2019: taon babi tanah, negara berkembang stabil seh

 Pada 24 Januari 2019, Investor Daily memberitakan bahwa Bursa Efek Indonesia akan meluncurkan indeks saham baru IDX80 dan merevisi kriteria dalam penyusunan beberapa indeks yang saat ini ada.
Seperti diketahui bahwa indeks saham saat ini tidak hanya berguna untuk menggambarkan kinerja suatu pasar saham secara keseluruhan atau suatu sektor tertentu. Namun, indeks saat ini juga dapat digunakan oleh manajer investasi sebagai dasar kebijakan dalam menyusun portofolio dan juga dapat digunakan sebagai underlying variable dari instrumen derivatif.
Bagi investor yang meyakini bahwa pasar saham berada dalam kondisi efisien, maka penyusunan portofolio dapat mereplikasi indeks tertentu. Keyakinan bahwa pasar saham berada dalam kondisi efisien, membuat investor cenderung untuk menerapkan strategi pasif dalam menyusun portofolio.
Manajer investasi dapat mengakomodasi investor yang meyakini pasar berada dalam kondisi efisien dengan meluncurkan reksa dana strategi pasif yang komposisi portofolionya berusaha mereplikasi indeks tertentu. Berbeda dengan portofolio strategi aktif yang kinerjanya dinilai berdasarkan seberapa jauh kinerja portofolio dibandingkan dengan kinerja indeks yang menjadi acuan, portofolio strategi pasif kinerjanya dinilai berdasarkan seberapa dekat kinerja portofolio dengan kinerja indeks yang menjadi acuan.
Bagi pihak penyusun dan pengelola indeks saham, penggunaan indeks oleh manajer investasi berpotensi memberikan pendapatan berupa royalti dari lisensi jika indeks dijadikan acuan oleh manajer investasi dalam menyusun portofolio dengan strategi pasif.
Adanya potensi royalty dari indeks mendorong beragam pihak (seperti bursa efek, lembaga keuangan dan pemeringkat, dan bahkan perusahaan media) untuk menyusun dan mengelola indeks saham.
Dari semua indeks saham yang ada di Indonesia, tidak semua indeks tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengelola suatu portofolio dengan strategi pasif. Setidaknya ada tiga pertimbangan yang harus diputuskan agar indeks dapat digunakan oleh manajer investasi dalam menyusun portofolio dengan strategi pasif.
Pertama, kriteria saham yang menjadi komponen indeks harus objektif dan terbuka. Pengelola indeks saham akan menilai secara periodik apakah komposisi saham masih relevan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Beberapa saham yang tidak memenuhi kriteria harus dikeluarkan dari komponen indeks dan digantikan dengan saham baru yang memenuhi kriteria melalui proses reconstitution. Kriteria yang objektif dan terbuka (dalam arti diketahui oleh investor) dalam proses reconstitution membuat investor dapat mengantisipasi perubahan komposisi pada indeks.
Hal ini berbeda jika komponen indeks disusun secara subjektif dan tertutup, seperti penyusunan komponennya diputuskan oleh komite berdasarkan kriteria subjektif yang tidak diketahui oleh investor. Dalam kondisi ini investor sulit mengantisipasi perubahan pada komponen indeks saham sehingga investor akan bersikap reaktif terhadap perubahan komponen indeks.
Kedua, membatasi jumlah saham yang menjadi komponen indeks. Pengelola indeks sebelum meluncurkan suatu indeks harus menentukan jumlah saham yang akan menjadi komponen indeks. Pada titik ekstrem, pengelola dapat memasukkan semua saham ke dalam komponen sehingga indeks mencerminkan kinerja bursa saham secara keseluruhan.
Namun, indeks seperti ini kurang menarik bagi manajer investasi yang mengelola portofolio dengan strategi pasif. Karena jika indeks ini menjadi acuan dalam strategi pasif berarti semua saham harus dimasukkan dalam portofolio agar kinerja portofolio menyerupai kinerja indeks. Jika pengelola ingin indeksnya digunakan oleh manajer investasi sebagai acuan dalam menerapkan strategi pasif, maka komponen indeks sebaiknya dibatasi hanya beberapa puluh saham saja.
Dengan terbatasnya jumlah saham dalam komponen indeks, maka manajer investasi yang menerapkan strategi pasif akan lebih mudah melakukan replikasi indeks. Ketiga, membatasi frekuensi rebalancing dan reconstitutionRebalancing merupakan proses penyesuaian persentase bobot setiap saham yang menjadi komponen indeks agar sesuai dengan kriteria penyusunan indeks.
Rebalancing dapat memperhitungkan faktor free-float yang merupakan jumlah saham beredar yang dapat dimiliki oleh investor. Jika indeks saham telah memperhitungkan faktor free-float (float-weghted index) dalam proses pembobotan, maka pembobotan tiap komponen saham didasarkan pada jumlah saham beredar yang dapat dimiliki oleh investor.
Free-float index akan mengalami rebalancing setiap kali terjadi perubahan free-float sehingga manajer investasi yang menerapkan strategi pasif juga akan melakukan transaksi saham untuk mereplikasi perubahan indeks. Seringnya melakukan rebalancing akibat perubahan freefloat akan membuat biaya transaksi menjadi tinggi, dan hal ini dapat membuat kinerja portofolio dengan strategi pasif berbeda dengan kinerja indeks (karena rebalancing pada indeks tidak menimbulkan biaya transaksi).
Guna menghindari seringnya melakukan rebalancing, maka pengelola indeks dapat membuat rentang free-float sehingga rebalancing tidak perlu dilakukan selama perubahan free-float berada dalam rentang. Hal yang sama juga terjadi pada reconstution yang dapat meningkatkan biaya transaksi portofolio jika proses reconstitution dilakukan terlalu sering.
Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut, penyusun dan pengelola indeks dapat memiliki indeks saham yang dapat dikomersialkan untuk menjadi acuan bagi manajer investasi dalam menyusun portofolio reksa dana dengan strategi pasif.
Dewa Putra Krishna Mahardika, Konsultan Keuangan Independen dan Peneliti pada Universitas Telkom
 🍩
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja indeks baru Bursa Efek Indonesia (BEI) yakni IDX80 lebih tinggi ketimbang indeks LQ45 dan IDX30. Pada penutupan pasar Jumat lalu (22/2), IDX80 telah naik 4,13% secara year to date (ytd), lebih tinggi dari LQ45 3,33% ytd dan IDX30 sebesar 3,19% ytd.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji menilai, kenaikan IDX80 mengindikasikan animo dari para pelaku pasar memburu saham-saham dengan free float  besar. Kata Nafan, keuntungan saham-saham dengan free float yang besar bagi para pelaku pasar adalah pergerakan harga saham benar-benar merupakan cermin aktivitas pasar.

