online-isasi (4)
π
Penerapan Teknologi 5G Dapat Dongkrak PDB Indonesia
bisnis.com: Pada kurun satu tahun terakhir di berbagai forum, Ignasius Jonan selalu menyampaikan hal ini; perubahan tahta 10 perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia. Menteri energi dan sumber daya mineral tersebut membandingkan data 2008 dan 2018, bersumber dari Bloomberg dan Google.
JAKARTA okezone- Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa saat ini sumber ilmu di Google lebih besar dari pada di universitas-universitas.
Jakarta detik- Era digital telah mengubah perilaku manusia. Hal itu pun berdampak ke sektor jasa keuangan. Sebelum teknologi berkembang pesat, masyarakat menggunakan jasa perbankan untuk melakukan berbagai kegiatan.
Namun kini setelah digitalisasi merebak, perbankan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh sistem pembayaran yang lebih praktis menggunakan dompet virtual, seperti GoPay dan OVO. Kondisi tersebut pun menjadi perhatian tersendiri oleh Bank Indonesia (BI).
"Payment system (sistem pembayaran) bahwa pak Perry (Gubernur BI) bersama DG (Dewan Gubernur) 2-3 bulan lalu, kita undang teman perbankan, ada perbankan dan non bank," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara pada diskusi dalam acara Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Gedung BI, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).
Mirza menilai perbankan kalah oleh melesatnya dompet virtual tersebut. BI tentunya tidak ingin perbankan semakin ketinggalan karena keberadaan GoPay Cs.
"Yang non bank melesat dan kita bicara GoPay dan e-commerce lain, OVO melesat. Sementara teman-teman perbankan kalah," ujarnya.
Perbankan, dalam hal ini harus meningkatkan kapasitasnya. Disamping itu, lanjut Mirza perbankan ingin ada regulasi yang memberikan kesempatan berusaha yang sama antara perbankan dan GoPay CS.
"Kemudian teman-teman perbankan bagaimana regulator bisa memfasilitasi. Kami di BI ingin bagaimana perbankan jangan ketinggalan. Bagaimana perbankan jangan ketinggalan dan we need banking but we not bank. Bagi bank sentral itu lebih mudah mengatur ekonomi kalau bank yang ada di depan," tambahnya.
(eds/eds)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Astra dan Gojek Dirikan Perusahaan Patungan dan Tambah Investasi 100 Juta Dolar, http://www.tribunnews.com/bisnis/2019/03/04/astra-dan-gojek-dirikan-perusahaan-patungan-dan-tambah-investasi-100-juta-dolar.
Editor: Choirul Arifin
JAKARTA - Indonesia menjadi salah satu negara dengan optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0 di tingkat ASEAN. Hal ini tercermin dari peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 April tahun lalu dan penerapan digitalisasi industri oleh sejumlah perusahaan manufaktur di dalam negeri.
"Dengan industri 4.0, Indonesia akan keluar sebagai salah satu bangsa juara pada tahun 2030. Bahkan, menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), di saat itu kita bisa menjadi negara nomor tujuh dengan perekonomian terkuat di dunia. Maka yang harus kita dorong adalah optimisme," ujar Menperin di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Menperin juga menyebutkan, berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78%. Di atas Indonesia terdapat Vietnam dengan persentase sebesar 79%, sedangkan peringkat di bawah Indonesia ada Thailand dengan persentase sekitar 72%, Singapura 53%, Filipina 52% dan Malaysia 38%.
"Survei ini dilakukan kepada supplier teknologi dan manufaktur di ASEAN. Dari jawaban mereka, sebanyak 93% mengatakan bahwa industri 4.0 adalah peluang, kemudian tingkat kesadaran untuk menerapkan sebesar 81% dan pertumbuhan dalam optimisme 63%," paparnya.
Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia. Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak USD150 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai USD38 miliar, dihasilkan oleh sektor manufaktur.
"Industri manufaktur selama ini konsisten menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dilihat dari kontribusi besarnya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari 19%," ungkap Airlangga.
Untuk itu, guna mengoptimalkan kinerja industri manufaktur nasional, diperlukan upaya akselerasipenerapan teknologi digital. Adapun teknologi yang menjadi penentu keberhasilan pada adaptasi industri 4.0, antara lain internet of things, big data, cloud computing, artificial intelligence, mobility, virtual and augmented reality, sistem sensor dan otomasi, serta virtual branding.
Menperin menjelaskan, industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar pada sektor manufaktur melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal. Tidak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru yang berbasis digital.
Inisiatif industri 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam mendorong perubahan kebijakan sektor manufaktur, tetapi juga mampu mengubah berbagai aspek kehidupan peradaban manusia.
"Oleh karenanya, berbagai negara telah memasukkan industri 4.0 ke dalam agenda nasional mereka untuk dapat meningkatkan daya saingnya dalam kancah global," terangnya.
Making Indonesia 4.0 telah memilih lima sektor manufaktur yang akan menjadi pionir penerapan era digitalisasi, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, automotif, kimia, serta elektronika. Kelompok manufaktur ini dipilih karena berkontribusi tinggi terhadap ekonomi nasional, dengan sumbangsih hingga 60% pada PDB, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja.
Implementasi industri 4.0 diperkirakan membuka peluang kerja hingga 17 juta orang yang melek teknologi digital, dengan komposisi 4,5 juta orang dari sektor manufaktur dan 12,5 juta orang dari industri penunjangnya. "Guna memenuhi kompetensi SDM tersebut, memang kita harus melakukan retraining skill untuk pekerjaan baru," ujarnya.
GIC @ KIARNA
JAKARTA - Pandemi virus corona (Covid-19) mendorong semakin terbukanya proses disrupsi di berbagai sektor. Sejumlah perubahan perilaku konsumen semakin terlihat di sekitar, mulai sektor ritel, pendidikan, hingga hiburan.
Bagi pelaku usaha, perubahan perilaku konsumen pada masa pandemi ini menjadi pertanda perlunya terobosan baru jika tidak ingin kehilangan pasar. Kian cepatnya proses disrupsi, juga mendorong siapa saja untuk bisa memanfaatkannya agar bisnis terus berjalan di tengah segala keterbatasan.
Beberapa perubahan yang sangat kentara selama masa pandemi ini adalah kian maraknya penjualan secara daring. Hal ini diakui sejumlah pengelola e-commerce di Tanah Air. Pemicunya tak lain karena alasan keamanan dan kesehatan. Imbauan agar tetap menjaga jarak pun kini menjadi standar baku jika ingin tetap berinteraksi secara fisik. (Baca: Perizinan Satu Atap, Masa Depan Industri Perikanan di Era New Normal)
Di sektor pendidikan pun demikian. Masih diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah membuat unit-unit pendidikan yang sedang melaksanakan masa penerimaan siswa baru menggelar tes masuk secara daring.
“Dengan adanya Covid-19 ini, memang membuat disrupsi bakal berjalan lebih cepat. Namun, kecepatan itu akan bergantung pada konsumen juga,” ujar pakar marketing Yuswohady di Jakarta kemarin.
Artinya, kata dia, sejauh mana konsumen menganggap bahwa pada masa pandemi Covid-19 contact less memberikan banyak manfaat dalam berbagai sendi kehidupan.
Yuswo, panggilan akrab Yuswohady, menyebutkan bahwa sebelum adanya pandemi, para ahli meramalkan era disrupsi baru akan terjadi dalam 5–10 tahun ke depan. Namun, sejak adanya pandemi Covid-19, disrupsi bisa berjalan lebih cepat dua atau tiga tahun.
Saat ini memang banyak konsumen yang memanfaatkan teknologi ringkas tanpa keluar rumah melalui aplikasi digital yang tersedia. Apalagi, perangkat teknologi pendukungnya sudah ada jauh sebelum Covid-19 menjadi pandemi global. (Baca juga: Korban Meninggal Akibat Covid di Iran Tembus 12.000 Orang)
Menurut Yuswo, aktivitas working from home, telemedicine, atau pengantaran makanan via daring benar-benar terasa manfaatnya oleh masyarakat. “Dengan kata lain, tidak ada hambatan teknologi sebab sudah ada jauh sebelum Covid-19,” ungkapnya.
Untuk sektor layanan publik lainnya, kata Yuswo, ke depan diperkirakan akan banyak perusahaan yang menggunakan robot sebagai layanan contact less di masyarakat.
“Bahkan sektor pariwisata sekalipun, virtual tourism bakal lahir karena masyarakat ingin mencari wisata tanpa sentuhan langsung secara fisik,” ujarnya. Ketakutan masyarakat karena pandemi Covid-19 membuat masyarakat menghindari kontak fisik secara langsung
Di dalam negeri sendiri, era disrupsi telah melanda Tanah Air sejak ramainya platform e-commerce, pembayaran digital, Gojek, Grab, dan layanan lain yang memungkinkan terjadinya sentuhan secara fisik. Dia menambahkan, tidak ada jaminan ketika vaksin Covid-19 ditemukan, masyarakat akan kembali ke era lama.
“Sebab ketika sudah nyaman dan permanen, saya rasa perilaku kembali ke era lama juga sulit. Bahkan ketika vaksin ditemukan, tidak langsung bisa dirasakan manfaatnya, kecuali vaksin itu semudah kita mendapatkan obat sakit kepala di apotek,” jelasnya.
Serbadigital
Di sektor keuangan, perlahan tapi pasti disrupsi juga terjadi. Kendati di sektor ini sejak dua tahun terakhir sudah mulai melakukan perubahan-perubahan layanan untuk efisiensi, pada masa pandemi ini mereka membuat terobosan demi menggaet konsumen.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyatakan, selama pandemi Covid-19 perusahaan-perusahaan asuransi, terutama jiwa, tidak melakukan penjualan secara tatap muka. Mereka mengandalkan penjualan secara digital melalui web dan tenaga pemasaran melakukan komunikasi telepon. (Baca juga: Kapal China Simpan jenazah Seorang WNI di Dalam Freezer)
“Yang enggak ada lain, teknologi. Jadi dijual melalui video conference, video call, telepon. Tapi tetap itu enggak bisa cepat prosesnya karena masyarakatnya banyak tanya, butuh ini dan itu. Perlu waktu karena ketemuannya enggak langsung. Strategi lainnya, produk baru,” ujar Togar saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Togar menerangkan, AAJI belum bisa melihat efektivitas penjualan melalui digital karena strategi ini sesuatu yang baru diterapkan. Perkembangannya kemungkinan baru bisa diketahui pada kuartal III tahun ini. Dia menjelaskan, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap asuransi belum terlalu tinggi sehingga penjualan dengan teknologi membutuhkan usaha lebih.
“Jangan lupa masyarakat Indonesia sejauh ini masih ingin ditemui. Dikasih tahu atau dijelaskannya secara langsung. Mereka prefer-nya begitu. Namun, situasi PSBB dan ada Covid-19 tidak mungkin atau calon klien juga ogah ketemu,” tutur Togar.
Sekadar diketahui, berdasarkan data AAJI, premi asuransi jiwa kuartal/I mencapai Rp44,1 triliun atau turun 4,9% dari tahun sebelumnya. “Asuransi jiwa turun. Enggak mungkin enggak. Itu dialami oleh semua industri. Bukan hanya asuransi, semua industri mengalami itu dan berlaku secara global,” katanya.
Sementara di industri automotif, pada masa pandemi sejumlah merek mobil juga melakukan penjualan secara daring. Selain menggunakan platform digital yang dikembangkan sendiri, penjualan mobil juga dilakukan dengan menggandeng marketplace seperti Tokopedia, OLX, Blibli.
Menurut 4W Marketing Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra, sejak Maret 2020, Suzuki mengembangkan platform penjualan secara daring dan mampu memberikan kontribusi sebesar 15% dari penjualan pabrikan itu selama masa pandemi. (Baca juga: PT KAI Tambah Perjalanan Kereta Api Jarak Jauh dari dan ke Jakarta)
“Layanan itu kami kembangkan mulai Maret 2020 lalu, dan kontribusinya cukup menggembirakan,’’ tegasnya.
Tak hanya menjual mobil, suku cadang dan jasa servis pun kini dijual melalui platform daring. ’’Jadi, konsumen bisa melakukan order home service,” ujarnya.
Bukan hanya Suzuki, Toyota pun melakukan hal yang sama. Bahkan melalui salah satu dealernya,Tunas Toyota, pabrikan mobil ini menggandeng Tokopedia untuk menjual produknya. Sementara main dealer lainnya yakni Auto2000, mengembangkan platform penjualan daring berlabel Digiroom.
Konsumen bisa melakukan pembelian dari melakukan simulasi pembayaran dan cicilan, mengunggah dokumen yang dibutuhkan, kemudian menunggu konfirmasi dalam satu jam. Selanjutnya, mobil akan dikirimkan kepada konsumen. Platform digital tersebut tidak hanya mobil baru, tetapi juga mobil bekas.
"Untuk penjualan dengan marketplace dilakukan oleh dealer, karena kami tidak boleh menjual langsung," ujar General Manager Marketing Planning and New Business PT Toyota Astra Motor (TAM) Lina Agustina.
Masa pandemi juga membuat industri konsumer melakukan inovasi dengan melakukan penjualan melalui platform daring. Seperti jaringan Transmart yang meluncurkan layanan pesan antar Transmart Home Dailivery (THD) yang dapat diakses melalui laman maupun dengan cara pindai QR code yang terdapat pada seluruh sosial media Transmart Carrefour. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Vice President Corporate Communication PT Trans Retail Indonesia Satria Hamid mengatakan, pelanggan cukup memesan melalui laman, lalu tim Transmart Carrefour akan mengantarkan pesanan sampai rumah pelanggan. Pelanggan tetap bisa memenuhi kebutuhannya meski tetap di rumah. Industri perlengkapan, baik itu perlengkapan rumah tangga maupun komponen kendaraan bermotor, juga mulai menggenjot penjualan daring melalui platform digitalnya ataupun menggandeng marketplace. (Fahmi W Bahtiar/Ichsan Amin/Anton C)
Bagi pelaku usaha, perubahan perilaku konsumen pada masa pandemi ini menjadi pertanda perlunya terobosan baru jika tidak ingin kehilangan pasar. Kian cepatnya proses disrupsi, juga mendorong siapa saja untuk bisa memanfaatkannya agar bisnis terus berjalan di tengah segala keterbatasan.
Beberapa perubahan yang sangat kentara selama masa pandemi ini adalah kian maraknya penjualan secara daring. Hal ini diakui sejumlah pengelola e-commerce di Tanah Air. Pemicunya tak lain karena alasan keamanan dan kesehatan. Imbauan agar tetap menjaga jarak pun kini menjadi standar baku jika ingin tetap berinteraksi secara fisik. (Baca: Perizinan Satu Atap, Masa Depan Industri Perikanan di Era New Normal)
Di sektor pendidikan pun demikian. Masih diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah membuat unit-unit pendidikan yang sedang melaksanakan masa penerimaan siswa baru menggelar tes masuk secara daring.
Baca Juga:
“Dengan adanya Covid-19 ini, memang membuat disrupsi bakal berjalan lebih cepat. Namun, kecepatan itu akan bergantung pada konsumen juga,” ujar pakar marketing Yuswohady di Jakarta kemarin.
Artinya, kata dia, sejauh mana konsumen menganggap bahwa pada masa pandemi Covid-19 contact less memberikan banyak manfaat dalam berbagai sendi kehidupan.
Yuswo, panggilan akrab Yuswohady, menyebutkan bahwa sebelum adanya pandemi, para ahli meramalkan era disrupsi baru akan terjadi dalam 5–10 tahun ke depan. Namun, sejak adanya pandemi Covid-19, disrupsi bisa berjalan lebih cepat dua atau tiga tahun.
Saat ini memang banyak konsumen yang memanfaatkan teknologi ringkas tanpa keluar rumah melalui aplikasi digital yang tersedia. Apalagi, perangkat teknologi pendukungnya sudah ada jauh sebelum Covid-19 menjadi pandemi global. (Baca juga: Korban Meninggal Akibat Covid di Iran Tembus 12.000 Orang)
Menurut Yuswo, aktivitas working from home, telemedicine, atau pengantaran makanan via daring benar-benar terasa manfaatnya oleh masyarakat. “Dengan kata lain, tidak ada hambatan teknologi sebab sudah ada jauh sebelum Covid-19,” ungkapnya.
Untuk sektor layanan publik lainnya, kata Yuswo, ke depan diperkirakan akan banyak perusahaan yang menggunakan robot sebagai layanan contact less di masyarakat.
“Bahkan sektor pariwisata sekalipun, virtual tourism bakal lahir karena masyarakat ingin mencari wisata tanpa sentuhan langsung secara fisik,” ujarnya. Ketakutan masyarakat karena pandemi Covid-19 membuat masyarakat menghindari kontak fisik secara langsung
Di dalam negeri sendiri, era disrupsi telah melanda Tanah Air sejak ramainya platform e-commerce, pembayaran digital, Gojek, Grab, dan layanan lain yang memungkinkan terjadinya sentuhan secara fisik. Dia menambahkan, tidak ada jaminan ketika vaksin Covid-19 ditemukan, masyarakat akan kembali ke era lama.
“Sebab ketika sudah nyaman dan permanen, saya rasa perilaku kembali ke era lama juga sulit. Bahkan ketika vaksin ditemukan, tidak langsung bisa dirasakan manfaatnya, kecuali vaksin itu semudah kita mendapatkan obat sakit kepala di apotek,” jelasnya.
Serbadigital
Di sektor keuangan, perlahan tapi pasti disrupsi juga terjadi. Kendati di sektor ini sejak dua tahun terakhir sudah mulai melakukan perubahan-perubahan layanan untuk efisiensi, pada masa pandemi ini mereka membuat terobosan demi menggaet konsumen.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyatakan, selama pandemi Covid-19 perusahaan-perusahaan asuransi, terutama jiwa, tidak melakukan penjualan secara tatap muka. Mereka mengandalkan penjualan secara digital melalui web dan tenaga pemasaran melakukan komunikasi telepon. (Baca juga: Kapal China Simpan jenazah Seorang WNI di Dalam Freezer)
“Yang enggak ada lain, teknologi. Jadi dijual melalui video conference, video call, telepon. Tapi tetap itu enggak bisa cepat prosesnya karena masyarakatnya banyak tanya, butuh ini dan itu. Perlu waktu karena ketemuannya enggak langsung. Strategi lainnya, produk baru,” ujar Togar saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Togar menerangkan, AAJI belum bisa melihat efektivitas penjualan melalui digital karena strategi ini sesuatu yang baru diterapkan. Perkembangannya kemungkinan baru bisa diketahui pada kuartal III tahun ini. Dia menjelaskan, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap asuransi belum terlalu tinggi sehingga penjualan dengan teknologi membutuhkan usaha lebih.
“Jangan lupa masyarakat Indonesia sejauh ini masih ingin ditemui. Dikasih tahu atau dijelaskannya secara langsung. Mereka prefer-nya begitu. Namun, situasi PSBB dan ada Covid-19 tidak mungkin atau calon klien juga ogah ketemu,” tutur Togar.
Sekadar diketahui, berdasarkan data AAJI, premi asuransi jiwa kuartal/I mencapai Rp44,1 triliun atau turun 4,9% dari tahun sebelumnya. “Asuransi jiwa turun. Enggak mungkin enggak. Itu dialami oleh semua industri. Bukan hanya asuransi, semua industri mengalami itu dan berlaku secara global,” katanya.
Sementara di industri automotif, pada masa pandemi sejumlah merek mobil juga melakukan penjualan secara daring. Selain menggunakan platform digital yang dikembangkan sendiri, penjualan mobil juga dilakukan dengan menggandeng marketplace seperti Tokopedia, OLX, Blibli.
Menurut 4W Marketing Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra, sejak Maret 2020, Suzuki mengembangkan platform penjualan secara daring dan mampu memberikan kontribusi sebesar 15% dari penjualan pabrikan itu selama masa pandemi. (Baca juga: PT KAI Tambah Perjalanan Kereta Api Jarak Jauh dari dan ke Jakarta)
“Layanan itu kami kembangkan mulai Maret 2020 lalu, dan kontribusinya cukup menggembirakan,’’ tegasnya.
Tak hanya menjual mobil, suku cadang dan jasa servis pun kini dijual melalui platform daring. ’’Jadi, konsumen bisa melakukan order home service,” ujarnya.
Bukan hanya Suzuki, Toyota pun melakukan hal yang sama. Bahkan melalui salah satu dealernya,Tunas Toyota, pabrikan mobil ini menggandeng Tokopedia untuk menjual produknya. Sementara main dealer lainnya yakni Auto2000, mengembangkan platform penjualan daring berlabel Digiroom.
Konsumen bisa melakukan pembelian dari melakukan simulasi pembayaran dan cicilan, mengunggah dokumen yang dibutuhkan, kemudian menunggu konfirmasi dalam satu jam. Selanjutnya, mobil akan dikirimkan kepada konsumen. Platform digital tersebut tidak hanya mobil baru, tetapi juga mobil bekas.
"Untuk penjualan dengan marketplace dilakukan oleh dealer, karena kami tidak boleh menjual langsung," ujar General Manager Marketing Planning and New Business PT Toyota Astra Motor (TAM) Lina Agustina.
Masa pandemi juga membuat industri konsumer melakukan inovasi dengan melakukan penjualan melalui platform daring. Seperti jaringan Transmart yang meluncurkan layanan pesan antar Transmart Home Dailivery (THD) yang dapat diakses melalui laman maupun dengan cara pindai QR code yang terdapat pada seluruh sosial media Transmart Carrefour. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Vice President Corporate Communication PT Trans Retail Indonesia Satria Hamid mengatakan, pelanggan cukup memesan melalui laman, lalu tim Transmart Carrefour akan mengantarkan pesanan sampai rumah pelanggan. Pelanggan tetap bisa memenuhi kebutuhannya meski tetap di rumah. Industri perlengkapan, baik itu perlengkapan rumah tangga maupun komponen kendaraan bermotor, juga mulai menggenjot penjualan daring melalui platform digitalnya ataupun menggandeng marketplace. (Fahmi W Bahtiar/Ichsan Amin/Anton C)
π
Merdeka.com - Indonesia mendapat julukan macan di Asia Tenggara (ASEAN). Predikat macan terkenal sebagai julukan bagi negara-negara Asia Timur yang ekonominya tumbuh pesat, dan hal yang sama sedang terjadi di Indonesia terutama berkat ekonomi digital atau ekonomi mobile.
BERITA TERKAIT
Mengutip Forbes, Indonesia mendapat sorotan karena banyaknya penduduk usia muda, yakni 60 persen populasi berusia 40 tahun ke bawah. Selain itu, perkembangan mobile di Indonesia juga tinggi dengan 95 persen pengguna internet (142 juta orang) sudah memiliki smartphone.
Indonesia dipandang mirip dengan ekonomi Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan yang beberapa dekade lalu mendapat julukan macan ekonomi Asia berkat industrialiasi yang melesat, perdagangan, dan perkembangan finansial yang membawa ke pertumbuhan berkelanjutan bertaraf tinggi.
"Transformasi serupa sedang terjadi di Asia Tenggara, hanya saja kini perintis perubahan didorong ekonomi mobile. Hal ini amat terbukti jelas di Indonesia, negara dengan populasi keempat terbesar di dunia," tulis Forbes.
Berkat tingginya populasi pemuda dan banyaknya pengguna teknologi, maka Indonesia memiliki banyak pengguna mobile yang lihai dan masih muda.
Warga Indonesia disebut menghabiskan 206 menit sehari di media sosial, itu di atas rata-rata pengguna global, yakni 124 menit. Selain itu, 76 persen pengguna internet Indonesia belanja lewat smartphone mereka, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara tertinggi dalam hal mobile e-commerce alias belanja via gawai.
"Dalam beberapa tahun belakangan muncul lonjakan perekonomian internet Indonesia. Selain e-commerce, ada online gaming, periklanan, langganan musik dan video, serta online travel dan layanan ride-hailing atau pengantar makanan yang semuanya diadopsi dengan senang hati oleh konsumen muda Indonesia," jelas Forbes.
Laporan oleh Google dan Temasek menyebut ekonomi internet di Indonesia bisa tumbuh hingga USD 100 miliar pada tahun 2025.
Tak ayal Indonesia disebut digital archipelago karena memiliki 150 juta pengguna internet dan memiliki ekonomi internet hingga USD 27 miliar pada tahun 2018.
Investasi ventura (venture investment) dinilai sebagai sumber meroketnya ekonomi mobile Indonesia. Berinvestasi di Indonesia saat ini pun serupa seperti berinvestasi di China pada tahun 2008.
Para unicorn-pun muncul di bermacam sektor berbeda, seperti e-commerce, online travel, dan transportasi online.
Forbes menyebut Indonesia memiliki peluang besar dalam hal pembayaran dan e-money. Google dan Temasek memprediksi e-commerce Indonesia akan mencapai USD 53 miliar di tahun 2025.
Akan tetapi, masih banyak orang Indonesia yang masih belum punya kartu kredit, yakni hanya 2,4 persen populasi. Sementara, layanan keuangan mobile dinilai lebih gampang dijangkau masyarakat mengingat banyaknya pengguna smarpthone, alhasil layanan keuangan digital menjadi peluang besar di Indonesia.
"Dengan makin banyak dari 180 juta orang Indonesia yang belum mendapat layanan bank (kartu kredit -red) telah memakai smartphone, maka perlombaan saat ini adalah menyediakan uang mobile dan layanan finansial," tulis Forbes.
Tantangan signifikan dan hambatan lain yang dihadapi Indonesia adalah infrastruktur yang perlu ditingkatkan. Sebab, hal itu berdampak ke leletnya koneksi internet.
"Meski mobile data relatif murah, bandwith-nya sangat buruk: rata-rata kecepatan download di mobile adalah sekitar 10 mbps, lebih rendah dari setengah rata-rata global," jelas Forbes.
Meski demikian, Indonesia tetap dinilai sebagai tempat yang menarik dalam segi ekonomi mobile. Beberapa ide yang potensial adalah aplikasi video untuk pemasaran atau mengembangkan influencer Youtube demi memasarkan suatu brand atau aplikasi.
Hal penting lainnya adalah fokus kepada kebutuhan para wanita. Pasalnya, mereka memiliki minat tinggi dalam melakukan pembelian sehingga menjadi target menarik bagi e-money.
Reporter: Tommy Kurnia
Sumber: Liputan6.com [idr]
π
bisnis.com: Pada kurun satu tahun terakhir di berbagai forum, Ignasius Jonan selalu menyampaikan hal ini; perubahan tahta 10 perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia. Menteri energi dan sumber daya mineral tersebut membandingkan data 2008 dan 2018, bersumber dari Bloomberg dan Google.
Pada 2008, lima dari sepuluh perusahaan dengan valuasi terbesar didominasi oleh sektor perminyakan seperti seperti Petrochina, Exxon, Gazzprom, Royal Dutch Shell dan Sinopec. Pada 2018, semua nama itu terlempar dari daftar, diganti dengan nama baru sektor teknologi seperti Apple, Google, Microsoft, Amazon dan Facebook.
Facebook—dengan valuasi US$545 miliar—bahkan baru berumur 10 tahun saat masuk dalam daftar korporasi terbesar dunia. Google hanya perlu waktu 20 tahun untuk menjadi perusahaan terbesar kedua dengan valuasi US$768 miliar, dan Apple perlu waktu 42 tahun menjadi nomor satu.
Bahkan, delapan dari 10 perusahaan terbesar saat ini bergerak dalam bidang teknologi termasuk Tencent dan Alibaba dari China. Pada 2008, ada dua perusahaan telekomunikasi masuk dalam daftar dan sekarang juga terlempar bersama korporasi bidang perminyakan.
Jonan menyebut, di era industri 4.0 tak perlu waktu lama bagi sebuah perusahaan untuk menjadi besar. Umumnya perusahaan ini dikelola anak-anak muda, dengan siklus perkembangan cepat dan sangat inovatif.
Dalam hal valuasi, perusahaan-perusahaan belia ini telah menjadi pembunuh raksasa. Mereka ini banyak dipimpin oleh anak-anak muda dengan sebutan milenial. Pada 10 tahun lalu, kaya sering diidentikkan dengan raja minyak, merujuk pada jenis usaha yang lagi booming dan diperlukan seluruh umat manusia.
Anak-anak muda inilah yang kini menentukan arah bisnis dunia. Mereka sampai puncak dalam usia belia, kebanyakan lahir dari usaha keras sendiri merintis usaha, atau memang dipersiapkan oleh para orang tua mereka melanjutkan bisnis yang sudah telanjur besar.
Yuswohady, senior saya semasa kuliah di UGM --kini menekuni dunia pemasaran dan brand-- bahkan menulis buku dengan judul sangat provokatif, Millennials Kill Everything yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (21/3). Dia menulis, dalam perspektif perubahan perilaku konsumen, perusak tatanan bisnis yang sudah berlangsung lama.
Milenial dalam analogi Yuswohady,adalah‘pembunuh berdarah dingin’ bagi banyak produk dan layanan. Ini karena perilaku dan preferensi mereka yang berubah sehingga produk dan layanan menjadi tidak relevan lagi, alias punah ditelan zaman.
Contoh nyata korban milenial adalah golf. Tren dunia menunjukkan bila 10 tahun terakhir viewership ajang-ajang turnamen golf bergensi turun drastis setelah mencapai puncaknya pada 2015. Tahun lalu bahkan turun drastis 75%, dan hanya 5% milenial yang menekuni olahraga mahal itu.
Korban berikutnya adalah department store. Anda pasti tahu apa sebabnya; perubahan perilaku dan preferensi melalui belanja online, dan kegiatan belanja tidak lagi menghebohkan, berganti dengan mengkonsumsi pengalaman.
