temporarily shutter most of its supermarkets in China for much of the year. Hyundai Motors's sales in China were roughly cut in half.

per tgl 06 April 2018:

🌵

washington post: What the endgame looks like

Trump has famously said a trade war will be “easy to win.” Xi isn't saying that. Xi has made it clear he doesn't want a trade war, but he will respond to anything Trump does. Xi seems to be setting himself up for an easier political win if anything goes sour on the economic front.

But in politics, Trump has proved himself a skillful salesman. Many strategists and longtime foreign policy experts say the most likely scenario is Trump gets a few small concessions from China and declares victory.

Chinese Premier Li Keqiang said last week that China is prepared to ease market access for U.S. companies and stop forcing foreign companies to transfer technology. If Trump gets those kinds of concessions in writing, he would be able to say he did more for America against China than Obama, Bush or Clinton.

But those changes would do little to alter the record U.S. trade deficit with China or to deter China from plans to go head-to-head with the United States in many high-tech sectors soon. If Trump wants those major concessions, he has to be ready to go much harder against the Chinese.

So far, Xi appears to be betting that Trump will cave to political pressure before that happens.

🍇

Bisnis.com, JAKARTA – Tepat di saat investor berpikir pasar saham global terlihat lebih tenang sebelum akhir pekan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengambil langkah baru yang kembali mendorong spekulasi perang dagang. Para investor pun jenuh meresponsnya.

“Hal ini menjadi kekanak-kanakan,” respons Nader Naeimi, head of dynamic markets di AMP Capital Investors Ltd. “Pada beberapa titik investor akan merasa bosan, ada terlalu banyak volatilitas politik saat ini.”

Trump telah memerintahkan US Trade Representative (USTR/Departemen Perdagangan AS) untuk mempertimbangkan tarif impor tambahan atas sejumlah produk China senilai US$100 miliar, pada Kamis (5/4/2018) waktu setempat.

“Terkait aksi balasan China yang tidak adil, saya sudah menginstruksikan USTR untuk mempertimbangkan apakah pengenaan tarif impor tambahan senilai US$100 miliar mungkin dilakukan menurut Pasal 301 dan, jika iya, untuk mengidentifikasi produk-produk yang bisa dikenakan," papar Trump seperti dilansir dari Bloomberg.

Pasar saham, yang selama beberapa waktu terakhir terdampak volatilitas dari aksi balas retorika perdagangan antara dua negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut, tak urung bereaksi.

Indikator indeks saham berjangka di AS meluncur menyusul langkah terbaru itu. Padahal, Wall Street berhasil membukukan kenaikan di hari ketiga berturut-turut pada Kamis (5/4), seiring meredanya kekhawatiran investor atas konflik perdagangan antara AS dan China.

Di sisi lain, reaksi investor di pasar ekuitas kawasan Asia belum terlihat signifikan pagi ini (Jumat, 6/4/2018). Indeks Topix Jepang bergerak fluktuatif dan indeks Kospi Korea Selatan tergelincir 0,3%.

Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong dilaporkan naik sebanyak 1,6% setelah aktivitas perdagangannya ditiadakan karena libur pada Kamis (5/4), sedangkan perdagangan pasar saham dan mata uang di China ditutup hingga Senin karena libur nasional.

Menurut Kerry Craig, global market strategist di JPMorgan Asset Management, kenyataannya adalah latar belakang fundamental untuk pasar belum berubah.

“Akan semakin penting bagi investor untuk mengetahui saham apa yang mereka miliki saat hubungan perdagangan yang bergejolak akan menyebabkan lebih banyak volatilitas pasar,” tambahnya.

Sebelumnya, pada Rabu (4/4), China mengumumkan pengenaan tarif impor sebesar 25% untuk 106 produk impor dari AS bernilai mencapai US$50 miliar, di antaranya berupa kedelai, mobil, bahan kimia, pesawat terbang, dan jagung.

Hal ini merupakan balasan atas keputusan Trump yang menandatangani tarif impor atas 1.300 produk dari China. Tarif impor sebesar 25% diajukan atas sejumlah produk teknologi industri, transportasi, dan medis, dengan nilai mencapai US$50 miliar.

“Tidak perlu terkejut apabila melihat pasar semakin tidak peka terhadap retorika semacam itu,” kata Jingyi Pan, market strategist di IG Asia Pte, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (6/4/2018).

Pernyataan Trump terkait tarif impor tambahan berlawanan dengan yang disampaikan oleh penasihat ekonomi utamanya, Larry Kudlow. Dalam sebuah wawancara kepada media,

Kudlow mengungkapkan berbagai kebijakan tarif impor yang telah diumumkan Presiden AS hanya merupakan taktik bernegosiasi dengan mitra dagang dan mungkin tidak akan pernah dijalankan.

“Saya tetap percaya bahwa perang dagang pada akhirnya tidak akan terjadi. Saya pikir itu lebih seperti menggertak saja. Tipikal Trump. Saya membaca salah satu bukunya dan dia berkata selalu bertindak tak terduga sebelum negosiasi sehingga bisa mendapatkan posisi penawaran lebih besar,” ujar Kenny Wen, strategist di Everbright Sun Hung Kai Co.

Aksi balas membalas tarif impor berawal dari keputusan Trump mengenakan tarif impor untuk produk baja dan aluminium termasuk yang berasal dari China, pada Maret 2018. Masing-masing dikenakan tarif sebesar 25% dan 10%.

China kemudian membalas dengan menjatuhkan tarif untuk impor daging babi, buah, kacang-kacangan, dan wine tertentu yang berasal dari Negeri Paman Sam.

Head of Trading untuk Asia Pasifik di Oanda Corp., Stephen Innes, mengatakan ada persepsi valuasi yang berlebihan pada pasar ekuitas.

“Pasar mata uang tidak peduli tentang perang dagang, yang diperhitungkan adalah sikap bank sentral. Mereka [pasar mata uang] hanya peduli ketika ada kejelasan waktu dan bukti,” tambah Innes.

WASHINGTON (Reuters) - President Donald Trump said on Thursday he had instructed U.S. trade officials to consider $100 billion in additional tariffs on China, fueling an already heated trade dispute between the world’s two biggest economies.

🌴

bloomberg: Chinese state media hailed their leaders’ quick counteroffensive in the brewing trade war with the U.S. and said America would learn a “painful lesson” by tangling with China.

The articles and editorials across the Communist Party’s media stable came even as the country started a long holiday weekend. They emphasized that China was acting only in self-defense, and that the Trump administration’s move to levy a 25 percent tariff on about 1,300 types of Chinese imports was opposed by many in the U.S.

“As China deploys its counterattack, the pleasure that the U.S. achieved from those tariffs will now cause them suffering as their financial and political gains diminish to zero,” the Global Times wrote in an editorial Thursday. The tabloid, which sometimes takes more hawkish positions, has run five editorials on the trade issue since Monday.

China said on Wednesday said it would levy an additional 25 percent tariff on about $50 billion of U.S. imports, matching the scale of proposed U.S. tariffs announced the day before. The U.S. is allowing 60 days for public feedback, leaving room for talks. China has said its tariffs will take effect when the U.S. ones do.

🍜

BEIJING china daily - China on Thursday filed a request for consultation under the World Trade Organization (WTO) dispute settlement framework with the United States regarding the US Section 232 measures that slap tariffs on steel and aluminum imports, the Ministry of Commerce (MOC) said.

"With the United States refusing to enter compensation negotiations in accordance with WTO rules, China has to initiate the dispute settlement procedure to protect its rights and interests," the ministry said in a statement.

🌾

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Kamis (6/4/2018) menginstruksikan kepada pejabat perdagangan AS untuk mempertimbangkan tarif tambahan untuk China senilai US$100 miliar.

Dilansir Reuters, Trump mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tarif lebih lanjut sedang dipertimbangkan mengingat pembalasan tidak adil China terhadap kebijakan perdagangan AS sebelumnya, termasuk tarif impor pada barang-barang China senilai US$50 miliar.

