Neraca Perdagangan

🌸

Agustus 2021: neraca dagang surplus

September 2021: surplus diekspektasiken lage

Neraca Perdagangan: Surplus @ September 2021

MARET 2022: surplus NPI 

Bisnis.com, JAKARTA - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II/2020 mencatat surplus hingga US$9,2 miliar pada kuartal II/2020, setelah mengalami defisit US$8,5 miliar pada kuartal sebelumnya.

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko mengatakan membaiknya kinerja NPI tersebut didukung oleh menurunnya defisit transaksi berjalan serta besarnya surplus transaksi modal dan finansial.

"Sejalan dengan perkembangan surplus NPI tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2020 meningkat menjadi sebesar US$131,7 miliar," ujar Onny, Selasa (18/8/2020).

Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,1 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional.

Menurut Onny, defisit transaksi berjalan makin menurun, ditopang oleh surplus neraca barang serta berkurangnya defisit neraca pendapatan primer.

Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$2,9 miliar atau 1,2 persen dari PDB, lebih rendah dari defisit pada kuartal sebelumnya sebesar US$3,7 miliar atau 1,4 persen dari PDB.

Penurunan defisit transaksi berjalan tersebut bersumber dari surplus neraca perdagangan barang akibat penurunan impor karena melemahnya permintaan domestik.

Di samping itu, defisit neraca pendapatan mengecil karena berkurangnya pembayaran imbal hasil kepada investor asing sejalan dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi domestik di kuartal II/2020 yang tercermin pada penurunan kinerja perusahaan dan investasi.

Sementara itu, defisit neraca jasa sedikit meningkat didorong oleh defisit jasa perjalanan karena kunjungan wisatawan mancanegara yang turun signifikan selama pandemi Covid-19.

Di sisi lain, remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) berkurang, sejalan dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia juga menahan penurunan defisit transaksi berjalan lebih lanjut.

Transaksi modal dan finansial pada kuartal II/2020 mencatat surplus cukup signifikan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Kondisi ini, kata Onny, sejalan dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global.

Surplus transaksi modal dan finansial tercatat sebesar US$10,5 miliar terutama berasal dari aliran masuk neto investasi portofolio dan investasi langsung, setelah pada kuartal sebelumnya mencatat defisit US$3 miliar.

Aliran masuk investasi portofolio meningkat dalam bentuk penerbitan global bond oleh Pemerintah dan korporasi serta pembelian Surat Utang Negara (SUN).

Berlanjutnya aliran masuk modal asing tersebut dipengaruhi oleh likuiditas global yang meningkat, imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, dan terjaganya keyakinan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia.

Investasi langsung turut menyumbang surplus pada neraca transaksi modal dan finansial, meskipun relatif melambat dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya, sejalan dengan kontraksi ekonomi domestik.

"Transaksi investasi lainnya mengalami defisit dipengaruhi oleh pola kuartalan meningkatnya pembayaran pinjaman luar negeri yang jatuh tempo," kata Onny.

Dengan langkah stabilisasi dan penguatan bauran kebijakan Bank Indonesia, berkoordinasi erat dengan Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik kembali membaik.

Ke depan, Onny menuturkan Bank Indonesia senantiasa mencermati dinamika perekonomian global yang dapat memengaruhi prospek NPI dan terus memperkuat bauran kebijakan guna menjaga stabilitas perekonomian, serta memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait guna memperkuat ketahanan sektor eksternal.

🍊


Bisnis.com, JAKARTA - Komponen ekspor dan impor mengalami penurunan yang cukup dalam pada kuartal kedua tahun ini.

Badan Pusat Statistik pada Rabu (5/8/2020) melaporkan kedua komponen tersebut mencatatkan pertumbuhan terendah dari seluruh komponen produk domestik bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran.

Ekspor barang dan jasa pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi 11,66 persen secara year-on-year (yoy). Sementara impor barang dan jasa mengalami kontraksi paling dalam, yaitu -16,96 persen.

Padahal pada kuartal I/2020 komponen ekspor masih tumbuh 0,24 persen yoy dan penurunan impor hanya sebesar 2,19 persen yoy.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto merincikan ekspor barang pada kuartal II/2020 mengalami penurunan 6,52 persen yoy.

Ekspor jasa terkontraksi sangat dalam, yaitu turun 52,7 persen yoy, yang dipengaruhi oleh penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang sangat signifikan akibat pandemi Covid-19.

"Ekspor jasa ini dipengaruhi oleh turunnya jumlah wisman yang memang mengalami penurunan yang curam sekali selama triwulan II/2020," jelasnya, Rabu (5/8/2020).

Di samping itu, pada saat yang sama impor barang tercatat mengalami kontraksi -12,99 persen yoy.

Berdasarkan komponennya, impor nonmigas terkontraksi -10,26 persen yoy dan impor migas terkontraksi lebih dalam, yaitu -26,24 persen yoy.

Suhariyanto menjelaskan impor jasa mengalami kontraksi 41,36 persen yoy. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya jasa angkutan untuk ekspor maupun impor barang.

Adapun, pada kuartal kedua ini, ekonomi Indonesia terkontraksi -5,32 persen secara year on year (yoy).

Dibandingkan dengan kuartal I/2020, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar -4,19 persen.

🍓

Jakarta - 

Neraca perdagangan Indonesia periode Juni 2020 tercatat mengalami surplus US$ 1,27 miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus ini terjadi akibat nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan Mei 2020 yang juga surplus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kondisi neraca dagang ini akan mempengaruhi produksi.

Bagaimana ya maksudnya?

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan nilai impor selama Juni adalah US$ 10,76 miliar, naik 27,56% dibanding Mei 2020. Peningkatan tinggi terjadi di impor impor non migas.

Nilai impor Juni 2020 tersebut jika dibandingkan dengan Juni 2019 atau year on year negatif 6,36%. Pasalnya, impor migas Indonesia pada Juni 2020 turun 60,47%.

"Kalau ditelisik lebih dalam, ada penurunan impor untuk minyak mentah," kata Suhariyanto saat jumpa pers.

Sementara nilai ekspor Indonesia pada Juni sebesar US$ 12,03 miliar. Angka ini naik 15,09% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun turun 5,49% atau US$ 76,41 miliar secara tahunan.

Berikut neraca dagang 2020:

- Januari 2020 defisit US$ 870 juta
- Februari 2020 surplus US$ 2,34 miliar
- Maret 2020 surplus US$ S$ 743 juta
- April 2020 defisit US$ 350 juta
- Mei 2020 surplus US$ 2,1 miliar
- Juni 2020 surplus US$ 1,27 miliar

Pengaruhi Produksi

Surplusnya neraca dagang ini disebut masih cukup baik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penyebab neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 1,27 miliar karena penurunan nilai impor yang lebih tajam dibandingkan dengan ekspor.

"Ekspor kita mungkin masih cukup baik dan kita lihat sisi impornya menurun luar biasa tajam," kata Sri Mulyani di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (15/7/2020).

BPS mengumumkan neraca perdagangan pada bulan Juni surplus US$ 1,27 miliar karena karena nilai ekspor lebih besar dari impor. Nilai impor selama Juni adalah US$ 10,76 miliar, naik 27,56% jika dibandingkan Mei 2020. Peningkatan tinggi terjadi di impor impor non migas.

Nilai impor Juni 2020 tersebut jika dibandingkan dengan Juni 2019 atau year on year (yoy) turun 6,36%. Pasalnya, impor migas Indonesia pada Juni 2020 turun 60,47%.

Sementara nilai ekspor Indonesia pada Juni sebesar US$ 12,03 miliar. Angka ini naik 15,09% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun turun 5,49% atau US$ 76,41 miliar secara tahunan atau yoy.

Penurunan impor ini, dikatakan Sri Mulyani akan berdampak pada sektor manufaktur.

"Makanya neraca perdagangan kita nampaknya surplus bagus, tapi itu surplusnya karena impor kita turunnya lebih tajam daripada ekspor kita. Jadi nanti pengaruhnya ke produksi," katanya.

Oleh karena itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun optimistis perekonomian nasional kembali pulih pada kuartal III-2020. Pasalnya ada beberapa kegiatan ekspor yang akan menopang pergerakan ekonomi nasional.

"Kalau seandainya impor kita sudah bisa di substitusi, dan kuartal III kita sudah memperbolehkan APD di ekspor maka barang itu bisa menjadi penopang aktivitas ekonomi dan dari sisi neraca perdagangan tadi," ungkapnya.