Perilaku dan preferensi yang berubah ini saya kira yang menjadikan lansekap bisnis bergeser. Oleh karena itu hanya bisnis yang relevan bisa bertahan, dan bisnis-bisnis yang bisa memikat para milenial --sebagai kelompok umur masyarakat terbesar saat ini-- bisa melesat.
Ditambah dengan revolusi digital, senjakala industri seperti tidak pandang bulu. Perkembangan ini tak terelakkan dan bisa menebas kaki-kaki para petahana, menciptakan efisiensi, dan tentu saja membuat hidup lebih mudah.
Di Indonesia, siapa menyangka, valuasi perusahaan aplikasi PT Go Jek Indonesia yang berumur kurang dari 10 tahun valuasinya kini sudah melampaui PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) hingga 10 kalinya. Padahal, Garuda –dan juga juga banyak perusahaan lain—telah memulai usaha sejak awal republik ini berdiri.
Inikah yang disebut revolusi? Disrupsi digital musuh utamanya adalah inefisiensi. Agar tidak tergerus revolusi, transformasi agar bisnis tetap relevan dan tentu saja makin efisien adalah satu-satunya pilihan.
Di industri perbankan, kita mendapati perilaku nasabah tidak seperti dahulu lagi. Segala macam transaksi bergeser secara digital. Di bank-bank besar, angkanya bervariasi, dari 90% hingga 97%. Jadi sebagian besar transaksi kini tak perlu datang ke bank, cukup dari rumah, atau bahkan melalui telepon genggam
Itulah mengapa para bankir memperkirakan, dalam 10 tahun mendatang, setengah pekerjaan di bank hilang. Namun yakinlah banyak pekerjaan baru tercipta, dan para milenial ini, lagi-lagi menuntut fleksibilitas bekerja, tidak melulu ke kantor asal kinerja yang dikehendaki tercapai.
***
Karena pekerjaan, saya termasuk beruntung menjadi saksi banyak perubahan bisnis terkini dari tangan pertama. Dalam 1 bulan terakhir saya bertemu para pemimpin bisnis milenial, seperti John Riady, Nadiem Makarim, dan William Tanuwijaya.
Berbicara dengan John, saya serasa menyaksikan reinkarnasi hasil perpaduan sang kakek dan ayah, Mochtar dan James Riady; visioner, penuh semangat dan inspiratif. John (33 tahun) sejak pekan lalu, telah didapuk menjadi pemimpin usaha konglomerasi Lippo yang kini beroperasi di tujuh negara.
Lippo, yang oleh John diklaim telah melayani 60 juta konsumen dengan 10.000 transaksi per menit, bahkan perlu melakukan transformasi bisnis agar tetap relevan. Menurut doktor hukum dari Universitas Colombia Amerikat Serikat ini, Lippo kini akan fokus pada usaha yang menjadi kompetensi utamanya yakni properti dan kesehatan.
“Sudah saatnya kami berubah, dari semula usaha yang selalu berorientasi dengan pertumbuhan, ke arah usaha yang berorientasi pada operational excellent. Misalnya untuk Rumah Sakit Siloam yang dulu hanya 4 unit menjadi 35 unit, kami membutuhkan operational excellent,” tuturnya.
Jadi sederhananya begini, dalam 3 tahun mendatang, Lippo akan berubah dan hanya menjadi dua induk usaha saja PT Lippo Kawaraci Tbk yang menampung dua lini usaha properti dan kesehatan, serta PT Multipolar Tbk yang akan bertransformasi jadi perusahaan investasi.
John juga berjanji akan memperbaiki tata kelola Lippo dari kesalahan di masa lalu, termasuk persepsi buruk yang menimpa kelompok usaha ini. “Kalau bicara salah dan benar mungkin tidak ada habisnya, tetapi menjadi lebih baik dan bermanfaat itu keharusan.”
Dari Lippo yang kini dipimpin oleh generasi ketiga Keluarga Riady, saya beralih pada Nadiem Makarim, sosok milenial yang tinggal selangkah lagi membawa PT Go Jek Indonesia menjadi perusahaan decacorn, bisnis rintisan yang bervaluasi di atas US$10 miliar. Konon, Go Jek bernilai US$9 miliar.
Nadiem, di saat usaha rintisannya memasuki 9 tahun, telah membawa Go Jek melambung mendekati PT Bank Negara Indonesia Tbk (US$11 miliar) yang berdiri hanya setahun setelah Indonesia merdeka. Namun, dia juga berhadapan dengan bisnis yang tidak mudah karena pesaing tidak kalah garang.
Karena persaingan dengan Grab, Go Jek tak kunjung menjual jasa layanan transportasi online pada titik keekonomian alias terus terusan mensubsudi tarif. Dia harus mencari cara, bagaimana sumber pendapatan diperoleh dari produk derivatif Go Jek seperti Go Food.
Sementara William Tanuwijaya harus berpikir keras untuk mulai membangun sistem rantai pasok paling efisien agar visinya bisa menjangkau konsumen secara berkelanjutan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Namun, baik Nadiem maupun William telah memenangkan satu medan pertempuran utama setelah sejumlah pesaing berguguran. Menyitir James Riady, dalam 500 usaha rintisan yang lahir, hanya aka ada satu dua pemenang, itulah mengapa Lippo sejak tahun lalu telah menyerah dalam perang usaha dagang elektronik dengan menarik Mataharimall.com dalam medan kompetisi.
Maka, kita serahkan saja kendali bisnis pada anak-anak muda ini yang memang secara alami mengetahui kebutuhan kaum segenerasinya. Mungkin perusahaan-perusahan yang sudah mapan bisa segera mempertimbangkannya.
Para milenial ini telah mulai membuktikan bahwa mereka bisa menjadi penguasa bisnis, sekalipun pesaing yang berbahaya. Seperti kata Soekarno, beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan guncangkan dunia.
π
Liputan6.com, Jakarta - Riset yang dilakukan oleh CSIS dan Tenggara Strategics mengestimasi bahwa Grab memberikan kontribusi Rp 48,9 triliun ke perekonomian Indonesia pada 2018. Kontribusi ini diberikan melalui empat lini usaha yaitu yakni GrabBike, GrabCar, GrabFood dan Kudo.
Survei yang dilakukan di lima kota di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar ini dilakukan kepada 3.418 responden yang dilakukan dari November hingga Desember 2018 terhadap pendapatan mereka yang diperoleh melalui platform Grab.
GrabFood adalah penyumbang terbesar, diikuti oleh GrabBike dan GrabCar. Sementara itu, Kudo telah memberikan dampak signifikan di kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia.
BACA JUGA
ketua tim peneliti, Yose Rizal Damuri, yang juga Kepala Departemen Ekonomi CSIS mengatakan, pendapatan yang ada di dalam sektor informal di Indonesia sangat rendah, dan bahkan lebih rendah daripada UMP. Salah satu penyebabnya adalah karena rendahnya permintaan terhadap produk dan jasa sektor informal.
"Penggunaan dan pemanfaatan teknologi, dalam hal ini Grab, dapat membantu mempertemukan dan menghasilkan permintaan terhadap produk dan jasa pekerja informal tersebut, sehingga pendapatan yang didapatkan bisa meningkat,” kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (11/4/2019).
Dalam riset tersebut, CSIS dan Tenggara Strategics memperkirakan bahwa GrabFood memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp 20,8 triliun dari Rp 48,9 triliun. Demikian juga, GrabBike dan GrabCar berkontribusi masing-masing Rp 15,7 triliun dan Rp 9,7 triliun.
Kudo melalui jaringan agennya menciptakan kontribusi ekonomi sebesar Rp 2,7 triliun.
Meningkatkan Produktivitas
Berdasarkan survei, rata-rata pendapatan mitra pengemudi GrabBike dan GrabCar di 5 kota meningkat sebesar 113 persen dan 114 persen, menjadi Rp 4 juta dan Rp 7 juta per bulan, setelah bermitra dengan Grab.
Untuk GrabBike, 50 persenn mitra pengemudi memiliki pendapatan pada kisaran Rp 3 – Rp 5 juta setelah bermitra. Sebelumnya, hanya 22 persen dari mitra pengemudi yang memiliki pendapatan pada kisaran ini.
Lebih lanjut, terdapat 18 perse mitra pengemudi yang berada pada kelompok pendapatan Rp 5 – Rp 7 juta setelah bermitra dengan GrabBike.
Berdasarkan temuan ini, CSIS-Tenggara Strategics menyimpulkan bahwa mayoritas mitra GrabBike memiliki tingkat pendapatan 135 persen di atas rata-rata pengusaha informal dan 208% di atas pekerja bebas, seperti dicatat oleh BPS.
Sebelumnya, Grab menargetkan dapat mengumpulkan USD 2 miliar (setara dengan Rp 28 triliun)lagi dari investor strategisnya untuk tahun ini. Hal tersebutdiutarakan oleh CEO Grab Anthony Tan.
Menariknya, pernyataan itu ia sebutkan beberapa minggu setelah mengumumkan pendanaan lebih dari USD 4,5 miliar.
BACA JUGA
"Kami berharap dapat meningkatkan USD 6,5 miliar dari total modal tahun ini," kata Anthony seperti dilaporkan Reuters via Merdeka, Senin (8/4/2019).
Dilanjutkannya, pendanaan tersebut akan menjadi campuran antara hutang dan ekuitas.
Dirinya juga menambahkan bahwa Grab sedang mencari cara untuk memperluas bisnisnya dengan cepat dalam layanan keuangan dan pengiriman makanan.
Selain itu, langkah Grab selanjutnya adalah akan melakukan akuisisi atau investasi setidaknya di enam perusahaan.
Putaran pendanaan Grab yang besar dimulai tak lama setelah membeli operasi Uber di Asia Tenggara pada Maret 2018 dan sebagai imbalannya, Uber mengakuisisi 27,5 persen saham di bisnis Grab.
π
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhirnya ada juga perusahaan digital asal Indonesia yang masuk kasta decacorn atau dekakorn di ranah global. Yakni Gojek.
Menurut laporan lembaga riset CB Insights dalam The Global Unicorn Club, valuasi Gojek sudah tembus US$ 10 miliar. Dan menduduki peringkat ke 19 secara global. Untuk perusahaan sejenis, valuasi Gojek kalah dari seterunya yaitu Grab yang sudah mencapai US$ 11 miliar. Sedangkan valuasi terbesar untuk perusahaan transportasi online dipegang Uber dengan valuasi yang sudah mencapai US$ 72 miliar.
BACA JUGA
Keberhasilan Gojek tersebut sejatinya tidak terlepas dari masifnya injeksi modal yang masuk ke perusahaan besutan Nadiem Makarim tersebut. Baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri. Sebut saja Google, Tencent Holdings, Temasek Holdings, Astra International, Meituan Dianping.
Pada 2018, Gojek sukses menghimpun dana hingga US$ 1,5 miliar dari sejumlah investor. Dan di awal tahun ini juga berhasil meraup dana US$ 1 miliar.
Dengan dana besar di tangan, Gojek pun sudah melakukan ragam ekspansi yang tergolong gencar sejak tahun lalu. Seperti ekspansi ke sejumlah negara di Asia Tenggara dan mengoptimalkan layanan pembayaran digital melalui fitur Go Pay.
Selain Gojek, di daftar tersebut masih ada dua perusahaan digital Indonesia yang masuk daftar, bukan sebagai dekakron tapi masih unikorn. Yakni Tokopedia dengan valuasi US$ 7 miliar dan berikutnya adalah Traveloka dengan valuasi sekitar US$ 2 miliar.
π
JAKARTA okezone- Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa saat ini sumber ilmu di Google lebih besar dari pada di universitas-universitas.
Hal ini disampaikan Arcandra pada acara kerja sama dengan beberapa Universitas di Indonesia terkait peningkatan kompetensi ESDM pada bidang ketenagalistrikan.
BERITA TERKAIT+
"Saat ini sumber ilmu di Google sangat besar dibandingkan pada universitas. Namun di Google ini bermacam-macam ilmu dari yang baik dan jelek. Sedangkan di universitas Insya Allah ilmu-ilmunya pasti baik semua," ujarnya di Gedung Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Dia menuturkan, perpustakaan dulu merupakan salah satu tempat mencari sumber ilmu. Seperti meminjam buku untuk menambah ilmu dan lain sebagainya.
"Tapi saat ini cukup di Google sudah ada semua sumber ilmu tersebut baik ilmu baik atau jelek," tutur dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihaknya ingin mendefinisikan ilmu seperti apa yang semua harapkan. "Ilmu seperti apa yang diharapkan, kan kita bicara pilar kompetensi, seperti, ilmu, skill dan pengalaman," kata dia.
(dni)
π
Jakarta detik- Era digital telah mengubah perilaku manusia. Hal itu pun berdampak ke sektor jasa keuangan. Sebelum teknologi berkembang pesat, masyarakat menggunakan jasa perbankan untuk melakukan berbagai kegiatan.
Namun kini setelah digitalisasi merebak, perbankan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh sistem pembayaran yang lebih praktis menggunakan dompet virtual, seperti GoPay dan OVO. Kondisi tersebut pun menjadi perhatian tersendiri oleh Bank Indonesia (BI).
"Payment system (sistem pembayaran) bahwa pak Perry (Gubernur BI) bersama DG (Dewan Gubernur) 2-3 bulan lalu, kita undang teman perbankan, ada perbankan dan non bank," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara pada diskusi dalam acara Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Gedung BI, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).
Mirza menilai perbankan kalah oleh melesatnya dompet virtual tersebut. BI tentunya tidak ingin perbankan semakin ketinggalan karena keberadaan GoPay Cs.
"Yang non bank melesat dan kita bicara GoPay dan e-commerce lain, OVO melesat. Sementara teman-teman perbankan kalah," ujarnya.
Perbankan, dalam hal ini harus meningkatkan kapasitasnya. Disamping itu, lanjut Mirza perbankan ingin ada regulasi yang memberikan kesempatan berusaha yang sama antara perbankan dan GoPay CS.
"Kemudian teman-teman perbankan bagaimana regulator bisa memfasilitasi. Kami di BI ingin bagaimana perbankan jangan ketinggalan. Bagaimana perbankan jangan ketinggalan dan we need banking but we not bank. Bagi bank sentral itu lebih mudah mengatur ekonomi kalau bank yang ada di depan," tambahnya.
π
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Astra International Tbk dan Gojek membentuk perusahaan patungan atau joint venture company (JV) untuk mendorong pengembangan bisnis ride hailing roda empat di Indonesia.
Astra juga menambah modal tahap pertama pendanaan seri F ke Gojek dengan investasi senilai 100 juta dolar AS. Dengan tambahan investasi tersebut, total investasi Astra di Gojek kini mencapai 250 juta dolar AS.
Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto dalam keterangan pers tertulisnya Senin (4/3/2019) menyebutkan, pembentukan perusahaan patungan dan partisipasi Astra dalam pendanaan seri F ini menunjukkan kepercayaan Astra International kepada Gojek sekaligus wujud nyata dari eksplorasi kerjasama untuk menciptakan sinergi dengan bisnis otomotif Astra.
"Kami berharap kerjasama ini dapat membantu masyarakat luas masuk ke sektor ekonomi formal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita Astra untuk sejahtera bersama bangsa,” kata Prijono.
Dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sebesar 49% pada periode tahun 2015-2018, sektor ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai 100 miliar dolar AS pada 2025 dari 27 miliar dolar AS pada tahun 2018.
Chief Executive Officer dan Founder Gojek Nadiem Makarim mengatakan, potensi ekonomi digital di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, harus dimaksimalkan oleh para pelaku bisnis dengan menggabungkan kekuatan di masing-masing industri.
"Gabungan kekuatan Astra di bidang otomotif dan Gojek di bidang teknologi melalui kerja sama ini diharapkan akan membuka lebih banyak peluang bagi masyarakat untuk memiliki sumber penghasilan, sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan,” ungkap Nadiem Makarim.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Astra dan Gojek Dirikan Perusahaan Patungan dan Tambah Investasi 100 Juta Dolar, http://www.tribunnews.com/bisnis/2019/03/04/astra-dan-gojek-dirikan-perusahaan-patungan-dan-tambah-investasi-100-juta-dolar.
Editor: Choirul Arifin
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Astra International Tbk (ASII) resmi mengumumkan pembentukan perusahaan patungan (joint venture) dan suntikan modal Go-Jek pada hari ini, Senin (4/3). ASII mengumumkan nilai investasi yang disuntikkan dalam tahap pertama pendanaan seri F Go-Jek sebesar US$ 100 juta. Dengan tambahan investasi tersebut, total investasi Astra pada Go-Jek saat ini mencapai US$ 250 juta.
Presiden Direktur ASII, Prijono Sugiarto mengatakan, pembentukan perusahaan patungan dan partisipasi Astra dalam pendanaan seri F menunjukkan kepercayaan kepada Go-Jek sekaligus wujud nyata eksplorasi kerja sama untuk menciptakan sinergi dengan bisnis otomotif Astra. "Kami berharap kerjas ama ini dapat membantu masyarakat luas masuk ke sektor ekonomi formal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita Astra untuk sejahtera bersama bangsa," kata Prijono dalam siaran pers, Senin (4/3).
Perusahaan patungan ini, nantinya akan menyediakan ribuan unit armada dengan sistem pengelolaan operasional kendaraan yang didukung oleh Astra FMS (Fleet Management System) dan teknologi ride hailing pada aplikasi Go-Jek, khususnya untuk layanan Go-Car.
Asal tahu, saat ini Indonesia tercatat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi digital paling pesat di Asia Tenggara. Dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sebesar 49% pada periode tahun 2015-2018, sektor ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai US$ 100 miliar pada tahun 2025 dari US$ 27 miliar pada tahun 2018.
Sehingga kemitraan strategis yang terjalin antara Astra dan Go-Jek diharapkan dapat memaksimalkan potensi Indonesia untuk terus menjadi pelopor ekonomi digital yang terdepan di kawasan Asia Tenggara.
Presiden Direktur ASII, Prijono Sugiarto mengatakan, pembentukan perusahaan patungan dan partisipasi Astra dalam pendanaan seri F menunjukkan kepercayaan kepada Go-Jek sekaligus wujud nyata eksplorasi kerja sama untuk menciptakan sinergi dengan bisnis otomotif Astra. "Kami berharap kerjas ama ini dapat membantu masyarakat luas masuk ke sektor ekonomi formal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita Astra untuk sejahtera bersama bangsa," kata Prijono dalam siaran pers, Senin (4/3).
Perusahaan patungan ini, nantinya akan menyediakan ribuan unit armada dengan sistem pengelolaan operasional kendaraan yang didukung oleh Astra FMS (Fleet Management System) dan teknologi ride hailing pada aplikasi Go-Jek, khususnya untuk layanan Go-Car.
Asal tahu, saat ini Indonesia tercatat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi digital paling pesat di Asia Tenggara. Dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sebesar 49% pada periode tahun 2015-2018, sektor ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai US$ 100 miliar pada tahun 2025 dari US$ 27 miliar pada tahun 2018.
Sehingga kemitraan strategis yang terjalin antara Astra dan Go-Jek diharapkan dapat memaksimalkan potensi Indonesia untuk terus menjadi pelopor ekonomi digital yang terdepan di kawasan Asia Tenggara.
Chief Executive Officer dan Founder Go-Jek Nadiem Makarim mengatakan, potensi perekonomian digital di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, harus dimaksimalkan oleh para pelaku bisnis dengan menggabungkan kekuatan di masing-masing industri. "Gabungan kekuatan Astra di bidang otomotif dan Go-Jek di bidang teknologi melalui kerja sama ini diharapkan akan membuka lebih banyak peluang bagi masyarakat untuk memiliki sumber penghasilan, sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan,” kata Nadiem.
π
JAKARTA - Indonesia menjadi salah satu negara dengan optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0 di tingkat ASEAN. Hal ini tercermin dari peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 April tahun lalu dan penerapan digitalisasi industri oleh sejumlah perusahaan manufaktur di dalam negeri.
"Dengan industri 4.0, Indonesia akan keluar sebagai salah satu bangsa juara pada tahun 2030. Bahkan, menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), di saat itu kita bisa menjadi negara nomor tujuh dengan perekonomian terkuat di dunia. Maka yang harus kita dorong adalah optimisme," ujar Menperin di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Menperin juga menyebutkan, berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78%. Di atas Indonesia terdapat Vietnam dengan persentase sebesar 79%, sedangkan peringkat di bawah Indonesia ada Thailand dengan persentase sekitar 72%, Singapura 53%, Filipina 52% dan Malaysia 38%.
Baca Juga:
"Survei ini dilakukan kepada supplier teknologi dan manufaktur di ASEAN. Dari jawaban mereka, sebanyak 93% mengatakan bahwa industri 4.0 adalah peluang, kemudian tingkat kesadaran untuk menerapkan sebesar 81% dan pertumbuhan dalam optimisme 63%," paparnya.
Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia. Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak USD150 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai USD38 miliar, dihasilkan oleh sektor manufaktur.
"Industri manufaktur selama ini konsisten menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dilihat dari kontribusi besarnya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari 19%," ungkap Airlangga.
Untuk itu, guna mengoptimalkan kinerja industri manufaktur nasional, diperlukan upaya akselerasipenerapan teknologi digital. Adapun teknologi yang menjadi penentu keberhasilan pada adaptasi industri 4.0, antara lain internet of things, big data, cloud computing, artificial intelligence, mobility, virtual and augmented reality, sistem sensor dan otomasi, serta virtual branding.
Menperin menjelaskan, industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar pada sektor manufaktur melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal. Tidak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru yang berbasis digital.
Inisiatif industri 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam mendorong perubahan kebijakan sektor manufaktur, tetapi juga mampu mengubah berbagai aspek kehidupan peradaban manusia.
"Oleh karenanya, berbagai negara telah memasukkan industri 4.0 ke dalam agenda nasional mereka untuk dapat meningkatkan daya saingnya dalam kancah global," terangnya.
Making Indonesia 4.0 telah memilih lima sektor manufaktur yang akan menjadi pionir penerapan era digitalisasi, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, automotif, kimia, serta elektronika. Kelompok manufaktur ini dipilih karena berkontribusi tinggi terhadap ekonomi nasional, dengan sumbangsih hingga 60% pada PDB, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja.
Implementasi industri 4.0 diperkirakan membuka peluang kerja hingga 17 juta orang yang melek teknologi digital, dengan komposisi 4,5 juta orang dari sektor manufaktur dan 12,5 juta orang dari industri penunjangnya. "Guna memenuhi kompetensi SDM tersebut, memang kita harus melakukan retraining skill untuk pekerjaan baru," ujarnya.
(fjo)
π
Warta Ekonomi.co.id, Jakarta -
JAKARTA ID- Nokia mengumumkan hasil dari Nokia 5G Maturity Index, diproduksi bersama Analysys Mason, yang memberikan operator praktik terbaik untuk merencanakan dan menggelar layanan 5G.
Perkembangan teknologi dan perangkat lunak telah mengubah wajah bisnis di era digital ini. Ke depan akan semakin banyak perubahan yang terjadi secara dramatis. Pelaku bisnis dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi agar tidak terlindas oleh perubahan yang terjadi. Kini, kita hidup di era yang mewajibkan inovasi.
Tapi, tahukah Anda bahwa inovasi ternyata menciptakan sebuah paradoks? Bayangkan, sebuah korporasi besar yang sangat mapan memandang perubahan di sekitar mereka. Biasanya perusahaan mapan tersebut akan memiliki pola pikir seperti ini: mereka merasa tidak perlu berubah karena sistem mereka sudah teruji puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun.
Salah satu ikonik dari kasus paradoks inovasi adalah perusahaan yang didirikan tahun 1892: Kodak. Tim riset dan pengembangan (R&D) perusahaan ini membuat inovasi dengan menciptakan teknologi fotografi digital. Akan tetapi, mereka tidak total dan ragu-ragu mengimplementasikan teknologi tersebut. Hal itu karena mereka sudah ratusan tahun sukses dengan teknologi lama. Kodak juga khawatir teknologi baru tersebut akan mengganggu bisnis utama mereka.
Yang terjadi adalah, bukan hanya Kodak yang bisa membuat teknologi tersebut. Ketika era kamera digital datang perusahaan yang didirikan oleh George Eastman dan Henry Strong ini gagap melakukan perubahan. Alhasil, pada tahun 2012 perusahaan ini mengajukan pailit.
Jadi, bisa disebut bahwa paradoks inovasi adalah paradoks yang biasa dialami oleh perusahaan mapan ketika ingin melakukan inovasi bahwa mereka merasa penemuan baru tersebut akan mengganggu bisnis inti (core business) mereka. Paradoks inovasi juga bisa disebut bahwa inovasi akan mengganggu dan mendisrupsi bisnis lama.
Untuk lebih memahami dan memperjelas konsep paradoks inovasi, silakan simak poin-poin berikut ini
1. Perusahaan Mapan Terjebak Kesuksesan Masa Lalu
Perusahaan besar cenderung sulit melakukan inovasi atau kemampuan mereka untuk berinovasi sangat terbatas. Hal itu karena perusahaan besar yang sudah sukses sering terjebak dengan kesuksesan di masa lalu.
Pada tahun 2007 CEO Microsoft kala itu, Steve Ballmer, merasa tidak terkesan dan cenderung mencela Apple yang memperkenalkan iPhone di ajang MacWorld. Ia mengatakan: tak mungkin iPhone bisa laku di pasaran. Mustahil.
Yang terjadi kemudian adalah, pada tahun 2014 Steve Ballmer mengakui dirinya melakukan kesalahan besar karena tidak memasuki bisnis perangkat keras ponsel sesegera mungkin. Ia mengatakan:
"Ketika perusahaan Anda adalah Microsoft dan formula selama ini berhasil. Formula yang kami kerjakan sukses. Jadi bagi kami pada saat itu, rasanya seperti berpindah agama,"
Lantas, pada tahun 2015 Microsoft melaporkan kerugian bersih kuartalan yang sangat besar. Kerugian ini diakibatkan oleh perkiraan senilai US$7,5 miliar yang salah untuk pembelian unit ponsel Nokia. Kesalahan asumsi tersebut memperlihatkan kesulitan yang dihadapi oleh Microsoft dalam bisnis ponsel pintar.
2. Inovasi Akan Mendisrupsi Bisnis Inti
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, inovasi memiliki paradoks karena berpotensi untuk mendisrupsi bisnis inti. Dalam jangka pendek, perusahaan yang mengabaikan inovasi dan fokus kepada bisnis inti yang menghasilkan keuntungan besar memang bisa diterima. Akan tetapi, bisnis tersebut tidak berkelanjutan jika ditinjau dalam jangka panjang. Kisah Kodak adalah contoh paling tepat untuk mengilustrasikan kondisi ini.
Inovasi seharusnya menjadi bisnis-bisnis lain di luar bisnis inti. Perusahaan tidak boleh lagi berpikir dan bertindak seolah-olah mereka adalah monolitik tunggal dengan satu model bisnis. Perusahaan besar justru harus membangun sebuah ekosistem di dalam bisnis mereka.
Perusahaan era digital harus menyelaraskan antara bisnis inti yang menjadi andalan dengan bisnis lain yang memiliki potensi memberi keuntungan besar di masa depan.
Analogi untuk menggambarkan hal ini adalah kerajaan besar yang menyiapkan kapal-kapal dengan tim khusus untuk menjelajah benua guna mencari tambang emas. Memang, ada risiko beberapa kapal karam dan tidak berhasil menemukan tambang emas. Atau ada risiko pula kapal yang menemukan tambang emas enggan pulang dan bahkan mendirikan kerajaan sendiri di benua lain.
Akan tetapi, risiko itu lebih baik diambil daripada kerajaan besar berdiam diri dan hanya menunggu waktu: kerajaan besar lain menyerang dan meruntuhkan kerajaan mereka.
3. Mendisupsi atau Terdisrupsi?
Saat ini para pemimpin perusahaan dan pelaku bisnis hanya memiliki dua pilihan: mendisrupsi diri sendiri atau terdisrupsi oleh orang lain?
Pemimpin perusahaan tidak boleh lagi terjebak oleh kejayaan masa lalu. Mereka harus sadar bahwa perubahan-perubahan akan berdampak terhadap bisnis mereka. Melakukan penyangkalan atau pura-pura tidak melihat perubahan bukan pilihan tepat untuk diambil karena taruhannya sangat besar: kelangsungan hidup perusahaan yang mereka pimpin.
π
JAKARTA ID- Nokia mengumumkan hasil dari Nokia 5G Maturity Index, diproduksi bersama Analysys Mason, yang memberikan operator praktik terbaik untuk merencanakan dan menggelar layanan 5G.
Benchmark pertama tingkat maturitas operator 5G dalam industri mengungkapkan bahwa dua pertiga dari operator berharap 5G dapat menciptakan aliran pendapatan baru, sedangkan lebih dari 70% operator fokus pada 5G guna membantu meningkatkan layanan konsumen yang sudah ada. Penelitian ini juga menemukan bahwa para operator yang paling terdepan dalam transformasi 5G menempatkan fokus mereka pada enam hingga delapan use case.
Sanjay Goel, President, Global Services Nokia mengatakan, pihaknya sudah bekerjasama dengan semua operator di pasar 5G terkemuka di Amerika Utara, Korea, dan Jepang, serta memiliki satu-satunya portofolio end-to-end terkini yang tersedia secara global.
“5G Maturity Index menawarkan data penting yang dapat kami bagikan dengan pelanggan kami karena kami menjalin kerjasama dengan mereka guna mendukung mereka mencapai tujuan 5G,” kata Sanjay dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (28/2).