Senada, analis Indo Premier Sekuritas Mino mengatakan, investor akan lebih menyukai saham dengan fundamental dan prospek yang bagus serta memiliki likuiditas yang oke juga.
“Untuk membeli saham memang ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, tentang fundamentalnya mempunyai historikal dan prospek yang bagus apa tidak. Kedua, masalah likuiditas (free float). Jadi, investor akan lebih suka terhadap saham yang fundamental dan prospeknya baik serta likuid,” ujar Mino kepada Kontan.co.id, Sabtu (23/2).
Beberapa saham yang menjadi pendorong kenaikan IDX80, di antaranya saham PT Timah Tbk (TINS) dan PT Bank Permata Tbk (BNLI). “TINS dan BNLI memang mengalami penguatan harga yang sangat signifikan,” jelas Nafan kepada Kontan.co.id, Jumat (22/2).
Menurut Nafan, TINS berencana meningkatkan kapasitas produksi timah pada tahun 2019 sebesar 36,4% dalam rangka meningkatkan kinerja fundamental emiten tersebut. “Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen untuk memberantas praktek-praktek illegal mining,” katanya.
Mengenai BNLI, Nafan menyebut, isu Bank Permata yang akan diakuisisi oleh sebuah bank besar memberikan katalis positif bagi meningkatnya harga saham BNLI.
Nafan bilang, IDX80 ini menarik untuk dijadikan acuan bagi para pelaku pasar di samping indeks-indeks yang lainnya. Setali tiga uang, Mino juga mengatakan, indeks ini cukup ideal untuk dijadika acuan para investor.
“Untuk IDX80 saya pikir mempunyai prospek yang bagus karena kriteria saham yang masuk indeks ini memenuhi syarat dasar saham yang layak dikoleksi baik untuk trading (jangka pendek) maupun investasi. Selain itu, jumlah saham yang masuk indeks ini lebih banyak daripada IDX30 dan LQ45,” jelas Mino.
Untuk IDX80, Nafan menjagokan beberapa saham, di antaranya ADHI, ASRI, ASII, ADRO, BBCA, BBNI, BMRI, BBTN, BBRI, BSDE, HMSP, GGRM, ICBP, INCO, INDY, ITMG, JPFA, JSMR, LSIP, MYOR, PGAS, PTBA, SRIL, TLKM, WIKA, WSKT, WTON.
Mino juga merekomendasikan sejumlah saham yang menarik untuk dicermati. Berikut daftarnya:
1. SMGR Beli dengan target harga 14.000;
2. INTP hold dengan target harga 17.400;
3. BSDE Beli dengan target harga 1.600;
4. CTRA Beli dengan target harga 1.400;
5. PWON Beli dengan target harga 740;
6. SMRA hold dengan target harga 900;
7. ADRO Beli dengan target harga 1.800;
8. ITMG Beli dengan target harga 27.500;
9. PTBA Beli dengan target harga 5.100;
10. UNTR Beli dengan target harga 41.000;
11. INCO Beli dengan target harga 4.500;
12. AALI Beli dengan target harga 16.000;
13. LSIP Beli dengan target harga 1.650;
14. WSKT Beli dengan target harga 2.100;
15. PTPP Beli dengan target harga 2.600;
16. WIKA Beli dengan target harga 2.300;
17. WSBP Beli dengan target harga 480;
18. WTON Beli dengan target harga 570;
19. BMRI Beli dengan target harga 8.600;
20. BBNI hold dengan target harga 9.575;
21. BBTN Beli dengan target harga 2.900
22. ASII Beli dengan target harga 9.800;
23. ICBP Beli dengan target harga 11.500;
24. HMSP Beli dengan target harga 4.200;
25. GGRM Beli dengan target harga 92.000;
26. ACES Beli dengan target harga 2000.
Sebagai Informasi IDX80 diluncurkan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (1/2). Indeks ini berisi 80 saham perusahaan tercatat yang mempunyai likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik.
Konstituen Indeks IDX80 dipilih dengan mempertimbangkan faktor likuiditas, yaitu nilai dan frekuensi transaksi di pasar reguler, jumlah hari transaksi di pasar reguler dan kapitalisasi pasar saham free float, serta faktor-faktor fundamental yang mencakup kinerja keuangan serta kepatuhan.
🍒



cnbc: Tak Pernah Melemah 2 Tahun Berturut-Turut
Berkaca kepada sejarah, IHSG tak pernah melemah sepanjang 2 tahun berturut-turut, setidaknya dalam 15 tahun terakhir (2004-2018). Kali terakhir IHSG membukukan pelemahan secara tahunan adalah pada tahun 2015, yakni sebesar 12,13%. Pada tahun berikutnya (2016), IHSG melesat sebesar 15,32%, disusul oleh penguatan sebesar 19,99% setahun setelahnya (2017).

🍈


Jakarta infobank — Tahun politik 2019 ini nampaknya akan menjadi penantian panjang bagi para pelaku bisnis dan invetor. Bagaimana tidak, para pelaku bisnis dan usaha terlihat akan menahan aksi usahanya sepanjang waktu lamanya kampanye di tahun pemilihan umum (Pemilu).
Tercatat, masa kampanye pemilu dari Pemilihan Legislatif hingga Pemilihan Presiden berlangsung mulai 23 September 2018 sampai 13 April 2019.
“Memang kita selalu akan melihat kaitan ekonomi dengan politik di tahun pemilu . Akan ada pertanyaan sebab berbeda dengan pemilu sebelumnya, iklim investasi terlihat wait see lebih lama. Dan ini kampanye terlama dalam pemilu kita yaitu 6 bulan wait and see,” kata Executive Director Charta Politika Yunarto Wijaya di Jakarta, Kamis 17 Januari 2019.
Walau begitu, pihaknya melihat bahwa kondisi politik Indonesia saat ini masih cukup stabil menjelang Pilpres dan Pileg serentak di bulan April 2019 nanti. Walaupun tidak ada korelasi Iangsung antara peristiwa politik dengan performa ekonomi, namun dirinya menilai tetap ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh para investor.
“Pasalnya perubahan struktur pemerintahan dapat berdampak pada kebijakan-kebijakan ekonomi sebuah negara. Tapi saya percaya pesta demokrasi di tahun ini tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi ekonomi di tanah air,” kata Yunarto. (*)
🍆

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki tahun babi tanah nanti, beberapa sektor saham diprediksi akan memiliki pergerakan yang positif. Berdasarkan astrologi China tersebut, tingkat hoki dan cuan industri dibagi berdasarkan elemen yakni tanah, hutan, api, air dan metal.
Mengutip riset CIMB, Jumat (25/1), elemen alami babi adalah air. Berdasarkan riset tersebut pun, Ahli Feng Shui yang berbasis di Hongkong, Joseph Chau mengatakan, di tahun ini proyeksinya penuh dengan ketidakpastian dan ketidakstabilan.


Beberapa sektor dinilai akan bergerak berdasarkan lima figur elemen. Pertama, elemen hutan. Industri yang masuk dalam elemen ini adalah fesyen, media, penerbitan, kertas, buku, plantation, tekstil, produk kesehatan, agriculture, edukasi dan environmental industry. Industri ini dinilai akan moncer karena hutan menguasai tanah melalui pohon.
Kedua, elemen tanah. Industri di sektor elemen tanah pun akan mengikuti elemen hutan. Di sisi lain tanah adalah simbol dari uang. Sektor yang masuk di elemen ini adalah real estate, properti, material bangunan, konstruksi, asuransi, komputer dan tambang.
Ketiga, elemen api. Sektor yang masuk di kategori elemen ini dinilai akan menghadapi tahun yang cukup berat. Beberapa bisnis yang masuk dalam kategori elemen ini adalah industri hiburan, energi, keuangan dan bahan bakar.
Keempat, elemen air. Pun, di sektor ini akan mengalami kompetisi yang sengit dan penuh tantangan. Industrinya adalah shipping, transportasi, logistik, komunikasi, pariwisata hotel dan perdagangan.
Kelima, elemen metal. Banyak anggapan bahwa tanah adalah asal muasal dari metal. Sehingga elemen ini akan terbantu banyak oleh elemen tanah. Industri yang masuk dalam elemen ini adalah keuangan, bank, asuransi, emas, mesin, otomotif dan metal.
Menyambut, tahun baru Imlek ini, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony mengatakan, pihaknya menjagokan sektor-sektor tanah akan baik di tahun babi tanah.
Antara lain sektor properti dan metal di semester I 2019. Sedangkan untuk semester II sektor kayu dan kertas akan diuntungkan berdasarkan astrologi.
TINSANTMINCOKRASBTON dan ISSP. Selain itu kertas ada TKIM dan INKP,” ujar Chris kepada Kontan.co.id, Jumat (25/1).
Menurutnya untuk industri yang bisa diwaspadai adalah sektor telekomunikasi, teknologi, batubara dan pelayaran. Sektor pertambangan non batubara sendiri akan terdongkrak dari harga komoditasnya yang semakin melonjak. Selain itu kebutuhan akan metal akan meningkat seiring dengan permintaan dari China.
Properti akan disokong oleh rampungnya proyek LRT yang diperkirakan pada awal tahun 2019 ini. Selain itu adanya sentimen pemotongan pajak dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani. “Industri kertas akan baik seiring dengan fundamental emiten tersebut,” ujar Chris.
Lebih lanjut, sektor pelayaran akan terasa sulit seiring dengan komoditas batubara yang juga akan menghadapi tantangan cukup berat. Seperti dari adanya perampingan impor batubara dari China.