🍉

JAKARTA, investor.id – Neraca perdagangan Indonesia selama periode Juni 2020 membukukan surplus US$ 1,27 miliar. Ini dikarenakan nilai ekspor tercatat US$ 12,03 miliar atau naik 15,09% dibandingkan posisi Mei 2020, sedangkan impor mencapai US$ 10,76 miliar naik 27,56% dari posisi Mei 2020. “Neraca perdagangan pada Juni ini menggembirakan karena ekspor tumbuh dan impor juga tumbuh. Ekspor tumbuh di semua sektor, baik pertanian, industri, maupun pertambangan. Semoga ini menjadi sinyal positif untuk bulan-bulan berikutnya,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (15/7). Secara kumulatif, kata dia, untuk posisi Januari - Juni 2020, neraca perdagangan Indonesia juga mengalami surplus US$ 5,5 miliar. Capaian ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi Januaari - Juni 2019 yang masih mengalami defisit sebesar US$ 1,87 milir. “Dengan meilihat posisi ini, sebetulnya neraca perdagangan kita, baik selama bulan Juni 2020 maupun Januari sampai Juni 2020, dalam keadaannya yang menggembirakan,” ucap Suhariyanto. Ia memaparkan, selama Juni 2020, ekspor pertanian tercatat meningkat hingga 18,99%, ekspor industri pengolahan meningkat 15,96%, ekspor pertambangan meningkat 13,69%, kalau dibandingkan posisi Mei 2020. “Kembali kita harapkan, geliat ekspor yang menunjukkan sinyal positif pada bulan Juni 2020 ini akan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya,” tutur Suhariyanto. Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia dengan beberapa negara pada periode Januari-Juni 2020 juga masih mengalami surplus, misalnya dengan Amerika Serikat (AS) surplus US$ 4,76 miliar, dengan India surplus US$ 3 miliar, dan dengan Belanda surplus US$ 1,06 miliar. “Kalau dengan Tiongkok, kita mengalami defisit meskipun jauh lebih rendah dibandingkan posisi Januari-Juni 2019. Januari-Juni 2020 defisit kita dengan tiongkok US$ 5,3 miliar. Sedangkan defisit kita dengan Thailand US$ 1,48 miliar dan dengan Australia US$ 874 juta,” pungkas dia. Sumber : Investor Daily

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Juni 2020, Neraca Perdagangan RI Surplus US$ 1,27 Miliar"
Penulis: Nasori/Arnoldus Kristianus
Read more at: http://brt.st/6F0g

🍉

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor Juni 2020 mencapai US$12,03 miliar, naik tipis 2,28 persen secara year-on-year (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang senilai US$11,76 miliar.

Sementara itu, secara bulanan, realisasi ekspor pada Juni juga tumbuh 15,09 persen dari posisi Mei 2020 sebesar US$10,45 miliar.

"Ini tren yang sangat menggembirakan dan kami berharap peningkatan ini tidak hanya terjadi pada Juni 2020 tapi juga bulan-bulan ke depan," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung melalui YouTube resmi BPS, Rabu (15/7/2020).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan ekspor secara tahunan tersebut lebih banyak disumbangkan oleh pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 6,3 persen. Sebaliknya, ekspor migas turun18,52 persen karena ada penurunan ekspor minyak mentah dan gas. 

Jika dibandingkan month to month (mtm), dia menjelaskan ada perubahan harga misalnya minyak mentah menjadi US$36,6 per barel, harga minyak sawit tumbuh 13,6 persen, harga karet naik 3,7 persen, dan harga batubara turun 10,55 persen sehingga mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.

"Peningkatan ekspor dari Mei -Juni 2020 itu terjadi karena peningkatan impor migas 3,80 persen," tambahnya.

🍊


TEMPO.COJakarta - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus pada Mei 2020. Surplus perdagangan ini terjadi lantaran angka impor turun lebih dalam daripada ekspor.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pada Mei 2020 ekspor dari Tanah Air tercatat sebesar US$ 10,53 miliar. Sedangkan, impor tercatat sebesar US$ 8,44 miliar.

"Jadi neraca perdagangan mengalami surplus US$ 2,1 miliar," ujar Suhariyanto dalam konferensi video, Senin, 15 Juni 2020.

Kendati mengalami surplus, ia mengatakan kondisi itu perlu diwaspadai. Sebab, berdasarkan komponennya, terpantau ekspor mengalami penurunan dan impor turun jauh lebih dalam.

"Kalau kita lihat terciptanya surplus ini kurang menggembirakan karena ekspor mengalami penurunan 28,95 persen. Impornya turun jauh lebih dalam 42,2 persen," ujar dia.

Suhariyanto mengatakan ekspor tercatat tumbuh negatif untuk pertanian, industri pengolahan, dan industri pertambangan. Sementara impor turun curam, baik untuk impor barang konsumsi, impor bahan baku, dan impor baran modal.

Sebelumnya, Bank Indonesia memperkirakan neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus signifikan pada Mei 2020. Hal tersebut sejalan dengan menurunnya impor akibat perlambatan ekonomi domestik pada masa wabah Covid-19.

"Surplus tersebut diperkirakan akan berlanjut pada bulan bulan berikutnya sejalan dengan kenaikan harga komoditas andalan Indonesia terutama CPO," ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada Tempo, Ahad, 14 Juni 2020.

Belakangan, kata dia, harga komoditas andalan Tanah Air menunjukkan adanya peningkatan dalam beberapa pekan terakhir seiring dengan naiknya kembali harga minyak dunia. Dengan neraca perdagangan yang surplus tersebut, bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini akan di bawah perkiraan.

"Sebagaimana disampaikan pada hasil RDG Mei lalu, Bank Indonesia memprakirakan defisit transaksi berjalan 2020 akan menurun menjadi di bawah 2 persen PDB, dari prakiraan sebelumnya 2,5-3 persen PDB," ujar Nanang.  

🍊

Bisnis.com, JAKARTA- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat arus ekspor Mei 2020 sebesar US$10,53 miliar, atau turun 28,95 persen secara year-on-year (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang senilai US$14,83 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto menuturkan angka ekspor pada Mei 2020 merupakan yang terendah sejak Juli 2016 yang saat itu nilainya mencapai US$9,6 miliar.

"Dilihat kebelakang pernah terjadi ekspor rendah pada Juli 2016," ungkap Suhariyanto dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung melalui YouTube resmi BPS, Senin (15/6/2020)

Sementara itu, secara bulanan, realisasi ekspor pada Mei menunjukkan penurunan 13,40 persen dari posisi April 2020, yang sebesar US$12,16 miliar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan ekspor secara tahunan tersebut disebabkan oleh turunnya ekspor migas maupun non migas ke posisi yang cukup dalam.

Sementara itu secara bulanan, ekspor migas mengalami kenaikan walaupun tidak dapat mengompensasi turunnya ekspor nonmigas.

"Baik secara bulanan maupun tahunan, ekspor nonmigas padaa Mei mengalami penurunan yang signifikan," paparnya.

Dari sektor penopang ekspor nonmigas, penurunan terjadi di seluruh sektor, pertanian hingga industri pengolahan.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekspor pertanian tumbuh negatif 25,48 persen (year-on-year/yoy).

"Komoditas yang turun dalam year on year, ekspor kopi, tanaman obat rempah, sarang burung dan lada putih," papar Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/6/2020).

Sementara itu, industri pengolahan juga terkoreksi hingga -25,90 persen (yoy). Anjloknya ekspor di sektor ini dipicu oleh penurunan drastis logam dasar mulia, sepatu, CPO dan peralatan listrik.

Secara tahunan, sektor pertambangan juga mengalami kontraksi tajam -38,11 persen. Alhasil, tiga sektor tersebut berkontribusi terhadap penurunan ekspor secara keseluruhan.


🍓
JAKARTA, iNews.id - Neraca perdagangan Indonesia untuk komoditas pertanian dinilai masih positif. Bahkan, neraca perdagangan pertanian atas China tercatat surplus pada tahun lalu.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengekspor produk pertanian senilai 3,89 miliar dolar AS. Sementara impor 1,87 miliar dolar AS.
"Sehingga di tahun 2019, Indonesia surplus senilai 1,87 miliar dolar AS dari China," ujar Kuntoro melalui keterangan tertulis, Senin (25/5/2020).
Kenaikan tersebut tidak hanya terjadi dari sisi nilai. Volume, ekspor pertanian, kata dia, mencapai 5,75 juta ton atau tumbuh 49,86 persen dibandingkan tahun 2018.
"Khusus sektor hortikultura pun neracanya tumbuh positif hingga 8,25 persen," ujarnya.
Tren positif tersebut, menurut Kuntoro, berlanjut pada tahun ini. Sepanjang Januari-Maret, neraca perdagangan khusus pertanian surplus 164 juta dolar AS atas China.
"Ini adalah dampak positif penguatan produksi dalam negeri dan membuka akses pasar ekspor yang dilakukan pemerintah. Produksi aneka sayuran 2019 mencapai 13,4 juta ton atau naik 2,67 persen dari sebelumnya. Kami sepakat bila inovasi dan upaya pemenuhan kebutuhan nasional, penting dilakukan simultan," tuturnya.
Kuntoro menambahkan, pemerintah terus memacu sentra-sentra produksi baru berbasis keunggulan wilayah, agar produk pertanian mampu berkembang, menguntungkan petani dan memenuhi sendiri kebutuhan nasional, serta mengurangi ketergantungan impor.
🍉