Dia menambahkan bahwa Departemen Perdagangan AS telah menetapkan bahwa China telah berulang kali terlibat dalam praktik untuk memperoleh hak kekayaan intelektual AS secara tidak adil.

Indeks saham berjangka AS turun menyusul reaksi terhadap pernyataan terbaru Trump. Pasar finansial telah berayun liar selama beberapa hari terakhir menyusul kekhawatiran meningkatnya ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing.

"Daripada memperbaiki kesalahannya, China telah memilih untuk merugikan petani dan produsen kami," kata Trump, seperti dikutip Reuters.

Tarif tersebut ditujukan untuk memaksa perubahan pada kebijakan pemerintah China yang ditujukan untuk mentransfer kekayaan intelektual AS ke perusahaan China.

Investigasi "Seksi 301" USTR yang mengesahkan tarif menuduh China secara sistematis berusaha menyalahgunakan kekayaan intelektual AS melalui persyaratan patungan yang seringkali tidak dapat dinegosiasikan tanpa transfer teknologi. Hal ini kemudian dibantah China.

Tarif ini telah memicu kekhawatiran bahwa kedua negara akan menuju perang dagang yang akan menghancurkan pertumbuhan global.

Pemerintahan Trump pekan ini mengusulkan tarif 25% untuk sekitar 1.300 produk industri dan produk lain asal China. China membalas dengan daftar tariff serupa atas impor dari AS termasuk kedelai, pesawat, mobil, daging sapi, dan bahan kimia.

🌵

china daily: Countermeasures on trade could leave them out if dispute escalates

US enterprises may miss the opportunity to benefit from China’s ongoing opening-up process if the Sino-US dispute escalates, experts from top government think tanks said on Thursday.

“Some of China’s opportunities may not apply to US enterprises, based on WTO rules and China’s Foreign Trade Law,” said Wei Jianguo, a former vice-minister of commerce and current vice-president of the China Center for International Economic Exchanges. “Once the US tariff measures against Chinese products take effect, China will immediately adopt countermeasures.”

According to the Office of the United States Trade Representative, the proposed US list under Section 301 of the US Trade Act of 1974 will undergo further review in a public notice and comment process, including a public hearing. After completion of that process, the trade representative office will issue a final determination on products subject to additional duties.

Wei said the US review period to seek public comment is just a “stalling tactic” used in the hope that China will change its mind.

Larry Kudlow, the new director of the White House National Economic Council, told NBC News that it’s possible that US President Donald Trump’s tariffs are a negotiating tactic and won’t actually take effect. “Yes, it’s possible. It’s part of the process,” he said.

Their comments came hours after China announced it would slap 25 percent tariffs on 106 US products worth $50 billion, ranging from soybeans and cars to whiskey and airplanes. That was a response to the 25 percent tariff on 1,300 Chinese products worth $50 billion announced by the US Trade Representative on Tuesday, following a Section 301 investigation into China’s intellectual property policies and practices.

Amid speculation that a major tariff war may not materialize, the Dow Jones industrial average fluctuated wildly on Wednesday, plunging 501 points after the opening bell but closing the day up 230 points at 24,263. The S&P 500 closed the day up 1.16 percent.

“The essence of the Sino-US trade war is high-tech, and the US government’s pledge to address the trade deficit is just an excuse to curb the development of China’s high-end manufacturing sector,” said Ye Fujing, director of the Institute for International Economic Research, a think tank under the National Development and Reform Commission, the country’s top economic regulator.

“Many categories that the US included in the list are important for China’s industrial upgrades, but the scale of their export to the US is not big at all,” Ye said.

At a news conference on Wednesday, Vice-Minister of Commerce Wang Shouwen responded to a Twitter message by Trump. Wang said it is “absolutely unacceptable” to ask China alone to cut the country’s surplus with the US by $100 billion each year.

Trade is carried out by companies and consumers from both countries on a voluntary basis, Wang said, adding that trade imbalances cannot be forced by government but are determined by the economic structures and industrial competitiveness of the countries involved.

For Chen Wenling, chief economist at the economic exchanges center, the recent US trade moves involving China reflect a shift in strategic priorities.
“China and Russia are now on top of the US government’s strategic concerns, replacing terrorism,” Chen said. “This reflects the growing worry in the US over China’s recent achievements in industry upgrades and its moves toward modernization.”

Chen said the Sino-US trade dispute is just the beginning of what will be an increasingly intense strategic competition between the two countries in the years ahead.

“We should be prepared for a trade war that could last years, and take more preventive measures in other fields,” Chen said.

🍨

daily mail online : A punishing £1.8trillion has been wiped off the value of America's leading companies in recent weeks amid mounting fears of a full-blown trade war between the US and China.

The two main benchmarks on Wall Street – the Dow Jones Industrial Average and S&P 500 – have fallen 10 per cent since peaking on January 26.

Shares in New York opened sharply lower again yesterday as China threatened to slap punitive tariffs of 25 per cent on imports of 106 American goods, including soybeans, cars and planes.

Aircraft maker Boeing was among the worst-hit, falling nearly 6 per cent in early trading, before a recovery in the wider market.

East vs West: The two main benchmarks on Wall Street – the Dow Jones Industrial Average and S&P 500 – have fallen 10 per cent since peaking on January 26

The threat of an all-out trade war between the world's two biggest economies has spooked investors already fretting about higher interest rates and a backlash against technology giants.

Facebook was particularly hard hit after revelations that the data of around 50m users has been harvested by other companies.

The American stock market has soared since the election of Donald Trump, with banks, tech stocks and manufacturers such as Boeing hitting record highs.

But it is now feared that the so-called 'Trump bump' has run its course. In London, the FTSE 100 index is also down nearly 10 per cent since its peak in early January, costing investors and savers with money tied up in the stock market through Isas, pensions and other holdings nearly £200billion.

Laith Khalaf, senior analyst at Hargreaves Lansdown, said: '2018 has not been a kind year for stock markets so far, despite a promising start.

The US in particular has been hit by a triple whammy of Trumponomics, the Facebook scandal and concerns over rising interest rates.

However it's important to keep some perspective. In the short run markets are unpredictable, febrile beasts, but in the long-term they are a more reliable source of healthy investment returns.'

Beijing's threat to impose tariffs on 106 American goods entering China came just hours after Trump outlined plans to increase levies on 1,333 Chinese products shipped into the US.

China's proposals strike at signature US exports including soybeans, frozen beef, cotton and other key agricultural commodities produced in states from Iowa to Texas that voted for Trump in the 2016 presidential election.

Other goods that look set to face added tariffs include Tesla electric cars, Boeing aircraft and Jack Daniels whiskey.

Naseem Aslam, chief market analyst at Think Markets, said: 'China has taken out big guns to answer Trump's tariff. The trade war is here.'

Christine McDaniel, a senior research fellow at the Mercatus Center at George Mason University in the US, warned there would be no winners.

She said: 'The United States loses, China loses, and the world loses from the two largest economies imposing taxes on imports and disrupting global value chains and world markets.'

Barclays boss Jes Staley urged the US and China to step back.

'I would really hope there would not be a trade war,' he said. 'I have to believe that the powers that be will recognise the importance of having a global economy which is integrated.

'The amount of trade that goes on around the world has grown at an extraordinary rate post-World War Two. That integration has led to economic prosperity around the world, and also political stability around the world.

'I would hope that we understand how trade is one of the anchors to political stability, and so the jousting will remain a side issue and not expand beyond what we're currently seeing.'

Read more: http://www.thisismoney.co.uk/money/markets/article-5578807/How-Trumps-trade-war-China-wiped-1-8trillion-stocks-just-68-days.html#ixzz5BkURWebX

🌵

financial post CANADA: NEW YORK — China’s launch on Monday of its crude futures exchange will improve the clout of the yuan in financial markets and could threaten the international primacy of the dollar, argues a new report by Hayden Briscoe, APAC head of fixed income at UBS Asset Management.

