terkait SAHAM ENERGI @ harga batu bara n MINYAK #2

tren harga batubara 1 taon terakhir s/d 07 Mei 2021: 

🍏
NEW YORK, Investor.id - Rally penguatan harga minyak mentah berlanjut. Faktor pendorongnya adalah langkah banyak negara untuk memulihkan ekonomi lebih cepat dan berkurangnya stok minyak untuk penyimpanan. Harga minyak naik 3% -4% karena tanda-tanda membaiknya permintaan dan penurunan persediaan minyak mentah AS. Persediaan minyak mentah AS turun 5 juta barel pekan lalu, data Badan Informasi Energi (EIA). Pada penutupan perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), minyak mentah berjangka AS naik US$ 1,53 menjadi US$ 33,49 per barel, sementara Brent naik US$ 1,10 menjadi US$ 35,75 per barel. Pasar mengharapkan pemulihan ekonomi lebih cepat, meskipun ada risiko perlambatan, kata Michael Arone, kepala strategi investasi di State Street Global Advisors di Boston. “Ada pandangan bahwa ketika ekonomi dibuka kembali dan sejauh ini belum ada kebangkitan dalam tingkat rawat inap , akan memicu pemulihan ekonomi yang lebih cepat," kata Arone . Harga minyak telah meningkat dalam tiga minggu terakhir menyusul langkah sejumlah negara untuk membuka ekonomi mereka. Selain itu, harga minyak juga mendapat dorong dari berkurangnya stok ruang penyimpanan. Katalis positif lainnya yang mendorong kenaikan harga minyak adalah pemotongan produksi dari negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya, yang dikenal dengan OPEC+. Mulai Mei, organisasi itu mengurangi pasokan hingga 9,7 juta barel per hari. Konsultan Grup Eurasia mengatakan, resesi global dan potensi lonjakan penyakit di pasar negara berkembang dapat menghambat permintaan minyak. Sumber : REUTERS

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Rally Minyak Berlanjut"
Penulis: Listyorini
Read more at: http://brt.st/6ABk

🍉


Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak naik di atas $30 per barel untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir dikarenakan produsen memangkas aktivitas guna menyeimbangkan kembali tekanan pasar akibat lockdown di beberapa negara.
Dikutip dari Bloomberg, futures di New York naik sekitar 4 persen dengan peningkatan dua kali lipat sepanjang tiga minggu terakhir.
Amerika Serikat dilaporkan memangkas hampir 10 juta barel per hari menyusul pembatasan produksi dari anggota OPEC+ yang dimulai pada awal Mei.
Irak, produsen minyak terbesar kedua dari aliansi OPEC+ dikabarkan juga berencana untuk menghentikan produksi dari ladang minyaknya Al-Ahdab disebabkan protes yang menghalangi operasi pengeboran.
Mohammad Barkindo, sekretaris jenderal Organization of Petroleum Exporting Countries, mengatakan dalam wawancara Bloomberg bahwa prospek untuk semester kedua tampak lebih cerah karena ekonomi global mulai pulih.
Untuk diketahui, harga minyak WTI (West Texas Intermediate) untuk kontrak Juni naik 4,4 persen menjadi US$30,72 per barel di New York Mercantile Exchange pada pukul 8:16 waktu Singapura setelah naik 19 persen minggu lalu.
Sementara itu harga minyak Brent untuk kontrak Juli naik 3,6 persen menjadi US$33,67 setelah meningkat 4,9 persen dibandingkan torehan minggu lalu.
Meski begitu, masih ada risiko bahwa pemulihan minyak dapat tergelincir jika pandemi memburuk dan menyebabkan pembatasan sosial diberlakukan kembali.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell sebelumnya mengingatkan bahwa saham dan aset lain rally tajam dengan penurunan signifikan dalam sebulan terakhir.
🍓


KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate melonjak 7% pada Jumat (15/5) ke level tertinggi sejak Maret 2020. Sentimen bagi emas hitam ini datang setelah adanya kenaikan permintaan bahan bakar karena beberapa negara telah melonggarkan pembatasan perjalanan yang dilakukan untuk mengekang penyebaran virus corona.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) tersebut naik 19,7% dalam seminggu. Sementara itu, harga minyak mentah Brent naik 5,2% dalam sepekan terakhir. Penguatan pada kedua kontrak ini diperoleh untuk minggu ketiga berturut-turut.
Pada akhir perdagangan kemarin, harga minyak WTI ditutup naik US$ 1,87 atau 6,8% ke level US$ 29,43 per barel. Pada sesi sebelumnya, harga minyak WTI sudah melonjak 9%.
Setali tiga uang, harga minyak mentah Brent ditutup naik US$ 1,37 atau 4,4% per barel ke US$ 32,50 per barel. Ini melanjutkan penguatan Brent yang naik hampir 7% pada hari Kamis (14/5).
"Kontrak bulan kedua untuk minyak mentah AS diperdagangkan dengan diskon ke bulan pertama untuk pertama kalinya sejak akhir Februari, menyiratkan ketatnya pasar," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka Mizuho di New York.
"Bukan kebetulan spread berubah setelah Energy Information Administration (EIA) melaporkan stok minyak mentah AS berkurang," lanjut dia. 
Seperti diketahui, pada Rabu (13/5), EIA melaporkan bahwa stok minyak mentah Negeri Paman Sam turun 745.000 barel menjadi 531,5 juta barel untuk pekan yang berakhir 8 Mei. Ini adalah kali pertama stok minyak AS turun dalam 15 minggu terakhir.
Sokongan bagi harga minyak bertambah setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen besar lainnya memangkas produksi untuk mengurangi kelebihan pasokan. 
Sentimen positif kembali kuat karena ada juga tanda-tanda peningkatan permintaan. Data menunjukkan penggunaan minyak mentah harian China rebound pada April karena kilang meningkatkan operasi.
Namun, pasar tetap berhati-hati dengan pandemi virus corona yang belum kelar. Terlebih mulai muncul kluster infeksi baru di beberapa negara di mana penguncian telah mereda.
"Harga minyak telah naik secara signifikan sejak kemarin berkat penilaian yang lebih baik dari situasi oleh International Energy Agency (IEA)," kata Commerzbank dalam sebuah catatan.
IEA memperkirakan persediaan minyak mentah global turun sekitar 5,5 juta barel per hari (bph) di paruh kedua.
IEA juga memperkirakan permintaan minyak tahun ini turun 8,6 juta barel per hari, lebih kecil 690.000 barel per hari dari penurunan yang diperkirakan bulan lalu. 
Barclays pun sudah menaikkan perkiraan harga untuk Brent dan WTI, masing-masing sebesar US$ 5- US$ 6 per barel untuk tahun 2020 dan US$ 16 per barel untuk tahun 2021. 
Sekarang, Barclays memprediksi rata-rata harga minyak Brent ada di level US$ 37 per barel dan WTI pada US$ 33 tahun ini. Untuk tahun 2021, bank memperkirakan rata-rata harga minyak jenis Brent di US$ 53 per barel sementara WTI US$ 50.
"Ukuran dan kecepatan dari gangguan dan persediaan terkait yang terkait akan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya diserap, dalam pandangan kami," kata analis Barclays Amarpreet Singh dalam sebuah catatan.
🍓