Telekomunikasi tercermin dari TLKM yang mengalami penurunan dari sisi kinerja perusahaan di kuartal III 2018 lalu. Kendati demikian, menurutnya, ini bisa dijadikan momentum untuk investor jangka panjang mengoleksi saham tersebut dalam level yang murah.

🍝


Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang lebih berat sepanjang 2018, lalu ketimbang dirinya masih berada di pemerintahan pada 2013.
Chatib mengatakan tekanan eksternal yang dihadapi saat itu sebatas arus modal keluar dari efek kenaikan suku bunga di bank sentral AS. Sedangkan tantangan global yang terjadi sepanjang 2018 lebih kompleks karena ketegangan perang dagang antara AS dan China.
"Jadi 2018 itu tahun yang sangat berat. Menurut saya bu Sri Mulyani justru terlalu humble untuk menyampaikan situasi yang terjadi sepanjang tahun lalu, karena pencapaian sepanjang 2018 itu boleh dibilang cukup baik," ujar Chatib Basri di Jakarta (22/1).
Chatib mengungkapkan pemerintah cukup baik dalam pengelolaan fiskal dengan mempertahankan defisit 1,76%. Di samping itu, langkah penyesuaian dilakukan tanpa menyebabkan kenaikan harga BBM.
"Seandainya penyesuaian dari sisi fiskal terlambat dilakukan dengan langkah yang tepat, saya sebenarnya tidak surprised jika Rupiah pada 2018 kemarin bisa lebih dari Rp15.200. Tapi apa yang dilakukan pemerintah dengan menjaga defisitnya sampai 1,76% itu luar biasa sekali, terutama kalau dibandingkan dengan waktu 2013 terpaksa harus menaikkan harga BBM untuk jaga budget deficit," jelas Chatib.
Chatib mengungkapkan guncangan dari kenaikan suku bunga di AS saat itu berdampak terhadap pelebaran defisit APBN dan juga pertumbuhan ekonomi terkoreksi menjadi 5,8% dari semula 6,1%.
Dengan pencapaian positif tahun sepanjang tahun lalu, Chatib meyakini pemerintah dapat menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1%-5,2% sepanjang tahun ini.
Dirinya meyakini Federal Reserves di AS tidak kembali tergesa gesa meningkatkan suku bunga yang berdampak terhadap perpindahan arus modal kembali bergerak ke emerging market. "Jadi kita bisa berharap Rupiah dan pasar keuangan stabil tahun ini," ungkap Chatib.
Meski demikian, dirinya meminta pemerintah untuk mewaspadai tren penurunan harga komoditas sawit, karet, dan batu bara dengan tingkat kalori rendah yang secara bertahap terus menurun sejak kuartal ketiga 2018. "Ini yang nanti akan berpengaruh ke ekspor. Penerimaan pemerintah dari sektor itu juga akan terkena efeknya," kata Chatib.

Chatib menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi dampak penurunan daya beli pada sejumlah daerah penghasil komoditas di luar Jawa. "Kalau diantisipasi dengan baik dari sisi fiskal, saya melihat kita bisa manage situasi seperti yang terjadi di 2018," ujarnya.
🍅

yahoo finance:






View photos





BlackRock, Capital Group and Pimco Warn of 2019 Risks





(Bloomberg) -- U.S. stocks are looking scary after their worst year in a decade. Credit is risky too. Volatility is back. For many, cash and short-term debt may be the best place to go.
As fund company executives, portfolio managers and strategists at some of the world’s biggest money managers turn to 2019, they’re cautioning that returns could be muted across asset classes. They’re also urging investors to be increasingly selective in the quest for value. Here’s a sampling of views.
Jurrien TimmerFidelity Investments, director of global macro
U.S. earnings growth will slow to 5 percent to 7 percent in 2019, the Fed may raise rates once or twice more, and the price-earnings ratio of the stock market will start the year at a reasonable point. Bonds look all right in this environment. Stocks should do better than they did in 2018. The best opportunity should be in emerging market stocks, which have lagged far behind their U.S. counterparts.“If you add it all up, it’s not a bad story for stocks -- maybe not double-digits, but better,” Timmer said in a Dec. 13 interview.
Rob LovelaceCapital Group, vice chairman and equity portfolio manager
Watch out for device companies, such as Apple Inc., that are great until they stop being great because they lack product diversity. By contrast, Samsung Electronics Co. isn’t just devices and handsets but also creates other necessities, such as memory chips.Be a stock picker rather than buying the index. For example, there is groundbreaking work around the world in biotech and pharma companies in the area of cancer therapies and personalized treatments based on body chemistry. Rather than focus on specific companies, we invest in multiple companies in the sector, as one will have an amazing breakthrough and another will have a stage-three drug that fails.
Kristina HooperInvesco Ltd., chief global market strategist
Buy emerging-market equities, tech stocks, global dividend-paying stocks and alternative assets, such as real estate, private equity and commodities -- especially gold.Sell or decrease U.S. equities, consumer discretionary stocks in particular.“My base case is decelerating but solid growth globally, with the U.S. decelerating as well. I also expect tepid but positive global stock market returns. However, the ‘tails’ are getting fatter as risks, both positive and negative, increase. For example, a quick resolution of the trade war with China could push global growth higher and also push stock market returns higher -- especially if the Fed become significantly more dovish. Conversely, an escalation of the trade war with China could put downward pressure on global economic growth and likely push stock markets lower as well -- particularly if the Fed is less dovish,” she said in a Dec. 27 email.
Dan IvascynPacific Investment Management Co., group chief investment officer
Beware of rising volatility, widening credit spreads and a flattening yield curve that are indicating an economic downturn within 12 to 24 months. Increase cash positions now to await opportunities, such as wider spreads and overshooting to the downside in corporate debt. Potential opportunities are found in U.K. financials, after valuations sank amid fears about a chaotic Brexit, which Pimco believes is a low-probability event. “We are beginning to see a few select opportunities around credit, but we remain concerned about credit in general,” Ivascyn said in a Dec. 13 Bloomberg Radio interview.
Jeffrey GundlachDoubleLine Capital, CIO and CEO
Avoid U.S. stocks and corporate debt, and steer clear of long-term Treasuries as rates are likely to resume rising amid swelling U.S. deficits. Best bets are high-quality, low-duration, low-volatility bond funds. “This is a capital preservation environment,” Gundlach said in a Dec. 17 interview on CNBC. “Unsexy as this sounds, a short-term, high-quality bond portfolio is probably the best way to go as you head into 2019.”
Richard TurnillBlackRock Inc., global chief investment strategist
In equities, we like quality: cash flow, sustainable growth and clean balance sheets. The U.S. is a favored region, and we see emerging market equities offering improved compensation for risk. In fixed income, we add U.S. government debt as ballast against late-cycle risk-off events. We prefer short- to medium-term maturities. In a total portfolio context, steer away from areas with limited upside but hefty downside risk, such as European stocks.“We see a slowdown in global growth and corporate earnings in 2019 with the U.S. economy entering a late-cycle phase,” he said a Dec. 10 note to clients.
🌷

JAKARTA ID- Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh positif pada 2018 di tengah kondisi ketidakpastian global.