This is the single biggest change in capital markets, maybe of all time

The launch of the oil futures denominated in China’s renminbi currency, also known as the yuan, is China’s first commodity derivative open to foreign investors. This marked the culmination of a decade-long push by the Shanghai Futures Exchange (ShFE) to give the world’s largest energy consumer more power in pricing crude sold to Asia.

Already on Monday, Unipec, the trading arm of Asia’s largest refiner Sinopec, has inked a deal with a western oil major to buy Middle East crude priced against the newly-launched Shanghai crude futures contract.

This helps cement the exchange’s viability and challenges the petro-dollar system, in which oil deals are executed in dollars. This would decrease demand for the greenback and boost U.S. inflation.

China surpassed the United States in 2017 to become the world’s largest oil importer. Nevertheless, the existing price benchmarks — Brent and WTI crude — are both in dollars, and importers across the world must buy dollars in order to conduct oil deals.

But the move to trade oil in yuan will diminish the role of the greenback in global financial markets, argues Briscoe.

Pricing oil in renminbi and launching a trading hub will raise China’s prominence and integrate it further in global markets. And demand for yuan from foreign investors eager to participate in the Shanghai International Energy Exchange will boost the currency’s value and divert trading away from the dollar. Appetite for dollars would shrink, driving the price of the currency down.

The renminbi’s prominence will only grow with China’s consumption: demand will increase 30.6 per cent to 753 million tons per year in 2040, according to BP. This power will let China bypass the petro-dollar system and demand that its oil purchases be priced in yuan, as seen in Monday morning’s Unipec deal. This may be even more likely in deals in which China has outsized leverage, such as their offer to buy 5 per cent of Saudi Aramco.

As it stands, oil exporters store the revenue from their U.S. oil sales in Treasury bonds — a process known as “petro-dollar recycling.” As a result, the rise of the petro-yuan would also jeopardize a key source of financing for U.S. deficit spending.

$50 B v. $3 (??)B

USA TODAY: The Dow on Wednesday rebounded from a more than 500-point plunge to close 231 points higher in another rocky trading day, as Wall Street bet that tariff threats and tough talk on trade from China and the Trump administration was likely a negotiating tactic and that the sides would eventually reach a deal to avoid a trade war.

🌽

The Footsie was down most of the day but managed to close 3.55 points, or 0.05 per cent higher at 7,034.01 despite a slump on Wall Street as a trade dispute between the US and China intensified.

The Dow Jones fell 131.6 points to 23,901.7 in early trading while German and French markets were also in the red. Brent crude was at $67.63 a barrel and the pound was at $1.41 against the dollar.

Fiona Cincotta, a senior market analyst at City Index, said: 'China retaliated to the US decision to introduce a 25 per cent tariff on $50billion worth of Chinese imports by blacklisting over 100 US products worth the same amount including soybeans, chemicals and US cars.

'Interestingly, both sides left the starting day open. China’s finance ministry which made the announcement did not mention when the tariffs will take effect.'

US companies can oppose the decision until 25 May.

Cincotta added: 'Shares of mining companies were worst hit by the US-China trade spat on fears that the dispute would affect China’s metal imports. China is the biggest global buyer of metals and accounts for almost a half of the demand for most of the major metals.'

She noted that shares in gold miner Anglo-American were down 3.85 per cent, diversified miner Rio Tinto traded down 2.9 per cent while Anglo-Australian iron ore and metals producer BHP Billiton were 2.8 per cent lower.

'Even major metals trading house Glencore was not spared, falling around 2.91 per cent. The company is a large producer of zinc with China being one of its main markets.'

Meanwhile, WPP shares were down 2 per cent after the advertising giant announced it was investigating a claim of alleged ‘financial impropriety’ by boss Sir Martin Sorrell, who strongly rejects the allegations.

David Madden, market analyst at CMC Markets UK, said: 'The timing isn’t great since the company recently lowered its profit outlook.'

He added that Topps Tiles shares closed 13 per cent lower after the company issued a less than optimistic outlook.

'First-half profits were slightly higher but the poor weather was blamed for the decline in the second-quarter numbers. It was the cautious forecasts that sent the stock tumbling.'

china daily: OPINION: The signing of a memorandum to impose tariffs of up to $60 billion on Chinese imports and the demand that China reduce its trade surplus by $100 billion by US President Donald Trump is, to say the least, a reckless act. But it reflects the United States' long-term comprehensive strategy toward China.

The US aims to reshape its manufacturing industry and solve its domestic problems in the short term through trade, and diplomatic and military measures, in order to "make America great again". It also wants to interrupt China's industrial upgrading and prevent it from realizing the great rejuvenation of the Chinese nation.

First, by attempting to ignite a trade war, the US is testing the efficacy of its overall strategy vis-a-vis China. For example, the US has raised tariffs of Chinese products such as new generation information technology products; high-end machine tools and industrial robots; aerospace, ocean engineering, new energy, high-tech shipping and high-speed train equipment; agricultural machinery; new materials; biological medicines and high-performance medical equipment. As Robert Lighthizer said, these products are made by the major development industries listed in Made in China 2025 through which China aims to achieve independent research, development and application in two to three years.

Since it would go against US' interests if China becomes a leading global player in these fields by 2025, the Trump administration is making every effort to prevent China from achieving its goal.

Second, the US is adept at dealing with a trade war, especially because of its economic and/or diplomatic alliances with other economies. As the US imposes punitive tariffs on Chinese steel and aluminum products, it also requires such economies as Canada, Mexico and the European Union－which also are major steel and aluminum exporters－to impose trade sanctions on China in exchange for being exempted from the US' high tariffs.

The US supposes it can easily win a trade war because China cannot bear the economic loss. But the reality is different. China's overall exports of goods and services last year accounted for only 9.1 percent of its GDP, with its exports to the US dropping from 21.55 percent to 18.24 percent of its total export volume. In fact, economists estimate the punitive tariffs on Chinese imports will only reduce China's GDP growth from 6.9 percent to 6.8 percent. It is therefore clear that China's economy doesn't depend on the US' trade policy.

According to experts, international organizations and think tanks, China will suffer losses in a trade war, but it can expand trade with its other major trade partners such as the EU to reduce those losses. In fact, the US will be the bigger loser if a full-fledged trade war breaks out between the two countries.

The US is also aware of that. That's why it has imposed penalty tariffs on Chinese high-tech products, while ignoring the products manufactured by labor-intensive industries in China.

In the first two months of this year, the value of the yuan appreciated from 6.9 to 6.3 against the US dollar. But the exports of seven kinds of labor-intensive products grew 19.5 percent year-on-year, accounting for 20.2 percent of China's overall export volume. Since a 20 percent tariff on Chinese high-tech products can hardly offset the rapid increase in the export of labor-intensive products to the US, Trump's move will only make US citizens' life more difficult and, to a certain extent, neutralize the effects of his tax cut policy.

The recently concluded annual sessions of China's top legislature and top political advisory body decided to deepen reform, boost domestic consumption and solve the problem of secondary distribution of wealth, which will largely offset the negative impact of the US' protectionist moves. That's why Vice-Premier Liu He told the US treasury secretary during their phone conversation on Saturday that China is ready to defend its interests. This should force the US administration to think twice before launching an all-out trade war.

The author is a researcher at the Institute of American Studies, Chinese Academy of Social Sciences.

🍂

marketwatch: China’s imposition this week of tariffs on 128 U.S. export products could be just the beginning of a prolonged and destructive trade war between the world’s two largest economies.

Despite President Donald Trump’s boast that “trade wars are good and easy to win,” this one could impose heavy casualties on both nations and the global economy.

A trade war is a tit-for-tat escalation of tariffs, aimed more at punishing the other country than protecting domestic producers. The Chinese tariffs announced so far are a direct retaliation for tariffs on imported steel that the Trump administration imposed last month on dubious “national security” grounds. If the Trump administration follows through on a threat to impose tariffs on $50 billion in Chinese imports based on a dispute over intellectual property, the Chinese retaliation could be exponentially greater.