Temuan-temuan penting dari Nokia 5G Maturity Index Use case 5G yang paling populer yang diidentifikasi oleh operator meliputi: konektivitas seluler multi-gigabit, mobil yang terhubung dan mobil otonom, pengalaman internet taktil seperti augmented reality dan virtual reality, pemantauan layanan kesehatan kritis, aplikasi smart city seperti pencahayaan, dan layanan smart home
Sebagian besar operator merencanakan peluncuran komersial layanan 5G terbatas pada 2019-20. Para operator yang merencanakan peluncuran komersial 5G awal akan lebih berkembang dengan virtualisasi jaringan dan penggelaran berbasis cloud.
Para operator yang dinilai sebagai yang paling maju di 5G akan menyelaraskan teknologi dan pengembangan bisnis mereka, dan menghubungkan transformasi digital dengan 5G.
Jelas bahwa dari Nokia 5G Maturity Index yang pertama ini bahwa operator memiliki ambisi besar untuk 5G. Banyak juga yang memahami bahwa dampaknya akan jauh lebih signifikan jika digunakan bersama dengan transformasi platform, guna mendukung beragam aliran pendapatan baru, "kataCaroline Gabriel, Principal Analyst, Analysys Mason.
Namun, sebagian besar mengakui mereka tidak yakin dengan tindakan yang harus mereka ambil untuk mencapai tujuan mereka.
“Kami percaya Nokia 5G Maturity akan memberikan dukungan yang besar untuk mengambil keputusan penting ini, sehingga memungkinkan mereka untuk pertama kalinya, merencanakan kemajuan 5G mereka sendiri merujuk dari indeks yang dinilai secara objektif, dan belajar dari praktik terbaik orang lain,” katanya.
Portofolio 5G Future X
Untuk mendapatkan keuntungan dari janji teknologi jaringan generasi berikutnya ini, Nokia terus membangun portofolio 5G Future X-nya dan hari ini telah mengumumkan peningkatan untuk solusi Packet Core dan solusi jaringan akses radio.
Portofolio end-to-end dari Nokia membantu operator untuk memenuhi prioritas mereka dalam meningkatkan pengalaman pelanggan dan mengurangi Total Biaya Kepemilikan (TCO), sekaligus mendukung tujuan strategis dalam mengembangkan aliran pendapatan baru berbasis 5G.
Nokia cloud packet core (CPC) melengkapi produk Cloud Mobility Manager (CMM) dan Cloud Mobile Gateway (CMG) dengan fungsi jaringan mandiri 3GPP Release 15 5G Core yang baru dan juga meningkatkan kemampuan core non-standalone yang diumumkan sebelumnya.
Dengan adanya arsitektur cloud-native dan kemampuan tambahan ini, solusi CPC memberikan operator jalur upgrade yang mulus, dikombinasikan dengan fleksibilitas penggunaan untuk mendukung fungsi jaringan berkinerja tinggi baik secara virtual maupun fisik, untuk memberikan layanan melalui nirkabel multi-teknologi (2/3/4/5G, jaringan tidak berlisensi, berbagi jaringan) dan penggelaran fixed access.
Nokia AirScale all-in-cloud base station baru untuk 4G dan 5G memvirtualisasikan fungsi secara real-time di cloud. Hal ini memungkinkan pemrosesan secarareal-time di-host di edge jaringan, dekat dengan situs radio guna memenuhi permintaan latensi sangat rendah, dengan kapasitas yang dibutuhkan.
Arsitektur baru ini memungkinkan operator untuk meluncurkan dan memonetisasi aplikasi/layanan dengan latensi sangat rendah. Dengan fleksibilitas built-in AirScale Cloud RAN, para operator dapat menemukan fungsi tergantung dengan kebutuhan di area tertentu - tergantung pada kebutuhan aplikasi dan target latensi yang diinginkan.
Solusi future-proof site Nokia AirScale menyediakan berbagai fitur untuk peluncuran 5G yang lebih sederhana, lebih cepat dan lebih murah untuk smart citiesdengan menggunakan arsitektur Future X yang umum untuk penggelaran semua teknologi seluler dan pita spektrum.
Kemampuan seperti liquid-cooled 5G base station pertama di dunia, termasuk liquid-cooled 5G massive MIMO adaptive antenna, menghilangkan kebutuhan akan sistem pendingin yang mahal, mengurangi kebutuhan akan ruang, menurunkan konsumsi energi dan mengurangi emisi karbon hingga 80%.
Nokia adalah pemimpin global dalam 5G dengan satu-satunya portofolio end-to-end di industri yang tersedia secara global. Dengan keterlibatan hampir mencapai 100, layanan, software and solusi 5G kami memungkinkan pelanggan untuk mendapat keuntungan dari janji yang diberikan teknologi jaringan generasi selanjutnya. (is
π
JAKARTA okezone- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, jangan sekali-kali masyarakat tidak percaya dan anti terhadap perkembangan teknologi. Sebab jika anti terhadap teknologi digital, maka bukan tidak mungkin mereka akan tergerus.
Pasalnya hal tersebut sudah JK rasakan, yang mana ketika itu dirinya tidak percaya dengan teknologi.
BERITA TERKAIT+
Menurut JK, dirinya pernah membuka bisnis telekomunikasi dengan bekerjasama dengan PT Telkom (Persero) Tbk di daerah timur Indonesia. Di saat bersamaan pada tahun 1992, dirinya mendengarkan sebuah wejangan dari salah satu profesor di Australia.
Baca Selengkapnya: Cerita JK soal Bisnisnya Gagal karena Tak Percaya Teknologi
(fbn)
JAKARTA okezone- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, perkembangan teknologi itu sangat nyata adanya. Jangan sekali-kali masyarakat tidak percaya dan anti terhadap perkembangan teknologi.
Sebab jika anti terhadap teknologi digital, maka bukan tidak mungkin mereka akan tergerus. Pasalnya hal tersebut sudah JK rasakan, yang mana ketika itu dirinya tidak percaya dengan teknologi.
BERITA TERKAIT+
"Saya juga pernah mengalami masalah. Karena tidak terlalu percaya teknologi, jangan ulangi kesalahan saya," ujarnya di Jakarta, Rabu (25/2/2019).
Menurut JK, dirinya pernah membuka bisnis telekomunikasi dengan bekerjasama dengan PT Telkom (Persero) Tbk di daerah timur Indonesia. Di saat bersamaan pada tahun 1992, dirinya mendengarkan sebuah wejangan dari salah satu profesor di Australia.
"Saya pernah investasi telekomunikasi kita membangun bisnis telekomunikasi di Indonesia timur. Investasi cukup besar," kata JK.
Ketika itu, profesor tersebut mengatakan jika pada masa itu seluruh transaksi akan lewat saku Anda. Saat itu juga JK menganggap jika hal tersebut sangat mustahil dan tidak mempercayai hal tersebut.
"Ada profesor yang mengatakan, nanti semua transaksi terjadi di saku. Saya fikir ini profesor ngomong apa ini," ucapnya.
Karena tidak percaya lanjut JK, dirinya pun memilih untuk membiarkan bisnis tersebut. Padahal para pesaingnya waktu itu sudah mulai beralih pada bisnis telepon genggam tanpa kabel.
"Pada waktu itu sudah ada telepon wireless. Tapi ditenteng. Kayak gimana caranya di kantong. Tahun 2000 pada jual bisnisnya. Karena pada ragu-ragu karena telepon kabel udah enggak laku," katanya.
Setelah itu akhirnya lama kelamaan bisnis milikinya bangkrut. Sebab meskipun berada di daerah timur Indonesia, namun seluruh masyarakatnya sudah menggunakan telepon wireless tanpa kabel.
"Jadi tetap bertahan. Lama-lama betul enggak adalagi pakai telepon kabel. Maka macet lah semua bisnis itu," ucapnya.
(dni)
π
Sasar Penjualan Properti, OLX Beri Beragam Pilihan
[JAKARTA SP] Dalam satu bulan, ada sekitar 95.000 penjual menawarkan 340.000 iklan properti yang dipasarkan melalui platform OLX. Dengan supply dan demand yang tinggi, OLX meluncurkan kategori layanan baru.
“Dengan fokus ini, OLX berkomitmen untuk menyediakan beragam pilihan properti bagi calon pembeli, salah satunya dengan meluncurkan Properti Baru,” ujar Ignasius Ryan Hasim, Head of Real Estate OLX Indonesia di Jakarta, Rabu (27/2).
Properti Baru merupakan sebuah inisiatif dari OLX dalam bekerja sama dengan developer pilihan untuk menyediakan hunian yang lebih beragam.
Melalui kerja sama ini, calon pembeli tidak hanya disuguhkan dengan pilihan apartemen dan rumah second, tetapi juga properti baru yang masih dalam tahap pengembangan. Akhirnya, konsumen memiliki cukup pilihan sebelum memutuskan untuk membeli hunian.
Ignasius mengakui pembelian hunian merupakan satu keputusan terbesar di dalam hidup individu. Pertimbangan yang matang perlu dilakukan agar tidak menyesal di kemudian hari. Dengan pilihan yang beragam serta informasi yang memadai, setiap individu diharapkan dapat mengambil keputusan dengan lebih mudah.
Salah satu developer yang berpartisipasi di dalam kerja sama ini adalah Citraland, dengan proyek Citraland Cibubur.
“Kami melihat OLX sebagai platform jual/beli online terbesar, di Indonesia. Banyak orang yang mencari properti melalui OLX. Hal tersebut tentunya akan membantu kami selaku developer dalam memasarkan proyek-proyek kami,” ujar Marketing Manager Citraland Cibubur, Galih P.S. Putri.
Untuk mendekatkan diri dengan pengguna, OLX juga bekerja sama dengan 14 developer terpilih, seperti Alam Sutera, Sinarmas Land, Ciputra, dan lainnya dengan menghadirkan OLX Property Expo pada tanggal 25 Februari hingga 3 Maret 2019, di Skywalk Utara Lantai 2 Pondok Indah Mall.
Menurut Ignatius, OLX Property Expo adalah salah satu upaya yang dilakukan OLX untuk menghubungkan para developer dengan calon pembeli.
"Di OLX Property Expo banyak promosi menarik, seperti apartemen mulai dari Rp200 juta, rumah berlantai dua mulai dari Rp500 juta, dan promosi menarik lainnya dari proyek-proyek yang menarik di Jabodetabek,” tambahnya. [PR/U-5]
π
[JAKARTA SP] Chairman Tras n Co Indonesia, Tri Raharjo mengatakan, bisnis waralaba 10 tahun terakhir masih menarik calon investor karena banyak keuntungan yang diperoleh dalam menjalani bisnis ini. Salah satunya, tidak perlu mengelola bisnis dari nol, dan umumnya produknya sudah dikenal di masyarakat.
Menurut Tri Raharjo, waralaba yang menjadi tren atau incaran calon investor di tahun 2019 masih berkisar di kategori minimarket, resto kekinian, dan jasa pengiriman. Karena selain menjadi kebutuhan utama masyarakat, juga permintaannya lagi tinggi-tingginya.
Demikian dikatakan Tri Raharjo kepada wartawan dalam konferensi pers “Merek-merek Waralaba Paling Diminati Tahun 2019” di Jakarta, Rabu (27/2).
Tri Raharjo mengatakan, untuk kategori minimarket misalnya yang pengelolaannya pasif, karena semuanya sudah dikelola atau dijalankan oleh pemiliknya. Calon investor tidak perlu susah-susah belajar dari awal, bisnis sudah berjalan, dan tinggal pembagian keuntungan saja. “Ini yang disukai investor,” ujarnya.
Menurut Tri Raharjo ada lima hal yang harus diperhatikan calon investor dalam menentukan atau memilih jenis waralaba yakni; “proven” secara usia sudah lebih dari lima tahun. Kemudian produknya mudah dijual. Lalu bagaimana pelayanan dan mereknya, karena kalau pelayanannya bagus dan mereknya sudah dikenal akan lebih memudahkan dalam menjualnya. Selanjutnya lihat orangnya dan track record-nya, dan terakhir profit atau bagaimana keuntungan
Proses Panjang
Lebih lanjut Tri Raharjo menjelaskan, menjadi bisnis waralaba, lisensi atau kemitraan paling diminati calon investor, membutuhkan proses panjang dan bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Begitu pula melahirkan waralaba, lisensi atau mitra sukses di bisnisnya, adalah tantangan bagi seluruh Franchisor, Licensor atau pun principal.
Tentu saja merek-merek waralaba, lisensi atau kemitraan yang berhasil menjadi bisnis nomor satu pilihan investornya, serta merek-merek yang telah berhasil menciptakan mitra-mitra sukses, patut mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas pencapaiannya tersebut.
“Sebagai bentuk dukungan terhadap tumbuhkembangnya bisnis waralaba, lisensi dan kemitraan di Indonesia serta mengapresiasi para mitra terbaiknya, FranchiseGlobal.com bekerja sama dengan Tras N Co Indonesia menghadirkan No.1 Franchise Choice Award 2019 dan The Best Franchisee Award 2019," ujar Tri Rahardjo.
Dikemukakan, No.1 Franchise Choice Award 2019 merupakan penghargaan bergengsi yang diselenggarakan untuk pertama kalinya yang diberikan oleh FranchiseGlobal.com Indonesia bersama Tras N Co Indonesia kepada satu merek waralaba/lisensi/kemitraan terpilih terbanyak di kategori bisnisnya berdasarkan hasil survei Franchise Choice Index pilihan calon mitra/investor untuk berinvestasi di tahun 2019.
Sedangkan The Best Franchisee Award 2019, merupakan apresiasi dan penghargaan yang ketiga kali terselenggara, hasil kerja sama antara Franchiseglobal.com Indonesia bersama franchisor/licensor/principal yang diberikan kepada waralaba/lisensi/mitra terbaik yang telah berhasil menjalankan dan mengembangkan bisnisnya hingga sukses dan berkembang.
Menurut Tri Rahardjo, objektivitas penyelenggaraan dua event yang bersamaan ini dikarenakan bisnis waralaba, lisensi atau kemitraan, merupakan bisnis keterkaitan yang tidak bisa terpisahkan. Dalam konsep bisnis ini ada dua pihak yang saling bekerja sama untuk meraih sebuah keuntungan dengan kesepakatan tertentu, yaitu antara pemilik bisnis dan mitra. Di mana pemilik bisnis memberikan izin kepada mitra untuk menggunakan merek, sistem, memberikan dukungan, pelatihan, serta mengadakan pengawasan atas usaha dalam kerja sama jangka waktu tertentu.
Adapun untuk mengetahui merek-merek peraih No.1 Franchise Choice 2019, Tras N Co Indonesia dan Franchiseglobal.com melakukan survei Franchise Choice Index kepada lebih dari 500 merek waralaba, lisensi dan kemitraan di Indonesia berdasarkan 3 aspek penilaian yaitu Popularity Aspect, Interest Aspect dan Business Choice Aspect.
Survei dilakukan selama 3 bulan mulai dari September - November 2018. Peraih penghargaan No.1 Franchise Choice Award 2019 untuk kategori bisnis waralaba, lisensi dan kemitraan yakni: Apotek K-24 (Kategori Apotek), Carvil (Kategori Sandang), CFC (Kategori Resto Fried Chicken), Depo Air Minum Biru (Kategori Air Minum Isi Ulang), Oto Bento (Kategori Resto Bento).
Selanjutnya Warung Tekko (Kategori Resto Iga), Sabana Fried Chicken (Kategori Fried Chicken Booth & Container), Shop&Drive (Kategori Bengkel & Aksesoris Mobil), Snapy (Kategori Digital Printing), Ixobox (Kategori Barbershop). Kemudian Green Nitrogen (Kategori Nitrogen), Coffee Stall Good Day (Kategori Coffee Booth/Corner).
Sedangkan peraih The Best Franchisee 2019 yakni;
1. CFC dengan mitra; Reynaldo Halim Putra.
2. Snapy dengan mitra; CL. Setyowati Handayani
3. KiddyCuts dengan mitra; Brigitte Francesca Nadjamuddin.
4. Nibras dengan mitra; Ayun Barozah, Samsul Huda, Nur Yanthi.
5. Eye Level dengan mitra; Micky.
6. Waffelicious dengan mitra; Agustina Prayogo.
7. Rocket Chicken dengan mitra; Wahyu Bagus Iriawan.
8. Oto Bento dengan mitra; Putiri Bhuana Katili.
9. Warung Tekko dengan mitra; Niko Wijasin.
10. Ixobox dengan mitra; Ugahary Yovvy Chandra.
11. Bambu Spa dengan mitra; Jully Lau
12. House of Mustika Ratu dengan mitra; Budi Salim, ST
13. Bang Aji Arabian Kebab dengan mitra; Bondan Fahrizal
14. Black Kebab dengan mitra; Djohan Ichwan
15. RFC dengan mitra; Roni Ramdani
16. PT. Santos Jaya Abadi dengan mitra; Outlet Coffee Corner MNC Land
“Akhirnya, kami berharap, penghargaan ini dapat memacu kinerja seluruh stakeholder waralaba, lisensi dan kemitraan. Sehingga, ke depannya bisnis waralaba, lisensi dan kemitraan akan semakin kompetitif dan berkembang,” ujar Tri Raharjo. [RS]
π
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia sedang dalam geliat yang tinggi. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menegaskan, tren positif ini wajib untuk dijaga.
Untuk itu, Tom Lembong menegaskan iklim investasi ekonomi digital harus ramah dan kondusif. Tujuannya agar arus modal investasi terus mengalir dan berbalik ke negara lain.
BACA JUGA
"Mungkin ancaman utama yaitu kalau arus modal ini dialihkan ke negara tetangga, makanya kita harus komprehensif dengan regulasi yang kondusif, sentuhan yang baik, pendekatan yang bersahabat. Kalau tidak negara tetangga siap mengambil alih apa yang sudah kita miliki," terang Tom Lembong di acara Forum Merdeka Barat di Gedung Kominfo pada Selasa (26/2).
Arus modal ke ekonomi digital dan E-Commerce dijelaskan Thomas menjadi komponen investasi internasional yang tidak turun. "Tahun lalu tahun pertama dalam periode Jokowi-JK investasi internasional itu turun tapi satu-satunya komponen dari investasi internasional yang tidak turun adalah arus modal ke ekonomi digital dan e-commerce," jelas Thomas.
Tren tersebut dilihat Thomas masih kuat dan sehat sejauh ini. "Tidak ada indikasi investor mulai kapok, gelisah atau kehilangan antusiasnya terhadap ekonomi digital yang saya lihat masih kencang masih meningkat lagi dari e-commerce dan ekonomi digital," tambah Thomas.
Thomas mengestimasikan dari Foreign Direct Investment (FDI) US$ 9 miliar- US$ 12 miliar per tahun, sekitar 15 -20% masuk ke sektor e-commerce ekonomi digital. "Ya kira-kira bisa sama tahun ini," kata Thomas.
Reporter: Ratih Waseso
π
Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah upaya mewujudkan kemandirian sistem pembayaran di dalam negeri melalui sinergi bank-bank BUMN dengan layanan LinkAja, dua raksasa platform pembayaran asal China yakni Alipay dan WeChat Pay bersiap-siap masuk ke Indonesia.
Di mana ada gula, di situ ada semut. Tak terkecuali dalam sistem pembayaran di Indonesia. Jumlah penduduk dan transaksi digital yang terus bertumbuh, membuat pasar tersebut sangat menarik bagi asing.
Baca juga: BI Diminta Awasi Fintech Asing
Sejalan dengan derasnya arus wisatawan asing yang berasal dari China ke Indonesia, perusahaan teknologi finansial (tekfin) asal negeri Panda itu pun ikut merangsek masuk dengan menyasar destinasi wisata populer, yakni Bali.
Kala itu, Bank Indonesia membeberkan bahwa maraknya transaksi oleh turis asing di Bali, tetapi tidak sepersen pun duitnya masuk ke Indonesia. Usut punya usut, mereka bertransaksi melalui perusahaan tekfin, Alipay dan WeChat Pay.
Setelah diketahui penyebabnya, bank sentral pun mulai menegakkan aturan. Namun, niat perusahaan tekfin itu tak surut. Alipay dan WeChat Pay menggandeng sejumlah bank besar.
Hal itu demi memenuhi Peraturan Bank Indonesia 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bahwa tekfin yang hendak ekspansi ke Indonesia harus menggandeng bank umum kelompok usaha (BUKU) IV.
Baca juga: BI : WeChat Pay Belum Ajukan Izin
Selain itu, BI mengatur bahwa transaksi harus diproses dalam mata uang rupiah sesuai dengan PBI Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak 2018 lalu, santer disebutkan bahwa Alipay dan WeChat Pay akan bekerja sama dengan beberapa bank besar seperti PT Bank Central Asia Tbk., PT Bank CIMB Niaga Tbk., PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Sadar akan potensi ancaman dari perusahaan teknologi finansial asing yang akan masuk ke pasar Indonesia, perusahaan pelat merah justru bersinergi membentuk sistem pembayaran berbasis quick response code (QR Code) LinkAja.
Perusahaan yang terlibat yakni empat bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, bersama Pertamina dan Telkomsel serta mendapat dukungan penuh dari regulator dan Kementerian BUMN.
Prosesnya dikebut sejak awal 2019. Izin operasional ke BI diajukan lewat PT Fintek Karya Nusantara (Finarya), merupakan cucu usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan itu baru didirikan di bawah PT Telekomunikasi Selular pada 21 Januari 2019. Sebulan kemudian, tepatnya pada 21 Februari 2019, Finarya mentransformasikan layanan T-Cash milik Telkomsel menjadi LinkAja.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng menyatakan izin operasional LinkAja hampir rampung. “Permohonan izin Finarya terkait LinkAja untuk uang elektronik sudah masuk. Progresnya cukup bagus, permohonannya sudah diajukan ke BI,” katanya di Jakarta, Kamis (21/2).
Dia menyebutkan, bank sentral selaku regulator sistem pembayaran telah melakukan beberapa tahapan pengujian, mulai dari pemeriksaan kelengkapan dokumen, penelitian dokumen serta penelitian onsite atau tes infrastruktur.
Menurut Sugeng, proses perizinan LinkAja sudah masuk tahap akhir. Oleh sebab itu, LinkAja dapat beroperasi dalam sistem pembayaran uang elektronik dan layanan keuangan digital (LKD) mulai 1 Maret 2019, sesuai target semula.
“Dokumen sudah dilengkapi dan kami lihat sistem yang ada di sana. Dan tampaknya sudah tahap akhir semoga bisa direalisasikan segera,” tambahnya.
Selain untuk mewujudkan kemandirian sistem pembayaran dalam negeri, sinergi bank pelat merah itu diakui demi mengamankan potensi ‘kue’ dari transaksi pembayaran, seperti pendapatan nonbunga dari jasa settlement transaksi dan komisi merchant alias merchant discount rate (MDR).
“Kalau itu didiamkan saja dan regulator sulit mengendalikannya, sepertinya kerugiannya akan ada di pihak kita. Sebab merchant-nya adalah merchant kita tapi kalau pembayarannya dilakukan melalui sistem yang ada di China, kita akhirnya enggak dapat benefit apa-apa,” kata Achmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, belum lama ini.
TETAP BERLANJUT
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja menegaskan kerja sama dengan dua pemain tekfin asing, yakni WeChat Pay dan Alipay masih terus berlanjut, dan kini memasuki proses due diligence atau uji tuntas.
Setelah prosesnya selesi, seluruh tenant yang dimiliki BCA akan terhubung dengan sistem pembayaran WeChat Pay dan Alipay. Kelak, transaksi WeChat Pay dan Alipay akan menggunakan sistem kode QR yang sudah dimiliki BCA.
Dengan kata lain, ketika turis China bertransaksi di Indonesia nantinya dipastikan dana yang diberikan akan masuk terlebih dahulu ke BCA sebelum ke tenant.
“Kami menawarkan basis yang kuat dengan 18 juta nasabah yang kami miliki dan lebih dari 400.000 outlet di Indonesia. Jadi akan ada merger fee dengan mereka dan tentu menjadi sebuah win-win solution,” katanya, Sabtu (24/2).
Menurut Jahja, saat ini masih ada penyelesaian prosedur, agreement bilateral, dan aspek legal antara perseroan dengan WeChat Pay dan Alipay. Dia belum memastikan penyelesaiannya dengan alasan ketiga proses tersebut perlu waktu.
Adapun, BI menyebutkan pengajuan perizinan operasional WeChat dan Alipay masih belum akan tuntas dalam waktu dekat. Dari dua perusahaan tersebut, baru Alipay yang telah datang ke bank sentral dengan menggandeng bank CIMB Niaga.
“CIMB Niaga dan Alipay sudah ada pengajuan ke BI dan masih ada beberapa aspek bisnis lain yang perlu penyesuaian di antara mereka,” katanya di Jakarta, pekan lalu.
Sementara itu, WeChat Pay masih belum mengajukan permohonan izin secara resmi. “WeChat Pay saat ini masih tahap diskusi-diskusi, belum ada permohonan ke BI jadi waktu untuk mencari ‘jodoh’ masih agak lama, perlu waktu,” katanya.
Upaya untuk mewujudkan supremasi sistem pembayaran memang masih banyak tantangan. Bank sentral pernah mewujudkan Gerbang Pembayaran Nasional untuk kartu debit perbankan yang saat ini tengah berjalan.
Apakah ini dalam transaksi uang elektronik berbasis kode QR ini supremasi sistem pembayaran nasional mampu ditegakkan? Harapan nasabah sebenarnya bukan hanya soal kemandirian dalam bertransaksi, tetapi juga kemudahan dan beban biaya yang rendah dalam sistem tersebut.
π
ID: Sementara itu, jumlah pengguna OVO telah mencapai 115 juta hingga akhir 2018 sejak resmi beroperasi pada Agustus 2017. Basis pengguna tumbuh lebih dari 400% dengan tiga transaksi terbesar dari sektor transportasi, ritel, dan e-commerce. Jumlah transaski platform OVO juga mengalami pertumbuhan yang eksponensial, yaitu mencapai 1 miliar transaksi selama satu tahun terakhir.
Director OVO Harianto Gunawan mengatakan, 2018 menjadi tahun dengan perkembangan yang eksponensial bagi OVO. Berawal dari pilot project di wilayah Karawaci, Tangerang, Banten, hingga penghujung 2018, OVO kini telah hadir di 303 kota di wilayah Indonesia.
“Pencapaian ini menegaskan peran OVO sebagai solusi inklusi keuangan, tidak hanya di kota metropolitan, namun di mana saja di seluruh Indonesia. OVO telah menjangkau Sabang hingga Merauke dengan 77% pengguna OVO berada di luar Jabodetabek,” kata Harianto di Jakarta.
Menurut dia, pada Oktober dan November 2018, OVO telah mencatatkan pertumbuhan jumlah merchant lebih dari 70%. OVO juga tengah mengembangkan quick response (QR) code untuk mendukung pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berawal dari 9.000 UMKM yang bekerja sama dengan OVO di Agustus 2018, saat ini, pengguna OVO dapat melakukan pembayaran di sekitar 180 ribu merchants UMKM di berbagai wilayah di Indonesia dengan QR code.
Harianto melanjutkan, tidak hanya menjalin kerja sama dengan merchant, OVO juga telah menggandeng mitra ekosistem selama setahun terakhir. Beberapa di antaranya bermitra dengan Bank Mandiri, Grab, Kudo, Alfamart, Moko, serta Tokopedia.
“Misi kami adalah mewujudkan cashless society. Karena, tantangan utama bukan pada kompetitor, tetapi transaksi cash. Masih ada sekitar 90% masyarakat Indonesia menggunakan pembayaran cash. Oleh karena itu, menggandeng partner untuk mewujudkan ekosistem bersama-sama adalah strategi yang kami lakukan, sehingga bisa mewujudkan cashless semakin cepat ke depan,” ujarnya. (*)
π
JAKARTA, iNews.id - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, ekonomi digital menjadi sektor paling atraktif menarik investor asing. Porsi ekonomi digital mencapai 20 persen terhadap total investasi asing pada 2018.
Kepala BKPM, Thomas Lembong mengatakan, ekonomi digital, khususnya unicorn menjadi penggerak utama investasi asing dalam beberapa tahun terakhir di samping investasi di sektor tambang, khususnya smelter.
"Saya ingin terangkan bahwa arus modal masuk ke ekonomi digital itu adalah satu dari dua sektor yang menyelamatkan investasi internasional naik. Pertama, adalah e-commerce kedua adalah smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian logam," ujar pria yang akrab disapa Tom di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
BACA JUGA:
Tom mengatakan, investasi asing yang masuk ke ekonomi digital antara 2-2,5 miliar dolar AS. Angka tersebut setara Rp29-35 triliun per tahun. (kurs Rp14.000). Di tengah menurunnya realisasi investasi asing pada tahun lalu sebesar 9 persen, kehadiran investasi asing di sektor ini menahan penurunan lebih dalam.
Mantan Menteri Perdagangan itu menilai, persepsi investor asing terhadap ekonomi digital di Indonesia masih positif. Oleh karena itu, dia optimistis tren investasi asing di unicorn akan terus meningkat.
"Memang tahun lalu, tahun pertama dalam periode Jokowi-JK, investasi internasional turun. Tapi satu-satunya komponen dari investasi modal asing yang tidak turun adalah ke ekonomi digital dan ecommerce," tuturnya.
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi asing pada 2018 adalah sebesar Rp392,7 triliun. Angka itu merosot 8,8 persen dibandingkan dengan realisasi investasi tahun 2017 sebesar Rp430,5 triliun.
Editor : Rahmat Fiansyah
π
TEMPO.CO, Jakarta - Promosi gratis dari Jokowi dalam Debat Capres Putaran Kedua membawa berkah dan 'kerepotan' bagi TaniHub.
Dalam Debat Calon Presiden Putaran Kedua, Capres Nomor Urut 01 Jokowi sempat menyebut nama TaniHub saat merespons jawaban Capres Nomor Urut 02 Prabowo soal sektor pertanian Indonesia pada era Industri 4.0.