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit neraca perdagangan jasa pada kuartal I-2020 mengecil. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi defisit transaksi berjalan di tiga bulan pertama 2020 yang juga turun. 
Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), defisit neraca perdagangan jasa di triwulan pertama capai US$ 1,9 miliar. Angka ini sedikit lebih rendah dari kuartal IV-2019 yang capai US$ 2 miliar. 
Namun, jika dibandingkan dengan defisit perdagangan jasa di kuartal I-2019, posisi saat ini masih lebih tinggi. Mengingat pada tiga bulan pertama 2019 lalu, defisit sektor ini hanya US$ 1,6 miliar. 
"Bila dibandingkan per kuartal, perbaikan defisit disebabkan oleh berkurangnya defisit jasa transportasi, sementara peningkatan defisit jasa secara tahunan antara lain dipicu berkurangnya surplus jasa perjalanan," kata laporan BI dalam Neraca Pembayaran Indonesia kuartal I-2020 yang dikutip Kontan.co.id.
BI pun memerinci komponen yang menyokong perkembangan neraca dagang jasa. Pertama, neraca jasa perjalanan mencatat surplus US$ 1,4 miliar pada kuartal I-2020. Surplus ini turun dibandingkan surplus pada kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 1,6 miliar. 
Penyebabnya, ada penurunan penerimaan ekspor jasa perjalanan yang lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pembayaran (impor) jasa perjalanan. 
Pembayaran jasa perjalanan tercatat sebesar US$ 1,5 miliar pada kuartal pertama tahun ini, alias lebih rendah dibandingkan dengan US$ 2,9 miliar pada kuartal sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan penurunan jumlah kunjungan wisatawan nasional (wisnas) ke luar negeri sebagai dampak dari kebijakan lockdown di beberapa negara tujuan wisnas. 
Sementara itu, penerimaan jasa perjalanan dari wisatawan mancanegara (wisman) juga turun. Penerimaan jasa dari kunjungan wisman tercatat sebesar US$ 2,9 miliar atau turun tajam dibandingkan dengan kuartal IV-2019 yang mencapai US$ 4,5 miliar. Penurunan ini seiring dengan lebih rendahnya jumlah kunjungan wisman ke Indonesia. 
Sementara itu, jasa transportasi mencatat penurunan defisit pada kuartal I-2020 menjadi US$ 1,3 miliar. Ini lebih rendah dari defisit pada kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 1,6 miliar, juga lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai defisit US$ 1,5 miliar. 
"Penurunannya terutama disebabkan oleh turunnya pembayaran jasa freight. Jasa transportasi ini merupakan komponen penyumbang defisit neraca jasa terbesar," tambah BI.
Selain itu, jasa transportasi penumpang juga mengalami penurunan defisit menjadi US$ 0,1 miliar pada kuartal I-2020. Ini lebih rendah daripada defisit pada kuartal IV-2019 yang sebesar US$ 0,4 miliar dan kuartal I-2019 yang sebesar US$ 0,3 miliar. Penyempitan defisit ini sejalan dengan penurunan jumlah wisnas yang bepergian ke luar negeri.

🍇

Jakarta detik- 
Neraca perdagangan Indonesia pada April 2020 tercatat defisit tipis US$ 350 juta. Angka ini berasal dari ekspor sebesar US$ 12,19 miliar dan impor sebesar US$ 12,54 miliar.

"Nilai impor pada April 2020 US$ 12,54 miliar, kalau dibandingkan Maret turun 6,10%, sedangkan kalau year on year turun 18,58%," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam jumpa pers virtual, Jumat (15/5/2020).
Sementara ekspor April 2020 sebesar US$ 12,19 miliar. Angka ini turun 7,02% dibandingkan posisi pada bulan yang sama tahun lalu. Jika dibandingkan Maret 2020 angkanya juga turun 13,33%.
"Sekarang kalau kita gabungkan ekspor dan impor selama April 2020 tadi sudah disampaikan nilai ekspor kita pada April 2020 US$ 12,19 miliar sedangkan Impor US$ 12,54 miliar sehingga pada April 2020 kita alami defisit US$ 0,35 miliar," jelasnya.

Menurutnya, ekspor dan impor yang melambat ini sejalan dengan ekonomi berbagai dunia yang mengalami pelemahan dan kontraksi. Di sisi lain angka inflasi Indonesia dan berbagai negara lain juga alami perlambatan, mengindikasikan permintaan melemah.

Berikut neraca perdagangan 2020:
- Januari 2020 defisit US$ 870 juta
- Februari 2020 surplus US$ 2,34 miliar
- Maret 2020 surplus US$ S$ 743 juta
- April 2020 defisit US$ 350 juta

Jakarta - 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagangan Indonesia di April tekor US$ 350 juta. Namun sepanjang Januari-April, neraca dagang masih surplus US$ 2,25 miliar.

"Karena total ekspor kita US$ 53,95 miliar, sementara impor kita US$ 51,71 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers virtual, Jumat (15/5/2020).
"Jadi kalau kita lihat sementara Januari-April 2020 masih surplus di tengah COVID-19, karena kalau dibandingkan Januari-April 2019 performa sekarang masih jauh lebih bagus. Apalagi melihat dampak COVID," tambahnya.

Kendati demikian, ia mewanti-wanti adanya penurunan impor bahan baku dan barang modal, karena dampaknya ke sektor industri, perdagangan dan investasi sangat besar.


"Dengan beberapa negara kita masih surplus. Dengan (AS) Januari-April surplus US$ 3,6 miliar, India surplus US$ 2,3 miliar, dengan Belanda US$ 757 juta," ujarnya.

Sementara dengan Australia defisit US$ 754 juta, dengan Thailand defisit US$ 1,2 miliar, dan China defisit US$ 4,48 miliar.

"Januari-April 2020 lebih kecil dibandingkan Januari-April 2019. Jadi masih banyak ketidakpastian, banyak negara kontraksi, perlambatan permintaan, sehingga harga komoditas juga turun dalam. Itu yang mewarnai neraca dagang Indonesia selama April 2020," katanya.

Berikut neraca perdagangan 2020:
- Januari 2020 defisit US$ 870 juta
- Februari 2020 surplus US$ 2,34 miliar
- Maret 2020 surplus US$ S$ 743 juta
- April 2020 defisit US$ 350 juta
- Januari-April surplus US$ 2,25 miliar

🍎

Jakarta - detik
Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2020 tercatat surplus US$ 2,34 miliar. Angka ini berasal dari ekspor sebesar US$ 13,94 miliar dan impor sebesar US$ 11,6 miliar.
Demikian disampaikan oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Yunita Rusanti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Nilai impor menurut penggunaan barang sendiri semuanya menurun. Termasuk impor barang konsumsi, impor bahan baku/penolong, dan impor barang modal.
Angka impor sebesar US$ 11,6 miliar tercatat turun 18,69% secara month to month, dan turun 5% secara year on year. Impor yang paling banyak turun berasal dari barang mesin dan perlengkapan elektrik, mesin dan peralatan mekanis, kendaraan dan bagiannya, plastik dan barang dari plastik, serta bahan kimia organik.
Sementara ekspor Februari tercatat sebesar US$ 13,94 miliar. Peningkatan ekspor terbesar dari logam mulia, kendaraan dan bagian lainnya, lemak dan minyak nabati, barang tekstil, bahan bakar mineral.
Dan penurunan ekspor terbesar berasal dari besi dan baja, alas kaki, tembaga dan barang daripadanya, pulp dari kayu, pakaian dan aksesori.
Ekspor naik paling tinggi ke negara Singapura, Malaysia, Ukraina, Swiss, dan Filipina. Ekspor turun paling dalam ke China (turun tajam, US$ 245,5 juta, antara lain besi baja, tembaga, pulp), India, Taiwan, Jerman, dan Belanda.
Berikut neraca perdagangan 2020:
  • Januari 2020 defisit US$ 870 juta
  • Februari 2020 surplus US$ 2,34 miliar

🍒


Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (17/2/2020), melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$870 juta pada Januari 2020.