Nobody wins from a trade war. When a nation seeks to punish another country with tariffs on its goods, exporters in the target country suffer, but so do consumers and import-consuming industries in the country imposing the tariffs. In fact, they may suffer more economic damage than the targeted country. If the targeted country retaliates, the damage is compounded further in both countries.

This is exactly what is unfolding with the Trump administration’s aggressive trade actions against China, and the stakes are high. China is America’s third largest export market for goods. The Chinese tariffs announced this week hit $3 billion worth of U.S. exports, from nuts, fruits, and wine, to steel pipe. The next round could take aim at the $12 billion in soybeans, $16 billion in civilian aircraft, and $30 billion in industrial supplies that U.S. producers exported to China in 2017.

U.S. tariffs aimed at punishing China for its IP policies will cause collateral damage across the US economic landscape. Almost half of the $505 billion Americans imported from China last year were household goods that are staples of a working family’s budget, such as cell phones, toys, furniture, apparel and footwear. Tariffs on those items will hit tens of millions of Americans right in their pocketbooks.

Tariffs on other major categories of imports from China, such as computers, machinery, and industrial supplies, will hit the bottom line of American companies, raising their costs and reducing their competitiveness in the global marketplace. Hundreds of thousands of American workers could be displaced from their jobs.

U.S. tariffs will do nothing to reduce the U.S. bilateral trade deficit with China. If those tariffs succeed in reducing imports from China, the Chinese will have fewer dollars to buy U.S. exports or to invest in U.S. Treasury bills or U.S. affiliate companies. Both imports from China and exports to China will decline, leaving the trade balance unaffected but reducing overall trade flows and the lower prices and gains from specialization that trade delivers.

The bilateral deficit with China has always been a misleading measure of the trade relationship. The deficit is not driven by differing trade policies, but by such underlying factors as national rates of saving and investment, and the normal demand of consumers.

In China, national savings exceed total investment, so its surplus savings flow across the Pacific to invest in the United States. When the Chinese purchase U.S. Treasury bonds TMUBMUSD10Y, -1.05% , it helps our federal government fund its military and other operations with lower borrowing costs. It also prevents the federal government’s insatiable appetite for debt from crowding out private domestic investment.

The bilateral deficit is also misleading because a large share of the value of goods we import from China actually originate in places other than China.

High-tech items such as the iPhone are assembled in China, but much of its total value is represented by components made in Japan, South Korea, and the United States. Yet under the U.S. government’s trade accounting system, the full value of the iPhone is classified as an “import” from China. When the components of imports from China are assigned to the country where the value was actually added, the bilateral trade deficit drops by an estimated 40%.

One other way the goods deficit is misleading is that it ignores trade in services.

In 2016, the United States ran a bilateral surplus with China in services trade of almost $40 billion. U.S. companies also sell their branded goods and services in China through their affiliate companies. According to the most recent figures from the U.S. Commerce Department, U.S.-owned affiliates in China sold $294 billion in goods and $59 billion in services in 2015. When combined with the lower goods deficit in value-added, the total bilateral deficit with China shrinks considerably.

The right way to approach trade with China is not to provoke an unwinnable trade war, but to seek international cooperation to address issues of mutual interest. In cooperation with other advanced economies, the United States should seek to encourage reform in China to address issues of intellectual property and steel overcapacity.

Such cooperation can yield beneficial results without the mutually destructive effects of a trade war.

This article is published with permission of the Mercatus Center. It was originally published on the Mercatus Center’s web site.

Daniel Griswold is senior research fellow and co-director of the Program on the American Economy and Globalization at the Mercatus Center at George Mason University. He is the author of ”Mad about Trade: Why Main Street America Should Embrace Globalization.”

🌿

Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dinilai bisa memberikan dampak positif bagi industri TPT nasional.

Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy, mengatakan, Tiongkok mulai mengurangi impor dari AS sehingga memberikan kesempatan bagi negara lain untuk masuk.

"Begitu juga sebaliknya, AS sudah mulai membatasi produk dari Tiongkok dan mulai mencari produk dari negara lain. Bahkan, kedua negara tersebut saling menaikkan tarif impor barang," kata Ismy, di sela pameran Indo Intertex-Inatex, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (4/4).

Ismy menjelaskan, ekspor TPT nasional diproyeksikan akan meningkat baik ke AS maupun Tiongkok. "Perang dagang antara AS dan Tiongkok semakin intensif dan Indonesia bisa memanfaatkan hal tersebut untuk meningkatkan ekspor," ujarnya.

Selama ini, kata Ismy, ekspor TPT tidak ada masalah justru permintaan semakin tumbuh. Fakta menarik dari industri tekstil, nilai ekspor lebih tinggi jika dibandingkan penjualan domestik.

"Penjualan domestik terhambat oleh produk impor yang terus membanjiri ditambah harganya murah sehingga produk dalam negeri sulit bersaing," jelasnya.

Berbeda dengan ekspor tekstil yang terus tumbuh, pada tahun 2017 nilai ekspor tekstil mencapai US$ 12,4 miliar atau melampaui target sebesar US$ 12 miliar. Ekspor tekstil diproyeksikan akan terus meningkat hingga 2019 dengan target ekspor mencapai US$ 15 miliar.

"Permintaan tekstil yang tinggi dari Asean dan Timur Tengah tidak pernah berhenti ditambah ada kesempatan untuk tingkatkan ekspor ke AS dan Tiongkok," ujar dia.

Ismy mengatakan, kelebihan lain dari industri tekstil adalah menyerap tenaga kerja cukup besar dan membantu pertumbuhan ekonomi pusat dan daerah. API sendiri, lanjutnya, terus meminta pemerintah agar mempercepat perjanjian dagang dengan Eropa agar nilai ekspor lebih tinggi dan lebih besar sehingga menambah devisa negara.

Nilai investasi industri TPT sepanjang tahun 2017 mencapai Rp 12 triliun atau mengalami kenaikan 68 persen jika dibandingkan investasi tahun 2016 yang mencapai Rp 7,62 triliun. "Kebanyakan perusahaan yang berinvestasi adalah perusahaan lokal sekitar 60 persen, sisanya baru perusahaan asing," kata dia.

Untuk investasi tahun 2018, pihaknya belum bisa memproyeksikan apakah hasilnya akan sama dengan tahun 2017 atau bisa lebih tinggi. "Kebanyakan perusahaan sudah berinvestasi besar besaran tahun lalu, kalau untuk tahun ini masih melihat perkembangan," tambahnya.

Ismy mengatakan, kunci untuk meningkatkan investasi adalah kemudahan perizinan dan pemberian fasilitas tax holiday dengan syarat nilai investasinya besar. Semakin banyak investasi maka akan menguntungkan perekonomian Indonesia.

"Industri TPT juga masuk ke dalam revolusi industri 4.0 sehingga harus dilindungi dan ditingkatkan kinerjanya dengan memberikan kebijakan yang menguntungkan," pungkasnya.

Sumber: Investor Daily

🌴

suara pembaruan: [JAKARTA]Indonesia diyakini bisa mengambil peluang dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, karena produk-produk yang menjadi sasaran perang dagang kedua negara itu dapat disubstitusi oleh produk-produk Indonesia. Tiongkok di antaranya telah menetapkan sekitar 120 produk AS yang bakal dikenai tarif bea masuk, sehingga Indonesia bisa memetakan produk-produk tersebut untuk dijadikan peluang ekspor.

Presiden AS Donald Trump telah menandatangani kebijakan pembatasan impor dengan menetapkan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk alumunium dari Tiongkok. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor aluminium Indonesia ke AS. Saat ini kontribusi ekspor aluminium ke AS mencapai sekitar 31% dari total ekspor aluminium Indonesia.

Perang dagang antara AS dan Tiongkok dipicu oleh kebijakan poteksionisme Donald Trump. Dia pun menuding Tiongkok tidak menerapkan perdagangan secara adil sehingga membuat defisit neraca perdagangan AS terus meningkat. Berdasarkan data US Census Bureau, pada 2017, AS mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar US$ 375,23 miliar dengan Tiongkok, atau meningkat dibandingkan tahun 2016 sebesar US$ 347,02 miliar dan tahun 2015 sebesar US$ 367,26 miliar.