"Saya mendapat laporan dari Menteri Keuangan, di tengah ketidakpastian ekonomi global, Alhamdulilah perekonomian nasional kita tumbuh positif," kata Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna dengan topik Program dan Kegiatan Tahun 2019 di Istana Negara Jakarta, Senin.

Sidang Kabinet Paripurna tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan sejumlah pejabat negara lainnya.

"Kita perkirakan (perekonomian nasional) tumbuh sekitar 5,15%, kemudian inflasi terkendali pada tingkat yang rendah di bawah 3,5%, nilai tukar rupiah juga terus bisa dijaga," tambah Presiden.

Asumsi dasar ekonomi makro nasional pada 2018 sebelumnya ditetapkan untuk pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,4%; inflasi dalam kisaran 3,5%; nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan berada pada Rp13.400 per dolar AS.

Selanjutnya, menurut Presiden, realisasi APBN 2018 juga menunjukkan kinerja yang sangat sehat dan kredibel.

"Laporan terakhir yang saya terima, defisit sebesar 1,76% dari Produk Domestik Bruto, kemudian keseimbangan primer ini juga sangat penting, keseimbangan primer negatif Rp1,8 triliun, sudah mendekati nol, ini patut kita garis bawahi, hasil ini jauh lebih baik dari target di APBN sebesar Rp87,3 triliun," ungkap Presiden.

Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer pada 2017 adalah negatif Rp29,9 triliun.

"Pendapatan Rp1.942 triliun melampaui target APBN yaitu tercapai 102,5% dari APBN 2018. Belanja negara untuk mendukung target pembangunan optimal mencapai 99,2% dari APBN 2018, sekali lagi mencapai 99,2% dari APBN 2018," tegas Presiden.

Pada 2019, Presiden mengakui bahwa perekonomian Indonesia masih akan menghadapi tantangan yang tidak ringan.

"Gejolak ekonomi dunia, tekanan-tekanan eksternal; oleh sebab itu sekali lagi saya minta konsolidasi antara sektor riil, dunia usaha, dunia industri dengan moneter dengan fiskal yang sudah dirancang bisa terkonsolidasi dengan baik sehingga langkah-langkah tegas dan konsisten dalam pengendalian impor dapat dilakukan, kemudian dalam memacu ekspor dan meningkatkan modal masuk lebih baik 2019 ini," ungkap Presiden.

Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa fokus pada 2019 adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Seperti sudah saya sampaikan kita akan fokus ke penyiapan SDM 2019, kita perkuat human capital besar-besaran dengan melakukan training dengan mengangkat lagi vocational school, vocational training ini jadi kekuatan kita," tambah Presiden. (gor/ant)



🍥

Jakarta - Sehari sebelum perayaan Tahun Baru 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan penerimaan negara 2018 mencapai 100%. Sri Mulyani mengklaim capaian tersebut adalah yang pertama kali dalam sejarah APBN.

Sri Mulyani menjelaskan pemerintah meraup penerimaan sebesar Rp 1.894,72 triliun atau 100% dari target APBN 2018. Sumbernya dari perpajakan, yaitu pajak dan bea cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan hibah.

"Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN Perubahan dan tahun 2018 ditutup dengan Penerimaan Negara sebesar 100%," kata Sri Mulyani dalam keterangannya di Jakarta, Senin (31/12/2018).


🌼

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks LQ45 pada perdagangan terakhir di tahun ini ditutup dengan pelemahan 0,53% menjadi 982,73. Kondisi ini semakin menambah pelemahan indeks yang pada awal tahun ini dibuka di level 1.076,23.
Indeks yang terdiri dari 45 saham ini sepanjang tahun 2018 (year to date/ytd) berhasil menorehkan catatan pelemahan sebesar -8,69% atau jauh lebih buruk dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah -2,28% di periode yang sama.