Defisit ini disebabkan oleh dari posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$13,41 miliar atau lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor yang mencapai  US$14,28 miliar.
"Pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan, kita harapkan implementasi B30, dapat bergulir di lapangan dan neraca perdagangan dapat kembali surplus," ujar Kepala BPS Suhariyanto, Senin (17/2/2020)
Dari penelusuran Bisnis, angka defisit ini lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada bulan Desember 2019, sebesar US$28,20 juta dan lebih rendah jika dibandingkan dengan defisit Januari 2019 yang sebesar US$1,16 miliar.
Lebih lanjut, BPS mencatat ekspor nonmigas per Januari 2020 mencapai US$12,61 miliar atau turun 5,33 persen dibanding Desember 2019. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, ekspor Januari 2020 turun 0,69 persen. 
Penurunan terbesar ekspor nonmigas Januari 2020 terhadap Desember 2019 terjadi pada lemak dan minyak hewani/nabati sebesar US$703,2 juta (34,08 persen), sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada logam mulia dan perhiasan/permata sebesar US$219,0 juta (57,84 persen).
Menurut sektor, BPS melaporkan ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari 2020 naik 3,16 persen dibanding bulan yang sama tahun 2019, demikian juga ekspor hasil pertanian naik 4,54 persen, sementara ekspor hasil tambang dan lainnya turun 19,15 persen.
Ekspor nonmigas Januari 2020 terbesar adalah ke China yaitu US$2,10 miliar, disusul Amerika Serikat US$1,62 miliar dan Jepang US$1,12 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 38,41 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$1,18 miliar.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari 2020 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$2,34 miliar (17,47 persen), diikuti Jawa Timur US$1,58 miliar (11,76 persen) dan Kalimantan Timur US$1,26 miliar (9,38 persen).
🍒

Jakarta detik - Neraca dagang Indonesia sepanjang 2019 tercatat defisit US$ 3,2 miliar. Angka ini berasal dari ekspor setahun penuh yang sebesar US$ 167,5 miliar dan impornya sebesar US$ 170,72 miliar.
Demikian dilaporkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/1/2020). Defisit ini memang terbilang lebih kecil dibanding tekor neraca dagang 2018, namun terhitung masih cukup tinggi.

"Defisit 2019 lebih kecil dibanding defisit 2018," kata Suhariyanto.
Defisit neraca dagang berhasil ditekan lewat penurunan impor yang cukup dalam. Meski demikian, dibandingkan secara tahunan ekspor Indonesia sepanjang 2019 masih lebih kecil dibandingkan 2018.

Sementara impor berhasil ditekan dari US$ 188,7 miliar menjadi US$ 170,7 miliar.


Amerika Serikat, India, dan Belanja menjadi tiga negara yang paling defisit sepanjang 2019 neraca dagangnya terhadap Indonesia. Artinya Indonesia lebih banyak ekspor dibandingkan impor terhadap negara-negara tersebut.

Sementara negara-negara yang neraca dagangnya paling surplus terhadap Indonesia di 2019 adalah Australia, Thailand, dan China. Indonesia lebih banyak impornya dibanding ekspor terhadap ketiga negara tersebut.

Berikut data neraca perdagangan RI selama 2019

Januari: defisit US$ 1,16 miliar
Februari: surplus US$ 330 juta
Maret: surplus US$ 540 juta
April: defisit US$ 2,5 miliar
Mei: surplus US$ 210 juta
Juni: surplus US$ 200 juta
Juli: defisit US$ 60 juta
Agustus: surplus US$ 85 juta
September: defisit US$ 160 juta
Oktober: surplus US$ 161,3 juta
November: defisit US$ 1,33 miliar
Desember: defisit US$ 30 juta
🍈

JAKARTA sindonews- Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, mengumumkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2019 mengalami defisit USD3,20 miliar. Angka ini lebih rendah dibandingkan posisi yang sama tahun 2018 sebesar USD8,6 miliar.

"Secara keseluruhan pada 2019, neraca dagang mengalami defisit USD3,20 miliar. Tapi ini lebih kecil dari defisit tahun 2018 yang sebesar USD8,60 miliar," ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Ia menerangkan, defisit ini lebih banyak disumbang oleh defisit migas sebesar USD9,3 miliar, akibat lifting migas yang meleset dan naiknya harga minyak. Sedangkan non migas mencatat surplus sebesar USD6,1 miliar.


Sementara itu, terang Suhariyanto, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2019 lewat, mengalami defisit USD30 juta. Angka ini lebih rendah dibandingkan neraca dagang bulan November 2019 yang mengalami defisit sebesar USD1,38 miliar.

"Pada Desember 2019, nilai ekspor kita mencapai USD14,47 miliar, sementara nilai impor kita sebesar USD14,50 miliar," pungkasnya.

🍉

JAKARTA okezone- Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 mengalami defisit USD1,33 miliar. Sedangkan secara kumulatif Januari-November 2019, defisit neraca dagang mencapai USD3,11 miliar.

Posisi neraca dagang November mengalami defisit cukup mendalam dan signifikan dibandingkan Oktober yang tercatat surplus USD161 juta. "Neraca dagang kita mengalami defisit dibandingkan bulan lalu, dimana defisitnya mencapai USD1,33 miliar ," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (16/12/2019).

Menurut Suhariyanto, defisit neraca perdagangan November disebabkan oleh impor yang masih terus naik sementara ekspor belum membaik. Tercatat nilai impor pada November 2019 mencapai USD15,34 miliar atau naik 3,94% dibanding Oktober 2019. Sedangkan nilai ekspor Indonesia November 2019 mencapai USD14,01 miliar atau menurun 6,17% dibanding ekspor Oktober 2019.



Lebih lanjut, BPS mengingatkan pemerintah harus hati-hati. Pasalnya, neraca dagang global juga tengah melambat sehingga berimbas kepada Indonesia. "Tantangan yang kita hadapi luar biasa. Kita perlu hati-hati menyikapi pelambatan perdagangan internasional, dan perlu ekstra hati-hati kedepannya," jelasnya.

Sementara itu, sektor migas juga masih menjadi penyumbang defisit bagi neraca dagang RI. Tercatat pada November 2019 defisit sektor migas mencapai USD1.029,0 juta dan nonmigas USD300,9 juta.

Terpisah, Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira mengatakan, defisit neraca dagang akan terus berlanjut pada akhir tahun. Hal itu terlihat dari faktor musiman serta alokasi impor bahan bakar minyak (BBM) yang masih terus dilakukan

"(Defisit) akan berlanjut di bulan Desember. Faktornya secara musiman akhir tahun permintaan BBM meningkat, sehingga pemerintah alokasikan impor BBM lebih besar," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Senin (16/12/2019).

Dia melanjutkan, impor barang konsumsi juga naik untuk persiapan libur Natal dan Tahun Baru. Ini sudah terlihat secara bulanan impor barang konsumsi bulan November naik 16% dibanding oktober.

"Ini jelas akan berimbas ke pertumbuhan ekonomi dimana komponen net ekspornya masih tergerus. Ujungnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 5%," jelasnya.
🍉

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) naik menjadi US$ 8,4 miliar atau 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal kedua 2019. Defisit ini naik dari US$ 7 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal pertama.
"Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan II melebar dipengaruhi perilaku musiman repatriasi dividen, pembayaran bunga utang luar negeri, dampak pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun," ungkap Onny Widjanarko, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia dalam siaran pers, Jumat (9/8).
Neraca pembayaran Indonesia (NPI) di kuartal kedua tercatat defisit US$ 2,0 miliar. Tapi untuk seluruh semester pertama, NPI masih surplus US$ 400 juta. Perkembangan ini ditopang surplus neraca transaksi modal dan finansial, serta defisit neraca transaksi berjalan yang terkendali dalam batas aman yaitu 2,8% dari PDB.
Surplus transaksi modal dan finansial (TMF) pada triwulan II 2019 mencapai US$ 7,1 miliar. Surplus ini ditopang oleh aliran masuk investasi langsung dan investasi portofolio. Aliran masuk investasi langsung tercatat US$ 7 miliar, meningkat dibandingkan dengan level pada triwulan sebelumnya sebesar US$ 6,1 miliar.
Investasi portofolio tercatat juga masih tinggi yakni US$ 4,5 miliar. Sementara itu, investasi lainnya mencatat defisit dipengaruhi faktor musiman meningkatnya pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo. Dengan perkembangan tersebut, surplus TMF sampai dengan semester I 2019 tercatat US$ 17 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada semester I tahun sebelumnya sebesar US$ 5,3 miliar.
Kinerja ekspor nonmigas juga menurun sejalan dampak perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun. Ekspor nonmigas tercatat US$ 37,2 miliar, turun dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya sebesar US$ 38,2 miliar.
Defisit neraca perdagangan migas juga meningkat menjadi US$ 3,2 miliar dari US$ 2,2 miliar pada triwulan sebelumnya. Hal ini seiring dengan kenaikan rerata harga minyak global dan peningkatan permintaan musiman impor migas terkait hari raya Idul Fitri dan libur sekolah.

BI memperkirakan NPI tetap baik sehingga dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal. Prospek NPI tersebut didukung defisit transaksi berjalan 2019 yang diprakirakan berada dalam kisaran 2,5%-3,0% PDB. Prospek aliran masuk modal asing juga tetap besar didorong persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga.
🍓

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik makin tinggi setelah Badan Pusat Statistik mengumkan surplus neraca dagang bulan Oktober 2019.
Jumat (15/11) pukul 10.28 WIB, IHSG naik 0,46% ke 6.126,74. Tiga sektor melaju lebih dari 1%. Sektor industri dasar meningkat 1,37%. Sektor tambang naik 1,12%. Sektor keuangan menguat 1%.
Top gainers LQ45 adalah
  • PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) 4,71%
  • PT Barito Pacific Tbk (BRPT) 3,90%
  • PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) 3,30%
Saham BBRI pun mencatat pembelian bersih asing terbesar, yakni Rp 67,9 miliar. Pembelian bersih terbesar asing juga tercatat pada saham PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) Rp 26,7 miliar, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 16,2 miliar.
🍊

Jakarta - Neraca Dagang Indonesia pada Oktober 2019 tercatat surplus US$ 161,3 juta. Demikian disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (15/11/2019).