“Saya meyakini bahwa kita akan menyongsong revolusi Industri 4.0 dengan optimis. Coba kita lihat, sekarang ini produk produk petani sudah masuk ke marketplace, TaniHub coba dilihat, TaniHub sudah memasarkan produk-produk petani dari produsen langsung ke konsumen sehingga harganya bisa di-cut,” kata Jokowi, Minggu 17 Februari 2019.
Pernyataan Jokowi ternyata berdampak besar ke TaniHub. Co-Founder TaniHub Pamitra Wineka mengatakan bahwa jumlah unduhan harian aplikasi TaniHub naik hingga berkali-kali lipat dari biasanya.
Volume transaksi di dalam aplikasi pasar daring produk pertanian tersebut juga meningkat dengan drastis. ”Sejak semalam, transaksi naik signifikan tetapi sejauh ini sistem kami aman dan semua order sedang diproses. Kami berharap semuanya berjalan lancar supaya semakin banyak orang yang bisa menikmati hasil jerih payah petani Indonesia,” kata Wineka kepada Bisnis, Senin 18 Februari 2019.
Namun, trafik dan jumlah transaksi yang naik pesat terjadi pada pasar produk ritel di TaniHub. Lini bisnis utama TaniHub, yaitu perdagangan produk pertanian partai besar untuk pelanggan korporasi seperti restoran dan supermarket, cenderung stabil.
“Yang bulk enggak, yang business-to-consumer naik drastic. Kami lagi coba untuk keep-up with all the orders,” kata Wineka.
TaniHub adalah bagian dari TaniGroup yang didirikan Wineka bersma Ivan Arie. Selain TaniHub, TaniGroup memiliki bisnis TaniFund yaitu platform urun dana yang menyediakan sarana investasi bagi masyarakat umum dan pembiayaan bagi kelompok tani.
TaniGroup juga meluncurkan beberapa program yang menyasar usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bidang Food & Beverages (F&B) dan ritel fresh goods melalui program Restopreneur, Juicepreneur, dan Storepreneur.
Ketiga program ini, yang bernaung dibawah nama TaniPreneur, menawarkan beberapa keuntungan kepada para UMKM, mulai dari penyediaan bahan baku, keringanan modal usaha, hingga konsultasi usaha dengan pakar industri.
“Yang membuat TaniHub dan TaniFund istimewa adalah layanan end-to-end kami. Kami memiliki tim di lapangan untuk mengawasi jalannya seluruh proses, tim spesialis yang mendampingi para petani, serta platform e-commerce yang siap menyerap seluruh hasil panen mereka,” ujar Ivan Arie.
TaniGroup saat ini tengah membuka ronde pendanaan seri A untuk mendanai rencana perusahaan memperluas layanannya ke luar Jawa. Sebelumnya, TaniGroup telah mengumpulkan modal jutaan dolar Amerika Serikat dari Alpha JWC Ventures dan beberapa angel investor.
π
Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi akan terus berlanjut untuk mengubah bisnis perbankan di Indonesia ke depan.
Berdasarkan laporan survei terbaru terhadap pelanggan jasa keuangan menunjukkan penggunaan internet dan mobile banking semakin meningkat di Indonesia.
Hal itu mengindikasikan saluran digital perbankan akan meningkat tajam untuk memberikan layanan kepada pelanggan dan menghasilkan pertumbuhan di sektor jasa keuangan.
Hasil laporan tersebut yang dirilis McKinsey&Company, perusahaan konsultan bisnis yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS). Laporan tersebut disusun oleh Sonia Barquin, Guillaume de Gantes, Vinayak HV, dan Duhita Shrikhande.
BACA JUGA
McKinsey mensurvei 900 pelanggan jasa keuangan di seluruh Indonesia pada 2017. Survei tersebut dilakukan untuk kebiasaan menggunakan jasa bank. Responden itu juga bagian dari survei terhadap 17 ribu nasabah di 15 negara di Asia.
Dari laporan berjudul Digital Banking in Indonesia:Building loyalty and generating growth, menunjukkan ada tiga tren utama yang akan terus berlanjut mengubah bentuk untuk nasabah ritel perbankan di Indonesia.
Tiga hal itu antara lain diversifikasi hubungan perbankan, meningkatnya penerimaan konsumen terhadap teknologi digital peningkatan penggunaan saluran digital oleh pelanggan.
Analis McKinsey menyebutkan sejumlah faktor mendukung perpindahan ke teknologi digital perbankan di Indonesia. Selain peningkatan penggunaan internet dan smartphone, pertumbuhan e-commerce juga mendorong perbankan di Indonesia juga memenuhi permintaan untuk penggunaan digital.
Bank berusaha mendorong nasabah atau pelanggan dan menjelaskan mengenai perbankan online yang sering digunakan sehingga membuat nasabah mencoba saluran digital.
"Kami percaya tiga tren ini mulai dari diversifikasi hubungan perbakan, peningkatan penerimaan saluran digital, dan meningkatnya penggunaan digital oleh konsumen akan terus berlanjut untuk mengubah sektor ritel perbankan," tulis McKinsey dalam laporannya, seperti dikutip Selasa (12/2/2019).
Dari laporan McKinsey terkait diversifikasi hubungan perbankan menunjukkan, kalau Indonesia di antara negara Asia lainnya menunjukkan pertumbuhan untuk penetrasi produk. Dari rata-rata 2,2 pada 2014 menjadi 2,7 berdasarkan survei terakhir. Namun, penetrasi itu masih di bawah rata-rata negara maju di Asia sekitar 5,7 persen.
Pada saat yang sama, hubungan perbankan dengan nasabah meningkat. McKinsey melihat peningkatan itu seiring ekonomi Indonesia terus tumbuh dan nasabah yang matang terhadap keuangan.
Meningkatnya penetrasi produk ini akan merepresentasikan kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan secara signifikan, tapi juga menyeimbangkan tingkat suku bunga dan kompetisi dari financial technology atau fintech.
Perbankan di Indonesia akan membutuhkan aksi nyata untuk mengatasi penurunan loyalitas nasabah.
Selain itu, laporan tersebut menyebutkan potensi tingginya keterbukaan nasabah dan masyarakat terhadap penerapan digital perbankan. McKinsey melihat pelanggan di Indonesia sangat terbuka untuk perbankan digital.
Lebih dari tiga tahun ini, penggunaan saluran digital di Indonesia meningkat dua kali lipat dibandingkan negara berkembang di Asia lainnya.
Sekitar 55 persen nasabah nondigital menyatakan kalau ingin menggunakan saluran digital dalam enam bulan ke depan. Ini merupakan peringkat kedua tertinggi setelah Myanmar.
π
JAKARTA okezone - Usai tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 67 perusahaan finansial teknologi (fintech) memasuki tahapan kedua, yakni regulatory sandbox.
Tahapan ini dilakukan demi melakukan pengelompokan sesuai dengan bidang usahanya. Melalui pengelompokkan ini, fintech akan ditelaah apakah layak diberikan izin terkait model bisnisnya, tingkat kepatuhannya, dan lainnya.
BERITA TERKAIT+
“Namun ada aturan tambahan, sesuai POJK 02/2018 itu, fintech yang sudah masuk regulatory sandbox ini akan diberikan waktu enam bulan lagi jika dinilai belum layak, atau bakal ada pembinaan terlebih dahulu,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nuraida.
Baca Selengkapnya: 67 Perusahaan Fintech Uji Kelayakan untuk Dapat Izin OJK
(dni)
π
Singapore. Southeast Asia's internet economy is expected to exceed $240 billion by 2025, a joint study by Google and Temasek Holdings showed, a fifth more than previously estimated, as more consumers use their smartphones to go online.
The study, first published in 2016, encompasses ride-hailing, e-commerce, online travel and online media. The latest report released on Monday adds new sectors such as online food delivery, as well as subscription music and video on demand.
It estimated that the gross merchandise value (GMV) of the region's internet economy has reached $72 billion in 2018, rising 37 percent from the year earlier.
The GMV of e-commerce in the region will exceed $23 billion in 2018, the report said, and rise more than four times to exceed $100 billion by 2025, helped by increased consumer trust.
It credited e-commerce companies – Alibaba Group Holding's Lazada, Sea Group's Shopee and Indonesia's Tokopedia – for helping develop the sector.
The report estimated that the GMV of the competitive ride-hailing sector, with the addition of online food delivery, has reached $7.7 billion in 2018.
"Powered by the ambitions of Go-Jek and Grab to become Southeast Asia's 'everyday apps,' we project that ride-hailing will reach almost $30 billion by 2025," the Google-Temasek study said.
Google and Singapore state investor Temasek have both invested in Go-Jek. Temasek-backed Vertex Ventures is an early investor in Grab.
The Indonesian internet economy is forecast to grow to $100 billion by 2025, accounting for $4 of every $10 spent in the region, the report said.
It added that 2018 was on track to be a record year for fundraising for the region's internet economy companies, with $9.1 billion raised in the first half of the year, nearly as much as in all of 2017.
The research covers Southeast Asia's six largest economies – Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam.
The growth is being boosted by the world's most engaged internet users, of whom more than 90 percent connect to the web through their smartphones, it said.
The report said the increasing availability of affordable smartphones and the rollout of faster and more reliable mobile telecommunication services were supporting Southeast Asia's growing internet user base.
Reuters
It credited e-commerce companies – Alibaba Group Holding's Lazada, Sea Group's Shopee and Indonesia's Tokopedia – for helping develop the sector.
The report estimated that the GMV of the competitive ride-hailing sector, with the addition of online food delivery, has reached $7.7 billion in 2018.
"Powered by the ambitions of Go-Jek and Grab to become Southeast Asia's 'everyday apps,' we project that ride-hailing will reach almost $30 billion by 2025," the Google-Temasek study said.
Google and Singapore state investor Temasek have both invested in Go-Jek. Temasek-backed Vertex Ventures is an early investor in Grab.
The Indonesian internet economy is forecast to grow to $100 billion by 2025, accounting for $4 of every $10 spent in the region, the report said.
It added that 2018 was on track to be a record year for fundraising for the region's internet economy companies, with $9.1 billion raised in the first half of the year, nearly as much as in all of 2017.
The research covers Southeast Asia's six largest economies – Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam.
The growth is being boosted by the world's most engaged internet users, of whom more than 90 percent connect to the web through their smartphones, it said.
The report said the increasing availability of affordable smartphones and the rollout of faster and more reliable mobile telecommunication services were supporting Southeast Asia's growing internet user base.
Reuters
π
JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald menuturkan, disrupsi teknologi di berbagai sektor, akan mengubah pola dan gaya hidup masyarakat sehari-hari. Saat ini industri yang sudah mulai bergeser karena pesatnya perkembangan teknologi adalah industri keuangan. Hal ini ditandai dengan maraknya berbagai fintech yang bermunculan beberapa tahun terakhir. Rhenald menyebutkan, fintech ini kemungkinan besar akan menyusutkan tenaga kerja di industri keuangan. "Contohnya, bank-bank sudah mengurangi membuka kantor cabang. Nasabah juga sudah mulai jarang ke kantor cabang, nantinya teller sudah tidak diperlukan," ujar Rhenald pada acara INTEGRA 2018 di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Senin (19/11/2018). Industri keuangan lama-lama akan menyesuaikan dengan keadaan ini. Tentunya, dengan pergeseran lingkup pekerjaan yang terjadi karena perkembangan teknologi. "Perlahan akan menjadi kurang efisien (banyak karyawan di bank), laporan keuangannya pun akan mengalami perubahan. Dalam jangka pendek, fintech akan naik, sampai fintech mulai optimal, lapangan kerja di bank akan mulai berkurang," jelas Rhenald. Selain itu, gerakan mengurangi uang tunai atau cashless yang semakin digalakkan juga akan menambah kuat posisi digitaliasi industri. Bahkan, diproyeksikannya akan menggeser keberadaan anjungan tunai mandiri (ATM) ke depannya. "Sekarang belum sepenuhnya yang mengurangi pekerja, ekspansi juga tidak. Buka kantor cabang baru juga tidak, jadi nanti mesin ATM ke depan juga akan hilang," papar dia. Tak ayal, Rhenald menyebut bahwa tahun depan industri keuangan akan berdarah-darah karena sekarang sudah ada 200-an fintech baru. Sedangkan, aturan masih belum jelas "Mereka sudah mulai kumpulkan uang dari masyarakat," imbuh dia. Kemudian, untuk terus bertahan ditengah gempuran digital, bank-bank tersebut diperkirakan akan menggandeng fintech. "Bank mulai akan rangkul fintech. Mereka bisa dikerjakan dari rumah atau dari kedai kopi yang hanya menggunakan teknologi," ujar dia. Diandaikannya, ada 200 fintech dan masing-masing butuh 30 orang saja sudah menyerap 6.000 pekerja dengan tanpa banyak bank yang membuka kantor cabang. Oleh karena itu, Rhenald menegaskan agar ada upskilling dan retraining kepada tenaga kerja agar mereka bisa memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan era teknologi nan serba digital. "Pekerjaan-pekerjaan yang kita kenal pada abad ke-20, perlahan-lahan bisa digantikan oleh pekerjaan-pekerjaan baru berbasis teknologi,” tandas dia. Namun, walaupun terjadi distrupsi, masih akan ada pekerjaan dengan "cara lama" yang masih dibutuhkan, tapi dibarengi juga dengan meningkatkan kemampuan dan adaptasi terhadap teknologi tersebut.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rhenald Kasali: Disrupsi Teknologi Itu Pasti", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/19/202106526/rhenald-kasali-disrupsi-teknologi-itu-pasti.
Penulis : Putri Syifa Nurfadilah
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
πΈ
JAKARTA sindonews- Asosiasi E-Commerce menyatakan, pertumbuhan e-commerce Indonesia nomor satu di dunia. Indonesia mencatatkan pertumbuhan sebesar 78% di industri e-commerce.
Wakil Ketua Umum Bidang Penelitian dan Standarisasi Asosiasi E-Commerce Sofian Lusa mengatakan, industri e-commerce nasional dimulai saat Indonet memulai bisnisnya di tahun 1996. Kemudian muncul Kaskus pada 1998-1999. Selanjutnya, terus muncul pemain baru di industri ini.
"Ternyata pertumbuhan e-commerce di Indonesia seiring pertambahan penggunaan internet sudah 143 juta user. Begitu banyak sekali pemain e-commerce saat ini," ujarnya di Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Sofian mengatakan, pertumbuhan e-commerce ke depan bisa mencapai 150%. "Pertumbuhan ini dibanding Filipina, Meksiko, kita patut berbangga. Penyebab peringkat pertama adalah dominasi masih di Pulau Jawa dan produk paling banyak dibeli gadget, aksesoris, dan apparel," katanya.
Dari jumlah keseluruhan produk, lanjut Sofian, sebanyak 30% masih impor, sisanya lokal. Hal itu menurutnya memang menjadi tantangan tersendiri karena pertumbuhan yang tinggi itu didominasi produk asing.
"Produk asing ini menjadi tantangan, produknya memang murah dan berkualitas bagus. Ini menggerus produk lokal. Itu tidak bisa dihindari, tapi perlu diupayakan bagaimana agar UMKM lokal bisa menyaingi produk asing," tandasnya.
πΈ
Bisnis.com, PONTIANAK—Pemerintah mendorong berkembangnya unicorn baru dari startup lokal di Tanah Air menyusul empat startup unicorn yang sudah ada.
Karena itu, mulai banyak bermunculan startup yang berlomba – lomba untuk memperbesar kapasitas bisnisnya. Komisaris Telkomsel Yose Rizal membeberkan kiat-kiat memulai bisnis startup untuk dapat bersaing di pasar global.
Pertama, memecahkan masalah dan bukan malah menciptakan masalah. Bisnis startup hendaknya dibangun dengan latar belakang permasalahan yang terjadi di masyarakat.
”Bisa dari masalah sehari-hari. Tidak harus dari masalah kita, bisa pula dari masalah orang lain. Asal jangan cari masalah di jalan ya,” katanya, Selasa (31/10/2018).
Kedua, memvalidasi produk sebelum dilepas ke pasaran. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keberterimaan konsumen terhadap produk startup tersebut.
“Benar ga sih orang butuh produk ini. Banyak ga yang butuh produk ini,” paparnya.
Ketiga, terus memperbesar kapasitas pasar yang ingin dijangkau oleh produk startup. Yose mengatakan bisnis yang besar akan memecahkan masalah banyak orang, bukan hanya segelintir orang.
“Bikin produk minimal, kemudian tes di pasar. Sempurnanya sebuah produk menurut kalian belum tentu sempurna menurut orang lain. Gojek itu, sebelum sampai kesini, aplikasinya beda banget dengan yang sekarang dan sekarang terus diperbaiki,” ujarnya.
Selanjutnya, menentukan bagaimana proses bisnis untuk menjaga keberlangsungan startup. Yose menjelaskan startup tak melulu persoalan teknologi informasi tetapi juga soal bisnis. Selain menciptakan dan menginovasi, perlu biaya pemasaran sebagai sarana memerkenalkan produk.
“Jadi perlu partner. Jika kita sebagai pencipta, kita perlu cari partner pebisnis untuk pemasaran dan sebagai orang yang membiayai produk kita. Jadi tidak tidak hanya berhenti di ide saja. Tapi ada tahapan selanjutnya," tuturnya.
π
NUSA DUA, iNews.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sepakat untuk menjadikan Batam sebagai jembatan digital atau digital bridge Indonesia.
"Saya dan PM Lee sepakat terus mendorong kerja sama ekonomi digital. Nongsa Digital Park di Batam yang meluncur awal tahun ini terus berkembang dan sudah ada 56 perusahaan teknologi digital di sana,” kata Jokowi dalam joint press statement setelah Annual Leaders Retreat dengan PM Singapura Lee Hsien Loong di sela pertemuan tahunan IMF-WB 2018 di Nusa Dia Bali, Kamis (11/10/2018).
Kerja sama itu, kata Presiden, akan menjadikan Batam sebagai digital bridge Indonesia. Di sisi lain, kata dia, kerja sama pelatihan digital dan e-commerce juga terus diintensifkan agar Sumber Daya Manusia (SDM) kedua negara khususnya Indonesia siap. "Seperti pengembangan teknologi finansial, industry 4.0," katanya.
Kedua pemimpin negara itu juga membahas perkembangan Kendal Industrial Park yang diresmikan oleh Jokowi dan Lee pada 2016 silam. "Saat ini sudah ada 43 investor termasuk dari Singapura. Saya harap kerja sama serupa dapat dilakukan di kawasan ekonomi khusus lain," katanya.
Presiden Jokowi dan PM Lee sejak Kamis pagi melakukan sederet agenda bersama mulai dari tete-a-tete, Annual Leaders Retreat Indonesia-Singapore, dan joint press statement.
Pertemuan rutin Indonesia-Singapura bertujuan untuk mempererat dan menindaklanjuti kerja sama kedua negara.
Editor : Ranto Rajagukguk
π±
NEW YORK okezone - Era digital yang mengedepankan kecanggihan teknologi informasi telah mengubah wajah bisnis dan budaya di dunia. Kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan digital tidak sedikit yang melampaui perusahaan berbasis sumber daya alam.
Majalah Forbes yang rajin menyusun daftar kekayaan perusahaan, pengusaha dan orang tajir di dunia, untuk pertama kalinya melakukan pemeringkatan bagi perusahaan digital.
Melansir dari Forbes, Kamis (20/9/2018), tersusun 100 perusahaan digital terbaik tahun 2018, yang terdiri dari perusahaan IT, perangkat keras, media, ritel digital dan telekomunikasi yang diperdagangkan secara publik sehingga membentuk dunia digital. Ke-100 perusahaan ini berasal dari 17 negara.
Amazon berada di posisi puncak. Nilai pasar ritel online ini melonjak hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir. Pada 4 September kemarin, kapitalisasi pasar Amazon menembus USD1 triliun. Menjadi perusahaan kedua di dunia yang melewati angka USD1 triliun setelah Apple di bulan Agustus.
Peringkat kedua ditempati oleh Netflix, perusahaan streaming digital. Permintaan domestik memberi kontribusi USD11,7 miliar pada tahun 2017. Netflix pun sejak 2010 memperluas pasarnya secara internasional, dimana segmen internasional mereka kini menyumbang 43,5% untuk pendapatan mereka.
Perusahaan-perusahaan digital asal Amerika Serikat menguasai hampir setengah daftar, dengan menempatkan 49 perusahaan. Dari jumlah tersebut 19 berada di 25 besar.
Perusahaan-perusahaan asal China berada di urutan kedua terbanyak, dengan Tencent Holdings berada di peringkat 18. Perusahaan aplikasi pesan seluler WeChat yang juga memiliki bisnis lain yaitu game online, sistem pembayaran digital dan streaming video ini, pada 2017 mencatat pertumbuhan keuntungan sebesar 71,7%. Game online milik mereka, Honor of Kings dimainkan oleh 200 juta orang secara bulanan.
Dalam daftar 100 perusahaan digital terbaik 2018, perusahaan perangkat lunak dan layanan IT merupakan yang terbanyak, yaitu 35% dari daftar. Disusul perusahaan bidang perangkat keras dan peralatan teknologi dengan 26 perusahaan. Ketiga adalah perusahaan bidang semikonduktor sebanyak 23 perusahaan.
Namun untuk urusan meraup pendapatan, perusahaan ritel digital merupakan yang paling besar. Perusaan ritel digital menghasilkan pendapatan USD108,3 miliar atau setara Rp1.603 triliun (kurs Rp14.807 per USD) pada tahun lalu. Dan yang terkecil adalah perusahaan di bidang cloud computing yang menghasilkan USD17,5 miliar atau sekitar Rp259,13 triliun di tahun 2017.
Berikut 100 daftar perusahaan digital 2018 versi Forbes:
No | Perusahaan | Jenis | Negara |
1 | Amazon | Ritel | Amerika Serikat |
2 | Netflix | Media | Amerika Serikat |
3 | NVIDIA | Semikonduktor | Amerika Serikat |
4 | Salesforce | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
5 | ServiceNow | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
6 | Square | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
7 | Analog Devices | Semikonduktor | Amerika Serikat |
8 | Palo Alto Networks | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
9 | Splunk | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
10 | Adobe Systems | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
11 | Broadcom | Semikonduktor | Amerika Serikat |
12 | Leidos | Pertahanan dan ruang angkasa | Amerika Serikat |
13 | ON Semiconductor Corp. | Semikonduktor | Amerika Serikat |
14 | Match Group | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
15 | Tech Mahindra | Perangkat lunak dan layanan IT | India |
16 | Workday | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
17 | Charter Communications | Media | Amerika Serikat |
18 | Tencent Holdings | Perangkat lunak dan layanan IT | China |
19 | Micron Technology | Semikonduktor | Amerika Serikat |
20 | SK Hynix | Semikonduktor | Korea Selatan |
21 | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat | |
22 | Arista Networks | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
23 | Baidu | Perangkat lunak dan layanan IT | China |
24 | Catcher Technology | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Taiwan |
25 | Constellation Software | Perangkat lunak dan layanan IT | Kanada |
26 | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat | |
27 | Hikvision | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
28 | Tokyo Electron | Semikonduktor | Jepang |
29 | ASML Holding | Semikonduktor | Belanda |
30 | Dassault Systemes | Perangkat lunak dan layanan IT | Prancis |
31 | Focus Media Information Technology | Media | China |
32 | Infineon Technologies | Semikonduktor | Jerman |
33 | Keyence | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Jepang |
34 | Naver | Perangkat lunak dan layanan IT | Korea Selatan |
35 | Unisplendour | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
36 | VMware | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
37 | Worldpay | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
38 | Apple | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
39 | CDW | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
40 | Dell Technologies | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
41 | Nokia | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Finlandia |
42 | Alibaba | Ritel | China |
43 | Sunny Optical Technology Group | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
44 | Infosys | Perangkat lunak dan layanan IT | India |
45 | Intuit | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
46 | JD.com | Ritel | China |
47 | NEXON | Perangkat lunak dan layanan IT | Jepang |
48 | Red Hat | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
49 | Samsung SDS | Perangkat lunak dan layanan IT | Korea Selatan |
50 | AAC Technologies Holdings | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
51 | Alphabet | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
52 | Discovery Communications | Media | Amerika Serikat |
53 | IPG Photonics | Semikonduktor | Amerika Serikat |
54 | Lam Research | Semikonduktor | Amerika Serikat |
55 | Vipshop Holdings | Ritel | China |
56 | Accenture | Perangkat lunak dan layanan IT | Irlandia |
57 | Comcast | Media | Amerika Serikat |
58 | Fortive | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
59 | Intel | Semikonduktor | Amerika Serikat |
60 | Jabil Circuit | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
61 | Sanan Optoelectronics | Semikonduktor | China |
62 | Taiwan Semiconductor | Semikonduktor | Taiwan |
63 | TDK | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Jepang |
64 | VeriSign | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
65 | Adyen | Perangkat lunak dan layanan IT | Belanda |
66 | Amphenol | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
67 | BOE Technology Group | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
68 | HCL Technologies | Perangkat lunak dan layanan IT | India |
69 | Microsoft | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
70 | Pinduoduo | Ritel | China |
71 | Spotify Technology | Perangkat lunak dan layanan IT | Luksemburg |
72 | Walt Disney | Media | Amerika Serikat |
73 | Xiaomi | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
74 | Zalando | Ritel | Jerman |
75 | Applied Materials | Semikonduktor | Amerika Serikat |
76 | Microchip Technology | Semikonduktor | Amerika Serikat |
77 | Nanya Technology | Semikonduktor | Taiwan |
78 | Sky | Media | Inggris |
79 | TCL Corp | Perangkat keras dan perangkat teknologi | China |
80 | ATOS | Perangkat lunak dan layanan IT | Prancis |
81 | Murata Manufacturing | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Jepang |
82 | Naspers | Media | Afrika Selatan |
83 | NXP Semiconductors | Semikonduktor | Belanda |
84 | SAP | Perangkat lunak dan layanan IT | Jerman |
85 | STMicroelectronics | Semikonduktor | Swiss |
86 | Advanced Micro Devices | Semikonduktor | Amerika Serikat |
87 | Cognizant | Perangkat lunak dan layanan IT | Amerika Serikat |
88 | DISH Network | Media | Amerika Serikat |
89 | Inventec | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Taiwan |
90 | MediaTek | Semikonduktor | Taiwan |
91 | NetApp | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
92 | NetEase | Perangkat lunak dan layanan IT | China |
93 | Qualcomm | Semikonduktor | Amerika Serikat |
94 | Samsung Electronics | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Korea Selatan |
95 | Seagate Technology | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Irlandia |
96 | Skyworks Solutions | Semikonduktor | Amerika Serikat |
97 | Check Point Software | Perangkat lunak dan layanan IT | Israel |
98 | Cisco Systems | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
99 | Hewlett Packard Enterprise | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Amerika Serikat |
100 | LARGAN Precision | Perangkat keras dan perangkat teknologi | Taiwan |
(ven)
π·
Bisnis.com, JAKARTA – Emiten konglomerasi otomotif PT Astra International Tbk. mencicipi bisnis layanan digital melalui lini Astra Digital. Astra Digital akan menyediakan layanan berbasis teknologi sekaligus memperkuat platform digital yang dibutuhkan masyarakat.
Chief of Astra Digital Djap Tet Fa menyampaikan emiten dengan sandi ASII tersebut memperkuat platform bisnis digital untuk menghadirkan solusi yang berorientasi kebutuhan konsumen sekaligus relevan dengan kondisi saat ini.
“Selain solusi yang tepat, customer engagement menjadi hal yang sangat penting untuk menjangkau dan mempererat hubungan kami dengan pelanggan, kususnya generasi milenial yang merupakan pasar masa depan Astra,” ungkap Djap melalui keterangan resmi, Selasa (18/9/2018).
Dia menyampaikan saat ini Astra telah mengeluarkan tiga platform digital yaitu Seva.id, CariParkir dan Sejalan.
Seva.id adalah sebuah marketplace yang memungkinkan konsumen mendapatkan mobil impiannya dengan lebih mudah dengan beragam layanannya, seperti booking service, simulasi kredit, dan product bundling.
CariParkir adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna menemukan tempat parkir terdekat dan memesan slot parkir tersebut, bahkan sebelum pengguna sampai di tempat parkir tujuan. Aplikasi ini dibuat karena Astra Digital menyadari keterbatasan lahan parkir yang tersedia saat ini.
Adapun, Sejalan merupakan aplikasi ride sharing yang mempertemukan pengemudi (kapten Sejalan) dan penumpang (teman Sejalan) yang memiliki rute perjalanan searah. Lewat Sejalan, pengemudi dan penumpang dapat saling berbagi biaya ataupun sekadar mendapatkan teman berbincang selama perjalanan.
Adapun, Astra International juga baru saja meluncurkan lini bisnis teknologi finansial atau fintek. Melalui anak usahanya yaitu PT Sedaya Multi Investama, Astra menggandeng perusahaan teknologi terkemuka asal China yaitu WeLab untuk membentuk perusahaan patungan yang bergerak di bidang tekfin yaitu PT Astra WeLab Digital Arta.
Astra WeLab Digital Arta menyediakan produk dan solusi finansial melalui pengembangan teknologi big-data terkini guna membantu konsumen yang belum memiliki akses terhadap pinjaman untuk mencapai kebebasan finansial melalui akses yang lebih baik dan efisien terhadap pinjaman.
Perusahaan tersebut akan menawarkan produk pinjaman yang dapat diakses melalui aplikasi mobile kepada konsumen ritel dan juga menyediakan solusi finansial berbasis teknologi kepada konsumen korporasi.
π·
BEIJING: Most studies of the impact of artificial intelligence (AI) on jobs and the economy have focused on developed countries such as the US and Britain.
But, through my work as a scientist, technology executive and venture capitalist in the US and China, I’ve come to believe that the gravest threat AI poses is to emerging economies.