KONTAN.CO.ID - SEOUL. Harga minyak menguat tipis setelah stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) di pekan lalu turun. Namun, penguatan emas hitam masih dibatasi oleh prospek suram dari perekonomian global sebagai akibat dari pandemi dan kekhawatiran terhadap kemungkinan gelombang kedua kasus virus corona.
Mengutip Reuters, Kamis (14/5) pukul 11.00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Juli 2020 di ICE Futures naik 6 sen, atau 0,2% menjadi US$ 29,25 per barel. 
Setali tiga uang, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Juni 2020 di Nymex naik 18 sen, atau 0,7% ke US$ 25,47 per barel.
Harga telah meningkat dalam dua minggu terakhir karena beberapa negara melonggarkan pembatasan dan lockdown yang dilakukan guna menahan penyebaran virus corona. Adanya pelonggaran ini memungkinkan pabrik dan toko dibuka kembali. 
Tetapi kasus-kasus baru virus corona kembali muncul di Korea Selatan dan China, semakin meningkatkan kekhawatiran tentang kemungkinan gelombang kedua infeksi dan diperkirakan dapat membebani pemulihan ekonomi serta permintaan bahan bakar.
Sentimen negatif bagi minyak juga datang setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell memperingatkan tentang periode panjang pertumbuhan ekonomi AS yang telah lemah ke posisi terendahnya. Dia juga menyerukan belanja fiskal tambahan untuk mencegah kerusakan lebih besar pada ekonomi Negeri Paman Sam. 
"Sulit untuk bersemangat karena rebound ini terlebih ketika ekonomi terbesar dunia itu memiliki ketidakpastian signifikan tentang prospek dan risiko resesi besar," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA.
Penurunan persediaan minyak mentah AS pada pekan yang berakhir 8 Mei lalu memang memberikan dukungan untuk harga di awal sesi perdagangan. Tetapi Moya bilang, penarikan lebih besar selama beberapa minggu ke depan akan diperlukan untuk mendorong harga.
Seperti diketahui, persediaan minyak mentah AS pada pekan yang berakhir 8 Mei, turun 745.000 barel menjadi 531,5 juta barel. Menurut Energy Information Administration, ini menandai penurunan pertama sejak Januari 2020. 
Sebelumnya, hasil jajak pendapat yang dilakukan Reuters memperkirakan, stok minyak AS naik 4,1 juta barel pada pekan lalu. 
Di tengah kemerosotan penggunaan bahan bakar, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengatakan, pihaknya memperkirakan permintaan minyak global 2020 susut 9,07 juta barel per hari, lebih buruk daripada perkiraan kontraksi sebelumnya sebesar 6,85 juta barel per hari. 
Lebih lanjut OPEC bilang, penurunan terbesar terjadi pada kuartal kedua. "Permintaan (kuartal kedua) untuk minyak OPEC hanya 16,77 juta barel per hari, jauh di bawah tingkat produksi OPEC, bahkan ketika kepatuhan penuh terhadap pemotongan OPEC+ dipertimbangkan," kata ING Economics dalam memo.
OPEC+, kelompak gabungan antara OPEC dan produsen lain termasuk Rusia, pada bulan April sepakat untuk mengurangi produksi sebesar 9,7 juta barel per hari (bph) pada bulan Mei dan Juni. Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC, juga mengatakan akan memangkas produksinya sendiri dengan tambahan 1 juta barel per hari menjadi 7,5 juta barel per hari mulai Juni.
🍓

KONTAN.CO.ID - TOKYO. Harga minyak mentah kembali menguat setelah lebih banyak negara yang mulai mengurangi kebijakan penguncian yang ditetapkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Hal ini semakin memberikan harapan bahwa permintaan bahan bakar akan meningkat setelah kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh pandemi tersebut.
Mengutip Reuters, Jumat (8/5) pukul 09.00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent kontrak pengiriman Juli 2020 di ICE Futures naik 47 sen, atau 1,5%, ke US$ 29,33 per barel. Pada sesi sebelumnya, harga minyak jenis ini anjlok  hampir 1%. 
Serupa, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Juni 2020 di Nymex juga menanjak 48 sen, atau 1,5%, menjadi US$ 24,03 per barel. Hal ini membalikkan keadaan setelah turun hampir 2% pada perdagangan Kamis (7/5).
Kedua kontrak menuju kenaikan minggu kedua setelah anjlok ke level terdalam pada bulan April lalu. Kala itu, harga minyak AS terjun bebas ke bawah nol per barel. 
Tetapi harga minyak mentah tetap harus mewaspadai banjir produksi. Ini terlihat dari masih bekerjanya pemompaan minyak ke tangki penyimpanan di darat dan tanker di laut.
"Bahkan dengan tanda-tanda awal bahwa permintaan mulai stabil, kenaikan produksi juga masih akan berlanjut untuk beberapa waktu, dan kapasitas penyimpanan (penggunaan) terus meningkat," kata Stephen Innes, kepala strategi pasar di AxiCorp.
Mengutip data Genscape, tangki penyimpanan minyak mentah AS yakni jenis WTI yang berada di pusat penyimpanan Cushing di Oklahoma meningkat sekitar 407.000 barel dalam pekan yang berakhir 5 Mei. 
Sementara itu, Australia akan menjadi negara terbaru yang mulai mengurangi pembatasan pada kontak sosial dan pergerakan karena infeksi negara dari virus melambat. Pemerintah akan melonggarkan pembatasan secara bertahap selama empat minggu, sumber mengatakan kepada Reuters.
Prancis dan negara bagian Amerika Serikat termasuk Michigan dan negara-negara lain juga berencana untuk meringankan pembatasan yang dilembagakan untuk menghentikan penyebaran krisis kesehatan terburuk dunia dalam satu abad.
🍒