Angka tersebut berasal dari ekspor Oktober yang sebesar US$ 14,93 miliar dan impor US$ 14,77 miliar. Ini berarti neraca dagang Indonesia kembali positif setelah tiga bulan terakhir tercatat negatif.

Dengan demikian, neraca perdagangan Januari-Oktober 2019 tercatat masih mengalami defisit US$ 1,79 miliar.


Kepala BPS Suhariyanto mengatakan impor pada Oktober 2019 turun cukup tajam. Nilai impor Indonesia naik 3,57% secara month to month (mtm) tapi jika dibandingkan setahun yang lalu, impor turun cukup tajam mencapai 16,39%.

"Dilihat secara bulanan impor Indonesia menurut penggunaan barang mengalami kenaikan," kata Suhariyanto.

Berikut data neraca perdagangan RI selama 2019
  • Januari: defisit US$ 756 juta
  • Februari: defisit US$ 52,9 juta
  • Maret: surplus US$ 1,12 miliar
  • April: defisit US$ 1,63 miliar
  • Mei: defisit US$ 1,52 miliar
  • Juni: surplus US$ 1,74 miliar
  • Juli: defisit US$ 2,03 miliar
  • Agustus: defisit US$ 1,02 miliar
  • September: defisit US$ 160 juta
  • Oktober: surplus US$ 161,3 juta


🍈

JAKARTA okezone- Bank Indonesia (BI) mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III 2019 menunjukkan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia yang tetap terjaga, di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.
Melansir keterangan resmi BI, Jakarta, Jumat (8/11/2019), NPI pada triwulan III 2019 menunjukkan perbaikan dengan mencatat defisit USD46 juta, jauh lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya sebesar USD2,0 miliar.
Kondisi tersebut ditopang oleh defisit neraca transaksi berjalan yang membaik serta surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat.
Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir September 2019 mencapai USD124,3 miliar, meningkat dari USD123,8 miliar pada akhir Juni 2019.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.

Defisit neraca transaksi berjalan membaik didukung oleh menurunnya defisit neraca perdagangan migas di tengah surplus neraca perdagangan nonmigas yang stabil.
Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2019 tercatat sebesar USD7,7 miliar (2,7% dari PDB), lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai USD8,2 miliar (2,9% dari PDB).
Perbaikan kinerja neraca transaksi berjalan terutama ditopang oleh meningkatnya surplus neraca perdagangan barang, sejalan dengan menurunnya defisit neraca perdagangan migas di tengah surplus neraca perdagangan nonmigas yang stabil.
Membaiknya defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi oleh impor migas yang menurun sejalan dengan dampak positif kebijakan pengendalian impor, misalnya program B20. Sementara itu, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat stabil di tengah perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun.
Defisit neraca transaksi berjalan yang membaik juga didukung oleh penurunan defisit neraca pendapatan primer akibat lebih rendahnya repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri.

Surplus transaksi modal dan finansial meningkat, mencerminkan masih tingginya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik.
Surplus transaksi modal dan finansial pada triwulan III 2019 tercatat sebesar USD7,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada triwulan sebelumnya sebesar USD6,5 miliar.
Peningkatan surplus transaksi modal dan finansial terutama didukung oleh membaiknya kinerja investasi portofolio, seiring meningkatnya aliran masuk modal asing pada aset keuangan domestik.
Peningkatan surplus juga disebabkan oleh menurunnya defisit investasi lainnya yang dipengaruhi oleh lebih tingginya penarikan neto pinjaman luar negeri sektor swasta dan lebih rendahnya pembayaran neto pinjaman luar negeri pemerintah.
Ke depan, kinerja NPI diprakirakan tetap baik sehingga dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal. Prospek NPI tersebut didukung oleh defisit transaksi berjalan 2019 dan 2020 yang diprakirakan tetap terkendali dalam kisaran 2,5%–3,0% PDB dan aliran masuk modal asing yang tetap besar.
Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal, termasuk berupaya mendorong peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA).

(dni)
🍈

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan mengalami surplus tipis yakni USD85,1 juta pada Agustus 2019. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan Agustus 2018 yang mengalami defisit sebesar USD953 juta.
Bila dibandingkan secara bulanan, realisasi ini juga membaik, lantaran pada neraca perdagangan Juli 2018 terjadi defisit sebesar USD64,3 juta.
Terkait hal itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pihaknya akan selalu melihat pergerakan neraca perdagangan dari pasar regional dan global.

"Jadi, kita lihat setiap bulan perkembangan neraca perdagangan dari pasar regional, global dan apa yang menimbulkan positif biasanya. Kita akan lebih lihat tren," ujar dia di Kompleks Senayan DPR Jakarta, Senin (16/9/2019).
Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, nilai laju ekspor dan impor pada Agustus 2019 memang mengalami penurun, meski demikian laju kinerja impor ternyata jauh lebih lambat. Hal ini membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.

Nilai impor Agustus 2019 tercatat mencapai USD14,20 miliar, mengalami penurunan sebesar 15,60% dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar USD16,82 miliar. Dengan Juli 2019 juga tercatat turun 8,53% jadi USD15,52 miliar.
🍑

Jakarta detik- Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengimbau pemerintah untuk terus mewaspadai defisit neraca perdagangan. Ini mengingat kinerja ekspor yang masih belum mampu menambal defisit sepanjang Januari hingga Agustus 2019.

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan surplus neraca perdagangan pada Agustus 2018 yang sebesar US$0,085 miliar bukan akibat dari kinerja ekspor yang membaik dari bulan sebelumnya akan tetapi karena impor Agustus 2019 yang turun dari Juli 2019.

"Sehingga pemerintah tidak boleh lengah dengan data surplus yang terjadi pada Agustus ini. Karena masih ada pekerjaan rumah yakni menutupi defisit yang sangat dalam sebesar US$2,28 miliar yang terjadi pada April 2019," ucapnya, dalam keterangan tertulis, Senin (16/9/2019).


Arif menjelaskan salah satu pemberat kinerja neraca perdagangan adalah impor nonmigas dari salah satu negara mitra dagang terbesar yakni China. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nonmigas China pada Agustus 2019 sebesar US$3,74 miliar sedangkan ekspor non migas Indonesia ke negara tersebut hanya sebesar US$2,27 miliar.

Kondisi itu meneruskan tren neraca perdagangan China dengan Indonesia yang pada 2017 ke 2018 mengalami pelebaran defisit, dari US$14,16 miliar menjadi US$20,84 miliar. Hal serupa juga terjadi pada periode Januari-Juli 2019 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang mana terjadi defisit yang semakin dalam yakni sebesar 7,01%.

"Defisit perdagangan yang semakin melebar dengan Tiongkok sangat disayangkan karena harusnya Indonesia bisa memanfaatkan perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Belum lagi secara penduduk pasar Tiongkok lebih besar dari pada Indonesia, yang seharusnya menjadi peluang pasar ekspor Indonesia," ucapnya.

Sementara itu, lanjut Arif, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Amerika Serikat menunjukkan hasil yang positif dari Januari-Juli 2018 ke Januari-Juli 2019, dengan peningkatan ekspor sebesar 9,85%. Meskipun demikian, angka tersebut harus tetap dijaga agar penurunan ekspor non migas yang terjadi pada 2017 ke 2018 tidak terjadi lagi.

"Dengan demikian, kinerja positif neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat harus tetap dipertahankan bahkan harus ditingkatkan," kata Arif.

Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, Arif berpendapat salah satu cara untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan ialah dengan mempersempit neraca dagang nonmigas dengan China. Beberapa cara dapat ditempuh untuk merealisasikan strategi tersebut.

Pertama ialah yakni dengan mengoptimalkan penggunaan nontariff barrier dalam Asean China Free Trade Area (ACFTA) untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Kemudian, penerapan Standar Nasional Indonesia serta melengkapi produk-produk eskpor tersebut dengan bahasa China sehingga memudahkan proses ekspor.

Selanjutnya ialah penerapan sertifikasi halal bagi produk ekspor dan yang tidak kalah penting ialah memastikan seluruh transaksi dalam e-commerce dari negara mitra dagang adalah legal.