TWO MODELS OF GROWTH TO BE DISRUPTED
In recent decades, China and India have presented the world with two different models for how such countries can climb the development ladder.
In the China model, a nation leverages its large population and low costs to build a base of blue-collar manufacturing. It then steadily works its way up the value chain by producing better and more technology-intensive goods.
In the India model, a country combines a large English-speaking population with low costs to become a hub for outsourcing of low-end, white-collar jobs in fields such as business-process outsourcing and software testing.
If successful, these relatively low-skilled jobs can be slowly upgraded to more advanced white-collar industries.
Both models are based on a country’s cost advantages in the performance of repetitive, non-social and largely uncreative work - whether manual labour in factories or cognitive labour in call centres.
Unfortunately for emerging economies, AI thrives at performing precisely this kind of work.
EXPLOSIVE LIABILITIES
AI is dramatically accelerating the automation of factories and taking over routine tasks such as customer service or telemarketing. AI does such jobs cheaper than the low-wage workers of the developing world and, over time, will do them better.
Robots examining your iPhone for scratches don’t take vacations for Chinese New Year; AI customer-service agents don’t demand pay raises.
Without a cost incentive to locate in the developing world, corporations will bring many of these functions back to the countries where they’re based.
That will leave emerging economies, unable to grasp the bottom rungs of the development ladder, in a dangerous position:
The large pool of young and relatively unskilled workers that once formed their greatest comparative advantage will become a liability -- a potentially explosive one.
Read more at https://www.channelnewsasia.com/news/commentary/artificial-intelligence-jobs-impact-countries-developing-china-10730542
πΉ
BEKASI, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menyebut, banyak pengusaha yang menyalahkan daya beli rendah ketika usahanya saat ini tidak berkembang bahkan terancam tutup. Padahal, penyebab utamanya bukan daya beli rendah, melainkan adanya fenomena shifting yang terjadi secara luas dan belum dipahami dengan baik oleh para pelaku usaha. "Pada waktu masalah daya beli ramai ribut di permukaan, kami sedang riset mengenai shifting. Kami tahu persis tutupnya toko-toko itu bukan fenomena daya beli. Ini adalah fenomena yang terjadi secara global, terjadi di seluruh dunia," kata Rhenald saat acara peluncuran buku terbarunya, The Great Shifting, di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (21/7/2018). Dampak fenomena shifting yang paling nyata adalah tutupnya toko-toko ritel modern, baik dari brand besar maupun yang kecil. Kebanyakan orang menilai penyebab tutupnya toko ritel modern tersebut karena perpindahan ke online, padahal intervensi online di Amerika Serikat baru sekitar 8 persen, sehingga itu tidak jadi faktor utama. Baca juga: Rhenald Kasali: Shifting Buka Cuma dari Offline ke Online Menurut Rhenald, fenomena shifting terjadi hampir di semua bidang kehidupan. Namun, shifting itu belum direspons dengan tepat oleh pengambil keputusan yang berujung pada ketertinggalan usahanya dari pemain-pemain baru yang kebanyakan anak-anak muda. "Setiap saya bertemu dengan orang-orang tua, para manajer, mereka bilang saya salah, ini adalah masalah daya beli. Tapi, secara diam-diam pemilik perusahaan datang ke kami, katanya direkturnya malas-malas semua dan mereka sepakat dengan tulisan saya," tutur Rhenald. Bila daya beli memang rendah, menurut Rhenald, seharusnya semua penjualan dan bidang usaha menurun dan lesu. Jika karena shifting, ada sektor usaha yang turun tetapi sektor lain justru naik karena menampung pasar dari yang turun. Setidaknya, ada beberapa poin penting Rhenald bersama timnya tentang fenomena shifting. Pertama, produk beralih jadi platform dan platform mengubah kehidupan secara luas yang menyebabkan banyak produk jadi inferior dan ditinggalkan. Baca juga: BPS: Shifting ke Belanja Online Masih Sangat Sedikit Lalu, shifting mendorong terbentuknya kehidupan baru yang mengandalkan efek jejaring, sehingga mengubah proses produksi yang tak terbatas, bersifat kolaboratif, serta serba sharing. Pada poin ini, Rhenald menekankan dampak pada proses penghancuran pasar existing yang sekaligus menimbulkan efek inklusi bagi semua kalangan. Kemudian, makna shifting tidak sekadar perpindahan belanja secara offline ke online. Shifting yang paling besar terjadi secara horizontal dan lintas industri yang mengakibatkan pelaku usaha sulit untuk melacaknya. "Lintas industri seperti cross shifting dari konsumsi pada barang-barang retail goods ke perjalanan wisata, hiburan, game online, dan asuransi kesehatan," ujar Rhenald.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rhenald Kasali Bahas Kekeliruan Anggapan Daya Beli Rendah", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/22/081432526/rhenald-kasali-bahas-kekeliruan-anggapan-daya-beli-rendah.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Egidius Patnistik
πΈ
SINGAPORE: Driven by pro-growth policies and presence of dynamic companies, members of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) are among the world’s best performing emerging economies, said a report released by the McKinsey Global Institute (MGI) on Thursday (Sep 14).
Nevertheless, the region “cannot rest on its laurels” and will need to address issues, such as income inequality, to maintain its rapid growth momentum.
For the report, MGI, the business and economics research arm of McKinsey & Company, analysed 71 major emerging economies around the world, and identified 18 that show records of stronger and more consistent growth than their peers.
ASEAN accounted for eight of these “outperformers”, the report said.
They include the "long-term outperformers" comprising Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand, which averaged at least 3.5 per cent annual per capita gross domestic product (GD) growth over 50 years.
Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam also made the cut as "recent outperformers" by clocking 5 per cent annual growth over 20 years.
The report noted that the Philippines “did not clear either threshold but its recent rapid growth could lift it to the ranks of outperformers in the future”. Meanwhile, Brunei was not considered for the report due to its size, the report added.
WHAT’S UNDERPINNING GROWTH
On what’s propelling growth in the region marked by highly-diversified economies, authors of the report highlighted two essential elements: Pro-growth policy agendas and the presence of dynamic companies.
The former creates a “virtuous cycle of productivity, income and demand”, according to the report.
“The agenda starts with greater productivity, made possible by accumulating capital and technology. The fruits of improved productivity are then distributed throughout the economy in the form of more jobs and higher wages for workers, lifting more people into the middle class, and in turn supporting higher levels of consumption and savings,” it said.
“Companies reap increased profits, and governments collect higher tax revenue they can use to reinvest and to improve essential infrastructure. Wage growth translates into more disposable income, which boosts personal savings as well as investment and household consumption,” the report added.
The presence of large companies also helps to lift GDP growth and encourage productivity improvements among their smaller peers.
Notably, the report said revenue from these large firms equalled 37 per cent of the GDP in ASEAN countries, compared with 28 per cent among emerging-economy peers.
“These firms are not only large but competitive, as the best-performing companies are subject to fierce competition at home,” it said. “They also support the development of small and medium-size enterprises (SMEs) via purchasing and subcontracting, in which business generated by large firms is directly transmitted to smaller firms.”
STAYING AHEAD
However, ASEAN cannot rest on its laurels and to stay ahead, the region will need to address issues, including shifting trade patterns, demographic changes, advancing automation and artificial intelligence, and growing income inequality in some countries.
“The exceptional performance of ASEAN countries won’t come as a surprise to many in the region. The challenge will be to maintain the growth momentum and continue narrowing the per capita GDP gap with high-income countries in changing times marked by rapid technological advances and demographic shifts,” said Mr Oliver Tonby, managing partner and chairman of McKinsey's offices in Asia.
He added: “In particular, a new focus on boosting productivity growth and tackling inequality and gender parity will be important to ensure that ASEAN countries can continue on their path to greater, broad-based prosperity.”
The report urged regional policy makers and business leaders to focus on digitally-driven productivity, a reinvented labour force, and infrastructure development.
“Digital transformation may help address ASEAN’s sluggish total factor productivity growth. However, technology that drives productivity gains will automate tasks now done by people, thus a modernised labour market that also adjusts to the demographic and urbanization trends in the region will be a critical factor in translating productivity gains into higher wages for more people,” said the report.
Meanwhile, infrastructure that is matched to economic development goals is “particularly important” for ASEAN economies where populations are large but densities are low. “Smart public investments can integrate millions of lower-income people into more-efficient business ecosystems,” the report added.
If these improvements can be made, ASEAN could continue to outperform and double its annual collective GDP to about US$5 trillion (about S$6.86 trillion), MGI said.
At that level, ASEAN GDP would represent about 5 per cent of global GDP, it added.
Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand could account for most of by continuing to expand their economies by 3.8 per cent annually in real terms.
Sustained rapid growth in the rapidly-growing economies – Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam, as well as the Philippines - could also add US$600 billion to US$1 trillion in total GDP and lift per capita GDP in each country by 50 to 70 per cent.
Read more at https://www.channelnewsasia.com/news/asia/asean-countries-among-world-s-outperforming-emerging-economies-10718216
πΈ
Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat masih banyak bank yang belum menyalurkan kredit kepada UMKM sesuai dengan rasio yaitu 20 persen.
Direktur Kepala Departemen Pengembangan UMKM BI, Yunita Resmi Sari menyebutkan sektor UMKM tercatat yang paling besar menyerap tenaga kerja. Namun kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) masih terbatas.
"UMKM mendominasi unit usaha di indonesia, 99 persen dari dunia usaha. Struktur didominasi usaha mikro dan meningkat ke kecil dan menengah sangat minim dan terbatas atau missing middle sehingga kontribusi kepada PDB masih terbatas," kata Yunita di Gedung BI, Selasa (17/7/2018).
Yunita menjelaskan, potensi UMKM yang sangat besar belum sepenuhnya tersentuh oleh fasilitas kredit dari perbankan.
"Potensi UMKM yang sangat besar, yang mendapat akses kredit baru 25 persen. dan kredit dari UMKM itu di usaha mikro, tapi kalau dari sisi nominal ada di perdagangan," ujar dia.
Dia menyatakan, bank asing lebih banyak memberikan kredit bagi pelaku UMKM.
"Bank asing lebih banyak yang sudah menyalurkan dibanding dengan bank lokal. Bank lokal yang belum menyalurkan karena tidak ada jaringannya yang mempertemukan usaha besar dan usaha kecil," ujar dia.
Dia menegaskan, perbankan harus memenuhi rasio kredit UMKM sebesar 20 persen. "Rasio kredit UMKM mewajibkan bank secara bertahap wajib 20 persen tahun ini. Bank harus terus meningkatkan usahanya untuk memenuhi rasio,” kata dia.
Dia menjelaskan UMKM perlu didukung sebab potensi pertumbuhannya cukup besar yaitu 4,6 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Sumbangan kepada PDB sekitar 9,8 persen. UMKM juga menjadi sumber aktivitas ekonomi baru di daerah, jika tidak diperhatikan kegiatan tersebut bisa terhenti.
Yunita menuturkan, peran penting bank sentral adalah menciptakan lingkungan bank yang sehat sehingga penyaluran kredit juga sehat.
"BI melakukan kebijakan pengembangan UMKM dalam kerangka mendukung tugas utama BI mengendalikan inflasi, bagaimana BI mengembangkan UMKM yang bergerak untuk memproduksi barang untuk menekan inflasi, dan mendorong ekspor. Kenapa harus jadi market ? kita harus jadi produsen,” kata dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
π²
BANK Indonesia (BI) meyakini jika potensi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ada di Indonesia digabungkan dalam satu wadah daring (online), bisa mengalahkan Alibaba.
Direktur Departemen Pengembangan UMKM BI Yunita Resmi Sari menuturkan, saat ini jumlah UMKM di Indonesia sekitar delapan juta. Ketika semua UMKM tersebut go online masuk sistem e-commerce, tak dipungkiri bisa mengalahkan Alibaba karena Indonesia memiliki beragam jenis UMKM.
"Kita juga tergabung dengan inisiatif pemerintah ada UMKM go online, kalau itu sudah terlaksana jadi kita ini industri kreatif ada delapan juta. itu kalau bisa masuk Alibaba bisa kalah," kata Yunita saat konferensi pers di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (17/7).
Demi mendukung kegiatan UMKM lebih bergairah, Yunita menuturkan BI mengklaim sudah melakukan beberapa insentif seperti memperluas e-commerce khusus UMKM dengan proteksi hak cipta, proteksi pembayaran, dan proteksi akses keuangan.
"Jadi itu insentif bagi UMKM untuk berkembang," ucap dia.
Di sisi lain, lanjut Yunita, sejauh ini beberapa jenis UMKM yang menjadi andalan BI untuk dapat dipasarkan di luar negeri adalah industri kreatif yang terdiri dari fesyen dan kriya, serta komoditas ekspor, seperti kopi.
"Kalau misalnya di sektor mana yang difokuskan kalau dari binaan kami (BI) adalah UMKM yang bergerak di sektor kreatif dan komoditas ekspor," pungkas dia. (Medcom/OL-3)
πΈ
kumparan: Pembangunan ekonomi tidak terbatas pada sektor infrastruktur tetapi juga industri digital seperti e-commerce. Di Indonesia, pertumbuhan industri digital justru semakin pesat. Bukan tak mungkin nantinya industri digital dapat menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional, sama seperti yang dunia telah lakukan.
“Masa depan ekonomi dunia itu akan terkait dengan ekonomi digital,” ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro saat menghadiri Indonesia Development forum (IDF) 2018 di Ritz Carlton Kuningan, Jakarta, Selasa (10/7).
Ekonomi digital, lanjutnya, bisa diaplikasikan di segmen apapun termasuk sektor pertanian. Dengan sistem berbasis aplikasi, petani kini dapat memasarkan produk pertaniannya dengan cepat dan mudah.
“Untuk daerah yang berbasis pertanian ini (ekonomi digital) tentu sangat membantu. Ekonomi digital akan menbuka akses terhadap market secara online. Mereka yang selama ini kurang mendapat penyuluhan atau bimbingan yang dilakukan secara konvensional bisa memperoleh ya dari online," tuturnya.
Selain itu, keberadaan ekonomi digital ini nanti akan membantu para petani untuk menggantikan peran middle man atau tengkulak yang selama ini menghambat produktivitas mereka. Sehingga diharapkan mereka bisa langsung terhubung ke end user dan memotong rantai distribusi hasil pertanian. Ujungnya, bisa membuat para petani memperoleh keuntungan lebih.
“Market akses yang semakin mudah ini membuat mereka (para petani) tidak bergantung pada middle man. Sehingga, kesejahteraan para petani bisa meningkat,” tutupnya.
π³
Bisnis.com, JAKARTA — Daya saing Indonesia dalam transformasi digital dan kesiapan teknologi masih tertinggal amat jauh dibandingkan negara lain di dunia.
Berdasarkan data IMD World Digital Competitiveness Ranking 2018, Indonesia menempati urutan ke-62 dari 63 negara dalam hal daya saing digital. Tak jauh berbeda, mengacu pada studi The Economist mengenai kesiapan dalam menghadapi teknologi, Indonesia menduduki rangking 63, jauh di belakang negara tetangga seperti Singapura yang ada di posisi pertama dan Malaysia yang ada di urutan 27.
BACA JUGA :
Dari beragam faktor yang menjadi bahan penilaian peringkat tersebut, salah satu aspek yang paling fundamental adalah akses terhadap internet.
Di Indonesia sendiri, mengacu pada laporan survei APJII 2017, penetrasi internet baru mencapai 54,68% atau baru digunakan 143,26 juta penduduk dari total populasi 262 juta.
Dari sekian banyak faktor lain yang menentukan daya saing digital, Indonesia mendapat nilai paling buruk dalam hal kesiapan akan teknologi masa depan, edukasi dan pelatihan, penelitian dan paten, implementasi sistem e-government, serta regulasi.
Meski dalam tiap aspek rata-rata Indonesia berada di peringkat buncit, ada beberapa aspek yang mendapat nilai baik misalnya dalam produktivitas publikasi riset dan pengembangan, kapitalisasi IT dan media, serta penggunaan big data dan analisis.
Secara detail, dalam peringkat daya saing digital yang dikeluarkan oleh IMD, Indonesia berada di peringkat 61 dalam faktor ilmu pengetahuan (knowledge), peringkat 59 dalam hal teknologi (technology), dan peringkat 62 dalam faktor kesiapan atas masa depan (future readiness).
Dalam hal teknologi, faktor utama yang mendukung daya saing Indonesia adalah ketersediaan modal bagi perusahaan-perusahaan teknologi. Indonesia ada di peringkat 15 dalam hal kapitalisasi perusahaan IT dan media di bursa saham dan di peringkat 30 dalam hal pendanaan modal ventura.
Posisi yang cukup tinggi juga diraih Indonesia dalam faktor keterbukaan atas globalisasi yaitu di peringkat 26. Namun sayangnya, masyarakat Indonesia dinilai kurang aktif secara digital yang ditandai dengan peringkat 61 dalam faktor e-participation.
π
JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan e-commerce Shopee mengusung program Big Ramadhan Sale selama bulan Ramadhan dengan berbagai tawaran diskon. Perusahaan tersebut pun kebanjiran kunjungan hingga 465 juta kali selama bulan puasa. "Angka tersebut setara jika seluruh masyarakat Indonesia masing-masing mengunjungi Shopee sebanyak dua kali," ujar CEO Shopee Chris Feng melalui keterangan tertulis, Kamis (31/5/2018). Chris mengatakan, terjadi peningkatan transaksi yang cukup signifikan sejak awal Ramadhan hingga puncak Big Ramadhan Sale tahun ini. Selain itu, Shopee mencatat ada 1,5 juta transaksi dalam 24 jam yang menjadi rekor baru bagi marketplace e-commerce di Indonesia. Jumlah tersebut, kata Chris, melonjak berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan tahun lalu. Menurut dia, hal tersebut menggambarkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat dalam menjadikan Shopee sebagai destinasi belanja untuk memenuhi kebutuhan di bulan puasa maupun menyambut Lebaran. Baca juga: Jelang Ramadhan, Aktivitas Belanja Online Naik Dua Kali Lipat "Shopee juga mencatatkan peningkatan transaksi lebih dari lima kali lipat jika dibandingkan dengan Ramadhan tahun lalu," kata Chris. Shopee juga menghadirkan in-app game Shopee yakni Goyang Hujan Emas dengan total hadiah Rp 10 milyar. Ada pula promo cashback hingga Rp 75.000, cuci gudang Flash Sale Diskon hingga 99 persen, dan Dobel Dobel Spesial Ramadhan pada 6 Juni 2018. “Pencapaian ini tentu tidak terlepas dari kombinasi rangkaian promosi yang menarik, kerja sama strategis, serta layanan gratis ongkos kirim yang telah mendukung kami mencapai hasil luar biasa ini," kata Chris. Chris mengatakan, ke depannya, Shopee akan terus menghadirkan berbagai penawaran terbaik serta hadiah yang semakin banyak. "Guna menciptakan pengalaman belanja online terbaik untuk pengguna,” sebutnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bulan Ramadhan, Kunjungan ke Shopee Capai 465 Juta", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/31/201200926/bulan-ramadhan-kunjungan-ke-shopee-capai-465-juta.
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Editor : Erlangga Djumena
π°
Bisnis.com, JAKARTA – Pengembang properti menilai bahwa bisnis ritel dan mal bisa tumbuh antara 6% sampai 7% tahun ini.
Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Adrianto Adhi mengatakan bahwa bisnis online yang semakin gencar saat ini tidak mengakibatkan pelemahan bisnis ritel atau mal. Adrianto menyebut, pengembang yang mengelola sejumlah mal di Summarecon ini mengakui bahwa bisnis ritel mereka masih stabil dan berpotensi terus tumbuh.
BACA JUGA :
“Justru bisnis ritel kami stabil dan bisa tumbuh 6% sampai 7%. Jadi makanya orang bilang online mengancam mal, tidak. Karena menurut catatan kami, bisnis online di ritel baru 45%,” ujar Adrianto kepada Bisnis, Minggu (27/5/2018).
Menurut Adrianto, perusahaan memang mengandalkan sejumlah strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ritel. Misalnya saja, Summarecon sekarang fokus meningkatkan tenant-tenat mal yang menawarkan jasa atau makanan ketimbang tenant untuk pakaian.
Selain itu, Summarecon juga masih membangun sejumlah ruko-ruko yang membidik end-user sekaligus investor. Menurut Adrianto, investor adalah kelompok pembeli yang terdorong oleh sensitivitas pasar. Sebagai golongan emotional buyer, investor akan membidik potensi produk yang booming.
“Sekarang memang turun karena investor menahan, namun kita masih maintenance terus 90% biar bisa bertahan,” terang Adrianto.
Adrianto menyebut, Summarecon sangat fokus kepada lima township utama yakni Summarecon Kelapa Gading, Summarecon Bekasi, Summarecon Bandung, dan Summarecon Karawang.
Sementara itu, Senior Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar nomor empat di dunia, Indonesia memang memiliki pasar ritel yang akan terus berkembang. Pada khususnya adalah ritel untuk kelas menengah atas di Greater Jakarta yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
“Beberapa brand melirik Indonesia saat ini dalam suasana pasar yang tidak aktif in karena ketersediaan ruang dan penyewaan yang masih flat,” jelas Ferry dalam laporan Jakarta Market Properti Report dari Colliers International Indonesia yang dirilis pada 8 Mei 2018 lalu.
Dia menyebutkan, millennials Indonesia memiliki aktivitas berbelanja yang bergeser dari tradisional menjadi e-commerce. Kondisi ini telah menekan bisnis ritel. Meskipun begitu, Ferry masih percaya bahwa pusat perbelanjaan masih akan berlanjut dan eksis melampaui perbelanjaan biasa.
“Mereka akan menawarkan experience dan rekreasi. Berdasarkan perubahan e-commerce dan kuantitas dari penawaran online di masa yang akan datang, kedua pemilik ruang dan ritel ini akan terus mengikuti dinamisme pasar yang diakomodasi oleh millennials,” papar Ferry.
π
Jakarta - Usaha rintisan atau startup digital dalam beberapa tahun belakangan ini tumbuh subur di Indonesia. Bahkan sudah ada empat startup asal Indonesia yang menyandang status “unicorn” dengan nilai valuasi lebih dari US$ 1 miliar, yaitu Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka.
Di sisi lain, penggunan teknologi digital juga semakin mendominasi berbagai dunia usaha. Kondisi ini membuat kebutuhan akan programmer handal makin meningkat. Sayangnya, belum banyak sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kemampuan memadai untuk mendukung tren ekonomi digital tersebut.
Penggagas Coding Smart School, Mercy Sihombing, mengatakan saat ini Indonesia masih kekurangan programmer handal yang selalu mengikuti perkembangan teknologi digital, padahal peluang kerjanya terbuka sangat lebar. Kemampuan coding atau menciptakan program komputer kini menjadi skill yang paling dicari dengan gaji yang menggiurkan. Keahlian tersebut juga bisa digunakan untuk mengembangkan perusahaan teknologi sendiri, misalnya membuat startup digital.
Meskipun sudah banyak perguruan tinggi yang membuka jurusan Teknologi Informasi (TI), menurut Mercy keahlian lulusannya banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Sebab, teknologi berkembang sangat cepat, sementara ilmu yang diajarkan oleh dosen kebanyakan masih berdasakan pada ilmu yang dipelajarinya dulu.
“Indonesia masih kekurangan programmer yang handal. Makanya banyak perusahaan yang mempekerjakan programmer dari luar negeri. Kebutuhannya memang sangat tinggi. Bahkan beberapa CTO dan CEO e-Commerce besar di Indonesia sudah sering menanyakan, kapan programmer lulusan Coding Smart School bisa bergabung di tempat mereka,” kata Mercy.
Bila peluang besar ini tidak ingin direbut oleh programmer dari luar negeri, mempelajari ilmu coding menurutnya menjadi sebuah keharusan. Apalagi jika melihat tren menjamurnya startup digital dan pengadopsian teknologi digital dalam berbagai bidang.
“Ke depannya kan diprediksi ada beberapa jenis pekerjaan yang akan hilang. Kemampuan coding ini jadi salah satu modal penting kalau tidak mau terhempas oleh kemajuan zaman. Sekarang pun sudah mulai kelihatan, semuanya berbasis komputer, pakai Artificial Intelligence,” tutur Mercy.
Dimulai Sejak Dini
Tidak hanya untuk orang dewasa yang tengah bersiap memasuki dunia kerja, menurut Mercy ilmu coding sudah selayaknya menjadi skilldasar anak-anak Indonesia seperti yang terjadi di negara-negara maju. Sejak dini, anak-anak sudah harus diperkenalkan dengan teknologi yang akan menjadi kunci keberhasilan karier mereka di masa depan.
Tidak hanya untuk orang dewasa yang tengah bersiap memasuki dunia kerja, menurut Mercy ilmu coding sudah selayaknya menjadi skilldasar anak-anak Indonesia seperti yang terjadi di negara-negara maju. Sejak dini, anak-anak sudah harus diperkenalkan dengan teknologi yang akan menjadi kunci keberhasilan karier mereka di masa depan.
“Di era digital seperti saat ini, ilmu coding sudah sama pentingnya dengan ilmu-ilmu lain yang dipelajari di sekolah seperti matematika atau bahasa Inggris,” tuturnya.
Sejak usia 10 tahun, anak laki-laki Mercy yang bernama Andre Christoga juga sudah difasilitasi olehnya untuk belajar coding. Bahkan di usianya yang baru menginjak 14 tahun, Andre kini mulai banyak mendapatkan proyek untuk membuat produk teknologi berkat ilmu coding yang dimilikinya.
“Dia kebetulan suka sekali bermain game. Tapi saya tidak mau anak saya hanya menjadi user saja. Harus juga bisa mengembangkan aplikasi sendiri. Makanya saya fasilitasi untuk belajar coding dan anaknya memang suka,” imbuhnya.
Melalui dukungan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Mercy selama satu tahun ini juga mulai menjalankan Coding Smart School, lembaga pendidikan vokasi setara SMA yang fokus mengajarkan teknologi, coding, dan programming. Kurikulumnya dirancang untuk membangun keahlian yang dapat diaplikasikan pada industri teknologi terkini. Mentornya pun merupakan para praktisi andal yang memang berkecimpung di dunia teknologi digital.
Di sekolah ini, para siswa tetap akan mempelajari enam mata pelajaran wajib. Di luar itu, mereka akan difokuskan mempelajari ilmu codingselama dua tahun, kemudian menjalani magang selama satu tahun di perusahaan teknologi atau startup yang bermitra dengan Coding Smart School.
Membangun Logika Berfikir
Pentingnya membekali ilmu coding sejak dini juga diutarakan Fransiska Oetami, salah satu pendiri Clevio Coder Camp sebagai salah satu pionir kursus programming edu-game di Indonesia. Bahkan program kursus programming di Clevio sudah diberikan untuk anak-anak mulai usia 6 tahun.
Pentingnya membekali ilmu coding sejak dini juga diutarakan Fransiska Oetami, salah satu pendiri Clevio Coder Camp sebagai salah satu pionir kursus programming edu-game di Indonesia. Bahkan program kursus programming di Clevio sudah diberikan untuk anak-anak mulai usia 6 tahun.
“Dengan adanya perubahan jenis pekerjaan, di mana hampir semua bidang menggunakan teknologi, ilmu coding sudah seharusnya masuk dalam kurikulum inti di sekolah,” tuturnya.
Dengan belajar ilmu coding, lanjut Fransiska, ada banyak manfaat yang didapat. Seperti membangun logika berfikir dan melatih team work.
“Dengan mengajarkan programming, kita bisa membantu mengembangkan pola pikir logika anak-anak, serta mengembangkan logika psiko-sosial mereka. Makanya di tempat kami itu para siswanya tidak bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dalam tim yang terdiri dari dua sampai tiga siswa sebagai Game Designer, Game Programmer dan Project Manager. Jadi setiap anak bisa belajar bertukar pendapat dan mengambil keputusan bersama dalam berbagai project,” tuturnya.
Tidak hanya anak-anak, Clevio juga terus mendorong para perempuan untuk mempelajari ilmu teknologi, apakah itu sebagai programmer, atau memanfaatkan teknologi untuk berbisnis. Apalagi jumlah programmer perempuan di Indonesia masih sangat minim. Karenanya, selain membuat program kursus coding untuk anak-anak, di Clevio juga ada program kursus coding untuk para ibu.
"Dengan makin besarnya penggunaan teknologi dalam kehidupan kita, kalau perempuan hanya sebagai pengguna saja, sementara yang membuat kebanyakan laki-laki, nantinya akan kelihatan ada blindspot. Produk-produk teknologi yang untuk perempuan akan terasa tidak ramah perempuan. Karena kan yang paling mengerti kebutuhan perempuan sebenarnya ya perempuan,” tuturnya.
Menurut Fransiska, sudah tidak zamannya lagi berpikir kalau dunia teknologi hanya untuk laki-laki. Dalam era teknologi digital seperti saat ini, di mana hampir semua lini kehidupan tidak bisa lepas dari teknologi, perempuan juga harus bisa membuat sebuah produk teknologi, tidak hanya sebagai pengguna saja.
Belajar Coding Secara Online
CEO Dicoding Narenda Wicaksono mengungkapkan, minat masyarakat untuk mempelajari ilmu coding saat ini sudah makin besar. Contohnya saja di Dicoding yang memiliki sekitar 40.000 murid di seluruh Indonesia. Namun Narendra memberi cacatan khusus perihal kemampuan logika berfikir yang dinilainya masih perlu ditingkatkan.
CEO Dicoding Narenda Wicaksono mengungkapkan, minat masyarakat untuk mempelajari ilmu coding saat ini sudah makin besar. Contohnya saja di Dicoding yang memiliki sekitar 40.000 murid di seluruh Indonesia. Namun Narendra memberi cacatan khusus perihal kemampuan logika berfikir yang dinilainya masih perlu ditingkatkan.