Sebagai informasi LQ 45 adalah indeks pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terdiri dari 45 emiten yang memenuhi kriteria tertentu, yakni termasuk ke dalam top 60 perusahaan dengan kapitalisasi pasar tertinggi dalam 1-2 bulan terakhir, termasuk dalam top 60 perusahaan dengan nilai transaksi tertinggi di pasar reguler dalam 12 bulan terakhir, tercatat di BEI selama minimal 3 bulan, dan memiliki kondisi keuangan, prospek pertumbuhan dan nilai transaksi yang tinggi.
BEI secara rutin memantau perkembangan kinerja emiten-emiten yang masuk dalam penghitungan indeks yang diluncurkan pada tahun 1997 ini.
Setiap tiga bulan sekali dilakukan evaluasi atas pergerakan urutan saham-saham tersebut. Penggantian saham akan dilakukan setiap enam bulan sekali, yaitu pada awal bulan Februari dan Agustus.
Walaupun mendapatkan rapor merah di akhir tahun ini, menurut William Hartanto, Analis Panin Sekuritas saham – saham yang masuk ke indeks LQ45 saat ini masih punya peluang cerah di tahun 2019.
“Walaupun tidak semuanya, dalam tiga bulan terakhir saham – saham yang ada di indeks tersebut sudah menunjukkan pembalikan trend menuju menguat,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id pada Jumat (28/12).
Asal tahu saja, pada sembilan bulan pertama tahun 2018 indeks LQ45 konsisten bertahan di zona merah. Hingga akhir September 2018 indeks LQ45 tercatat anjlok sebesar 12,34%.
William menyebut pergerakan saham – saham di indeks LQ45 pada tahun 2019 akan didominasi oleh saham-saham emiten di sektor keuangan, properti, dan industri dasar.
Secara khusus dari 45 penghuni indeks tersebut saat ini, ia merekomendasikan 14 saham yang punya prospek cerah dan tentunya layak jadi pilihan.
Saham – saham tersebut antara lain; PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Sentul City Tbk (BKSL), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), dan PT United Tractors Tbk (UNTR).
🌼
Bisnis.com, JAKARTA -  Pada penutupan perdagangan akhir tahun ini, indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat 0,06% pada level 6.194 yang sekaligus menjadikan Indonesia menempati posisi terbaik kedua di Asia dari sisi pergerakan saham utama. Pencapaian itu tentunya menggembirakan di tengah tekanan ekonomi saat ini. 
Secara year to date, IHSG memang terkoreksi yakni sebesar 2,54%. Namun capaian itu masih dinilai Presiden RI Joko Widodo cukup positif di tengah tekanan ekonomi dari eksternal yang melanda hampir sepanjang tahun ini.
"Capain bursa sesuai dengan target. Saya ingin menyampaikan optimisme terhadap perkembangan pasar modal. Kinerja bursa betul-betul terasa positifnya meskipun kondisi ekonomi global sulit diprediksi," kata Jokowi saat penutupan perdagangan di BEI, Jumat (28/12/2018).
Menurutnya, optimisme ini harus tetap dijaga hingga tahun depan sehingga investor dan pelaku pasar modal memiliki kepercayaan yang tinggi. Di sisi lain, kata Jokowi, capaian BEI ini menunjukkan bahwa telah terjadi transisi dari ekonomi konsumtif ke ekonomi produktif.
Presiden juga memuji torehan bursa terkait pencatatan saham perdana yang pada tahun ini mencapai rekor baru yakni sebanyak 57 emiten. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak privatisasi pasar modal pada 1992 silam.
"Capaian bursa sesuai target di tengah pasar modal dunia masih bergejolak dan kondisi eksternal yang mempengaruhi psikologi pasar. Saya memberi apresiasi untuk pemerintah, pelaku usaha, dan investor," ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoriotas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menambahkan, pelaku pasar dan pemerintah merespon cepat perkembangan ekonomi global yang tidak menentu pada tahun ini. Sehingga, risiko penurunan indeks bisa lebih diminimalisasi.
Menurutnya, indeks di BEI jauh lebih baik dibandingkan indeks di pasar modal negara lain. Selain itu, minat perusahaan untuk menghimpun dana di pasar modal juga terus meningkat.
"Penurunan indeks kita jauh lebih baik dibandingkan negara lain. Kita hanya kalah dari India. Ini karena komitmen pemerintah dan pelaku pasar yang menjaga fundamental ekonomi," tegasnya.
Berdasarkan data statistik BEI, di kawasan Asia Pasifik tercatat hanya India yang berhasil mencatatkan pertumbuhan indeks utama yakni sebesar 6,17%. Adapun negara lain kompak mengalami penurunan, di mana penurunan paling rendah adalah Indonesia.
Sepanjang tahun ini, investor asing telah melakukan net sell senilai Rp50,74 miliar. Sedangkan pada perdagangan kemarin, investor asing mencatatkan net buy senilai Rp857,07 miliar. Sementara itu, sejumlah saham berhasil mencatatkan kenaikan harga yang cukup signifikan.
Di antaranya adalah PT Transcoal Pacific Tbk. (TCPI) sebesar 6.367,4%, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. (TKIM) 280,1%, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) 140,8%, PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. (INKP) 113,9%, serta PT Bank Mayapada Tbk. (MAYA) sebesar 99,8%.
Penghimpunan Dana
Di sisi lain, total penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) pada tahun ini mencapai Rp16,01 triliun, naik sebesar 16% dibandingkan tahun lalu yang hanya senilai Rp9 triliun.
Rata-rata nilai transaksi harian tertinggi pada tahun ini adalah Rp8,5 triliun, dengan rata-rata frekuensi transaksi perdagangan harian tercatat 386.696 kali. Adapun penambahan jumlah investor mencapai 222.096 sehingga total investor di pasar saham mencapai 851.903 orang.
"Transaksi harian untuk tahun ini naik sebesar 11% dibandingkan tahun lalu. Untuk frekuensi perdagangan naik 24%, ini merupakan yang tertinggi di kawasan regional," kata Direktur Utama BEI Inarno Djajadi.
Dia menambahkan, setidaknya ada dua catatan sejarah baru yang ditorehkan oleh BEI pada tahun ini. Yakni jumlah emiten baru terbanyak dalam satu tahun yang merupakan tertinggi di Asean, serta frekuensi perdagangan yang merupakan angka tertinggi di Asia.
Sementara itu, otoritas pasar modal tetap meyakini dana asing yang masuk akan lebih besar pada tahun depan, kendati ada kekhawatiran mengenai potensi kegaduhan dalam pemilihan presiden.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo mengatakan, minat investor asing terhadap pasar modal dalam negeri akan sangat tergantung pada perkembangan politik. Namun dia meyakini sejauh ini kondisi politik nasional masih cukup bagus.
"Memang akan tergantung dari perkembangan politijk. Tapi sejauh ini masih bagus. Investor asing juga masih masuk, memang ada net sell tapi itu tidak hanya di pasar modal kita saja," jelasnya.
Menurutnya, net sell asing juga terjadi di pasar modal negara lain. Kata dia, hal itu disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral sehingga mendorong investor untuk memindahkan dananya dari pasar saham ke pasar surat utang.
"Itu tren, bukan karena kondisi di pasar saham. Tapi terjadi dimana-mana, tidak hanya di Indonesia."
🍉


Tahun 2018 tinggal di penghujung hari. Menjelang tahun baru, tentu akan ada banyak resolusi yang sudah direncanakan, salah satunya adalah memulai berinvestasi.
Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE), Andy Nugroho, mengingatkan bahwa semakin lama hidup akan semakin berat dibanding waktu-waktu sebelumnya. Penyebabnya karena adanya inflasi. Maka menurut Andy cara yang tepat untuk menekan inflasi yang menggerus pendapatan kita adalah dengan berinvestasi.
"Berinvestasi tidak selalu dimulai atau membutuhkan dana yang besar, tapi lebih pada membentuk kebiasaan dan disiplin dalam menjalankannya," ujarnya kepada kumparan, Senin, (31/12).












Andy menyatakan berinvestasi di era modern sekarang ini sangat mudah dengan banyaknya fitur dan aplikasi investasi. Peluang-peluang seperti ini akan mendorong kita untuk terus meningkatkan kesadaran akan investasi
"Jumlah pembelian minimalnya pun sekarang difasilitasi menjadi sudah rendah sekali. Contohnya adalah produk reksa dana serta logam mulia," lanjutnya.
Oleh karenanya, berinvestasi harus segera dimulai sejak dini, jangan ditunda lagi. Caranya sederhana yaitu dengan mulai rutin menyisihkan 10 persen dari penghasilan kita untuk membeli produk-produk investasi seperti reksa dana, logam mulia, maupun saham.
"Bila kita dihinggapi perasaan itu (malas, dan kurang disiplin), ingatlah efek negatif yang akan terjadi di masa mendatang bila kita tidak memulainya dari sekarang," tutupnya.

🍒

NEW YORK, KOMPAS.com - Lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service menyatakan outlook perekonomian negara- negara berkembang akan relatif stabil pada tahun 2019. Meski ekonomi dilanda beragam gejolak, namun banyak negara berkembang cukup resilien dalam menghadapi gejolak tersebut. Moody's merilis laporannya pada pekan lalu. Asesmen Moody's terhadap prospek ekonomi negara-negara berkembang didasarkan pada kuatnya neraca, pertumbuhan domestik, dan kebijakan yang suportif. Hal-hal tersebut akan melindungi negara-negara berkembang dari sejumlah tantangan, antara lain perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga, proteksionisme perdagangan, dan ketegangan geopolitik. Dikutip dari CNBC, Selasa (20/11/2018), meskipun demikian, Moody's juga melontarkan peringatan kepada negara-negara berkembang, yakni tekanan kredit dapat mengemuka bagi negara-negara dengan ketidakseimbangan makroekonomi atau peningkatan risiko politik. Moody's juga menekankan pada negara-negara yang sangat bergantung pada pembiayaan internasional. Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang Lebih Cepat Dibanding Negara Maju di 2020 Namun begitu, Moody's menyebut pula bahwa output perekonomian akan berbeda di antara negara-negara berkembang, bergantung pada perbedaan spesifik ekonomi, institusional, dan demografi. Di kawasan Asia Pasifik, Moody's menyatakan bahwa sumber utama risiko adalah ketegangan perdagangan dan mengetatnya kondisi finansial. Reformasi yang terjadi di kawasan itu telah menaikkan bantalan cadangan devisa. Namun, perang dagang AS-China akan menghantam banyak negara di Asia Pasifik dalam hal rantai pasok, termasuk negara-negara yang sangat bergantung pada perdagangan, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Baca juga: Perang Dagang Diprediksi Hingga 2024, Indonesia Harus Ambil Peluang Adapun negara-negara Amerika Latin diproyeksikan bakal pulih dari rendahnya pertumbuhan ekonomi selama periode 2016-2017. Moody's menyatakan, pemerintahan baru di Brasil dan Meksiko akan membuat arah kebijakan lebih jelas pada tahun 2019. Akan tetapi, Moody's menyoroti Argentina yang menjadi beban bagi perekonomian Amerika Latin. Sepanjang tahun ini, nilai tukar mata uang peso Argentina anjlok hampir 50 persen terhadap dollar AS dan inflasi menembus level dua digit. Moody's memprediksi produk domestik bruto (PDB) riil Argentina akan merosot 1,5 persen pada tahun 2019. Ini sejalan dengan negara tersebut menghadapi skandal korupsi dan pemilu presiden.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Moody's: Kondisi Ekonomi Negara Berkembang Relatif Stabil di 2019", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/20/120327626/moodys-kondisi-ekonomi-negara-berkembang-relatif-stabil-di-2019
Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan


🌸

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan kekhawatirannya mengenai kondisi ekonomi global di tahun 2019. Hal itu harus diwaspadai oleh semua pihak termasuk sektor properti.