Tiongkok siap bereaksi atas kebijakan AS tersebut dengan menerapkan tarif impor untuk produk ekspor unggulan AS seperti daging babi, aluminium daur ulang, pipa baja, buah-buahan, dan minuman anggur.

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 9,67 miliar dengan AS pada 2017, atau meningkat dari posisi tahun 2016 sebesar US$ 8,84 miliar. Sebaliknya, Indonesia mencatatkan defisit perdagangan sebesar US$ 12,72 miliar dengan Tiongkok pada 2017 dan US$ 14,01 miliar pada 2016.

“Ada 120 produk, mungkin di antaranya pipa baja, daging babi, dan anggur. Untuk produk tersebut mungkin kita nggak bisa ambil peluang, tapi yang lainnya kita bisa ambil, kan 120 produk itu beragam,” kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, Senin (26/3).

Kendati demikian, David mengatakan, Indonesia tetap perlu meminimalisasi dampak perang dagang dengan melakukan diversifikasi produk dan tujuan ekspor. Artinya, negara tujuan ekspor RI harus diperluas.

Senada dengan David, analis dari Recapital Securities Kiswoyo Adi Joe mengungkapkan, Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang AS-Tiongkok untuk meningkatkan ekspor ke kedua negara tersebut. Tiongkok di antaranya bisa saja menerapkan tarif bea masuk (impor) untuk produk jagung dan kedelai, dan hal tersebut dapat menguntungkan produk sawit Indonesia.

“Kalau jagung dan kedelai AS dikenai tarif bea masuk/impor oleh Tiongkok, kan produk sawit kita menjadi lebih murah. Kita bisa ekspor sawit ke sana,” ujar Kiswoyo.

Memanfaatkan

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengatakan, dampak proteksionisme AS terhadap Indonesia tergantung bagaimana memanfaatkannya.

“Ibarat mengayuh di antara dua karang, harus jitu benar langkahnya. Salah satu langkah yang diambil adalah memacu ekspor ke AS dengan mencari komoditi apa yang selama ini diimpor dari Tiongkok yang kita dapat memproduksinya dan mengekspornya,” kata Sarmuji.

Dia mencontohkan, aluminium yang kebetulan Indonesia sudah mengekspor ke Amerika, Tiongkok juga mengekspor, maka dapat menggantikan porsi ekspor Tiongkok ke Amerika dengan produk aluminium Indonesia.

“Nilai ekspor Tiongkok ke Amerika sangat besar untuk dapat kita gantikan sebagian. Amerika juga secara tradisional merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah Tiongkok. Jadi eksportir Indonesia sebenarnya sudah hafal benar bagaimana cara ekspor ke AS. Sekarang peluang menjadi lebih besar setelah ada perang dagang dengan Amerika,” kata dia.

Secara otomatis, lanjut dia, jika ekspor dan cadangan devisa (cadev) meningkat maka stabilitas mata uang akan semakin baik.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara juga berpendapat, Indonesia bisa melakukan negosiasi bilateral dengan AS untuk menjadi pengganti impor barang dari Tiongkok yang dihambat. “Ketika impor dari Tiongkok berkurang, AS tetap butuh bahan baku industri, jadi Indonesia bisa substitusi Tiongkok. Syaratnya, kapasitas produksi domestik harus kuat untuk penuhi permintaan AS,” jelas dia.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dampak langsung bagi ekspor Indonesia ke AS setelah pemerintah AS mengenakan tarif impor untuk baja cenderung marginal mengingat kontribusi ekspor baja ke AS relatif kecil, yakni sekitar 1-2% dari total ekspor baja Indonesia.

Namun demikian, akan cukup berdampak bagi ekspor aluminium ke AS mengingat kontribusi ekspor aluminium ke AS mencapai sekitar 31% dari total ekspor aluminium Indonesia.

Di sisi lain, dia menilai dampak dari proteksionisme AS tersebut adalah potensi peningkatan impor baja dan aluminium dari Tiongkok yang berpotensi akan mendorong pelebaran defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok dari tahun lalu yang mencapai defisit US$ 12,72 miliar.[ID/M-6]

🌹

media indonesia Tri Winarno Peneliti Ekonomi Senior Bank Indonesia KEBIJAKAN perdagangan Presiden Trump dengan menaikkan tarif impor baja dan aluminium baru-baru ini merupakan awal genderang perang dagang global. Perang dagang akan segera menjadi kenyataan. Uni Eropa merespons dengan keras bahwa mereka akan melakukan pembalasan terhadap produk AS yang masuk ke Uni Eropa. Tiongkok mengancam akan merespons dengan ukuran dan waktu yang tepat. Ternyata, para gajah telah saling mengasah gading mereka dan pelanduk hanya bisa menunggu deritanya.

Ekonom, politikus, dan pemangku kebijakan global sangat prihatin dengan perkembangan perdagangan yang semakin mengarah pada meningkatnya hambatan perdagangan internasional. Dampaknya ialah penyusutan kesejahteraan global. Hambatan terhadap perdagangan bebas tersebut jelas akan membawa arah yang salah. Mengikis kesempatan pengentasan rakyat dari kemiskinan jutaan penduduk bumi dan berdampak pada lenyapnya keuntungan yang tercipta dari perdagangan setiap tahunnya.

Memang benar bahwa perdagangan bebas ada biayanya. Sentimen yang dikemukakan Trump dan pemimpin populis lainnya sama dengan sentimen era 1990-an yang menentang perdagangan bebas karena perdagangan bebas akan menyebabkan hilangnya pekerjaan bagi yang kalah berkompetisi. Tidak mudah mencari pekerjaan pengganti bagi mereka yang terdampak akibat perdagangan bebas.

Dampak negatif dari perdagangan bebas sering terkonsentrasi di industri tertentu dan di wilayah tertentu, seperti di industrial Rust Belt di AS karena manufaktur di sana kalah efisien dari negara-negara lain. Berdasarkan hasil riset oleh Depdag AS biaya dari dampak perdagangan bebas akan mengurangi seperlima dari keuntungan yang ditimbulkan perdagangan bebas.

Manfaat perdagangan bebas

Namun, keuntungan global dari perdagangan bebas tak akan terbantahkan. Salah satu bukti keuntungan dari perdagangan bebas ialah harga jual barang di pasar dan supermarket dunia. Apakah itu di Nairobi, Shanghai, Pittsburgh, Lisabon, Melbourne, atau di Jakarta, konsumen akan memperoleh berbagai jenis barang dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan barang yang sama hanya diproduksi di satu negara.

Barang impor yang lebih murah berdampak pada penurunan tekanan inflasi.

Di AS saja berdasarkan hasil studi Mckensey, setiap tambahan 1% pangsa impor dari produsen yang harganya lebih murah berdampak pada penurunan harga sekitar 2%. Harga barang yang lebih murah berarti peningkatan daya beli, atau secara riil terjadi kenaikan pendapatan dan kekayaan.

Berdasarkan laporan Gedung Putih pada 2015, kelas menengah AS dapat membeli 30% lebih banyak jika dibandingkan dengan tidak adanya perdagangan bebas. Peningkatan daya beli lebih terasa pada masyarakat AS 10% terbawah, yaitu mereka dapat membeli barang 60% lebih banyak dengan adanya perdagangan bebas. Kelompok pekerja AS akan mengalami derita yang paling besar akibat dari kebijakan perang dagang Trump.

Manfaat perdagangan bebas tidak berhenti pada peningkatan daya beli barang dan jasa yang lebih murah. Secara global perdagangan bebas ialah merupakan instrumen pembangunan paling dahsyat yang pernah ada di jagat ini. Perdagangan lintas negara mampu memperkecil kesenjangan pendapatan. Misalnya, berdasarkan laporan Gedung Putih 2015 menyatakan bahwa setiap penurunan tarif 10% berakibat pada penurunan 1% kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan. Penurunan tarif juga berdampak pada penurunan kesenjangan upah berdasarkan ras dan status imigrasi.