“Belajar coding itu logika berfikirnya harus kuat, begitu juga dengan kemampuan menganalisa dan memikirkan alur algoritma. Analoginya, kalau misalkan kita mau ke Bandung dari Jakarta, harus bisa mikir mana jalan yang paling efektif untuk bisa sampai ke sana, apakah lewat Bogor, Sukabumi, atau Puncak. Logika berfikir ini yang masih harus terus diasah,” tuturnya.
Di antara profesi lain, menurut Narenda permintaan terhadap programmer termasuk yang paling tinggi. Sayangnya kemampuan yang dimiliki lulusan perguruan tinggi jurusan TI banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Akhirnya banyak yang justru bekerja di bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan ilmu yang mereka pelajari.
Di awal tahun 2015, Narendra mendirikan Dicoding Academy untuk membantu para lulusan TI atau programmer mengembangkan kemampuannya. Sebagai satu-satunya Google Authorized Training Partner atau mitra pelatihan yang diakui di Indonesia, semua modul pembelajaran telah diverifikasi langsung oleh Google untuk memastikan materi yang diajarkan relevan dan sesuai dengan kebutuhan industri digital saat ini. Beberapa lulusannya kini sudah bekerja di berbagai e-Commerce besar, di Go-Jek, BTPN, hingga membangun startup digital.
“Program belajar ini kami buat online agar bisa menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia. Programnya berlangsung selama 90 hari dan butuh komitmen penuh serta self learning yang bagus. Setiap tugas yang dikerjakan juga akan direview langsung dari para inovator dan developer expert,” ujar Narendra.
Selain Coding Smart School, Clevio Coder Camp, dan juga Dicoding, di luar sana ada banyak sekali lembaga pendidikan maupun tempat kursus coding yang bisa diikuti, baik yang offline maupun online. Seperti Coding Indonesia, Hacktive8, Binar Academy, Code For Indonesia, dan masih banyak lagi. Bila tak ingin tergilas perkembangan zaman, mulailah dedikasikan waktu untuk mengasah kemampuan coding yang sangat berguna di masa sekarang dan masa depan.
Sumber: BeritaSatu.com
πΉ
JAKARTA sindonews- Negara-negara anggota ASEAN menegaskan kembali komitmennya untuk memperkuat pengembangan niaga elektronik (e-commerce). Penegasan komitmen tersebut merupakan salah satu agenda utama Pertemuan Menteri Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community Council (AECC) sebagai rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (ASEAN Summit) ke-32.
“Dalam pertemuannya yang ke-16, para Menteri AECC sepakat bahwa ekonomi digital dan niaga elektronik merupakan bagian penting dari masa depan perekonomian ASEAN,” jelas Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita lewat keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (28/4/2018)
Untuk itu, seluruh negara anggota ASEAN sepakat bahwa ASEAN perlu segera memiliki perjanjian tentang pengaturan perdagangan elektronik tersebut. Namun, dalam rangka pengembangannya, Mendag menegaskan bahwa Pemerintah harus tetap menjaga agar tercipta kesetaraan dan persaingan yang sehat antara perdagangan secara elektronik dan secara konvensional.
Dengan demikian, perlakuan pengenaan bea masuk atas barang yang diperdagangkan melalui transmisi elektronik dan konvensional, harus kurang-lebih sama.
"Dalam pertemuan dengan para Menteri AECC, Indonesia menegaskan komitmennya untuk mengembangkan ekonomi digital dan niaga elektronik di dalam negeri sejalan dengan apa yang sedang dikembangkan di ASEAN, namun harus tetap menjaga kesetaraan dan persaingan yang sehat bagi para pelaku yang melakukan perdagangan melalui transmisi elektronik dan konvensional di masa kini dan mendatang,” tegas Mendag
Selain membahas isu niaga elektronik, para Menteri AECC juga membahas penyelesaian perundingan jasa dan implementasi rencana induk konektivitas ASEAN (Master Plan on ASEAN Connectivity/MPAC).
"ASEAN menyadari bahwa konektivitas dan literasi digital hingga kini masih menjadi masalah utama. Indonesia mendorong ASEAN untuk bersama-sama membangun konektivitas digital bagi niaga elektronik dan perdagangan jasa untuk memenangkan persaingan di era Revolusi Industri keempat yang sedang bergulir saat ini,” sambungnya.
Saat ini, Indonesia sedang melakukan penguatan ekonomi di dalam negeri, termasuk melalui berbagai paket kebijakan ekonomi, pengembangan infrastruktur yang mendukung peningkatan konektivitas antarwilayah, dan pengembangan digitalisasi ekonomi dan birokrasi.
(akr)
π²
Media Indonesia: SALAH satu lembaga keuangan terbesar di dunia, Morgan Stanley, memperkirakan Indonesia akan memiliki nilai ekonomi sebesar US$2,7 triliun pada 2027 dengan kapitalisasi pasar sebesar US$1,5 triliun. Menurut mereka, digitalisasi mungkin akan menjadi faktor kunci pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) tersebut.
Analis Morgan Stanley, Sean Gardiner, mengatakan hal itu dipicu kegiatan e-commerce yang berkontribusi sekitar 19% dari aktivitas retail pada 2027. Pada tahun tersebut, dia memperkirakan pengunaan uang elektronik di Indonesia akan meningkat 24% dari sekitar 2% pada 2017. “Pembangunan ekonomi digital bersamaan dengan infrastruktur dan pasar yang berskala besar akan membuat Indonesia lebih relevan bagi investor asing,” ungkap Sean dalam rilisnya, Rabu (18/4).
Menurut lembaga itu, investasi di bidang infrastruktur, termasuk jalan dan telepon, merupakan bagian dari upaya meningkatkan konektivitas. Bahkan, tantangan dalam pengiriman barang atau jasa telah bisa diatasi menggunakan teknologi digital, misalnya layanan Go-Jek untuk mengirimkan paket. “Modal sedang dikerahkan ke ekosistem startup dengan empat unicorn domestik yang sudah mapan dengan investasi sebesar US$8 miliar selama 26 bulan terakhir,” demikian kata lembaga tersebut.
Namun, Morgan Stanley melihat pertumbuhan e-commerce yang marak ini akan menganggu ekonomi konvensional di Tanah Air. Menurutnya, Indonesia akan mengalami disrupsi dari return of equity (ROE) yang tinggi dan terganggunya ekuitas pasar ekonomi konvensional sehingga dapat menambah beban risiko penerimaan dari konsumen yang rapuh dan lambatnya pertumbuhan kredit.
Peta jalan
Saat menanggapi perkiraan Morgan Stanley itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan pemerintah mendukung perkembangan ekonomi digital termasuk e-commerce di Indonesia. Salah satunya dengan penerbitan peta jalan e-commerce pada pertengahan tahun lalu. “Juga dapat dilihat dari adanya pengembangan sekolah-sekolah vokasi yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan juga pemberian insentif perpajakan kepada bisnis TIK,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/4).
Saat menanggapi perkiraan Morgan Stanley itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan pemerintah mendukung perkembangan ekonomi digital termasuk e-commerce di Indonesia. Salah satunya dengan penerbitan peta jalan e-commerce pada pertengahan tahun lalu. “Juga dapat dilihat dari adanya pengembangan sekolah-sekolah vokasi yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan juga pemberian insentif perpajakan kepada bisnis TIK,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/4).
Dukungan pemerintah terhadap ekonomi digital, lanjut dia, juga dilakukan melalui skema tax holiday yang baru dikeluarkan pemerintah kepada 17 jenis industri. Dari 17 jenis industri tersebut, beberapa di antaranya berhubungan dengan industri teknologi informasi, antara lain industri pembuatan semikonduktor dan komponen utama komputer lainnya, industri pembuatan peralatan komunikasi, dan industri pembuatan komponen robotik.
“Selain itu, pemerintah memberikan insentif perpajakan kepada perusahan modal ventura yang berinvestasi ke perusahaan rintisan atau startup,” tukasnya. Soal kekhawatiran pelaku UMKM yang berjualan di marketplace terhadap rencana pengenaan pajak, Nufransa meminta para pelaku e-commerce tak khawatir. “Pemerintah akan melihat seluruh aspek dan dampak perpajakannya sehingga terdapat perlakuan yang adil antara pelaku bisnis e-commerce dan pelaku bisnis konvensional,” pungkasnya. (E-2)
π
china daily: Competition among companies will no longer only exist in the same sector, as the integration of technologies, data and capital can enable a company to enter in a new field more conveniently, a CEO said at the Newtop 100 CEO Summit 2018 in Beijing on Friday.
Li Zhigang, CEO of Newtop 100, a company focusing on in-depth reports on business leaders in the arena of new economy, namely, those with new technologies or emerging business models, said an instant-noodle company's competitor would not be another instant-noodle company but food delivery companies.
There are mainly two kinds of cross-sector businesses, he said.
"The first one is focusing on its core business. For example, e-commerce giants such as Alibaba and JD.com have entered in the field of offline retail store, with the essence of their businesses remaining retailing and the trading scenario changing
"The other one is based on customers' needs. Take Meituan-Dianpin for instance. It's business has expanded from group-buying to movie ticket sales, to six, seven or even more completely unrelated sectors, such as hotel, tourism, food delivery and transportation
"Why can the company operate those businesses well when they cross together? Because it satisfies the needs of users as they want a one-stop app to help them solve all problems," Li said.
In Li's view, cross-sector competition will make the "heavy company" and high-tech company two major trends in the future.
A "heavy company" has three features: it has deep control of the supply chain; it is labor-intensive and it is driven by technology, according to Li.
Several startups in various fields have already been transforming themselves into "heavy companies", he said.
Xiong Lin, CEO of online rentals startup Ziroom, said at the summit that while most people only regard the company as a residential leasing agency, it also has become China's biggest decoration company, biggest cleaning company and will soon be China's biggest moving company.
Ziroom, having established its own construction team and cleaning team, decorates around 20,000 houses per month and offered 3.6 million cleaning services for its tenants last year, according to Xiong.
Hou Yi, CEO of Hema Fresh, the prototype supermarket chain of Alibaba Group Holding Ltd's New Retail concept, said the company's model is "heaviest" among its peer companies as it chose to establish its own logistic chain since the beginning.
"We know the cost would be high from the very first day. We have built our cold chain, normal temperature warehouse, processing center, logistics system and distribution system by ourselves since the very first day," Hou said.
He said the company would like to pay the costs to build the whole logistics system and it will be the company's core competitiveness in the next 10 years.
In addition, he pointed out that building a single barrier is far from enough for a company to survive today.
"We quickly develop a barrier in one sector and explore businesses in other sectors, which include using the methodology of new retail to deeply restructure businesses in sectors, such as hairdressing," he said.
π·
TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mengeluarkan publikasi ekonomi bertajuk Asian Development Outlook (ADO) 2018. Salah satu laporan ADO membahas pengaruh teknologi terhadap pekerjaan di Asia.
Kepala Perwakilan ADB Indonesia Winfried Wicklein mengatakan sejumlah pekerjaan di kawasan Asia, termasuk Indonesia akan hilang akibat otomasi. Namun, teknologi baru juga akan membantu menciptakan pekerjaan.
"Tantangan utama bagi pemerintah Indonesia dan dunia usaha Indonesia adalah memanfaatkan peluang sembari memitigasi risiko dari teknologi baru," kata Wicklein dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 11 April 2018.
Dalam laporannya, ADO mengimbau pembuat kebijakan wajib proaktif jika menginginkan manfaat teknologi baru tersebar bagi seluruh pekerja. Untuk itu diperlukan upaya mereformasi sektor pendidikan, mempertahankan fleksibilitas pasar tenaga kerja, memperkuat perlindungan sosial dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Wicklein mengatakan, ADB tengah mendukung pemerintah bersiap menghadapi tantangan tersebut. Upaya ADB yakni melakukan kajian tentang dampak teknologi disruptif terhadap makroekonomi dan sektor-sektor tertentu. "Seperti manufaktur, keuangan, energi, e-commerce dan pembangunan perkotaan," kata Wicklein.
π·
the ATLANTIC: Over the past few weeks, Walmart executives have sketched a picture of the company’s future that features more self-checkouts and a grocery-delivery business—soon escalating to 100 cities from a pilot program in six cities. Personal shoppers will fill plastic totes with avocados and paper towels from Walmart store shelves, and hand off packages to crowdsourced drivers idling in the parking lot. Assembly will be outsourced, too: Workers on Handy, an online marketplace for home services, will mount televisions and assemble furniture.
Human Capital
The Walmart of the future relies more heavily on the gig economy and automation. This is an indication of the fierce competition between Walmart, the world’s largest private employer, and Amazon. A pair of recent studies suggests that it’s also a sign that the U.S. economy is tilting further toward jobs that give workers less market power.
One study, by Arindrajit Dube of the University of Massachusetts at Amherst, Jeff Jacobs and Suresh Naidu of Columbia University, and Siddharth Suri of Microsoft Research, sought to learn whether crowdsourced workers benefit from being able to choose their tasks and hours. The answer matters to a lot of workers. Flexible work arrangements, which include crowdsourcing platforms such as Uber, as well as freelancers and independent contractors, increased about 50 percent from 2005 to 2015. These jobs account for 94 percent—nearly all—of the net employment growth in the United States over that time.
This shift could be good for workers, in theory, if the flexibility of the gig economy lets them switch more easily between employers to take advantage of higher-paying offers. Yet in their analysis of the online-task marketplace Amazon Mechanical Turk, the researchers find that this isn’t necessarily happening. MTurk workers, or Turkers, get paid for repetitive tasks, such as tagging objects found in images or verifying restaurant phone numbers. According to the study, Turkers’ wages amount to less than 20 percent of their productivity—in other words, for every dollar of value produced on MTurk, workers receive less than 20 cents. The Turkers’ share compares with a share of 50 cents to 80 cents of every dollar for workers in the U.S. economy as a whole, Naidu says. “This suggests that much of the surplus created by this online labor-market platform is captured by employers,” the researchers write.
That doesn’t make intuitive sense; since workers can easily switch between tasks, it seems employers would be forced to compete for them by offering good wages. Why isn’t this generally taking place? One explanation is that while workers can shop around for a better deal, employers can do the same. And it may be more important for Amazon to design a crowdsourcing platform that keeps employers happy; after all, Amazon’s revenue comes from charging employers a fee. If other platforms such as Uber have a similar design favoring buyers, then the drivers dropping off Walmart’s groceries won’t have much bargaining power.
“Wages are going to fall,” Naidu predicts. “It’s interesting that Walmart is being so proactive in gig-ifying its own workforce. Retail is one of the sectors that you thought you couldn’t really outsource, but maybe that was wrong.”
The second pillar of Walmart’s approach, automation, could also be bad for workers. Walmart has doubled its use of self-checkouts in stores, according to a recent investor presentation, and newly remodeled locations have fewer lanes staffed with a cashier. What’s more, inside its Store No. 8 incubator, which is experimenting with technologies such as robotics, virtual and augmented reality, and artificial intelligence, Walmart is, according to Recode, developing Project Kepler—a store similar to Amazon Go with no checkout lines or cashiers.
In theory, automation doesn’t have to eliminate jobs, on balance, or drive down worker pay. It could free up workers to do higher value, better-paid tasks. It could generate consumer demand and create new categories of jobs.
David Autor of MIT and Anna Salomons of Utrecht University recently published a study on automation that examined data on 28 industries in 18 countries in the OECD. They find that, since 1970, automation hasn’t reduced jobs—in fact, it has slightly increased them. But since the beginning of the 2000s, automation has reduced workers’ share of national income. “This finding is consistent with automation having become in recent decades less labor-augmenting and more labor-displacing,” they write.
According to their research, workers’ employment, hours, or wages haven’t fallen. But wages have risen less rapidly than overall economic growth, with owners getting an increasingly large share. Autor suggests this trend could continue as automation increases. “No, the robots will not take all of our jobs,” he says in a Brookings video. “The concern should not be about the number of jobs, but whether those jobs are jobs that can support a reasonable standard of living.”
Walmart has been criticized for years for its low pay and skimpy health benefits. The company is also known for its obsession with holding down costs, a factor in its drive toward automation. “We’re maniacal about expenses,” said Brett Biggs, Walmart’s chief financial officer, at an investor conference in March. “I think we have lost some of the edge on that over the last year. You can feel it coming back.” Biggs told attendees a nostalgic tale about arriving at Walmart and experiencing his first “supplies roundup,” when he and his coworkers dug office supplies out of their desks and dropped them in a central location so they wouldn’t have to order more. Then he explained that Walmart employees recently got excited about figuring out ways to reduce the length of a receipt tape.
Still, in January, Walmart—benefiting from an enormous corporate tax break under Donald Trump’s tax reform—said it would raise its starting hourly wage to $11 (around $19,000 a year for 34-hour weeks), hand out bonuses, and provide more benefits to full-time employees. Low-wage workers seemed to be gaining power amid a tight labor market.
In fact, as its strategy unfolds, it seems that Walmart may cultivate a relatively smaller, better-compensated core of employees who are supplemented by automation and a flexible cadre of gig-economy workers. Ten years from now, “there will be fewer associates in the Walmart store ... and we will see the wage rate continue to go up,” Walmart’s chief executive Doug McMillon told The Economic Club of New York in November. “What we would love, not just for Walmart but for retail, is to earn a better reputation about the jobs themselves.”
Given high turnover in retail, McMillon said, Walmart expects to eliminate jobs mostly through attrition. As it automates tedious tasks, such as finding inventory in the back room, it expects to offer jobs that pay more, such as customer service and merchandising.
In all of this, Walmart is trying to adapt to the rapid growth of Amazon, which reported almost $178 billion in revenue last year—about $315,000 per employee. Walmart is much larger, with $500 billion in annual revenue, but because it employs about four times as many people, that revenue amounts to just $217,000 per employee. (According to the Wall Street Journal, Walmart is in early talks with the insurer Humana about possible business relationships such as an acquisition, which would be a way to diversify away from the retail business where it competes with Amazon.)
The changes to Walmart’s business model could be particularly hard on young people who seek retail work. People between the ages of 16 to 24 account for 23 percent of retail workers, nearly double their overall representation in the U.S. workforce. Not all of them can make a seamless shift into the gig economy; Uber, for example, requires workers to be at least 21 years old, and they have to use a four-door car that meets company standards.
It’s been ten years since the Pixar animated movie “Wall-E” depicted oversized humans exiled into space, catered to by robots and floating in armchairs like leaden balloons, far above Earth’s ruined landscape. A decade ago, the fictional villainous corporation Buy N Large was seen as a thinly veiled satire of Walmart. Today, some suggest Amazon is a more apt comparison. Perhaps before any of these companies eats the whole world, another competitor will rise to take its place. In any case, as Autor, Naidu, and their colleagues suggest, we should worry more about working ever harder to keep up than we should about being shoved aside by our robot overlords.
π
Merdeka.com - Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor industri kecil dan menengah (IKM) yang terintegrasi teknologi digital dalam menghadapi era revolusi industri keempat.
BERITA TERKAIT
Berdasarkan Peta Jalan Making Indonesia 4.0, aspek penguasaan teknologi akan menjadi penentu utama keberhasilan dalam implementasi industri 4.0. Dan peta jalan itu akan memberikan arah yang jelas bagi pergerakan Indonesia di masa depan.
Dirjen IKM Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, untuk menumbuhkan dan mengembangkan IKM nasional melalui teknologi digital, Kementerian Perindustrian telah membuat e-Smart IKM.
Kata dia, sejak e-Smart IKM diluncurkan pada akhir 2016 lalu, nilai transaksi di marketplace tersebut telah melebihi Rp320 juta. Adapun penjualan didominasi oleh komoditas makanan dan minuman, logam, furnitur, kerajinan, fesyen, herbal, serta produk industri kreatif lainnya.
"Dalam upaya mendorong pelaku IKM kita terlibat di e-Smart IKM, kami telah melaksanakan workshop agar mereka dibekali pelatihan untuk peningkatan daya saing dan produktivitas usahanya," kata Gati ketika menjadi narasumber pada Indonesia Industrial Summit 2018 di Jakarta, Kamis 5 April 2018.
Dia menjelaskan, pada tahun 2017, sebanyak 1.730 IKM telah mengikuti lokakarya e-Smart IKM. Untuk 2018 ini ditargetkan dapat menggandeng 4.220 IKM dan pada 2019 mencapai 10 ribu IKM di seluruh Indonesia.
Pembinaan dalam program e-Smart IKM juga meliputi pemantauan data performansi setiap pelaku usaha yang telah tergabung dalam e-Smart IKM.
"Nantinya hasil dapat terlihat berapa jumlah pelaku IKM yang sukses dalam transaksinya atau menjadi champion, dan mereka yang belum sukses dalam transaksinya, bahkan di-suspend," ucap dia.
Bagi mereka yang telah sukses, menurut Gati, Kemenperin akan memberikan fasilitas agar mereka dapat mengakses pasar yang lebih luas.
"Akses pasar akan diberikan hingga ke pasar global. Untuk itu, kami memfasilitasi pengembangan produk sesuai standar global dan juga diikuti sebagai peserta pameran internasional," tuturnya.
Bahkan, mereka pun berpeluang untuk menjadi reseller produk-produk IKM lain. Diharapkan kisah sukses mereka bisa menjadi inspirasi bagi para pelaku IKM untuk tumbuh dan berkembang.
Sedangkan bagi yang belum sukses atau bahkan di-suspend oleh marketplace, Ditjen IKM akan mengembangkan agregator, yakni platform yang mengumpulkan produk IKM dan memfasilitasi penjualan online.
"Termasuk logistik dan layanan pelanggan, yang dapat dilakukan oleh Koperasi, Tenaga Penyuluh Lapangan (TPL) IKM, dan IKM champion. Kami telah mengidentifikasi beberapa faktor penyebabnya, antara lain ketiadaan waktu untuk berjualan online karena sibuk berproduksi atau sudah memiliki distributor sendiri," ujarnya.
Gati menambahkan, faktor lain yang menjadi penyebab belum suksesnya pelaku IKM di pasar online, yaitu dari segi karakteristik produk.
"Maksudnya adalah produknya tidak dijual eceran, atau produknya bersifat business to business (B2B), seperti IKM yang memproduksi mesin dan peralatan produksi," katanya. Hal ini akan coba dipecahkan melalui kerjasama dengan marketplace seperti Indonetwork, Indotrading, atau Alibaba.
Akses internet
Untuk mendorong pelaku IKM nasional masuk ke marketplace, Kemenperin beserta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejak tahun 2017 telah bekerja sama untuk memfasilitasi akses internet di sentra IKM seluruh Indonesia. "Sampai saat ini sudah terpasang di empat titik sentra IKM, dan empat titik lainnya sedang menyusul," kata dia.
Keempat sentra IKM yang sudah terpasang, yaitu di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Polewali Mandar (Sulawesi Barat), Bondowoso (Jawa Timur) dan Lampung, serta sisanya yang masih dalam proses pemasangan akses internet adalah di Kepulauan Sangihe (Sulawesi Utara), Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Seram Bagian Barat (Maluku).
5G di kawasan industri
Seperti yang sudah disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, pemerintah akan meningkatkan jaringan internet 5G di kawasan industri. Upaya ini dilakukan guna mendukung implementasi industri 4.0.
Nantinya Kemenperin akan berkoordinasi dengan Kemenkominfo guna membahas regulasinya serta menggandeng PT Telkom selaku operator penyedia layanan internet untuk perencanaan teknisnya.
Menurut Airlangga, dalam upaya penerapan jaringan internet 5G di kawasan industri tersebut, saat ini masih dirancang peta wilayah pemasangannya.
"Industri 4.0 membutuhkan kecepatan data hingga 5G. Kalau datanya pakai yang lemot, ketika mau lihat proses di pabrik dan yang tampil dimonitor akan ada time lag, waktu yang tidak cocok," kata Airlangga.
Menperin menjelaskan, memasuki era digital saat ini harus diimbangi dengan kualitas jarigan internet yang cepat. Pemasangan jaringan internet 5G tersebut terkait dengan pelaksanaan peta jalan Making Indonesia 4.0.
Industri andalan
Pemerintah telah mendorong industri memasuki dunia digital. Ada lima sektor pengembangan industri manufaktur yang akan menjadi percontohan, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika.
Lima sektor itu merupakan industri andalan yang tengah diprioritaskan pengembangannya di hampir seluruh dunia.
"Sekitar 84 persen ekonomi dunia disokong oleh sektor-sektor tersebut. Ini yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga tiga ribu kali lipat," ucapnya.
Bahkan, saat ini pengembangan IKM juga menjadi salah satu langkah strategis mewujudkan ekonomi inklusif, yang sifatnya sama dengan e-commerce platform.
Dengan demikian, IKM dapat bersaing secara global. "Untuk itu, industri nasional membutuhkan konektivitas serta interaksi melalui teknologi," ujar Airlangga.
Pengembangan sektor IKM dalam negeri telah lama berperan penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Kemenperin mencatat, jumlah unit usaha IKM di dalam negeri terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Misalnya, pada tahun 2013, sebanyak 3,43 juta IKM, naik menjadi 3,52 juta IKM pada tahun 2014. Kemudian, mampu mencapai 3,68 juta IKM di tahun 2015, dan bertambah lagi hingga 4,41 juta tahun 2016. Pada tahun 2017 jumlah IKM diperkirakan lebih dari 4,5 juta unit usaha.
Rencana penerapan jaringan internet 5G ini ditargetkan mulai terlaksana saat perhelatan Asian Games 2018 pada Agustus mendatang. "Pada Asian Games akan kita buat prototipe-nya," ujar dia. [esy]
π
SINGAPURA, KOMPAS.com - Perusahaan teknologi penyedia layanan on-demand Grab dikabarkan tengah bersiap untuk memperoleh suntikan modal dari raksasa perdagangan dalam jaringan (daring) Alibaba. Sebelumnya, Grab baru saja mengumumkan akuisisinya atas bisnis Uber di Asia Tenggara. Dikutip dari TechCrunch, Jumat (6/4/2018), menurut dua orang sumber yang tak diungkap identitasnya, Alibaba tengah berada dalam tahap awal untuk investasi di Grab. Belum jelas seberapa besar nilai investasi yang akan ditanamkan Alibaba. Namun demikian, valuasi pasar Grab terakhir mencapai 6 miliar dollar AS. Selain itu, belum jelas pula kapan Alibaba akan berinvestasi di Grab, karena saat ini tengah dilakukan investigasi mengenai akuisisi Uber oleh Grab. Baca juga : Grab Akuisisi Uber, Ini Dampaknya bagi Penumpang dan Mitra Pengemudi Komisi Persaingan Usaha Singapura menyatakan ada kemungkinan merger Grab-Uber menyalahi aturan. Adapun sejumlah negara lain melihat implikasi merger tersebut. Akan tetapi, merger tersebut pada dasarnya telah disetujui kedua belah pihak dan SoftBank sebagai pemegang saham terbesar Grab. Pihak Grab enggan berkomentar mengenai hal tersebut. Sementara itu, pihak Alibaba mengaku tidak mau mengonfirmasi rumor yang beredar di pasar. Alibaba dan Grab pertama kali membicarakan investasi pada musim panas tahun lalu. Akan tetapi, Alibaba lebih fokus pada investasi di Tokopedia, unicorn e-commerce asal Indonesia. Investasi di Tokopedia lebih diprioritaskan lantaran Tencent, pesaing Alibaba, juga memutuskan untuk memperkuat investasinya di Indonesia, ekonomi terbesar Asia Tenggara, melalui Tokopedia . Baca juga : Menilik Duel Investasi Alibaba dan Tencent Alibaba mengandalkan SoftBank untuk memenangkan Tokopedia atas Tencent. Alibaba kemudian sukses menanamkan modal sebesar 1,1 miliar dollar AS kepada Tokopedia. Di sektor transportasi berbasis aplikasi sendiri, ada alasan bagus bagi Alibaba untuk menanamkan modal di Grab. Sebab, Tencent adalah investor Go-Jek, pesaing terberat Grab, sehingga ini menjadi alasan tepat bagi Alibaba untuk ikut dalam persaingan yang ketat tersebut.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Alibaba Dikabarkan Bakal Investasi di Grab", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/06/114853126/alibaba-dikabarkan-bakal-investasi-di-grab.
Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Aprillia Ika
π΄
Jakarta - Ketua DPR Bambang Soesatyo memberikan apresiasi tinggi atas langkah cepat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membawa Indonesia menyongsong era Revolusi Industri 4.0. Dalam ajang Indonesia Industrial Summit 2018, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian telah membuat road map Making Indonesia 4.0.
"Road map tersebut menunjukan keseriusan pemerintah dalam menjalankan berbagai strategi agar Indonesia tidak hanya menjadi player, namun juga menjadi key maker dalam gelombang Revolusi Industri 4.0. DPR siap memberikan dukungan dan mengawal road map tersebut agar bisa diimplementasikan secara tepat," ujar Bambang di Jakarta, Rabu (4/4).
Dikataan, Revolusi Industri 4.0 akan merombak pergerakan perekonomian dunia. Jika tidak mempersiapkan diri dari sekarang, Indonesia akan tertinggal jauh dalam perekonomian dunia. "Presiden Jokowi sudah melakukan berbagai langkah persiapan yang sangat baik. Saya juga yakin, Pak Airlangga Hartarto yang memimpin Kementerian Perindustrian bisa menjadi tumpuan utama mempersiapkan industri kita menghadapi Revolusi Industri 4.0," ujarnya.
Politisi Partai Golkar ini mengajak seluruh elemen bangsa tak gentar menghadapi Revolusi Industri 4.0. Kondisi masyarakat yang heterogen dan kekuatan infrastruktur sebagai penunjang konektifitas menjadi modal dasar yang sangat kuat bagi Indonesia.