"Ini semua harus dilakukan agar dengan adanya ACFTA, Indonesia juga bisa mendapatkan untung bukan sebaliknya. Pemerintah harus memiliki daya juang yang lebih agar produk-produk Indonesia bisa memasuki pasar ekspor yang lebih luas," pungkasnya.
🍐

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Current Account Deficit (CAD) Indonesia pada Q2-2019 melebar hingga 3% dari PDB. Sementara pada kuartal sebelumnya, hanya ada di level 2,6%. Hal ini dipengaruhi oleh repatriasi dividen musiman, pembayaran pinjaman luar negeri, dan penurunan ekspor.
Bank DBS melihat ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya tensi currency war. Hal ini yang kemudian mendorong Bank Indonesia (BI) untuk berhati-hati dalam melakukan penurunan suku bunga lebih lanjut.
Mengenai hal itu, Ekonom Bank DBS Masyita Crystallin dalam rilis Bank DBS menyatakan bahwa mereka berharap besarnya pemotongan suku bunga disesuaikan dengan kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) untuk mempertahankan perbedaan tingkat suku bunga.
Sebagai informasi, tren pelebaran CAD ada setelah ledakan komoditas berakhir pada 2013. Setelah tahun tersebut, CAD melebar secara signifikan selama ekspansi pertumbuhan. Bahkan dalam 2 tahun terakhir, pertumbuhan yang di atas 5,1% ini menyebabkan defisit sebesar -US$ 7,4 miliar.
Oleh karena itu, ntuk menurunkan tendensi CAD tersebut, DBS menghimbau agar pemerintah terus mengejar ketertinggalan dalam sektor riil. Pemerintah bisa mengupayakan kebijakan di sisi permintaan baik moneter maupun fiskal.
Kebijakan sektor rill ini juga bisa dilakukan dengan melakukan reformasi struktural yang bertujuan untuk menurunkan biaya logistik, mempermudah perizinan untuk berbisnis, dan merealisasikan undang-undang ketenagakerjaan yang lebih ramah bisnis.


Selain itu, pemerintah juga bisa meningkatkan pengembangan industri yang berorientasi pada ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi.
🍑
okezone: DAMPAK neraca perdagangan tergolong serius terhadap perekonomian Indonesia. Selain berkaitan dengan neraca transaksi berjalan (current account ) dan efek dominonya terhadap nilai tukar rupiah, neraca perdagangan juga merefleksikan tingkat pro duktivitas domestik baik dari sisi input maupun output.
Dalam perkembangan terakhir, neraca perdagangan kita masih terjerembab cukup dalam di angka defisit. Selama periode Januari-Juni 2019, total defisit perdagangan mencapai USD1,93 miliar dan meningkat 60,83% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy). Akibat nya proyeksi neraca transaksi berjalan pada kuartal II/2019 relatif menjadi suram. Kendati belum dirilis Bank Indonesia (BI), banyak pihak yang menebak defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit /CAD) akan kian lebar pada kuartal II.
Hal ini mengacu pada tren periode-periode sebe - lumnya seperti kondisi pada kuartal I/2019 kemarin. Pada saat itu dengan de fisit perdagangan hanya USD0,19 miliar saja CAD kita sudah mencapai USD6,96 miliar. Apalagi dengan kondisi yang sekarang, akan sangat mungkin nilai CAD-nya kian membengkak daripada sebelumnya. Sebenarnya neraca perdagangan kita pada Juni 2019 kemarin tengah surplus tipis sebesar USD0,2 miliar, tetapi dampaknya kurang terasa karena bulan-bulan sebelumnya secara agregat kita mengalami defisit yang cukup dalam. Kalau kita lihat sekilas, penyebab utama jebloknya neraca perdagangan Indonesia lantaran kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Nilai ekspor kita se lama semester I/2019 menurun 8,57% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy). Jika ditelaah lebih dalam lagi, sektor industri pengolahan selaku kontributor utama (74,88%), kian lemah kinerja nilai ekspornya dengan penurun an 4,59% selama semester I/2019. Belum lagi dengan pukulan dari harga komoditas andalan ekspor yang juga tengah mengalami kontraksi. Yang terburuk, berdasarkan data BPS (2019), terjadi pada harga batu bara yang anjlok hingga 30%. Kondisi serupa juga terjadi pada harga minyak kelapa sawit (crude palm oil /CPO) yang turun hingga 8,02%. Indonesia mulai merasakan beratnya “kutukan” kebijakan akibat terlalu mengandalkan eks por komoditas mentah.

Apa lagi kita relatif lelet untuk me lakukan transisi pada saat har ga komoditas tidak sebooming sebelumnya. Akibatnya kinerja industri turut melemah ka rena nilai tukar yang terus me rosot dalam beberapa tahun ter akhir. Hal ini juga berkaitan de ngan kebiasaan kita yang terlalu bergantung pada impor bahan baku dan barang penolong untuk mencukupi sebagian besar input produksi dalam negeri. Transformasi struktural menuntut agar terus dilakukan demi menjaga keberlangsungan daya saing industri domestik.
Perlu Insentif
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak hanya tinggal diam dalam menyikapi kondisi seperti sekarang ini. Kucuran insentif pajak dan impor bahan baku sudah banyak dilayangkan kendati hasilnya belum memenuhi ekspektasi. Bahkan beberapa pa ket kebijakan sudah diterbitkan secara gradual untuk menginjeksi produksi dalam negeri. Ten tu hal tersebut patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan kebijakan selanjutnya.
Kebijakan kuratif perlu dilakukan secara simultan untuk memperbaiki neraca perdagang an ke depannya. Perbaikan ne raca perdagangan harus seimbang antara peningkatan eks por dengan upaya untuk menahan impor, sebab dengan cara itulah kita bisa meningkatkan surplus perdagangan.
Oleh karena itu langkah perbaikan harus bersifat menyeluruh sejak hulu hingga hilir, mulai dari kebijakan investasi, daya saing pro duksi hingga efisiensi penjualan/pemasaran (tata niaga). Fokus utamanya adalah men jaga daya saing agar kualitas perekonomian kita dapat menghasilkan surplus perdagangan yang lebih besar.
Pertama, sektor industri tetap perlu kita pertahankan sebagai leading sector untuk ekspor karena peranannya yang sangat besar terhadap peningkatan nilai tambah produk. Akan tetapi kita juga perlu meng utamakan jenis-jenis industri yang mampu menggunakan komponen lokal dan menghasilkan multiplier effect yang paling signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Ketergantungan impor selama ini untuk penyedia an bahan baku/penolong ter bukti justru menyandera daya saing kita karena pada saat nilai tukar melemah, biaya operasional produksi juga akan meningkat dan selanjutnya turut berpengaruh pada harga jual pro duk.
Oleh karena itu, kebiasa an ini perlu direm segera dengan menggiatkan industri subs titusi impor. Kedua, kebijakan struktural perlu diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan daya saing investasi dan produksi. Persoalan infrastruktur mulai dari penunjang transportasi, informasi dan komunikasi, ener gi hingga air bersih selama ini menjadi utang terbesar kita untuk peningkatan pembangunan. Selain kurang memadai, proses konstruksinya juga di nilai kurang merata (dan relatif mahal), terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini pula yang membuat jantung perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal keragaman potensi sangat tersedia di banyak daerah, terutama industri yang renewable seperti pariwisata (dan produk-produk turunannya) serta industri makanan-minuman yang otentik.
Dan untuk saat ini perkembangan kedua potensi lokal tersebut masih terganggu dengan biaya transportasi udara yang tengah melangit harganya sehingga pemerintah perlu memperbaiki layanan tersebut untuk menggeliatkan kembali bisnis yang sangat potensial ini.
Ketiga, baru-baru ini BI menurunkan tingkat suku bunga acuan (7days repo rate /7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Langkah transmisi berikutnya sangat dibutuhkan untuk menjaga agar misi kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Setidaknya stok keuangan yang sudah ter kumpul selama ini dapat disalurkan untuk mendanai investasi dan produksi melalui suku bunga kredit perbankan yang lebih rendah.
Seiring praki raan inflasi yang kondusif dan ketidakpastian pasar global yang mulai terkendali, kita patut memanfaatkan momentum ini untuk kembali menggenjot produktivitas sektor riil. Tinggal bagaimana cara BI dan peme rintah bekerja sama melakukan transmisi yang sejalan dengan misi penguatan sektor keuangan dan sektor riil dengan sekaligus.
Keempat, transformasi struk tural juga perlu diperkuat dengan transformasi ketenagakerjaan. Isu ini sering kali dibahas karena turut memengaruhi daya saing Indonesia.
Dalam ling kup regional ASEAN, kita se ring kali tertinggal dengan beberapa negara tetangga salah satunya karena persoalan ketenagakerjaan yang relatif kalah bersaing dengan mereka. Selain faktor produktivitas dan keterampilan, biaya upah dan tunjangan yang harus ditanggung para pemodal dirasa relatif terlalu mahal jika dikaitkan dengan hasil yang mereka terima. Oleh karena itu skill tenaga kerja perlu semakin ditingkatkan, terutama melalui kualitas pendidikan, kesehatan, riset dan pengembangan hingga pelatih an-pelatihan tematik jangka pendek. Minimal tenaga kerja kita dapat lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan jiwa entrepreneur perlu diperkuat untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan.
Dan kelima, persoalan birokrasi turut menjadi “momok” in vestasi. Yang paling utama un tuk saat ini adalah sinkro ni - sasi antara target deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan kebijakan yang diampu pemerintah daerah. Dari beberapa pengamatan di lapangan, tampak tidak sedikit per aturan daerah (perda) yang kontradiktif dengan peraturan pemerintah pusat dan justru menghambat laju investasi daerah, misalnya terkait dengan tata ruang/agraria. Memang dalam beberapa sisi “kerumitan” birokrasi menjadi ladang pendapatan pemerintah daerah, terutama melalui pos retribusi.
Akan tetapi dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu justru dapat menghambat per tum buhan ekonomi di daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu mengajak pemerintah dan masyarakat di daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan kreatif yang dapat mengalirkan semakin banyak investasi yang ber manfaat bagi daerah, selama tidak ber sifat destruktif terhadap ekosistem alam dan manusia. Perjuangan menerjang defisit perdagangan adalah jalan yang panjang dan sangat dinamis. Kita sendiri sebagai negara small open economy tidak bisa sekadar berpikir parsial untuk bisa melahirkan kebijakan yang komprehensif.
Secara sekilas memang hal ini tidak mudah, tetapi kita tetap harus berani teguh jika ingin perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan berumur panjang. Kolaborasi antarpe mangku kepentingan adalah kunci utamanya. Pemerintah harus menunjukkan dukungannya terhadap pebisnis dan masyarakat dan sebagai gantinya mereka juga harus mendukung ke bijakan pemerintah dengan melaku kan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Tanpa itu semua kita akan terus menjadi bangsa yang terjajah dalam perekonomian. Mudah-mudahan hal itu tidak kita biarkan tanpa ada langkahlangkah perbaikan.
CANDRA FAJRI ANANDA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
🍓