Dia menyebutkan, menjelang tutup tahun 2018 masih harus terus menerus memperhatikan, melihat dan meneliti dinamika ekonomi global dan dalam negeri.

"Kami juga harus akui bahwa menjelang tutup tahun 2018 dan memasuki 2019 banyak sekali warning (peringatan) mengenai outlook ekonomi 2019 yang perlu diwaspadai bersama," kata Menkeu Sri Mulyani dalam acara Property Outlook 2019 bertema The Power of Property Industry to Boost Economic Growth, di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta, Senin (17/12/2018).


Beberapa hal yang patut diwaspadai tersebut antara lain kemungkinan akan terjadinya resesi dunia. Dimana sepanjang tahun ini orang-orang melihat pertumbuhan ekonomi AS tumbuh tinggi. Bahkan kondisi tersebut terus berlanjut hingga akhir tahun ini.

"Pertanyaannya, apakah akan tetap berlangsung pada seluruh 2019? Mereka lihat dari sisi yield curve dari treasury yang memberikan indikasi kemungkinan tanda-tanda masa depan more barriers than present. Ini ditunjukkan dengan inverted yield curve. Kita melihat tanda-tanda kebijakan ekonomi, seperti trade policy AS yg menimbulkan dampak yang sangat luas di dunia," ujarnya.

"Ketegangan dengan RRT (China) tidak menurun, kita masih ada di proses 3 bulan waktu jeda untuk bisa menyelesaikan," dia menambahkan.


Geopolitik

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi paparan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (31/5). Rapat terkait penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan dalam RAPBN 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Selain itu, faktor geopolitik juga turut mempengaruhi ketidakpastian ekonomi global.

"Jadi memasuki tahun 2019, sense ketidakpastian dalam G20 mereka merevisi outlook global economy 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen. IMF menurunkan juga tahun ini dan tahun depan karena risiko down side mulai terjadi sehingga kemungkinan akan mengancam ekonomi," ujarnya.

Selain masalah confident atau kepercayaan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan, ada beberapa tren lainnya yang harus diwaspadai yaitu suku bunga.

"Meskipun The Fed (bank central AS) dapat tekanan naik ahir tahun ini atau tahun depan, likuiditas tightening. Sektor properti akan sangat dipengaruhi dua faktor ini (suku bunga, inflasi dan pengetatan likuiditas)," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu


Sumber: Merdeka.com

🌸
Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja IHSG yang kini mulai berbalik memasuki tren penguatan menjadi momentum untuk mengoleksi sejumlah saham salah harga, di mana fundamental dan kinerja yang positif tidak selaras dengan harga yang berada di bawah nilai wajar.
Kendati mengalami koreksi sepanjang tahun berjalan 2018, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksi membaik pada akhir tahun, terdorong oleh mulai pulihnya kepercayaan diri pasar, momentum window dressing, dan ekspektasi meredanya sentimen dan konflik global.
Sepanjang tahun berjalan 2018, IHSG terkoreksi 2,80%. Pada penutupan perdagangan, Kamis (13/12), indeks ditutup di level 6.177,72 atau menguat 1,02%. Pada 19 Februari, indeks menyentuh level tertinggi di 6.689 dan terus melorot ke posisi terendah sepanjang tahun ini pada 3 Juli di level 5.633.
Sementara itu, jika dihitung dari titik terendah tahun ini hingga penutupan perdagangan kemarin, IHSG sudah menguat 9,65%.
Hingga akhir November, investor asing masih mencatat jual bersih Rp45,16 triliun secara year-to-date. Namun, pada November, IHSG sudah menunjukkan tren penguatan, di mana investor asing tercatat beli bersih Rp7,82 triliun.
Adapun, total transaksi saham yang dilakukan oleh perusahaan sekuritas sepanjang November 2018 mencapai Rp370,89 triliun, naik 19,33% dibandingkan dengan Oktober senilai Rp310,81 triliun.
Chief Economist and Investment Strategic Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina menilai, saham yang saat ini undervalued ada di sektor perbankan, terutama bank pelat merah, sektor otomotif, dan telekomunikasi.
Selain itu, ada beberapa sektor yang menurutnya cukup menjanjikan untuk dikoleksi karena akan menanjak pada tahun depan yakni properti dan konstruksi. “Saham konstruksi beberapa jatuh dan berpotensi untuk terus menguat,” katanya, Kamis (13/12/2018).
Sementara itu, valuasi saham properti, katanya, sangat rendah sehingga potensi untuk meningkat cukup besar. Katarina menambahkan, usai Pemilihan Presiden kepercayaan konsumen untuk membeli properti akan pulih. Alhasil, saham sektor ini akan mampu memberikan cuan kepada investor.
Kepala Riset Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe mengungkapkan saham salah harga pada sejumlah emiten dipicu oleh kebijakan investasi investor asing.
Saham-saham blue chip, menurutnya, biasanya menjadi incaran investor asing. Beberapa waktu lalu, dana asing banyak keluar sehingga harga saham blue chip cukup murah. Saat ini, asing mulai kembali masuk sehingga potensi menanjaknya saham emiten di kelas ini cukup terbuka.
“Untuk emitennya, kami rekomendasikan TLKM dan HMSP yang akan mengerek window dressing karena harga saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga akhir tahun lalu.”
Kiswoyo menambahkan, siklus investasi yang sering terjadi di pasar saham adalah investor asing masuk terlebih dahulu ke saham blue chip. Kondisi ini berdampak pada naiknya harga saham perusahaan-perusahaan jumbo.
Mengingat harga blue chip yang terlalu mahal, akhirnya investor mengincar saham second liner yang kemudian harganya terkerek naik. “Siklus ini telah terjadi di bursa saham terutama sejak indeks berada di bawah 6.000 kemarin,” ujarnya.
Sementara itu, Valdy Kurniawan, Analis Phintraco Sekuritas, mengatakan koreksi yang terjadi pada emiten-emiten berfundamental kuat sepanjang tahun ini disebabkan karena tidak tercapainya ekspektasi investor yang terlampau tinggi pada awal tahun ini. Investor pun kemudian melakukan penyesuaian ulang terhadap portofolio investasi mereka.
“Ini jadi salah satu pemicu penurunan harga yang signifikan, meskipun secara kinerja terbaru sudah relatif membaik pada kuartal III/2018,” katanya, Rabu (12/12).
LAPIS KEDUA
Adapun, di kalangan saham lapis kedua, Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, merekomendasikan saham-saham sektor konstruksi, terutama emiten pelat merah, misalnya PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), PP (Persero) Tbk. (PTPP), dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI).
“Saat ini, price earning ratio (PER) dan price to book value (PBV) semua dalam posisi yang rendah. Padahal, pertumbuhan laba mereka pada kuartal III/2018 cukup tinggi, berkisar antara 15%-18%.
Penyebab harga saham-saham konstruksi undervalued, katanya, karena arus kas bebas yang masih negatif akibat karakter proyek infrastruktur yang ditangani. Proyek infrastruktur pemerintah harus ditalangani oleh kontraktor terlebih dahulu sehingga pendapatan baru akan diakui setelah proyek selesai, atau anggaran dari pemerintah dicairkan.
Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido menyebutkan, secara statistik, saham di sektor konstruksi berada pada puncaknya pada periode Desember dan Januari. Dengan demikian, saat ini merupakan momentum tepat bagi investor untuk mulai melakukan akumulasi beli.
“Konstruksi sudah murah sekali, dan ini menarik untuk dikoleksi karena sudah lama salah harga. Desember-Januari mereka akan bagus tetapi kemudian biasanya Februari mulai goyah lagi.”Terkait dengan saham-saham yang baru melantai alias initial public offering (IPO), Kevin mengaku masih kesulitan untuk memberikan rekomendasinya. Sebab biasanya saham-saham IPO hanya ramai ditransaksikan pada awal-awal tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Setelah 6 bulan berselang, sambungnya, biasanya volume transaksi saham IPO sangat sepi karena mayoritas investor tidak mau melepas kepemilikannya.
🍅