Di samping itu, peningkatan keterbukaan perdagangan berkaitan erat dengan penurunan tingkat kematian bayi dan meningkatkan harapan hidup, khususnya di negara berkembang. Sepanjang waktu, perdagangan bebas dapat menggerakkan pekerja ke industri yang lebih efisien sehingga terjadi peningkatan upah, kenaikan investasi di infrastruktur dan mendorong gerak ekonomi lebih dinamis. Yang paling dahsyat ialah perdagangan bebas menjadi sumber peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berarti jutaan umat manusia di planet ini terbebas dari kemiskinan.

Bahkan beberapa pihak menuduh bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi hanya pada segelintir oligarki. Namun, berdasarkan riset dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ketika ekonomi tumbuh, pendapatan masyarakat miskin meningkat proporsional dengan pertumbuhan pendapatan nasional. Bahkan sejarah menunjukkan manfaat dari keterbukaan ekonomi akibat dari perdagangan bebas.

Menakjubkan memang, yang pada 20 tahun yang lampau proporsi penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan hampir separuh dari total penduduk dunia. Berdasarkan penelitian dari ekonom Oxford University, Max Roser, mass media menerbitkan berita utama bahwa penduduk dunia yang terbebas dari kemiskinan absolut turun 137,000 sejak kemarin. Berita tersebut hampir setiap hari muncul selama 25 tahun.

Membahayakan kesejahteraan global

Sederhananya, perdagangan bebas telah mampu memberikan makanan lebih banyak bagi penduduk Planet Bumi dari pada kebijakan lainnya. Sekarang planet ini sedang menghadapi tragedi riil dengan semakin menjauhnya kebijakan perdagangan bebas.

Berdasarkan riset dari tim Copenhagen Consensus, menunjukkan Pertemuan Doha akan perdagangan bebas (Doha Round of global free-trade talks) akan berdampak pada penurunan jumlah orang miskin sebanyak 145 juta selama 15 tahun dan membuat dunia lebih kaya US$11 triliun.

Tiga per lima dari kekayaan tersebut akan jatuh pada negara berkembang setara dengan tambahan pendapatan per orang sebesar US$1.000 setiap tahun hingga 2030. Bahkan jika seperlima dari manfaat ini tergerus untuk pembiayaan redistribusi, masih menyisakan tambahan pendapatan bagi umat manusia sebesar US$9 triliun.

Dengan demikian, seharusnya pemerintahan Trump membelanjakan anggaran yang memadai untuk mengompensasi bagi pekerja yang kalah bersaing akibat perdagangan bebas dengan memberikan pelatihan dan kebijakan bantuan kesejahteraan sosial transisional, bukan dengan cara mereduksi perdagangan global. Dengan mengabaikan keuntungan perdagangan bebas sebesar US$9 triliun karena kerugian US$2 triliun adalah suatu kebijakan yang tidak bijak.

Sejarah memang mencatat fenomena perdagangan bebas, yang di antaranya disampaikan pada 1824, oleh sejarawan Inggris Thomas B Macaulay bahwa perdagangan bebas ialah salah satu kebijakan publik yang paling besar meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu bangsa. Namun, hampir di seluruh negeri kebijakan tersebut tidak populer. Sejak 1820 kemiskinan global turun dari 94% tinggal hanya 10% dari total populasi global, yang sebagian besar dikarenakan kebijakan perdagangan bebas.

Sampai sekarang kebijakan yang mereduksi perdagangan bebas ialah masih merupakan kebijakan populer sehingga figur seperti Trump dapat menjadi presiden, dan ini tentu membahayakan kesejahteraan global. Ini harus dihentikan. Hanya karena adanya kerugian yang kecil akibat dari perdagangan bebas, tidak serta-merta menghilangkan kebijakan perdagangan bebas yang banyak membawa manfaat bagi kemanusiaan.

Perlu diingat bahwa kebijakan perdagangan bebas adalah merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang terbaik yang pernah ada di planet ini.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

🌲

ID: Menurut Kiswoyo, sentimen negatif perang dagang AS-Tiongkok yang telah memicu pelemahan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 10,52 poin atau 0,17% menjadi 6.200,17 pada penutupan pasar saham, Senin (26/3), diyakini hanya bersifat sesaat.

Isu perang dagang telah memicu sentimen negatif di bursa AS dan regional ditengarai juga menyeret IHSG ke zona merah, namun pasar saham diperkirakan segera rebound lagi.

“Harusnya besok pasar saham bisa positif lagi, apalagi kalau bursa Dow Jones dan regional juga sudah hijau,” papar Kiswoyo.

Sependapat dengan Kiswoyo, David Sumual juga memperkirakan dampak isu perang dagang AS-Tiongkok terhadap pasar finansial tidak akan lama.

“Dampaknya ke pasar uang dan saham, paling hitungan bulan saja, yakni tiga bulan dan paling lama enam bulan. Sentimen negatif itu memang sudah dimulai sekarang, meskipun AS dan Tiongkok masih sebatas saling gertak. Tarif bea masuk/impor terhadap produk-produk tertentu juga belum diterapkan,” kata David.

David mengakui, hal yang paling dikhawatirkan pasar adalah dampak perang dagang AS-Tiongkok bakal memicu perlambatan ekonomi global. Selain bisa memperlemah perekonomian global, perang dagang dikhawatirkan dapat membuat produk-produk Tiongkok akan membanjiri pasar Tanah Air, seperti produk baja Tiongkok yang telah di-dumping.

Namun demikian, David tidak terlalu yakin perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia itu bakal menjadi kenyataan, mengingat perang dagang dipastikan akan merugikan kedua pihak. Tiongkok di antaranya telah menerapkan strategi untuk menerapkan bea masuk/impor untuk produk daging babi dan anggur yang notabene merupakan produk yang banyak diproduksi negara bagian yang didominasi oleh pendukung (voters) Presiden Donald Trump.

“Jadi, ada kemungkinan nantinya Presiden Trump bakal mendapatkan tekanan dari voters-nya sendiri, karena mereka dirugikan. Hal semacam ini yang mungkin membuat perang dagang tidak semudah itu menjadi kenyataan,” ujar dia.

Selain itu, David juga yakin masih terbuka peluang bagi AS dan Tiongkok untuk menyelesaikan perselisihan dagang mereka melalui kesepakatan bilateral. Penyelesaian permasalahan dagang AS dan Tiongkok juga bisa diselesaikan melalui mekanisme WTO, kendati itu memerlukan waktu lebih panjang. (*)

🍀

JEFFRY

BARTASH

REPORTER

The highs (few) and lows (many) of U.S. trading with China

President Donald Trump intends to apply tariffs on Chinese goods worth up to $60 billion in an effort to slash the huge U.S. trade deficit with China and protect sensitive technologies.

Read: Mr. Roboto? Trump sells China tariffs as fight over robots, other future technologies

It won’t be easy. It might even be impossible. The U.S. has run large deficits with China for years and in some cases no longer produces certain goods such as consumer electronics that are popular with Americans.

In 2017, the U.S. posted a $375.2 billion deficit in goods with China. Most glaring is the huge deficit in computers and electronics, but the U.S. is a net importer from China in most market segments except for agriculture.

China has been a big buyer of American-grown soybeans and other crops. Planes made by BA, +0.43% also are a product in demand in China.

🍐

china daily: China's Ministry of Commerce unveiled plans Friday to impose tariffs on up to $3 billion worth of products from the United States to make up for losses caused by US tariffs on Chinese steel and aluminum products.

The list tentatively contains seven categories and 128 products.

The first part covers a total of 120 taxes, involving $977 million in US exports to China, including fresh fruit, dried fruit, nut products, wine, modified ethanol, American ginseng and seamless steel pipes, and is expected to impose a 15 percent tariff.

The second part covers a total of eight taxes covering $1.99 billion of US exports to China, including pork and pork products and recycled aluminum. For these items, a 25 percent tariff is proposed.