JAKARTA, iNews.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan pada Juli 2019 defisit sebesar 63,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) setelah impor lebih tinggi dibanding ekspor. Hal ini dipengaruhi oleh perdagangan minyak dan gas bumi (migas) yang defisit 142,4 juta dolar AS dan non-migas surplus 78,9 juta dolar AS.
Dengan demikian, neraca perdagangan secara kumulatif 2019 masih defisit 1,9 miliar dolar AS. Namun, dibanding tahun 2018 masih lebih tipis dari 3,2 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mencatat, impor pada bulan ini menyentuh 15,51 miliar dolar AS, turun 15,21 persen dibandingkan Juli 2018 yang sebesar 18,27 miliar dolar AS. Jika dibandingkan Juni 2019, mengalami kenaikan 34,96 persen dari 11,58 miliar dolar AS.
Sementara itu, nilai ekspor mencapai 15,4 miliar dolar AS, turun 5,12 persen dibanding Juli 2018 yang sebesar 16,24 miliar dollar AS. Jika dibandingkan Juni 2019 naik 31,02 persen dari 11,78 miliar dolar AS.
"Masih defisit dan masih jadi tantangan ke depan tapi agak tipis di periode sama tahun lalu. Penyebabnya karena impor hasil minyak mentah karena gas masih naik dan non migas masih surplus sekitar 3 miliar dolar AS." ujarnya saat jumpa pers di kantor BPS, Kamis (15/8/2019).
Adapun neraca dagang Indonesia yang mengalami surplus pada bulan ini paling tinggi dengan AS sebesar 5,2 miliar dolar AS. Angka ini lebih tinggi dari tahun lalu. "Mudah-mudahan Presiden AS tidak memperhatikan karena kalau dia liat neraca dagang defisit mempertanyakan itu. Surplus lebih tinggi dari tahun lalu. Selain AS, dengan India dan Belanda juga perdagangan kita surplus di bulan Juli ini," kata dia.
Sementara neraca dagang dengan defisit terbesar yaitu dengan Australia 1,5 miliar dolar AS dan Thailand 2,2 miliar dolar AS. Sementara, defisit perdagangan dengan China sebesar 11,05 miliar dolar AS. Padahal pada Juli tahun lalu hanya defisit 10,33 miliar dolar AS.

Editor : Ranto Rajagukguk
🍇

Jakarta detik- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menggenjot kinerja sektor perindustrian, perdagangan, dan investasi demi membenahi permasalahan defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Hal itu juga merespon ungkapan Presiden Jokowi yang saat membuka ratas evaluasi pelaksanaan program mandatori biodiesel (B20) di kantor Presiden, Jakarta Pusat.

"Jadi apa yang disampaikan dan dilakukan strategi untuk mengurangi defisit itu melalui kebijakan-kebijakan industri, kebijakan perdagangan, kebijakan investasi itu yang akan kita dukung," kata Sri Mulyani di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8/2019).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun akan mendukung peningkatan pelaksanaan B20 yang akan menjadi B30 pada Januari 2020, dan meningkat kembali di akhir 2020 menjadi B50.

"Ya kan langkah-langkah sesuai yang tadi dijelaskan Pak Menko (Darmin). Kita siap untuk mendukung saja dari industri, perdagangan, investasi itu kan kunci," ungkap dia.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali lagi menyinggung masalah defisit neraca dagang. Pernyataan ini disampaikan saat membuka rapat terbatas (ratas) mengenai evaluasi biodiesel 20% (B20).

Lewat penerapan program mandatori B20 atau pencampuran ekstrak minyak kelapa sawit (fame) dengan solar, Jokowi bilang pemerintah bisa menghemat impor minyak sebesar US$ 5,5 miliar selama satu tahun.

"Sehingga defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan kita akan semakin baik," kata Jokowi di kantor Presiden, Jakarta, Senin (12/8/2019).
🍈

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan Indonesia bulan Juni 2019 surplus sebesar US$ 200 juta. Surplus neraca perdagangan kali ini, disebabkan oleh surplus nonmigas sebesar US$ 1,16 miliar, sementara defisit migas sebesar US$ 966,8 juta.
Dengan demikian, neraca perdagangan sepanjang Januari – Juni 2019 tercatat defisit US$ 1,93 miliar. Penyebabnya masih didorong oleh defisit migas yang semakin membengkak mencapai US$ 4,78 miliar di tengah surplus nonmigas sebesar US$ 2,8 miliar.

BACA JUGA

IHSG naik 0,83% pada sesi I didorong ekspektasi surplus neraca perdagangan 

Rupiah pasar spot menguat ke Rp 13.950 per dollar AS jelang rilis data neraca dagang

Investor menanti lelang dan data neraca dagang, harga SUN bergerak terbatas

Neraca dagang berpeluang surplus, rupiah bisa menguat

BPS mencatat nilai ekspor Juni 2019 sebesar US$ 11,78 miliar. Angka tersebut menunjukkan penurunan 20,6 % dari bulan sebelumnya. Dan angka tersebut turun 8,96% secara tahunan (yoy).
Penurunan tersebut disebabkan oleh rata-rata harga agregat barang ekspor Indonesia pada Juni 2019 menurun 1,16% dibanding bulan lalu. Dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2018, harganya turun 3,01%.
Untuk rata-rata harga ekspor non-migas Juni 2019 turun 0,70% terhadap Mei 2019. Sedangkan rata-rata harga ekspor migas Juni 2019 naik 3,03% dibanding bulan lalu. Kenaikan tersebut ditopang oleh harga minyak mentah mengalami peningkatan 1,17%.
“Kalau ada penurunan ekspor tidak otomatis harganya turun atau volumenya turun, tergantung komoditasnya. Ada yang secara volume turun tapi harga naik, tapi ada juga yang volume naik, harganya turun,” jelas Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/7).
Sementara itu nilai impor pada bulan Juni 2019 sebesar US$ 11,58 miliar dollar AS. Angka tersebut turun 20,70% dari bulan sebelumnya dan naik 2,80% dibanding Juni 2018.
Pergerakan tersebut dipengaruhi oleh hampir seluruh jenis impor mengalami penurunan baik bulanan maupun tahunan.

Bahkan nilai impor semua golongan barang, baik barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal selama Januari – Juni 2019 mengalami penurunan 7,73% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
🍐

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menganggap nilai surplus neraca perdagangan yang terjadi pada bulan Mei 2019 belum sampai tahap ideal.
Pasalnya, jika melihat struktur neraca perdagangan pada bulan tersebut, kinerja ekspor year-on-year tercatat mengalami penurunan begitupula dengan nilai impornya.
"Jadi ini memang surplus, tetapi tidak dalam posisi ideal," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (24/6/2019).
Dengan kondisi tersebut, Suhariyanto menyebut ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi untuk mendorong kinerja neraca perdagangan.
Menaikkan kinerja ekspor memang diperlukan, tetapi hal itu bukan pekerjaan mudah apalagi dengan kondisi perekonomian global saat ini yang menunjukan adanya pelambatan.
Di samping itu, upaya mendorong diversifikasi produk juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
"Seperti yang saya bilang tahun 2019 memang luar biasa besarnya, orang-orang bilang jangan nyalahin eksternal saja, lho kita enggak menyalahkan eksternal, tapi kita perlu memperhatikan kan," tegasnya.
Sebelumnya, BPS merilis kinerja neraca perdagangan pada Mei 2019 tercatat surplus US$210 juta. Namun demikian, secara kumulatif, neraca perdagangan Januari - Mei defisit senilai US$2,14 miliar.
🍓

Jakarta detik- Ekonomi Indonesia belakangan ini diterpa beberapa hal yang bisa dibilang tidak menyenangkan, salah satu yang masih membekas adalah tekor neraca perdagangan serta melebarnya defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit (CAD).