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) dibuka melemah pada periode kuartal II-2020. Melanjutkan penurunan di bulan sebelumnya, HBA Mei merosot 7,08% menjadi US$ 61,11 per ton. Di tengah kondisi pandemi virus corona (Covid-19), pasar dan harga batubara diprediksi belum akan pulih dalam waktu dekat ini.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memproyeksikan, pasar dan harga batubara pada periode April-Juni 2020 akan lebih tertekan dibanding kuartal pertama. 
Menurut dia, dampak dari pandemi akan terasa di kuartal kedua dengan tren penurunan kebutuhan energi yang masih berlanjut seiring dengan indeks industri yang turun tajam di negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia.
Dalam perhitungannya, Singgih menaksir ada penurunan konsumsi energi sekitar 10%-20% di negara importir batubara. 
"Pola masih sama, akibat tekanan coal ekspor, indeks harga turun, termasuk HBA. Dengan indeks industri yang turun tajam, saya melihat di kuartal kedua justru akan dihadapkan pada tekanan yang cukup besar dibanding kuartal I," kata Singgih saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (7/5).
Ia mengungkapkan, potensi pasar ekspor memang masih terbuka. Namun, negara produsen dan eksportir batubara lainnya, seperti Australia juga akan bersaing untuk memperebutkan pasar di tengah pandemi.
"Apalagi Australia juga belum ada keinginan untuk menurunkan volume produksi. Tentu dengan zonasi pasar ekspor yang relatif sama, batubara Indonesia masih akan tertekan," tambahnya.