Semarang - Meski 2019 sudah masuk tahun politik, pemerintah memberikan jaminan apabila perekonomian tahun depan tetap stabil.
Demikian dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Aston Hotel and Convention Centre Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/12).
Keyakinan pemerintah akan kestabilan pertumbuhan ekonomi didasari pengalaman menghadapi dinamika perekonomian yang sangat tinggi pada tahun 2018.
Di tahun ini, perekonomian Indonesia mampu tumbuh dari yang semula 5,07 persen menjadi 5,17 persen.
“DI satu sisi menjaga momentum perkonomian kita. Faktor-faktor yang menyumbang pertumbuhan seperti investasi dan ekspor akan kita terus jaga,” kata Sri Mulyani.
Namun demikian pemerintah tetap waspadai berbagai risiko. Di antaranya kebijakan moneter di Amerika Serikat yang menaikan suku bunga serta perang dagang Tiongkok dan AS yang diperkirakan belum akan usai.
Sumber: BeritaSatu TV


Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX) Megain Widjaja juga berpendapat, 2019 akan menjadi tahun yang prospektif dan memberikan peluang pertumbuhan yang besar untuk pasar bursa berjangka. Pasalnya, di tengah ketidakpastian membuat kondisi pasar global cenderung fluktuatif.
Namun, di tengah kondisi seperti itu, produk bursa berjangka malah menjadi atraktif. Selain mendukung lindung nilai (hedging), produk di pasar bursa berjangka dapat memberikan keuntungan yang menarik. "Di saat pasar volatil, justru itu peluang bagi industri kami," tegas Megain.
Dia menjelaskan, ICDX pun sudah menyiapkan produk baru GoFX dan pada Oktober 2018 dilakulan soft launching. GoFX merupakan produk spot untuk emas, minyak mentah (crude oil), dan valuta asing (foreign exchange). Berdasarkan rencana, ICDX akan melakukan grand launching atas produk teranyar itu pada kuartal I-2019.
"ICDX menjadi bursa kedua di dunia yang menyediakan produk tersebut setelah Tokyo Financial Exchange Inc," jelas Megain.
Untuk tahun depan, lanjut dia, ICDX mengincar volume transaksi produk GoFX dapat mencapai 100 lot per hari. "Saat ini baru ada dua broker (pialang) yang memasarkan produk tersebut, tapi tahun depan kami berupaya mendorong agar minimal ada 30 dari total 65 broker yang ada di industri kami untuk bisa memasarkan GoFX," ujar Megain.
Sementara itu, untuk proyeksi akhir tahun, dia menilai kontribusi GoFX terhadap transaksi di ICDX belum akan besar. "Para broker kan masih butuh kesiapan, contohnya dari segi teknologi," papar dia. (bersambung)
🌹

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi akan terus melaju positif di tahun 2019. Beberapa sentimen positif akan mendorong laju IHSG seperti dari rupiah yang stabil dan sentimen setelah puncak tahun politik yang biasanya akan mendorong laju IHSG.
Hans Kwee, Direktur PT Investa Saran Mandiri mengatakan sepanjang tahun ini laju IHSG memang cukup berat karena isu global yang cukup kuat terutama dari perang dagang dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve.

Kendati demikian, pihaknya optimistis IHSG tahun 2018 akan ditutup di level 6.100 sampai 6.200 dengan adanya angin segar dari window dressing.
Tahun depan pihaknya akan jauh lebih optimistis karena rupiah diprediksi akan berada di zona nyaman pada level Rp 14.400 sampai Rp 14.500 per dollar Amerika Serikat. Selain itu gejolak ekonomi global pun diperkirakan tidak akan sepanas tahun 2018.
“IHSG saya prediksi bisa tembus ke level 7.000 pada tahun 2019,” ujar Hans kepada Kontan, Selasa (27/11).
Semua tersebut didukung juga dari kepercayaan investor asing untuk kembali masuk ke pasar saham dalam negeri. Pun, itu tercermin dari catatan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencatat arus asing dari aksi beli bersih mencapai Rp 12,07 triliun dalam sebulan terakhir.
Bahkan Hans sendiri memprediksi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan turun sebesar 50 basis poin (bps) sampai 100 bps pada tahun 2019. Itu lantaran posisi rupiah yang diprediksi akan semakin nyaman. Dan, suku bunga acuan Amerika Serikat yang hanya akan naik satu kali tahun depan.
Setali tiga uang, Head of Capital Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan untuk tahun depan, ia melihat sentimen dari dalam negeri seperti pemilu serentak hingga program-program pemerintah akan menjadi penggerak indeks.
“Banyaknya caleg dalam pemilu serentak tentu akan membuat banyak aliran dana keluar untuk kampanye sehingga bisa membantu menggerakkan rupiah dan tentu akan mempengaruhi indeks,” ujarnya.
Siapapun yang akan memenangkan kontestasi tahun politik, indeks tetap akan terus naik karena pasar modal dan pemilu memiliki alurnya sendiri-sendiri.
Pihaknya optimistis, IHSG pada tahun 2019 nanti ditargetkan mampu mencapai level 6.800 atau naik 7% hingga 11% dari estimasi akhir tahun ini.