The ministry said the imposition of tariffs by the United States, with taxes of 25 percent and 10 percent on imported steel and aluminum products on "national security" grounds actually constitutes a safeguard measure. According to the relevant provisions of the WTO Agreement on Safeguard Measures, China has formulated a list of suspension of concessions.

If China and the United States fail to reach a trade compensation agreement within the stipulated time, China will exercise the right to suspend concessions for the first list of products; China will implement the second list after further evaluating the impact of US measures on China.

The ministry said China firmly opposes the unilateralism and trade protectionism carried out by the United States, as it disregards China's efforts to strengthen the protection of intellectual property rights and ignores the rules of the World Trade Organization.

With regard to the 301 investigation, the ministry said China has clearly stated its position on multiple occasions: China doesn't want to fight a trade war, but it is absolutely not afraid of one.

"We are confident and capable of meeting any challenge. It is hoped the US will be able to make a swift decision and not drag bilateral economic and trade relations into danger," the ministry said in a statement on its website.

The move by the United States is not conducive to Chinese interests, US interests or global interests, the ministry said in a statement.

"It has set a very negative precedent. China will not sit idly by its own legitimate rights and interests under any circumstance. We are fully prepared to defend our legitimate interests," the ministry said.

🌻

china daily: China plans tariffs on some US imports to offset loss on steel and aluminum products, the Ministry of Commerce claims on Friday.

According to the ministry's announcement, these proposed tariffs involve 128 products China imports from the United States, with a value of $3 billion.

Among the figure, 120 products worth a total of $977 million and including fresh fruits, nuts, wine and seamless steel pipes which will be charged with a 15 percent tariff, and an additional 25 percent tariff on eight other products with a worth of $1.992 billion, including pork and recycled aluminum products.

US President Trump's signed a memorandum on Thursday authorizing punitive annual tariffs of up to $60 billion on Chinese exports under a Section 301 case on Chinese intellectual property policies and practices.

The ministry added it would take legal action under the framework of the World Trade Organization to maintain the stability and authority of global trading rules.

"China has urged the US to address its concerns as soon as possible, settle disputes through dialogue and consultation, and avoid damaging overall China-US cooperation," the ministry said.

🍐

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Duta besar China untuk Amerika Serikat (AS) memperingatkan Presiden AS Donald Trump bahwa China akan membalas kebijakan impor yang diumumkan AS. Sang dubes bahkan mengatakan kelas menengah AS akan membayar harga yang mahal untuk kebijakan ini.

Mengutip Bloomberg, Jumat (23/3), Duta Besar China untuk AS, Cui Tiankai mengatakan bahwa China tidak menginginkan perang dagang. "Tapi kami tidak takut melakukan hal itu," ungkap Cui, dilansir dari Bloomberg.

Cui mengatakan tuduhan pelanggaran properti intelektual yang dilontarkan Trump merupakan tuduhan yang "tidak berdasar" dan negaranya "pasti akan melawan dan membalas". Ia mengirim pesan bahwa jika Trump ingin bermain keras, China akan meladeni dan melihat siapa yang akan bertahan lebih lama.

Cui menambahkan, sanksi perdagangan Trump terhadap China tidak masuk akal secara ekonomi, karena konflik yang meningkat akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang-orang kelas menengah AS, neraca perusahaan Amerika dan indeks pasar keuangan AS.

“China tidak menginginkan perang dagang dengan siapa pun. Tetapi Cina tidak takut dan tidak akan mundur dari perang dagang. Kami akan berjuang sampai akhir untuk membela kepentingan dengan semua langkah yang diperlukan,” tegas Cui.

🌷

marketwatch: President Donald Trump finally appears poised to make good on his promised threats to slam the door on free trade and erect walls around the country’s economy.

Citing the need to protect national security, he released plans to impose tariffs of 25% on foreign steel and 10% on aluminum for a “long period of time.”

This new initiative stems directly from the “America First” trade policy he has been promoting since the presidential campaign. Trump is orienting the country distinctly toward protectionism and claiming that unilateralism in trade is good for the U.S.

But economic history should make Americans skeptical of this claim.

President Trump’s approach to trade seems to be based on a false understanding of how the global economy works, one that also plagued American policy makers nearly a century ago. Essentially, the administration has forgotten an important lesson from the Great Depression.

Virtually all economists and trade researchers like meagree that the costs could be steep.

The U.S. and the global economy

Trump’s “America First” orientation assumes that the United States, as the world’s dominant actor, can behave freely and independently in trade.

Unfortunately for the administration, America’s top economic position doesn’t shield it from the dire consequences that unilateral trade policy can provoke. The constraints on U.S. action result from the basic nature of the international economy and from America’s declining dominance of the world trade system.

How we got here: A history of U.S. steel wars before Trump

It is a standard principle of economics that all individual actors exist within a system. Any action taken by one actor will likely result in a response from others. This means that wise governments, in considering which policies to adopt, must make difficult calculations about how their actions will interact with those of others.

“America First” fails to make these calculations. It disregards how America’s trading partners will respond to the new U.S. protectionism — which is also what American lawmakers ignored during the Great Depression.

‘Beggar thy neighbor’

Before the 1930s, America’s trade policy was generally set unilaterally by Congress — that is, without the international negotiations used today.

Lawmakers, already in a protectionist mood, responded to the pain of the Great Depression by passing the infamous Smoot-Hawley Tariff Act of 1930, which raised duties on hundreds of imports.

Meant in part to ease the effects of the Depression by protecting American industry and agriculture from foreign competition, the act instead helped prolong the downturn. Many U.S. trading partners reacted by raising their own tariffs, which contributed significantly to shutting down world trade.

Fortunately, the U.S. and the world learned a lesson from this experience. With the Reciprocal Trade Agreements Act of 1934 and its successors, which granted the president authority to reach tariff reduction agreements with foreign governments, U.S. trade policy came to be global and strategic. This new approach was institutionalized at the international level with the creation of the General Agreement on Tariffs and Trade in 1948 and its successor, the World Trade Organization, in 1995.

The basic principle of these agreements is reciprocity — that each country will agree to liberalize its trade to the extent that other countries liberalize theirs. The approach uses international negotiations to overcome protectionist political pressures and recognizes that trade is a global phenomenon that generates national interdependence.

Dangers of ignoring history

The dangers of ignoring history are only beginning to manifest themselves, but they can be seen in several recent developments that bode ill for us all.

One of the Trump administration’s first actions was to withdraw the United States from the Trans-Pacific Partnership. This agreement, which was a major initiative of the Obama administration, would have created the largest economic bloc in the world by linking America’s economy with those of 11 other Pacific nations. It would also have created an American-led, liberal bulwark in Asia against any Chinese challenge to the regional economic order.

Withdrawing from the agreement denied American exporters enhanced access to foreign markets and was a gift to Chinese influence in Asia. But we are only now beginning to see the longer-term repercussions of President Trump’s decision.

During Trump’s trip, the other 11 signatories of the original trade deal, including Japan, Australia, Canada and Mexico, agreed to move forward without the U.S. This is a problem for the U.S. because it means that these countries will grant preferential market access to one another, making it harder for American companies to compete in their markets.

American companies are already feeling the impact of what happens when they’re left out of a trade deal. A recent New York Times article, for example, highlights the plight of American lobster producers whose prices are being undercut by Canadian producers in the wake of a new Canada-European Union trade agreement.

If the United States is reluctant to participate in multilateral trade agreements, other countries have every incentive to do deals that exclude and even may hurt the U.S.

Trump’s ongoing efforts to renegotiate the North American Free Trade Agreement also pose potential dangers. The administration has a tendency to speak of renegotiation as if it can dictate the terms. But while Canada and Mexico may be more dependent on the U.S. than the U.S. is on them, an implosion of Nafta would be devastating for many U.S. industries that rely on North American trade. Markets increasingly worry that Nafta may not survive the negotiations.

In addition to withdrawing from and renegotiating trade agreements, the administration has ramped up unilateral efforts to sanction U.S. trading partners for receiving subsidies or for dumping their products on the American market.