"Tingkat pendidikan dan melek teknologi masyarakat juga sudah baik. Tinggal bagaimana menyalurkan berbagai potensi yang ada untuk dapat menjadi nilai tambah. Saya yakin road map Making Indonesia 4.0 tersebut akan menjadi jawaban yang tepat. Saya harap masyarakat semua mendukungnya," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com
πΉ
kumparan: Internet merubah landscape periklanan secara mendasar. TV, Koran, dan Billboard yang dulu menjadi sarana hubungan utama antara produsen dan konsumen, kini digantikan oleh telepon genggam. Youtube, Aplikasi Chating, Media Sosial, kini menjadi ruang utama konsumen berada. Karenanya agensi periklanan – kelompok para penyihir itu – kini terus berupaya merumuskan jalan terbaik bagaimana menyebar mantra mujarabnya.
Salah satu upaya untuk mencari jalan keluar sekaligus mengukur keberhasilan inovasi dan strategi para agensi periklanan diciptakanlah acara tahunan festival dan penghargaan. Di Indonesia misalnya, ada Citra Pariwara, Pinasthika, dan banyak lainnya. Di level internasional, ada The D&AD (Design & Art Direction) yang berbasis di London, The One Club di New York, dan The Cannes Lions di Paris, ketiganya adalah perayaan dunia periklanan terbesar di dunia.
Di wilayah Middle East & North Africa (MENA), Dubai Lynx menjadi perayaan periklanan terbesar. Dubai Lynx diadakan pertama kali pada 2009 bersamaan dengan krisis ekonomi yang menghajar Amerika dan memengaruhi seluruh dunia hingga hari ini. Para penyihir tak hanya menghadapi realitas teknologi konsumen yang berubah, namun juga ekonomi yang sedang lesu. Pencarian arsip percakapan terkait Dubai Lynx 2009, salah satunya didominasi oleh tema What’s Next, apalagi yang harus dikerjakan?
Dubai Lynx bermakna sangat strategis bagi inovasi dunia periklanan karena berada di dunia yang sedikit berbeda dengan dunia barat pada umumnya. Secara kultur, perempuan Arab menggunakan kain penutup di sekujur tubuhnya dan baru tahun lalu perempuan Saudi Arabia diperkenankan untuk menyetir mobil. Jadi, begitu banyak yang bisa dipelajari dari inovasi periklanan di Dubai Lynx. Selain itu, Dubai Lynx merupakan sister festival dari Cannes Lion, jadi standar global premiumnya membuatnya menjadi even yang paling kredibel di wilayah MENA.
Sihir Terbaik
Dubay Lynx berlangsung selama 4 hari dari 11-14 Maret. Ribuan kreator dari wilayah itu berkumpul untuk saling berbagi pengetahuan dan jaringan. Dan puncak perayaannya ada pada pengumuman pemenang iklan dan agensi terbaik di hari terakhir acara.
Dengan puluhan kategori yang diperlombakan, TBWAA\RAAD agensi yang berbasis di Dubai memborong piala terbanyak dengan total 43 kemenangan termasuk 8 Grand Prix, 7 medali emas, 13 silver, dan 15 Bronze.
Di kategori Creative Effectiveness, TBWAA menang untuk iklan sabun cuci piring, Pril. Ingat kan sabun cuci piring terkenal dengan frasa ‘satu tetes saja’ untuk membersihkan setumpuk piring. Dan Pril, di tengah persaingan branding sebagai yang sebenar-sebenarnya satu tetes saja, berkonotosi dengan sabun yang manjur menghilangkan amis sekaligus irit penggunaannya, menciptakan produk baru dalam kemasan yang sebenar-benarnya hanya berisi satu tetes. Ini iklannya:
Di kategori promo, TBWAA menang dengan iklan Nissan untuk kawasan Timur Tengah yang merubah mantra tenaga kuda menjadi tenaga unta. Di kategori Mobile, ia menang untuk iklan aplikasi McDonald, Promoticon.
Pada tahun ini, Dubai Lynk juga melombakan kategori baru yakni iklan bidang kesehatan. Pemenangnya, kampanye bagi perempuan Timur Tengah untuk melakukan deteksi dini payudaranya. Karena 44 persen kanker di Timteng disebabkan oleh kanker payudara dan di sana masih sangat tabu untuk mempercakapkan payudara. Dan iklan bekerja dengan cara yang sangat simple yakni meletakkan pesan deteksi dini di sebuah kerikil yang telah diberi pesan dan dimasukkan ke sepatu para perempuan saat mereka sedang sholat di masjid. Berikut video presentasinya :
Dunia terus berubah, manusia terus merespons dengan karya-karya terbaiknya. Di dunia sihir, para agensi berlomba untuk menjadi paling ampuh dalam mendorong khalayak ke arah yang mereka tetapkan. Tak hanya agensi yang semestinya belajar, konsumen (publik) juga musti tumbuh mengenali sihir agar benar-benar mendapat semua yang terbaik. Para pembelajar tak akan bisa digiring oleh sihir, kecuali memang ia sangat menginginkannya. (YK - 1)
πΉ
marketwatch: FAST CHANGING WORLD : Those of us in middle age have felt the pace of our lives speed up as we’ve gotten older. But it wasn’t until I recently recorded my mother during her 94th birthday celebration that I appreciated just how concentrated the pace of change has been for someone in her 10th decade. “Everything changed so fast. But it was recently, not when I was young,” Mom said. “Everything from computers to printers to iPads. All that technology happened very fast, too much at once.”Those words echoed a book I just read by Pulitzer Prize-winning New York Times columnist Thomas Friedman: “Thank You For Being Late: An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelerations.” Technology is just one of three accelerations Friedman says we’re experiencing (the others: globalization and climate change).
Be open and be moving up. Do those two things and good things will happen.
Thomas Friedman
He and I talked in his Washington, D.C. office about the forces reshaping the world — especially the workplace — and what people in their 50s and 60s can do about them. Highlights:
Question: You pose a question in your book: Are things just getting too damned fast? I know how my 94-year-old mother would answer it. How about you?
Thomas Friedman: Yes, they are. We’re living through a change in the pace of change.
Eric “Astro” Teller [CEO of the Google GOOG, +0.38% X R&D lab and grandson of hydrogen bomb designer Edward Teller] says the cycle of a fundamentally new technology to be introduced, scaled and replaced is now roughly five to seven years. And it’s moving to three to five years.
If you think of new technology as moving up in steps — mainframes to desktop to laptop to hand-held — with each one of those steps, you get a set of technologies, they diffuse, they scale and they give birth to the next one. The new capabilities keep coming. We can store more stuff, we can compute more stuff faster and we can send it down pipes faster.
When you put it all together, it’s staggering what’s going on in the change of the pace of change.
To demonstrate the frenetic pace of technology you’ve lived through, you describe the Adler manual typewriter you started on as a journalist in London and how over time, the tools of your craft kept changing at a faster and faster clip. Would you have ever expected the Adler to be listed on eBay EBAY, -0.12% as a “rare vintage antique”?
When I looked up the history of the typewriter, it said the typewriter was the main writing device for a hundred years from 1880 to 1980. And I started my journalism career in 1978. So I was at the very tail end of the typewriter era.
Then I worked on a big word processor, an IBM IBM, -0.78% desktop, a Tandy PC, different PCs, then a Dell, laptops and then iPhones. We had a writing device that lasted a hundred years and now we’re in pretty rapid changes in a decade. You’re recording this on your phone, not a tape recorder. You can see how fast it’s moving.
You quote a Congressman from Minnesota who said that over the last 50 years, if you were an average worker, you needed “a plan to fail.” When and why did that change?
Two things happened. When you think of the average worker in the ‘50s, ‘60s and ‘70s, what was the golden era of productivity, there was so much blue-collar labor because of America’s industrial explosion after the war and because everyone else was still flat on their back because of the war. And you had a lot of white-collar work. My uncle worked at a bank as a loan officer in Minneapolis with just a high-school diploma. And that’s why you needed ‘a plan to fail’ to get out of the way of that updraft.
Then during the ‘80s, ‘90s and early aughts, globalization began to kick in and the pace of technology started to kick in.
And the combination of the two posed a challenge for a lot of these workers. But we took care of them with home mortgages, so they were able to ride up the value of their home. And we had a big credit expansion; people could charge things much more efficiently on their VISA V, -0.67% card.
And then 2007 hit. You had a leap up to a new platform — automation and software — that really started to rapidly devour white-collar and blue-collar lower-skilled work. And then the next year, the great recession ate people’s mortgages.
There was a group of people whose home and job were fundamentally threatened at the same time, the two things that were keeping them in the middle class. I think there were a lot of Trump voters caught in that pincer movement. It explains the level of anger and the sense that the game was rigged.
You cite AT&T T, +0.46% as among the most innovative in preparing its workers for the future.
There’s a new social contract at AT&T. It’s very simple. You can be a lifelong worker at AT&T now, but only if you’re a lifelong learner. That’s the only way. You have to invent, reinvent and renew your job.
When I graduated from college, I got to find a job. My daughters really had to invent a job. They’ll have to advance, retool and reinvent themselves so many more times than I did originally.
So much more is on you. The government can help you with a safety net, but it can’t make you go to school.
How does AT&T incentivize employees to become lifelong learners?
Their deal is you need to take the degrees AT&T has designed with Udacity [an online university] in order to upgrade your skills and acquire the skills you’ll need for the AT&T of the future, which is now much more of a technology company and less about climbing up telephone poles. If you do that, they’ll give you first crack when new jobs open. They won’t go outside.
AT&T’s deal is we’ll give you the courses, we’ll even pay your tuition — up to $8,000 a year and $30,000 over your lifetime at the company — but you have to take the courses on your own time.
If you’re ready to do the learning, they’re ready to do the hiring. But if you’re not, they have a nice severance package. You’re not going to work there any longer.
That kind of social contract is coming to the rest of the country. And so you have to have more grit, persistence and self-motivation. A lot of people don’t have that.
Lifelong learning is great advice for someone just starting out. What about the boomers? Is there a way for them to leverage their experience and reorient themselves for these seismic shifts in the workplace?
I always think there is. At a talk last night in Washington, a woman came to the microphone who started a global trade company called Linkages. She said: ‘I am the epitome of what you call diverse, adaptive, inclusive, entrepreneurial and resilient.’ She looked close to my age, 63. She sure wasn’t a millennial.
The great thing about this system is it’s open. If you want to start a company like she did, no one is going to stand over you and urge you. You’ve got to take ownership yourself. This really is an age of ownership. Where ownership exists, good things happen.
People are self-propelled. I can’t coast here at the New York Times. I’m running as fast as I always did.
What advice can you share with younger boomers in their 50s and older boomers closer to retirement?
When you’re at an intersection like this one of rapid accelerations, there are only two ways to survive. You have to be really open, so you get the signals first. And you want your skills to always be moving ahead. Be open and be moving up. Do those two things and good things will happen.
Your friend’s quote, ‘When you press the pause button on a machine, it stops, but when you press the pause button on human beings, they start,’ is a call to get off our devices and take time to reflect, rethink and reimagine. But with a culture tethered to devices, isn’t that easier said than done?
I can only speak for myself. I’m not sitting there watching Twitter. TWTR, -0.43% I’m not on Facebook. FB, -0.34% If you’re speaking to me through Facebook or Twitter, I’m not listening. So let’s start there.
I’m a fairly disconnected person who operates in a kind of old-fashioned way and I do that deliberately because drinking from this digital fire hose is too much for me. I’m just not interested in hearing what everyone is saying about each other or for that matter, about me.
If you write me a paper letter, I’ll answer it. Other than that, I’m trying to slow down and get across that it’s all the stuff that is old and slow that you cannot download — that’s the stuff that matters most.
The subtitle of the book is ‘An optimist’s guide to thriving in the age of accelerations.’ Given these huge forces, all occurring simultaneously, how easy is it to be an optimist?
There are troubled communities such as the south side of Chicago, but there are also many thriving ones. And I prefer to focus on those and try to understand why they’re thriving.
And then what is it we can scale? That’s really why I went back to Minnesota [where he grew up]. There’s enormous innovation there and that’s the message I wanted to convey: that if you look at the country from the bottom up, you can be very optimistic and very inspired.
Richard Harris is a freelance writer. He was managing editor of the AARP-funded public TV show “Inside E Street,” focusing on the 50+ and senior producer of the 2013 PBS documentary “Guns in America.”
This article is reprinted by permission from NextAvenue.org, © 2017 Twin Cities Public Television, Inc. All rights reserved.
π
Cars transformed retailing, giving rise to suburban malls with lots of shops and parking. AVs, combined with the rise of e-commerce, could transform it again.
Cars changed the world in all sorts of unforeseen ways. They granted enormous personal freedom, but in return they imposed heavy costs.
People working on autonomous vehicles (AV) generally see their main benefits as mitigating those costs, notably road crashes, pollution and congestion. GM's boss, Mary Barra, likes to talk of "zero crashes, zero emissions and zero congestion." AVs, their champions argue, can offer all the advantages of cars without the drawbacks.
In particular, AVs could greatly reduce deaths and injuries from crashes. Globally, around 1.25 million people die in such crashes each year, according to the WHO; it is the leading cause of death among those ages 15 to 29. Another 20 million to 50 million people are injured. Most crashes occur in developing countries, where the arrival of autonomous vehicles is still some way off.
But evidence that AVs are safer is already building up. Waymo's vehicles have driven 4 million miles on public roads; the only crashes that they have been involved in while driving autonomously were caused by humans in other vehicles. AVs have superhuman perception and can slam on the brakes in less than a millisecond, compared with a second or so for human drivers.
But "better than human" is a low bar. People seem prepared to tolerate deaths caused by human drivers, but AVs will have to be more or less infallible. A realistic goal is a thousandfold improvement over human drivers, said Amnon Shashua of Mobileye, a maker of AV technology. That would reduce the number of road deaths in the United States each year from 40,000 to 40, a level last seen in 1900.
Building efficiencies?
Whether AVs will be able to reduce congestion is much less clear. The lesson of the 20th century is that building more roads to ease congestion encourages more car journeys. If robotaxis are cheap and fast, people will want to use them more. Yet there are reasons to think that the roads would become less crowded.
Widespread sharing of vehicles would make much more efficient use of road space; computer-controlled cars can be smart about route planning; and once they are widespread, AVs can travel closer together than existing cars, increasing road capacity.
Yet to think about AVs as a fix for the problems caused by cars is to risk falling into a familiar historical trap. This is exactly how people thought about cars when they first appeared: as a fix for the problems caused by horses. "Cars replaced something that was in many ways far worse," said Donald Shoup of the University of California, Los Angeles. "But because of bad planning, they had unintended consequences."
What might follow from AVs?
Cars transformed retailing, giving rise to suburban malls with lots of shops and plenty of parking. AVs, combined with the rise of e-commerce, could transform it again. "The Walmart of the future might be fleets of vehicles ready to drop off anything that you might get at a Walmart," said Peter Norton of the University of Virginia.
Or you might order an AV to take you home from work, and arrange to have your groceries, or a meal, waiting for you when you climb aboard. And why should shops, restaurants or other facilities be fixed in place? Coffee shops or food stands could restock at a central depot and then migrate to business neighborhoods in the morning and entertainment districts in the evening, suggested Chenoe Hart, an architectural designer at the University of California, Berkeley.
Carmakers are experimenting with delivery vehicles that draw up outside a customer's home, announce their arrival by text message and allow items to be retrieved from a locked compartment by entering a code. Low-cost deliveries using AVs could stimulate local production of all kinds of things, most notably food.
Another possibility, said Johann Jungwirth of Volkswagen, is that restaurants or retailers might cover the cost of travel to encourage customers to visit them. Fancy restaurants might lay on luxury AVs to ferry sozzled customers home, as part of the cost of a meal. Retailers could offer to pay for shoppers' rides. Ride-hailing networks have a lot of customer data that could be used to target in-vehicle advertising. Hail an AV to go to one shop or restaurant, and you might see ads for a rival. Riders may be offered cheaper rides with ads or more expensive ones without them.
Unintended consequences
What unintended consequences might there be? One much-heralded benefit of AVs is that they will offer freedom and independence to people who cannot drive cars: the very old, the very young and the disabled. Such vehicles are already ferrying around people in retirement communities, and one of Google's videos shows a blind man doing errands in an autonomous car.
But AVs could also encroach on freedom by invading people's privacy. And if people no longer drive cars, one consequence may be new forms of segregation, Hart said. In authoritarian societies, AVs could be a powerful tool of social control.
AVs could also trigger a shortage of organ donors (many of whom are young people killed in car accidents) and a drop in smoking (more than half of all tobacco sales in the United States are made at gas stations, which will vanish). And if cars are no longer symbols of independence and self-definition for the young, other things will have to take their place.
Like cars before them, AVs will change the texture of everyday life.
π
startribune: The Mall of America is proposing a massive water park just east of the mall that the city of Bloomington would finance, own and collect the potential profits from.
The mall’s owners, Triple 5, who said they have been contemplating adding a water park for years, made their pitch to the city’s Port Authority in a memo made public Tuesday.
The document said Triple 5 would lease the land to the city and be hired by the city to operate the park, which would cost $150 million to $200 million to build, measure roughly 225,000 square feet and be “one of the largest indoor water parks in North America.”
Port Authority Administrator Schane Rudlang said Wednesday that the project “is in the extremely early stages” of consideration by the city and it would be years from now before the first waves take patrons for a ride.
Triple 5 said the park would like to have a major “international brand” involved such as DreamWorks or Nickelodeon, which already is the brand for the mall’s indoor amusement park.
This park would be open to the public, unlike the much smaller one at Great Wolf Lodge near the mall that gives access only to its hotel guests.
The water park at the West Edmonton Mall is operated by the Mall of America’s owners.
The water park at the West Edmonton Mall is operated by the Mall of America’s owners.
The mall owners’ memo held up the water park at their West Edmonton Mall in Alberta as a model for what they want at the Mall of America, pointing out that the West Edmonton park has slides, other rides, a large wave pool that hosts evening beach parties and surfing leagues.
West Edmonton’s water park “brings in over 500,000 users annually and adds to the vibrancy” of the mall, the memo read.
American Dream Meadowlands, a Triple 5 mall expected to open next year in East Rutherford, N.J., includes a water park schemed to be the continent’s largest at 285,000 square feet.
Private financing for an MOA water park was considered, the memo continued, but interest rates for that option would likely create higher payments on the debt than the park’s revenue could support.
Because the city can borrow money at rates below what’s available to private entities, Triple 5 said its early projections show a potential for $1 million to $2 million in annual profits.
Triple 5 sought to assure the city that it would not have to tap its coffers should the park operate at a loss, pointing to various now-dormant sales and use taxes at its disposal.
For example, Port Authority Administrator Rudlang said, “You buy a Coke at the Mall of America, it would be additional money for the city.”
Through this menu of taxing options, known as Additional Revenue by Legislation, “the city would not be putting its property taxpayers” on the hook should revenue fail to cover payment on the park’s financing.
In response and ahead of deciding whether to sign off on the project, the Port Authority recommend to the city that up to 10 port representatives visit the West Edmonton water park as part of its continued analysis of Triple 5’s proposal. However, Rudlang said, such a trip “is on hold” as the authority continues doing its homework.
The plot of land being eyed for the MOA water park is now surface parking owned by Triple 5. The park is part of an “Adjoining Lands” plan that includes one or more hotels, performance and meeting space and unspecified sports areas.
π¦
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui sistem keuangan digital nasional termasuk transaksi elektronik rentan diserang oleh kejahatan cyber dari negara lain.
"Bukan hanya sistem keuangan negara, tapi seluruh sistem keuangan dan ekonomi kita. Karena sistem negara kita sangat mungkin di-attack (diserang) dari luar," ujar Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (2/3/2018).
Bahkan, lanjut Menkeu, pembahasan terkait keamanan cyber selalu menjadi fokus pembahasan setiap pertemuan International Moneter Fund dan World Bank.
"Frekuensinya minimal 10 kali dalam satu menit di attack (hack). Jadi sangat seringnya, sehingga kita harus membangun sistem yang andal dan aman," tegas Menkeu.
Sementara itu, salah satu upaya dalam meningkatkan sistem digital dengan melibatkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) khusunya penggunaan digital signature.
Dengan menggunakan digital signature atau tanda tangan digital memungkinkan Kemenkeu dalam penyampaian Arsip Data Komputer (ADK) dan dokumen melalui jaringan internet tanpa harus ptoses tatap muka.
"Dengan digital signature ini dan Kemenkeu yang pertama, kita percaya diri masuk ke era digital dan membantu kita memiliki tata kelola yang baik, serta mampu men-track transaksi data secara baik tanpa kompromi dengan keamanannya," jelas Sri Mulyani.
Cars changed the world in all sorts of unforeseen ways. They granted enormous personal freedom, but in return they imposed heavy costs.
People working on autonomous vehicles (AV) generally see their main benefits as mitigating those costs, notably road crashes, pollution and congestion. GM's boss, Mary Barra, likes to talk of "zero crashes, zero emissions and zero congestion." AVs, their champions argue, can offer all the advantages of cars without the drawbacks.
In particular, AVs could greatly reduce deaths and injuries from crashes. Globally, around 1.25 million people die in such crashes each year, according to the WHO; it is the leading cause of death among those ages 15 to 29. Another 20 million to 50 million people are injured. Most crashes occur in developing countries, where the arrival of autonomous vehicles is still some way off.
But evidence that AVs are safer is already building up. Waymo's vehicles have driven 4 million miles on public roads; the only crashes that they have been involved in while driving autonomously were caused by humans in other vehicles. AVs have superhuman perception and can slam on the brakes in less than a millisecond, compared with a second or so for human drivers.
But "better than human" is a low bar. People seem prepared to tolerate deaths caused by human drivers, but AVs will have to be more or less infallible. A realistic goal is a thousandfold improvement over human drivers, said Amnon Shashua of Mobileye, a maker of AV technology. That would reduce the number of road deaths in the United States each year from 40,000 to 40, a level last seen in 1900.
Building efficiencies?
Whether AVs will be able to reduce congestion is much less clear. The lesson of the 20th century is that building more roads to ease congestion encourages more car journeys. If robotaxis are cheap and fast, people will want to use them more. Yet there are reasons to think that the roads would become less crowded.
Widespread sharing of vehicles would make much more efficient use of road space; computer-controlled cars can be smart about route planning; and once they are widespread, AVs can travel closer together than existing cars, increasing road capacity.
Yet to think about AVs as a fix for the problems caused by cars is to risk falling into a familiar historical trap. This is exactly how people thought about cars when they first appeared: as a fix for the problems caused by horses. "Cars replaced something that was in many ways far worse," said Donald Shoup of the University of California, Los Angeles. "But because of bad planning, they had unintended consequences."
What might follow from AVs?
Cars transformed retailing, giving rise to suburban malls with lots of shops and plenty of parking. AVs, combined with the rise of e-commerce, could transform it again. "The Walmart of the future might be fleets of vehicles ready to drop off anything that you might get at a Walmart," said Peter Norton of the University of Virginia.
Or you might order an AV to take you home from work, and arrange to have your groceries, or a meal, waiting for you when you climb aboard. And why should shops, restaurants or other facilities be fixed in place? Coffee shops or food stands could restock at a central depot and then migrate to business neighborhoods in the morning and entertainment districts in the evening, suggested Chenoe Hart, an architectural designer at the University of California, Berkeley.
Carmakers are experimenting with delivery vehicles that draw up outside a customer's home, announce their arrival by text message and allow items to be retrieved from a locked compartment by entering a code. Low-cost deliveries using AVs could stimulate local production of all kinds of things, most notably food.
Another possibility, said Johann Jungwirth of Volkswagen, is that restaurants or retailers might cover the cost of travel to encourage customers to visit them. Fancy restaurants might lay on luxury AVs to ferry sozzled customers home, as part of the cost of a meal. Retailers could offer to pay for shoppers' rides. Ride-hailing networks have a lot of customer data that could be used to target in-vehicle advertising. Hail an AV to go to one shop or restaurant, and you might see ads for a rival. Riders may be offered cheaper rides with ads or more expensive ones without them.
Unintended consequences
What unintended consequences might there be? One much-heralded benefit of AVs is that they will offer freedom and independence to people who cannot drive cars: the very old, the very young and the disabled. Such vehicles are already ferrying around people in retirement communities, and one of Google's videos shows a blind man doing errands in an autonomous car.
But AVs could also encroach on freedom by invading people's privacy. And if people no longer drive cars, one consequence may be new forms of segregation, Hart said. In authoritarian societies, AVs could be a powerful tool of social control.
AVs could also trigger a shortage of organ donors (many of whom are young people killed in car accidents) and a drop in smoking (more than half of all tobacco sales in the United States are made at gas stations, which will vanish). And if cars are no longer symbols of independence and self-definition for the young, other things will have to take their place.
Like cars before them, AVs will change the texture of everyday life.
π
startribune: The Mall of America is proposing a massive water park just east of the mall that the city of Bloomington would finance, own and collect the potential profits from.
The mall’s owners, Triple 5, who said they have been contemplating adding a water park for years, made their pitch to the city’s Port Authority in a memo made public Tuesday.
The document said Triple 5 would lease the land to the city and be hired by the city to operate the park, which would cost $150 million to $200 million to build, measure roughly 225,000 square feet and be “one of the largest indoor water parks in North America.”
Port Authority Administrator Schane Rudlang said Wednesday that the project “is in the extremely early stages” of consideration by the city and it would be years from now before the first waves take patrons for a ride.
Triple 5 said the park would like to have a major “international brand” involved such as DreamWorks or Nickelodeon, which already is the brand for the mall’s indoor amusement park.
This park would be open to the public, unlike the much smaller one at Great Wolf Lodge near the mall that gives access only to its hotel guests.
The water park at the West Edmonton Mall is operated by the Mall of America’s owners.
The water park at the West Edmonton Mall is operated by the Mall of America’s owners.
The mall owners’ memo held up the water park at their West Edmonton Mall in Alberta as a model for what they want at the Mall of America, pointing out that the West Edmonton park has slides, other rides, a large wave pool that hosts evening beach parties and surfing leagues.
West Edmonton’s water park “brings in over 500,000 users annually and adds to the vibrancy” of the mall, the memo read.
American Dream Meadowlands, a Triple 5 mall expected to open next year in East Rutherford, N.J., includes a water park schemed to be the continent’s largest at 285,000 square feet.
Private financing for an MOA water park was considered, the memo continued, but interest rates for that option would likely create higher payments on the debt than the park’s revenue could support.
Because the city can borrow money at rates below what’s available to private entities, Triple 5 said its early projections show a potential for $1 million to $2 million in annual profits.
Triple 5 sought to assure the city that it would not have to tap its coffers should the park operate at a loss, pointing to various now-dormant sales and use taxes at its disposal.
For example, Port Authority Administrator Rudlang said, “You buy a Coke at the Mall of America, it would be additional money for the city.”
Through this menu of taxing options, known as Additional Revenue by Legislation, “the city would not be putting its property taxpayers” on the hook should revenue fail to cover payment on the park’s financing.
In response and ahead of deciding whether to sign off on the project, the Port Authority recommend to the city that up to 10 port representatives visit the West Edmonton water park as part of its continued analysis of Triple 5’s proposal. However, Rudlang said, such a trip “is on hold” as the authority continues doing its homework.
The plot of land being eyed for the MOA water park is now surface parking owned by Triple 5. The park is part of an “Adjoining Lands” plan that includes one or more hotels, performance and meeting space and unspecified sports areas.
π¦
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui sistem keuangan digital nasional termasuk transaksi elektronik rentan diserang oleh kejahatan cyber dari negara lain.
πΉ
Huawei’s AI-powered smartphone drives car
BARCELONA, 2 days ago
tradearabia.com
Huawei, the global technology leader, has become the first mobile device manufacturer in the world to use an AI-powered smartphone to drive a car.
The ‘RoadReader’ project pushes the boundaries of Huawei’s object recognition technology and puts the learning capabilities, speed and performance of its AI-powered devices to the test.
Unlike other driverless cars, which simply detect obstacles Huawei has transformed a Porsche Panamera into a driverless vehicle that doesn’t just see, but crucially, understands its surroundings. This means that it can distinguish between thousands of different objects including a cat and a dog, a ball or a bike and learn to take the most appropriate course of action.
Huawei’s ‘RoadReader’ project is taking advantage of the AI capabilities already in the Huawei Mate 10 Pro. The device uses AI to automatically recognise objects like cats, dogs, food, and other objects, to help people take pictures like a pro.
Most autonomous cars currently being developed rely on the computing power of purpose-built chips developed by third-party technology providers. However, as part of its ongoing mission to make the impossible possible, Huawei has used technology already available in its smartphones, demonstrating its superior functionality and ability to stand up to even the most advanced technology developed for use in self-driving cars.
“Our smartphone is already outstanding at object recognition. We wanted to see if in a short space of time we could teach it to not only drive a car, but to use its AI capabilities to see certain objects, and be taught to avoid them” said Andrew Garrihy, Chief Marketing Officer, Huawei Western Europe. “If our technology is intelligent enough to achieve this in just 5 weeks – what else can it make possible?”
Huawei is showcasing the RoadReader project and the vehicle’s capabilities at the two-day Mobile World Congress in Barcelona (MWC). Delegates were invited to test ‘drive’ the car themselves, teaching it to identify and manoeuvre around certain objects. – TradeArabia News Service
π
ID: Pengguna internet di Indonesia terus bertambah. Makin banyaknya pengguna internet merupakan peluang pasar bagi pengembangan ekonomi digital di Tanah Air. Namun sayangnya, pemanfaatan internet saat ini lebih banyak untuk media sosial dan percakapan (chatting), dibandingkan untuk kegiatan produktif.
Survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 143,26 juta orang dengan penetrasi 54,68 persen dari total populasi 262 juta jiwa pada 2017. Jumlah tersebut meningkat sekitar 10 persen dibandingkan tahun 2016 sebanyak 132,7 juta jiwa. Jumlah pengguna internet akan terus meningkat setiap tahunnya, diproyeksikan tumbuh berkisar 65-70 persen hingga 2019.
Prediksi peningkatan yang sangat signifikan tersebut akan didorong terutama dengan rampungnya proyek penggelaran kabel serat optik Palapa Ring I-III pada awal 2019. Rampungnya proyek Palapa Ring akan menambah keterjangkauan internet di 114 kota-kabupaten dari saat ini 400 kota-kabupaten, sehingga seluruh kota-kabupaten di Indonesia yang berjumlah 514 bisa terjangkau internet. Sedangkan untuk daerah-daerah terpencil yang tidak bisa dijangkau serat optik, akan dijangkau dengan satelit milik pemerintah mulai 2022.
Survei APJII juga menyebutkan tren akses terhadap layanan yang disediakan di jaringan internet. Ternyata, jumlah pengguna yang mengakses layanan aplikasi percakapan (chatting) masih mendominasi sebesar 89,35 persen. Kemudian, disusul layanan sosial media sebanyak 87,13 persen, pencarian (search engine) 74,84 persen, membeli barang 32,19 persen, menjual barang 8,12 persen, dan layanan perbankan (internet banking) hanya 7,39 persen.
Survei APJII tersebut menggambarkan karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih suka menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang tidak produktif. Teknologi informasi di Indonesia pun belum terbebas dari kegiatan negatif. Kasus-kasus penipuan secara online atau tindak kejahatan siber lainnya di media sosial, seperti perundungan (cyberbully), ujaran kebencian (hate speech), penyebaran informasi bohong (hoax), fitnah, dan informasi bernada provokasi masih saja terjadi. Penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan negatif ini lebih banyak mudaratnya, daripada manfaatnya. Tidak sedikit kasus ujaran kebencian dan hoax yang berakhir di meja hijau.
Kita berharap dengan makin bertambahnya pengguna internet dan makin luasnya akses internet di Indonesia, akan menciptakan suasana kondusif untuk meningkatkan kegiatan ekonomi digital. Diharapkan terjadi peningkatan akses terhadap aplikasi perdagangan secara elektronik (e-commerce) dan berdampak meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Internet dimanfaatkan untuk menunjang bisnis pelaku usaha nasional, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal, untuk beralih ke pasar digital dalam mengembangkan usahanya.
Dengan berbisnis secara online, maka kesempatan untuk mempromosikan dan membuka pasar semakin lebar. Saat ini pemanfaatan internet untuk kegiatan ekonomi digital masih didominasi oleh aktivitas mencari harga sebanyak 45,14 persen, membantu pekerjaan 41,04 persen, informasi membeli 37,82 persen, membeli secara elektronik (online) 32,19 persen, mencari kerja 26,19 persen, transaksi perbankan 17,04 persen, serta berjualan online 16,83 persen.
Potensi pasar ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Porsi perdagangan secara elektronik atau e-commerce masih di bawah 1 persen terhadap total bisnis ritel di Indonesia. Sedangkan porsi UMKM di e-commerce saat ini masih sekitar 2 persen. Lembaga riset McKinsey memproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia bisa mencapai US$ 150 miliar dan berkontribusi 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025.
Riset McKinsey itu juga menunjukkan bahwa Indonesia berada pada tahap baru lahir dan awal dalam digitalisasi. Indonesia masih menyajikan paradoks. Penduduk Indonesia tercatat paling aktif secara digital di dunia dan memiliki ekosistem bisnis rintisan berbasis teknologi (start-up) untuk berkembang. Namun di sisi lain, negara ini masih tertinggal dalam memanfaatkan teknologi modern ini.
Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan ekonomi digital, tetapi jalan panjang masih harus dilalui untuk memasuki era digital yang sesungguhnya. Hal ini karena kondisi infrastruktur teknologi informasi-komunikasi (TIK) masih lemah, sehingga penggunaan teknologi digital belum merata ke berbagai wilayah dan sektor usaha. Penduduk Indonesia sudah melek dan terhubung teknologi, tapi penetrasi internetnya masih rendah.
π
Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan rintisan teknologi penyedia layanan pergudangan on-demand, Waresix, memperoleh pendanaan tahap awal dari perusahaan modal ventura East Ventures.
CEO Waresix Andree menyatakan mempergunakan kucuran modal untuk menambah infrastruktur, memperluas jaringan gudang, dan meningkatkan kapasitas platform berbasis komputasi awan.
BACA JUGA :
Menurutnya, industri pergudangan menyumbang sekitar 15% dari total nilai pasar logistik yang mencapai US$27 miliar sepanjang tahun lalu. Dia memprediksi kebutuhan terhadap gudang on-demand tumbuh semakin pesat seiring dengan pertumbuhan pasar e-commerce.
Terlebih, semakin banyak pedagang dan pabrikan yang membutuhkan area pergudangan di berbagai lokasi untuk mengejar target pengiriman.
“Distribusi dan logistik selalu menjadi tantangan karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Waresix menyediakan solusi untuk strategi pergudangan dinamis yang memungkinkan pengecer, distributor dan manufaktur menyesuaikan permintaan.
Pergudangan kami yang dinamis menawarkan fleksibilitas, pelanggan hanya perlu membayar biaya per unit untuk layanan yang dipergunakan tanpa mengeluarkan modal tambahan,” ujarnya, Selasa (20/2).
Waresix pertama kali didirikan oleh tiga lulusan teknik UC Berkeley, Amerika Serikat, yaitu Andree, Edwin, dan Filbert. Ketiganya memegang spesialisasi yang berbeda yaitu masing-masing bisnis proses, rantai pasokan logistik, dan ilmu komputer.
Meskipun demikian, ketiganya melihat adanya potensi pasar dan persoalan yang sama pada sistem logistik di Indonesia. Ide membangun Waresix datang tatkala ketiganya bertugas mendistribusikan consumer goods ke 40 titik distribusi di Indonesia.
“Sebagai UKM, tentunya kami tidak mungkin membangun infrastruktur besar-besaran dalam waktu singkat hanya untuk menangani proyek itu saja. Selain itu, masalah tersebut juga membutuhkan kombinasi dari outsource logistic dan model in-house yang tentunya membutuhkan banyak modal,” ujarnya.
Tak hanya itu, sistem logistik yang buruk juga mempengaruhi operasional bisnis seperti konsolidasi persediaan barang di berbagai tempat berbeda, pengelolaan dokumentasi, serta penagihan untuk berbagai pihak.
Berbagai persoalan itu menyebabkan pengiriman logistik tersendat. Itulah mengapa Waresix kemudian dibangun. Sebagai platform dengan sistem manajemen pergudangan, pengguna UKM dapat mengelola distribusi gudang, inventaris, pesanan pelanggan, dan siklus penagihan mereka hanya dalam satu aplikasi.
"Teknologi Waresix menggunakan algoritme yang mampu membantu pengguna menemukan gudang terbaik untuk menyimpan produk mereka. Perangkat lunak berbasis cloud menyediakan akses bagi klien untuk mengelola pemesanan mereka, akses ke visibilitas operasional seperti manajemen persediaan dan pengiriman, serta pengelolaan kontrak dan tagihan berbagai gudang,” ujarnya.
Layanan Waresix kini dapat menjangkau berbagai kota besar di Indonesia, di antaranya Jabodetabek, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Lampung, Pekanbaru, Makassar, dan Balikpapan. Waresix menargetkan dapat membantu konsumen mengatasi berbagai permasalahan seperti persediaan overflow, distribusi produk, penyimpanan sementara, dan solusi cross-docking.
Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyatakan Waresix memiliki konsep bisnis dengan menggabungkan sistem sharing economy dan software-as-a-service untuk penyediaan jasa logistik modern.
“Mereka membantu pebisnis terhubung dengan penyedia gudang secara efisien, dan sebaliknya pemilik gudang dapat memaksimalkan aset mereka. Solusi ini hanya akan bekerja di pasar dengan pemain yang signifikan di perdagangan digital. Kami berharap Waresix mampu menguasai pasar Indonesia dengan cepat.”
π
VIVA – Penyedia layanan berbagi tumpangan atau ride sharing, Gojek kembali menerima guyuran investasi baru. Kali ini, PT Astra International Tbk, menginvestasikan US$150 juta, atau Rp2,04 triliun ke Gojek.
Presiden Direktur PT Astra International, Prijono Sugiarto mengatakan, dengan mendukung Gojek, maka diharapkan dapat menggabungkan keahlian dua perusahaan di bidang otomotif dan memberi jangkauan Gojek lebih luas ke konsumen.
Menurut dia, kedua perusahaan yang merupakan national champion akan berbagi peluang kerja sama untuk meningkatkan produktivitas, mendorong masyarakat masuk ke sektor ekonomi formal, mendukung inovasi produk dan jasa untuk menciptakan pasar baru, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sejak awal berdiri, Gojek telah menciptakan lapangan pekerjaan kepada jutaan penduduk Indonesia. Jumlah pengemudi Gojek yang terdaftar saat ini, lebih dari satu juta pengemudi, dengan lebih dari 125 ribu mitra usaha, dan 30 ribu penyedia jasa di platform Gojek.
"Kami antusias menjadi bagian dari perjalanan Gojek yang luar biasa. Gojek merupakan pemain utama dalam ekonomi digital Indonesia dan dipimpin oleh manajemen anak bangsa yang solid," jelas Prijono dalam keterangan tertulisnya, Senin 12 Februari 2018.
Ia mengungkapkan, masuknya Astra ke Gojek juga didorong oleh misi sosial Gojek yang ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini sejalan dengan komitmen Astra untuk mendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia.
Chief Executive Officer dan Founder Gojek, Nadiem Makarim, mengatakan adanya kerja sama ini menandakan pencapaian yang signifikan bagi Gojek. Masuknya Astra menjadi pengakuan tersendiri atas keberhasilan strategi Gojek.
Menurut dia, kedua organisasi ini memiliki kepercayaan yang sama, bahwa dengan berkolaborasi kita bisa bersama-sama mengakselerasi perkembangan ekonomi serta meningkatkan hajat hidup jutaan penduduk bangsa ini. (asp)
π΅
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Global Digital Prima (GDP) Ventures, sebagai pemilik Blibli.com atau PT Global Niaga (GDN) juga menyuntikkan dana investasi ke perusahaan startup Go-Jek. Blibli.com yang merupakan e-commerce berkonsep belanja online ini merupakan produk pertama GDN yang merupakan anak perusahaan Djarum dibidang digital.
CEO dan Founder GoJek Indonesia, Nadiem Makarim mengatakan, pembicaraan dengan GDN sudah berlangsung sejak sekitar setahun hingga satu setengah tahun yang lalu.
BACA JUGA
Suntikan dana investasi dari GDN merupakan bagian dari konsorsium investor yang mendanai Go-Jek dengan total sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 16,32 triliun (kurs Rp 13.600 per dollar AS).
George Hendrata, Group Director Business Diversification GDN mengatakan, pihaknya sudah lama mengincar Go-Jek. Namun pihaknya tidak bersedia membagi nilai investasi yang disuntikkan ke Go-Jek. "Yang jelas signifikan. Ini baru fase pertama, ada ke dua dan seterusnya,” ungkap George, Senin (12/2).
Kusumo Martanto, CEO Blibli.com mengatakan, kerja sama dengan Go-Jek ke depannya dapat meningkatkan kemitraan melalui GoSend untuk pengiriman, warehouse, fullfilment, dan payment.
“Fokus kerja sama ini lebih kepada memberikan akses kepada Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan pembeli untuk produk-produk di seluruh Indonesia. Bisa dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan apa pun,” ujar Kusumo.
π
McKinsey: If you’re looking for evidence that Chinese consumers are confident, look no further than the one-day online-sales phenomenon known as Singles Day, which falls every year on November 11. Singles Day has morphed from being a day dedicated to lonely singles to becoming the largest e-shopping day globally. With an estimated $25 billion in sales, or over $1 billion in transactions per hour, Singles Day this year easily bested last year’s sales by close to 40 percent, and was larger than Black Friday and Cyber Monday in the United States combined.
Singles Day reinforces what we already know: Chinese consumers today are earning much more money and are spending that money on a wider variety of higher-quality and pricier goods and, increasingly, on services.
But only by digging deeper into the attitudes and behaviors of consumers can you see a more multifaceted set of consumer segments, each with unique characteristics that determine their shopping habits. This is what we’ve done with our latest survey of nearly 10,000 consumers aged 18 to 65 across 44 cities and seven rural villages and towns.
As in previous reports, we present four key trends that companies need to know to help them formulate their operational strategies in China. But this time, we reveal deeper, more meaningful layers of insight into what makes Chinese consumers tick today.
Understanding how they make the critical decisions that affect what they buy — and what they don’t — is vital for any company to succeed in this hotly contested market.
Trend #1: Consumers are confident—but risks remain
Official figures support what we saw on November 11. Since our last consumer survey, which we conducted in late 2015, consumer confidence has grown significantly in China to reach a ten-year high. On the back of this rise in confidence, consumers have been spending more on discretionary items.
But can this upward trajectory continue? There are several reasons to take a more cautious stance toward the future starting with the very high levels of debt that the Chinese economy overall and households are taking on. In 2017, the total leverage ratio in China hit 266 percent, the highest level it has ever reached. Meanwhile, household debt reached 50 percent, the highest it has been since the government started recording this figure, albeit still lower than developed countries. Debt levels aside, the real driver of spending is income growth, and this has slowed considerably, dropping from 10.1 percent in 2012 to 6.3 percent in 2016.
Chinese consumers are also running up against high real-estate costs, especially in tier-one cities, despite government measures to cool the market.
While these are all relatively short-term indicators, in the longer term, the rising costs of caring for elderly family members, particularly the healthcare expenses associated with such care, is set to become one of the biggest burdens on the budgets of Chinese consumers.
Trend #2: Consumers are more health-conscious than ever before—but different consumers define health differently
In the past few years we’ve noticed a substantial uptick in the number of Chinese consumers concerned about their health and the impact that diet, exercise, and the environment have on their quality of life (see sidebar “Fueling the fitness trend”). This year, our survey showed that 65 percent are seeking ways to lead a healthier lifestyle.
But this belies a more worrying trend. Millions of Chinese consumers have access to and can afford more types of food than ever before, and their bulging waistlines are evidence of this phenomenon.
Thirty percent of Chinese adults—roughly 320 million people—are overweight and about 6 percent obese.
The government has responded: in 2016 it announced the “Healthy China 2030 plan,” which pledged to promote initiatives geared toward diet, exercise, and access to healthcare services.
Our survey highlighted the early stages of shifting attitudes, especially toward healthy eating. Forty-one percent said “almost never” to eating unhealthy food. The instant-noodle and soda markets shrank by 7 percent and 2 percent respectively in 2016 compared with 2015. And, fast-food chains, already thought of as healthier than hole-in-the-wall restaurants and roadside stalls, continue to expand with healthier menu options
Of course, Chinese consumers don’t all share the same views toward health and we have identified five distinct segments of consumers based on their different attitudes toward health (Exhibit 1). Three segments, representing 65 percent of our respondents, are deeply concerned about this issue but express it in very different ways.
Exhibit 1
The “back to basics,” “balance seekers,” and the “exercise enthusiasts” will become more important and companies will need to create thoughtful messaging and marketing. Drilling down into the detailed nuances of this vast and complex consumer group is key to success.
Trend #3: The ‘post-90s’ generation is emerging as a new engine of consumption
Our research this year shed new light on one of the fastest-growing and increasingly influential segments of Chinese consumers—what we call the “post-90s” generation. While many reports in recent years have grouped China’s younger generation under the familiar term millennials, this term doesn’t fully capture the unique attributes of this segment of the population, which we define as people born between 1990 and 1999.
This generation exhibits very different behavior and attitudes not only with older generations of Chinese consumers but also the generation that we call the “post-80s,” which is generally lumped together with the post-90s generation in media reports that cover this topic. They also differ to Western millennials.
The post-90s generation grew up in a China unknown to their parents, one marked by extraordinary levels of wealth, exposure to Western culture, and access to new technologies. Comprising 16 percent of China’s population today, this consumer cohort is, by our projections, going to account for more than 20 percent of total consumption growth in China between now and 2030, higher than any other demographic segment.
Asking them their attitudes toward certain areas of life—success, health, family, brands and products, and their future—yielded, in many cases, very different answers, which affects how they choose products and services. We sorted them into five distinct segments (Exhibit 2).
Exhibit 2
Each segment differs and all segments differ again from Western millennials. Companies that think carefully about their story and whether it will resonate with these segments based on their beliefs and attitudes will have an advantage.
Trend #4: Chinese consumers are taking a more nuanced view of brands, both global and local
In past surveys, we saw Chinese consumers take a strong interest in international brands. In other years, they acquired an interest in local brands. In recent years, they have developed a sharp eye for brands that deliver value for money.
In this year’s survey, we’ve observed consumers taking a more nuanced view of the brands they choose.
Across the majority of categories surveyed, brand origin matters less than before. Consumers today have very clear expectations and they apply to local and foreign brands alike. First and foremost, they want value for money. That’s followed by quality products—they want their unique tastes catered to—and, lastly, they demand good aftersales service.
In 8 of the 17 categories surveyed, respondents showed clear preferences for local brands because they deliver in these three areas (Exhibit 3). Combined, these categories account for more than half of the total retail sales in China.
In 8 of the 17 categories surveyed, respondents showed clear preferences for local brands because they deliver in these three areas (Exhibit 3). Combined, these categories account for more than half of the total retail sales in China.
Exhibit 3
In many cases, Chinese brands have become credible competitors. This is especially true in the personal-digital-gadget and personal-care categories, where they have cemented their position over the last five years.
In 2012, Chinese brands accounted for 43 percent of the market in categories such as personal digital gadgets versus 63 percent in 2017. In personal care, Chinese brands made up 76 percent in 2017 compared with 61 percent in 2012.
Cost is less of a concern among today’s consumers, who appear to be preoccupied by quality. Huawei is a good example. The Chinese technology company is top of mind among consumers who are proud to own a Chinese smartphone that is as attractive and technologically advanced but less expensive than an iPhone.
In the remaining six categories, there is no clear preference for foreign or local brands. However, in the instances where foreign brands are preferred—namely cosmetics, wine, and infant milk powder—demand for better-quality and well-known brands emerged as the key factors in consumer decision making.
Across these six categories, 64 percent said they would seek out and pay more for better-quality products that last longer while 46 percent would buy internationally branded products if they had more money. More than half believe well-known brands are always of better quality (see sidebar “Brands beyond borders”).
Blurring between local and foreign
However, as with the health-conscious consumers described earlier, a mismatch exists between perception and reality when it comes to brand selection.
Many believe that global brands with a longstanding presence in China, such as Olay and BiorΓ©, are local brands. On the other hand, Chinese brands that have packaged themselves as international are often mistaken as foreign. Both foreign and local brands have opportunities to grow in China providing they can appeal to the increasingly nuanced needs of consumers.
There is no longer a single, one-size-fits-all definition of the Chinese consumer. These increasingly discerning shoppers are younger, healthier, and more brand savvy than ever, and they demand more from the products and services they buy. Both global and local companies must understand these nuances if they hope to craft brand and product messages that appeal to them.
About the authors
Wouter Baan is an associate partner in McKinsey’s Beijing office. Lan Luan is an associate partner in the Shanghai office, where Felix Poh is a partner and Daniel Zipser is a senior partner.
The authors would like to thank Lois Bennett, Corey Chen, Tong CT Chen, Wendy Chen, Rachel Jin, Glenn Leibowitz, Peter Li, Cherie Zhang, and Constance Zhu for their contributions to this article.
π
10 Things We Can Learn From McKinsey Survey about China eCommerce
China eCommerce, Cross Border eCommerce, eCommerce Development
20Apr, 2016
For every foreign business eyeing China eCommerce market, to understand Chinese customer’s behavior and expectation is the task at hand. Especially during this digital era, in which ways are these digital-savvy customers changing the whole China eCommerce?
Earlier this month, worldwide management consulting firm McKinsey released a survey (How savvy, social shoppers are transforming Chinese e-commerce) which examined the extent of eCommerce penetration across five regions in mainland China. The survey included the latest changes in China eCommerce, cross border eCommerce and O2O services. Here, we sum up the top ten things we can take from the new McKinsey survey.
1. China is the world’s largest and fastest-growing eCommerce market.
China’s online retail market is no doubt the world’s largest: during 2015, China totals eCommerce sales of approximately $630 billion, nearly 80 percent bigger than the United States’. eCommerce in China accounts for 13.5 percent of all retail spending, a higher share than that of all large economies but the United Kingdom.
2. Pay attention to multidevice owners, because they are more active.
MultiDevice owners are those who use two or three connected devices, such as smartphones, tablets, and computers. Survey found that multidevice owners in China spend 17 percent more on eCommerce than their mobile-only peers, meaning they are more intense digital consumers. They also shop online in 29 percent more categories and interact 14 percent more with businesses through social networks, using such interfaces as brands’ public WeChat accounts
Screen Shot 2016-04-18 at δΈε4.56.05
While mobile-first marketing strategies are important, PC-based offerings should never be neglected. One needs to find its omni-channel strategy to meet the needs from Chinese multidevice customers.
3. These are the products Chinese eCommerce shoppers buy the most.
Screen Shot 2016-04-18 at δΈε4.59.43
Chart shows the products with most shopping adoption and value penetration via Chinese eCommerce, separately. Consumer electronics and appliances are two categories of the most retail sales, while apparel has the highest adoption.
On the other hand, food has also reached a high level of adoption, with nearly 50 percent of consumers making some purchases online, according to our survey. But those online purchases account for only 5 percent of consumers’ total food spending. This data suggests that consumers are not yet going online to make food purchases as large as those they make at supermarkets.
4. Consumers in low-tier cities are spending more on eCommerce.
Low tier, no problem. Tier 3 and 4 cities accounted for 257 million eCommerce users last year, 74 million more than high-tier cities.
Screen Shot 2016-04-18 at δΈε5.24.02
What’s more, low-tier cities still have tremendous potential for eCommerce growth. Brands that have historically focused on high-tier cities may benefit from revisiting their geographic strategies and making adjustments to take advantage of opportunities in low-tier cities, where physical retail needs time to mature.
5. Social media, especially WeChat, is evolving to a very powerful eCommerce platform.
You heard it right. Beforehands, marketers hope that social media can drive more traffic to their eCommerce; nowadays, more eCommerce shoppers in China has been using social media AS an eCommerce channel.
Screen Shot 2016-04-18 at δΈε5.58.12
Among all social media channels, WeChat has emerged to be shopper’s favorite. Of the WeChat users surveyed, 31 percent initiated purchases on the platform—double the proportion of the previous year. These purchases begin in a range of places on the social platform, from official channels (such as JD.com entrances and brands’ public accounts) to user-generated content (such as Moments and chat groups) to links to other apps.
With that being said, WeChat store development has become vital in order to reach customers on mobile devices. Your WeChat eCommerce need to be as appealing as how it looks in physical stores, but with more mobile integrations.
6. More Chinese consumers are embracing cross border eCommerce.
Despite the new tax policy, more Chinese customers are getting used to shop foreign goods on cross border eCommerce sites. According to the survey, nearly 20% of the digital consumers now buy some goods from vendors outside China.
Screen Shot 2016-04-19 at δΈε11.00.51
eCommerce has given China’s digital consumers access to products from overseas, and a notable share of consumers appears to be taking advantage. For foreign brands that have limited reach but proven appeal in China, eCommerce offers a new way to serve Chinese consumers without adding local distribution capabilities.
7. O2O services remain popular, among all travel ranked No.1
O2O model is no longer a new business in China. Through the years O2O gradually become part of digital consumer’s daily life, because of its lower price and convenient service.
Among all O2O services, travel, dining and mobility are the most popular ones. This suggests that O2O services offering a unique value proposition could power additional growth in China’s online market over the years to come.
Screen Shot 2016-04-19 at δΈε11.57.16
Travel is one of the most popular O2O categories, used by 36 percent of O2O consumers nationwide and 56 percent in Tier 1 cities.
Screen Shot 2016-04-19 at δΈε11.58.31
To capture opportunities in O2O travel, businesses need to address consumers’ stated concerns, which include ticket guarantees and doubts about product and service quality.
8. O2O dining: Chinese consumers are expecting more than just low price.
People usually got to know O2O dinning since it offers lower price. As time went buy, consumers’ expectations for quality and experience are rising.
Survey shows that “convenience” and “discounts” stand out as the most important reasons why consumers choose to use O2O dining services. Meanwhile, many express a willingness to pay a premium for O2O dining services. After all, “fine dinning” is what Chinese consumers are after.
Screen Shot 2016-04-19 at δΈε12.04.29
9. Chinese people are driving less because of booming O2O mobility services like Uber and Didi
Talking about how O2O services are affecting people’s lives: the use of O2O mobility services is also changing consumers’ driving behavior. The more often people use O2O mobility services, the less likely people will drive, especially in tier 1 cities.
Screen Shot 2016-04-19 at δΈε3.24.12
Given the possibility that some consumers will buy fewer cars as they rely more on mobility services, automakers should explore new opportunities to market vehicles through mobility services, such as targeting their drivers as frequent car buyers or using them to showcase new car models to the public.
10. eCommerce in China is always changing, your business should always act quickly.
McKinsey’s survey of China’s digital consumers indicates that growth in eCommerce and O2O is shifting to new areas.
Consumer behavior in China is rapidly changing. Consumer-facing companies must look closely within these parts of the market to uncover opportunities and move quickly to take advantage of them before their competitors do.
As a result,succeeding in this market is a matter of keeping pace with changes that are playing out across geographies, product categories, and channels. Companies need to prepare for new customer segments, product categories, and sales channels to emerge as dominant sources of future growth.
π
Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan media asal Amerika Serikat, Meredith Corp, mengumumkan penyelesaian akuisisi produsen majalah Time, Time Inc. Per tanggal 1 Februari 2018 lalu, Meredith Corp sudah mulai menjalankan operasional baru yang menggabungkan dua perusahaan tersebut.
Akuisisi dilakukan Meredith Corp dengan membeli saham Time Inc senilai total US$ 2,8 miliar. Adanya akusisi ini secara tidak langsung berdampak pada merek media lain yang dinaungi Time Inc, seperti Fortune, Sport Illustrated, dan People.
Dilansir dari Financial Time, Kamis (8/2/2018), dalam beberapa tahun terakhir Time menghadapi berbagai masalah khusus dalam proses tumbuh kembangnya. Contohnya saja peluncuran platform web Pathfinder gagasan editor Time Walter Issacson yang tak laku dan justru merugi sebesar US$ 15 juta per tahunya.
Pada 2008 Time juga terkena krisis keuangan, sehingga perusahaan-perusahaan besar seperti IBM, Apple, dan Toyota menarik iklanya pada Time Inc.
Hal ini menjadikan pendapatan Time Inc turun drastis. Chris Roush, Profesor Media dan Jurnalisme dari North Carolina University memaparkan bahwa sebab dari Time Inc bangkrut ialah kelambatan menyesuaikan perkembangan zaman yang ada.
BACA JUGA
"Time Inc sangat lambat merangkul internet dan telat melihat bahwa internet akan menjadi format utama di masa depan," ungkap Chris.
Pasca-akuisisi, saham Meredith naik sebesar 12 persen diikuti kenaikan sebesar 9 persen oleh Time Inc. Dalam mengakuisisi Time Inc, Meredith perlu berutang dengan nilai pinjaman perusahaan sebesar US$ 3,5 miliar yang berasal dari RBC Capital Markets, Credit Suisse, Barclays, dan juga Citigroup Global Market.
Harty selaku CEO baru Time Inc mengungkapkan banyak hal yang mesti dikerjakan. Langkah pertama yang dilakukan pasca-akuisisi ini adalah dengan melihat lagi aset yang ada dan menentukan langkah prioritas
"Kami berencana untuk mereview kembali aset-aset kami dan melepaskannya pada kepentingan lain yang lebih penting," pungkasnya.
Dilaporkan Reuters, jika digabungkan, Meredith dan Time akan memiliki pembaca sebanyak 135 juta orang dan sirkulasi berbayar sebanyak 60 juta.
Kesepakatan ini juga akan memperluas jangkauan Meredith dengan pembaca milenial serta membuat bisnis media digital dengan 170 juta pengunjung.
Akuisisi ini didukung duo miliarder Charles dan David Koch. Dua bersaudara Koch adalah orang terkaya di dunia yang meraup kekayaan lewat Koch Industries. Kerajaan bisnisnya mencakup berbagai industri yang memproduksi produk, seperti handuk kertas Brawny, Dixie Cups, dan Lycra.
Koch Equity Development, pemegang ekuitas swasta dari Koch brothers, setuju untuk menawarkan Meredith US$ 650 juta saham preferen untuk mendanai akuisisi Time.
Meredith mengatakan unit Koch tidak akan memiliki kursi di dewan Meredith dan tidak akan berpengaruh pada operasi editorial atau manajerial perusahaan nantinya.
1 of 2
Chicago Tribune
Sebelum membantu akuisisi Time, Koch bersaudara juga pernah mengungkapkan ketertarikan untuk membeli perusahaan media lain, seperti Los Angeles Times dan Chicago Tribune di 2013.
Pihak Meredith mengatakan, kesepakatan itu akan selesai dalam tiga bulan pertama tahun 2018. Nilai kesepakatan Time termasuk utang berada di angka US$ 2,8 miliar.
Meredith juga menjelaskan bahwa penghematan biaya diantisipasi dengan menghilangkan tumpang tindih di dua perusahaan sebesar US$ 400 juta sampai US$ 500 juta dalam dua tahun pertama operasi.
Comments
Post a Comment