🌸
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebulan lagi, kita akan menyambut tahun baru. Tahun depan, berdasarkan kalender China, kita akan memasuki tahun Babi Tanah.
Principal Consultant-Feng Shui Consulting Indonesia Yulius Fang menilai di tahun babi tanah 2019 merupakan tahun yang kurang harmonis, atau dengan kata lain akan ada konflik antara elemen tanah dan air.
Sifat positif dari elemen tanah yang stabil, cenderung cari aman, sabar dan tanggung jawab akan berlawanan dengan sifat negatif dari air yang gelisah, khawatir, pesimis, santai, ceroboh, tantangan, takut, nafsu, sensitif dan emosi.
Artinya, di tahun babi tanah kondisi ekonomi akan cenderung stabil, lambat dan santai, namun di dalamnya ada sedikit pertumbuhan, dinamisme, disertai adanya resiko, tantangan dan kegelisahan.
Sementara itu, jika dilihat dari prospek ekonomi Indonesia tahun 2019, ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada di angka 5,0% hingga 5,2%. Indonesia juga akan berada di posisi yang kurang aman, karena imbas dari faktor global dan faktor domestik, yaitu pemilihan presiden 2019.
Di tahun babi tanah, potensi defiasi juga diperkirakan bisa muncul di tengah ekonomi yang sedangan mengalami perlambatan, karena masyarakat akan lebih cenderung cari aman dan berhati-hati.
Serta yang perlu diperhatikan oleh pemerintah di tahun babi tanah ini ialah, potensi pengangguran yang kemungkinan akan bertambah banyak dari tahun sebelumnya, dan juga permasalahan demo buruh berpotensi akan meningkat.
"Disarankan juga pemerintah akan lebih menggalakkan ekspor, memberikan lebih banyak insentif, meningkatkan ekonomi kreatif dan UKM," ujar Yulius, Senin (26/11).
Sedangkan dari sisi prospek bisnis tahun 2019. Elemen yang bagus untuk semester pertama ialah kayu dan api. Dan elemen yang kurang bagus ialah dari elemen air. Maka dari itu, perlu adanya pengawasan ekstra dan hati-hati dalam sektor usaha pariwisata, transportasi, shipping, komunikasi, media massa, dan sektor lain yang berkaitan dengan elemen air.
"Solusinya untuk tahun babi tanah, karena di tahun ini elemen yang bagus ialah elemen kayu. Filosofi dari elemen kayu itu sendiri merupakan sebagai solusi untuk memecah kebuntuan, atau pelambatan ekonomi," ujarnya kembali.
Yulius menambahkan, filosofi dari kayu ialah bahwa pohon akan selalu tumbuh ke atas, tidak peduli tantangannya akan seperti apa, pohon akan terus tumbuh, daun-daunnya dan akarnya akan mengeluarkan jaringan dan sel-sel baru. Maka hal itu jika dikaitkan dengan bisnis, bisnis tersebut akan tetap bisa eksis dan survive di tengah kondisi ekonomi yang seperti sekarang ini.

Asal tahu, sektor ekonomi yang berkaitan dengan elemen kayu ialah dari sektor, tekstil, fashion, kesehatan, percetakan, buku, penerbitan, kertas, perhutanan, perkebunan, furniture.
🌹


Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi Standard&Poor's (S&P) tidak akan jauh di atas 5% pada 2019. Ini karena tiga faktor yang terjadi pada periode tersebut yaitu pemilu, suku bunga tinggi, dan kemungkinan naiknya harga setelah pemilu. 

Level utang pemerintah yang moderat dan disertai defisit fiskal merupakan faktor pendukung menghadapi kondisi volatilitas eksternal. Berlanjutnya kontrol harga dan sentimen tingkat konsumsi yang lemah setelah pemilu April akan lebih memengaruhi sektor real estat dan BUMN. 

Depresiasi rupiah akan menjadi risiko terbatas (contained risk) untuk kualitas kredit korporasi secara sebagian. Sebab, banyak debitur yang merupakan produsen komoditas yang memiliki lindung nilai alami (natural hedge). 


Karena itu, S&P memprediksi risiko kredit telah terbangun terhadap sekitar US$ 15 miliar utang termasuk utang yang tidak cocok strukturnya (mismatched debt) untuk emiten saham di sektor real estat, transportasi, dan manufaktur; 

Niat pelunasan dan perpanjangan utang yang mismatch tersebut dari sebuah kelompuk usaha yang kompleks atau induk usaha yang sahamnya belum tercatat masih menjadi pertanyaan. Produsen komoditas dapat menghadapi lebih banyak tantangan setelah dua tahun berada pada masa jayanya. 

BUMN akan kembali berinvestasi; neraca di sektor tersebut masih melemah. S&P meyakini bank besar di Indonesia memiliki bemper modal yang cukup dan margin untuk menghadapi dampak kedua dari depresiasi rupiah.  

TIM RISET CNBC INDONESIA (irv/irv)

🍑

Jakarta - Tahun 2019 tinggal sebentar lagi. Tantangan untuk sektor keuangan khususnya perbankan sudah ada di depan mata.

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan perbankan nasional saat ini masih memiliki ketahanan yang cukup baik. Misalnya dari tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga masalah permodalan. 

Namun untuk tahun depan, ada tantangan yang masih harus dihadapi. Seperti likuiditas. "Kalau secara profitability, kredit bermasalah dan permodalan masih sangat oke. Sekarang dan tahun depan yang jadi tantangan adalah pertumbuhan dana pihak ketiga yang lebih lambat daripada kredit," kata Tiko kepada detikFinance, akhir pekan lalu. 

Menurut dia jika kreditnya tumbuh 15% dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tidak bisa mendekat, makan akan menjadikan likuiditas ketat. 

Sekedar informasi dari data Bank Indonesia (BI) pertumbuhan kredit perbankan nasional periode September 2018 tercatat 12,7% lebih tinggi dibandingkan periode bulan sebelumnya 12,1%. Kemudian untuk dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 6,6% lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya 6,9%. 


Menurut Tiko, ini menjadi tantangan yang berat untuk perbankan. Karena itu bank harus mampu mencari sumber pendanaan dari luar DPK seperti rutin terbitkan surat utang dan sumber dana yang lain. "Memang harus mencari dana ke yang lain jangan DPK aja. Memang ke depan DPK pasti naik, tapi margin tren menurun masih oke lah ke arah 4%," jelas dia.

Sedangkan untuk tahun 2018 ini, Tiko meyakini jika kondisi bank masih kondusif. Jika dilihat dari net interest margin (NIM) masih di kisaran 5%. 

"Terbukti dari 2 hingga 3 bulan ini meskipun currency Rp 15.000 per dolar AS nggak pengaruh ke perbankan," jelas dia.

Permodalan, kredit dan dana pihak ketiga (DPK) masih bagus dan harusnya secara stabilitas domestik masih oke.

"Memang isu kita lebih ke current account deficit (CAD). Karena itu suku bunga acuan yang dinaikkan 25 basis poin (bps) juga sangat penting. Supaya inflow terus jalan. Saya rasa pemerintah saat ini sudah melakukan langkah yang terbaik. Untuk menarik aliran modal asing masuk ke Indonesia, suku bunga juga harus tetap dijaga," jelas dia.


Dari data Bank Indonesia (BI) rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan tercatat 22,9%. Rasio likuiditas (AL/DPK) 19,2% pada September 2018, meningkat dibandingkan posisi Agustus 2018 sebesar 18,3%. Selain itu, rasio kredit bermasalah/NPL tetap rendah yaitu sebesar 2,7% (gross) atau 1,2% (net). 

Pertumbuhan kredit pada September 2018 tercatat sebesar 12,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 12,1% (yoy). Adapun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada September 2018 sebesar 6,6% (yoy), sedikit menurun dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 6,9% (yoy).

Sementara itu, pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) selama Januari hingga September 2018 tercatat sebesar Rp 168,1 triliun (gross), turun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 sebesar Rp205,9 triliun (gross).

Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit 2018 sekitar 12% (yoy), sedangkan pertumbuhan DPK diprakirakan sekitar 8% (yoy). Bank Indonesia akan terus memantau kecukupan dan distribusi likuiditas di perbankan agar tetap konsisten dengan upaya turut menjaga stabilitas sistem keuangan. (kil/zlf)

Comments

Popular posts from this blog

onlineisasi-digitalisasi (5)

terkait perbankan (bbri, bbca, bnii)

analisis fundamental sederhana: saham KONSUMER (mapi, myor, unvr, icbp, amrt, cpin, hero, mapi, cleo, ades)