Decisions to impose trade penalties — such as the latest steel and aluminum tariffs — risk blowback, as when sanctions on Bombardier drove the Canadian plane manufacturer into the arms of Airbus, Boeing’s top foreign rival. The imposition of sanctions on imports of solar panels is having a similar effect, damaging American panel installers and encouraging foreign retaliation.

Trade needs a champion

President Trump assumes the U.S. can act unilaterally without consequences.

Economic history shows this doesn’t work. The world’s economies are far more interdependent than they were during the Great Depression, so the impact of governments all following a “my country first” trade policy — as the president said he expected world leaders to do — could have disastrous consequences.

Today, the international trade system the U.S. helped create, one based on open markets and classically liberal principles, is under threat as never before. Yet President Trump’s “America First” approach is a total abdication of the traditional U.S. role as its defender. And in fact, the president is doing his best to undermine that system.

In the final analysis, the Trump administration is reverting to a policy that is, I would argue, dangerous for the U.S. economy and for the international system.

If the U.S. abdicates as champion of the international trading system, China may be the only country that can take the reins. The question is, what would that mean for the current system of open and free markets?

Charles Hankla is an associate professor of political science at Georgia State University. This first appeared on The Conversation — “Economic history shows why Trump’s ‘America First’ tariff policy is so dangerous”.

🌵

sumber posting:
Non-Tariff Barriers to Trade

Non-Tariff Barriers (NTBs) refer to restrictions that result from prohibitions, conditions, or specific market requirements that make importation or exportation of products difficult and/or costly. NTBs also include unjustified and/or improper application of Non-Tariff Measures (NTMs) such as sanitary and phytosanitary (SPS) measures and other technical barriers to Trade (TBT).

NTBs arise from different measures taken by governments and authorities in the form of government laws, regulations, policies, conditions, restrictions or specific requirements, and private sector business practices, or prohibitions that protect the domestic industries from foreign competition.

Examples of Non-Tariff Barriers

Non-Tariff Barriers to trade can arise from:

- Import bans
- General or product-specific quotas
- Complex/discriminatory Rules of Origin
- Quality conditions imposed by the importing country on the exporting countries
- Unjustified Sanitary and Phyto-sanitary conditions
- Unreasonable/unjustified packaging, labelling, product standards
- Complex regulatory environment
- Determination of eligibility of an exporting country by the importing country
- Determination of eligibility of an exporting establishment (firm, company) by the importing country.
- Additional trade documents like Certificate of Origin, Certificate of Authenticity etc
- Occupational safety and health regulation
- Employment law
- Import licenses
- State subsidies, procurement, trading, state ownership
- Export subsidies
- Fixation of a minimum import price
- Product classification
- Quota shares
- Multiplicity and Controls of Foreign exchange market
- Inadequate infrastructure
- "Buy national" policy
- Over-valued currency
- Restrictive licenses
- Seasonal import regimes
- Corrupt and/or lengthy customs procedures

🍆🍭

china daily: "If somebody tries to impose a trade war upon us, we will fight," Chinese Ambassador to the US Cui Tiankai said after US President Donald Trump on Thursday signed off on a plan to impose tariffs on imports from China and restrict Chinese foreign direct investment.

"We will do whatever we can to defend the legitimate interests," Cui said in a video posted on the embassy Facebook account. "Let me assure those people who intend to fight a trade war. We will certainly fight back. We will retaliate. If people want to play tough, we will play tough with them and see who will last longer."

The US memorandum directs Trade Representative Robert Lighthizer and Treasury Secretary Steven Mnuchin to respectively come up with specific plans on the tariffs and on Chinese FDI in the US.

The memo is a result of a Section 301 investigation under the US Trade Act of 1974 into China's laws, policies, practices or actions related to technology transfer, intellectual property and innovation.

While the memo posted on the White House website did not give a specific amount of the tariffs, Trump said on Thursday "it could be about $60 billion".

Also, unlike executive orders that take legal precedence and cannot be changed by a memorandum, a US presidential memorandum can be amended or rescinded by executive orders or another memorandum.

Trump said the two countries are in the midst of a large negotiation.

"We'll see where it takes us. But in the meantime, we're sending a Section 301 action," Trump said at the signing ceremony.

The move has drawn firm opposition from US businesses and lawmakers.

Lighthizer was grilled on the economic impact on US states at a Senate hearing on Thursday and at a similar session at the House of Representatives on Wednesday.

The US Chamber of Commerce and major US retailers earlier sent a letter and statement to Trump urging he not proceed with the broad tariffs on China.

"What avenues are we going to take to protect the $7 billion export agriculture market from my state from being retaliated against in this trade war that the president is basically embracing?" Maria Cantwell, a Democratic senator from Washington, asked Lighthizer.

"It's not something I think that in an economy like in the state of Washington, which is so trade dependent, is ready to embrace," she said. "They look at this 1980s view as a very retro policy: 'Let's start a trade war.' We'd like something more sophisticated."

China will "take all necessary measures" to resolutely protect its legitimate rights and interests that might be hampered by the possible US initiation of a Section 301 investigation into the country, the Ministry of Commerce said on Thursday.

Under the memorandum, Lighthizer will consider whether the US response should include increased tariffs on goods from China, and if so, he should publish a proposed list of products and any intended tariff increases within 15 days of the memorandum. A final list would be published to implement any tariffs after a period of notice and comment.

At Thursday's hearing, Lighthizer indicated that Chinese products and industries in the "Made in China 2025" strategy will be the primary targets.

The memorandum directs Mnuchin to address concerns about Chinese FDI in the US and report the progress within 60 days of the memorandum.

Foreign Ministry Spokeswoman Hua Chunying said the two countries have remained in close communication on trade issues at various levels.

Constructively resolving differences and friction, and safeguarding the healthy and stable growth of bilateral trade are the consensus of both countries' leaders, she said on Thursday.

US export restrictions on China are a factor in the trade imbalance, she said, adding that a complete trade balance is unrealistic and unreasonable, and it's not fair to accuse only China.

"I hope both sides sit down to conduct constructive dialogue and consultation and pursue mutual benefits and win-win results based on equality and mutual respect," she said, adding that China and the US can be positive role models in maintaining the stability of the global economy.

Trump also said that he views China as a friend.

"I have tremendous respect for President Xi," he said. "We have a great relationship. They're helping us a lot in North Korea.

"But we have a trade deficit ... there are many different ways of looking at it, but no matter which way you look at it, it is the largest trade deficit of any country in the history of the world," Trump said.

Zhang Monan, a researcher at the China Center for International Economic Exchanges, said the Trump administration needs a way to attract votes for the midterm elections in November.

"It is unwise to stop effective official talks," Zhang said. "The current situation certainly needs constructive talks to resolve issues."

Tu Xinquan, a professor of international trade at the University of International Business and Economics in Beijing, said a trade war could push China to seek more technology partners from Europe to the detriment of US firms.

The memorandum was signed just a day before the Section 232 steel and aluminium tariffs are expected to be imposed.

But Lighthizer said on Thursday that in addition to the exemptions for Mexico and Canada, the tariffs on countries in the European Union, Brazil and Argentina — all major steel exporters to the US — will be put on pause. Japan, however, remains on the list.

Jing Shuiyu and Zhong Nan contributed to this story.

🌾

versi bahasa Indonesia juga :

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar valuta sedang mengamati beberapa mata uang yang kemungkinan akan terpengaruh perang dagang. Ketika pasar mengkhawatirkan efek penerapan tarif impor baja dan aluminium oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump serta kemungkinan pembalasan oleh China, pasar uang tampaknya belum banyak terpengaruh.

Hari ini, para menteri keuangan negara G20 akan bertemu. Pasar mata uang pun menunggu apakah diplomasi negara-negara ini bisa memecahkan masalah antara AS dan negara-negara lain. Mata uang biasanya sangat terpengaruh dengan kebijakan dagang.

CUTE stocks BY JO (2024 on)