Bisnis.com, JAKARTA - Pasar minyak tampaknya belum dapat bernapas dengan lega. Penguatan harga yang terjadi pada perdagangan Selasa (10/3/2020) dinilai hanya akan berlaku sementara seiring dengan awan gelap masih membayangi fundamental minyak.
Berdasarkan data Bloomberg, pada Selasa (10/3/2020) hingga pukul 17.02 WIB harga minyak jenis WTI untuk kontrak April 2020 di bursa Nymex bergerak menguat 7,1 persen menjadi US$33,34 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Mei 2020 di bursa ICE naik 6,29 persen menjadi US$36,52 per barel. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga minyak telah terkoreksi 44,3 persen.
Analis Pasar Oanda Jeffrey Halley mengatakan bahwa lonjakan harga minyak pada perdagangan kali ini tidak lebih karena koreksi dari aksi jual besar-besaran pada perdagangan sebelumnya, Senin (9/3/2020), dan harga sudah sentuh ke level yang cukup rendah.
“Padahal secara fundamental, prospek pasar minyak tidak ada banyak yang berubah seiring dengan pecahnya kongsi OPEC dan sekutunya pada pekan lalu,” ujar Jeffrey seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (10/3/2020).
Untuk diketahui, Arab Saudi bakal menaikkan produksi minyaknya 10 juta hingga 12 juta barel per hari sebagai upaya untuk menekan Rusia agar menyetujui langkah pemangkasan produksinya lebih dalam untuk menstabilkan harga.
Ketidaksetujuan Rusia terhadap pemangkasan produksi telah mengakhiri kerja sama antara Arab Saudi dan Negeri Beruang Putih itu yang telah menopang harga minyak sejak 2016. Akibatnya, minyak sempat anjlok hingga 30 persen lebih, menjadi penurunan harian terbesar sejak 1991.
Terbaru, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengindikasikan negaranya siap untuk perang harga dengan Arab Saudi. Dia mengatakan industri minyak negaranya memiliki ketahanan keuangan yang cukup untuk tetap kompetitif di setiap tingkat harga dan mempertahankan pangsa pasarnya.
Analis Monex Investindo Futures Andian mengatakan bahwa harga minyak perlu menguji level US$37,25 per barel, agar emas hitam itu dapat melanjutkan penguatannya.
Saat ini level resisten terdekat minyak berada di posisi US$34,65 per barel, dan kenaikan lebih lanjut berpeluang menopang minyak naik ke US$36,05 per barel, sebelum ke US$37,25 per barel.
“Namun, bila gagal menembus level resisten US$34,65 per barel, harga minyak berpotensi kembali bergerak turun menguji level support di US$31,15, penurunan lebih dalam dari level support tersebut berpeluang menekan harga minyak menguji level support selanjutnya di US$29,85 dan US$28,5 per barel,” ujar Andian dalam publikasi risetnya, Selasa (10/3/2020).
FUNDAMENTAL BURUK
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, terlepas dari perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia, fundamental permintaan minyak pun juga menjadi katalis negatif harga untuk bergerak naik.
Apalagi, mengingat penyebaran virus corona telah melambatkan permintaan minyak hampir di seluruh dunia.
International Energy Agency (IEA) memprediksi permintaan minyak global pada tahun ini menurun untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan 2009 seiring dengan semakin kuatnya sinyal perlambatan ekonomi global.
Dalam laporannya yang teranyar, IEA merevisi perkiraan permintaan minyak global dari sekitar 800.000 barel per hari, turun sebesar 90.000 barel per hari menjadi 710.000 barel per hari. Adapun, sinyal pesimistis dan pemangkasan revisi yang cukup dalam tersebut jarang sekali dilakukan oleh IEA.
IEA menjelaskan bahwa penyebaran virus corona yang semakin luas telah mengubah kondisi pasar. Kejadian yang semula hanya sebagai krisis kesehatan China kini berubah menjadi krisis kesehatan global.
Tindakan pengendalian wabah itu, telah mengurangi tingkat transportasi internasional dan domestik di seluruh dunia secara drastis.
“Pukulan terhadap permintaan telah jatuh mendalam, dengan penurunan di seluruh dunia sekitar 2,5 juta barel per hari selama kuartal pertama. Konsumsi di China, yang tahun lalu menyumbang 80 persen dari pertumbuhan permintaan global, turun 3,6 juta barel per hari pada bulan lalu,” tulis IEA seperti dikutip dalam laporannya, Selasa (10/3/2020).
Sementara itu, untuk negara-negara di luar OPEC seperti AS, Norwegia, dan Guyana pasokan terus bertambah dan IEA tidak mengubah estimasi untuk produksi non-OPEC, yang tumbuh tahun ini sebesar 2,1 juta barel per hari.
Pasokan yang berlebih dari dua sisi OPEC dan non OPEC diyakini tidak akan terserap dengan baik di pasar sehingga pasokan diyakini membludak dan harga semakin dalam tekanan.
Sejumlah analis pun telah merevisi target harga minyaknya. Tim analis Goldman Sachs seperti Damien Courvalin menilai harga minyak dapat menuju level US$20 per barel seiring dengan perang harga yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia.
Tim analis Barclays juga merevisi prediksi harga minyak WTI tahun ini menjadi US$40 per barel dari sebelumnya US$54 per barel.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono justru memprediksi harga minyak mentah global dapat menyentuh level US$20 per barel, bahkan hingga US$10 per barel jika perang harga bertahan di waktu yang cukup lama, memperparah pasar yang juga sedang dibayangi katalis negatif akibat penyebaran virus corona.
“Minyak segera bergerak di kisaran US$20 per barel, bahkan US$10 per barel. Kita lihat saja perkembangannya,” ujar Wahyu kepada Bisnis.

Comments

Popular posts from this blog

onlineisasi-digitalisasi (5)

analisis fundamental sederhana: saham KONSUMER (mapi, myor, unvr, icbp, amrt, cpin, hero, mapi, cleo, ades)

terkait fundamental saham ENERGI n TAMBANG (3) (pgas, adro, indy, bumi, antm, elsa)