Defisit neraca dagang per April menjadi yang paling terdalam atau mencetak rekor baru paling besar sepanjang sejarah. Sedangkan CAD belum lama ini dirilis dan masih melebar. Apakah hal tersebut menandakan ekonomi Indonesia tidak aman?



Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, ekonomi Indonesia masih dalam kondisi yang aman. Hal tersebut terlihat dari CAD yang belum tembus 3% dari produk domestik bruto (PDB).

"Kita memang defisit, namun ukuran ekonomi untuk cek itu berbahaya atau tidak, sudah dibuat selama CAD tidak melampaui 3% dari PDB ya aman," kata Erani saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Selasa (28/5/2019).






Bank Indonesia (BI) defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2019 sebesar US$ 7 miliar atau 2,6% dari PDB. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai US$ 9,2 miliar (3,6% dari PDB).



Menurut Erani, angka CAD beberapa tahun belakangan ini juga jauh lebih rendah dibandingkan pada tahun 2012-2013 yang tembus ke level 3%.



"2018 2,8-2,9 % masih lebih rendah dibanding 2012, 2013 yang sentuh 3%. Negara lain bahkan tidak masalahkan sampai 5 persen selama sampai tujuan tertentu," ujar dia.



Mengenai masalah neraca perdagangan, Erani mengungkapkan bahwa pemerintah serius memecahkan persoalan tersebut. Khususnya demi mendorong ekspor yang sering diungkapkan Presiden Jokowi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.






Menurut Erani, ada tiga hal yang dilakukan pemerintah demi membenahi masalah neraca perdagangan. Pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak dengan memperluas investasi pembangunan kilang.



Kedua, pemanfaatan program mandatori biofeul 20% (B20) sebagai bahan campuran Solar. Diharapkan, program ini mampu menekan impor minyak sebagai bahan baku bahan bakar.



Ketiga, memaksimalkan potensi sektor non migas dengan memaksimalkan sumber perekonomian baru di subsektor industri, otomotif, kimia, mamin, petrokimia, elektronik. (hek/dna)

🍏

JAKARTA okezone - Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit USD7 miliar pada kuartal I-2019 atau sebesar 2,6% dari produk domestik bruto (PDB), berdasarkan statistik yang diumumkan Bank Indonesia.
Defisit itu meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama 2018 yang sebesar USD5,5 miliar, tapi jika dibandingkan dengan kuartal IV 2018 menurun dari level USD9,2 miliar atau sebesar 3,6% dari PDB.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan bahwa penurunan defisit transaksi berjalan dikarenakan menurunnya impor yang cukup dalam, melebihi penurunan kinerja ekspor sepanjang paruh pertama 2019.
"Penurunan itu sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian impor beberapa komoditas tertentu yang diterapkan sejak akhir 2018," ujarnya seperti dilansir Antaranews, Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Sebagai gambaran, neraca transaksi berjalan merupakan parameter yang merekam transaksi pembayaran antara penduduk Indonesia dengan nonpenduduk Indonesia. Oleh karena itu, neraca transaksi berjalan mencerminkan aliran devisa yang keluar dan masuk suatu negara, sehingga parameter ini juga menjadi pijakan investor untuk berinvestasi di suatu negara dan menentukan pergerakan nilai tukar mata uang.
Dalam komponen neraca transaksi berjalan, selain terdapat neraca ekspor-impor barang atau perdagangan internasional, terdapat pula neraca jasa.
Bank Sentral mencatat neraca jasa masih defisit karena menurunnya surplus jasa perjalanan (travel). Hal itu disebabkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang menurun sesuai dengan pola musiman. Defisit jasa juga diperparah dengan menurunnya nilai impor jasa pengangkutan barang (freight).
Di luar data transaksi berjalan, terdapat neraca transaksi modal dan finansial yang pada kuartal I 2019 surplus hingga USD10,1 miliar. Hal tersebut ditunjang persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia. Aliran modal asing yang masuk juga karena berkurangnya risiko ketidakpastian di pasar keuangan global.
"Namun demikian, surplus transaksi modal dan finansial pada triwulan I 2019 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada triwulan sebelumnya, sejalan dengan adanya pembayaran obligasi global pemerintah yang jatuh tempo," kata Onny.
Dengan capaian transaksi berjalan dan transaksi modal-finansial itu, secara keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2019 mencatat surplus USD2,4 miliar.
(dni)
Defisit Transaksi Berjalan Melebar
Dari dalam negeri, rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal-I 2019 memperbesar intensitas jual yang dilakukan pelaku pasar saham Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI) mencatat defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau 2,6% dari PDB. Memang lebih rendah dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/ Current Account Deficit (CAD) untuk tahun 2019 juga akan melebar. Praktis, rupiah menjadi tak memiliki pijakan untuk menguat. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah sebesar 0,1% di pasar spot ke level Rp 14.360/dolar AS.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.


Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor enggan untuk masuk ke pasar saham dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)

🍋


Jakarta, Beritasatu.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Maret 2019 mengalami surplus US$ 540 juta hasil selisih ekspor Maret 2019 sebesar US$ 14,03 miliar, dan impor mencapai US$ 13,49 miliar
"Ekspor Maret 2019 mencapai US$ 14,03 miliar atau meningkat 11,71 persen dibanding Februari 2019. Sementara dibanding Maret 2018 menurun 10,01 persen," demikian data BPS yang dipublikasikan Senin (15/4/2019).
Ekspor nonmigas Maret 2019 mencapai US$ 12,93 miliar, naik 13,00 persen dibanding Februari 2019. Sementara dibanding ekspor nonmigas Maret 2018, turun 9,23 persen.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Maret 2019 mencapai US$ 40,51 miliar atau menurun 8,50 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$ 37,07 miliar atau menurun 7,83 persen.
Peningkatan terbesar ekspor nonmigas Maret 2019 terhadap Februari 2019 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$ 401,3 juta (24,21 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada perhiasan/permata sebesar US$ 31,8 juta (4,84 persen).
Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari– Maret 2019 turun 6,61 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya turun 14,08 persen, sementara ekspor hasil pertanian naik 1,53 persen.
Ekspor nonmigas Maret 2019 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$ 1,97 miliar, disusul Amerika Serikat US$ 1,38 miliar dan Jepang US$ 1,17 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 35,00 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$ 1,11 miliar.
Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–Maret 2019 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$7,38 miliar (18,23 persen), diikuti Jawa Timur US$ 4,68 miliar (11,56 persen) dan Kalimantan Timur US$ 4,20 miliar (10,36 persen).
Nilai impor Maret 2019 mencapai US$ 13,49 miliar atau naik 10,31 persen dibanding Februari 2019, namun bila dibandingkan Maret 2018 turun 6,76 persen.
Impor nonmigas Maret 2019 mencapai US$ 11,95 miliar atau naik 12,24 persen dibanding Februari 2019 dan turun 2,29 persen jika dibanding Maret 2018.
Impor migas 2019 mencapai US$ 1,54 miliar atau turun 2,70 persen dibanding Februari 2019, demikian juga apabila dibandingkan Maret 2018 turun 31,17 persen.
Peningkatan impor nonmigas terbesar Maret 2019 dibanding Februari 2019 adalah golongan mesin dan peralatan listrik sebesar US$ 211,2 juta (17,04 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar US$ 47,8 juta (67,32 persen).
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Maret 2019 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$ 10,42 miliar (29,01 persen), Jepang US$ 3,97 miliar (11,05 persen), dan Thailand US$ 2,42 miliar (6,75 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 19,21 persen, sementara dari Uni Eropa 8,37 persen.
Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari–Maret 2019 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 14,31 persen, 7,27 persen, dan 4,17 persen.

Sumber: BeritaSatu.com
🍑

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini, Senin (15/4/2019) akan merilis data ekspor-impor dan data ekonomi lainnya. Simak live streamingnya dari akun Youtube BPS Statistic di Atas.
Neraca perdagangan Indonesia berada di teritori positif sebesar US$540 juta. Surplus ini disebabkan oleh dari posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$14,03 miliar atau lebih tinggi dibandingkan nilai neraca impor sebesar sebesar US$13,49 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan kenaikan berasal dari surplus nonmigas sebesar US$988,6 miliar. Adapun, neraca migas mengalami defisit sebesar US$448 miliar.

“Situasinya globalnya cukup sulit, tetapi kita Alhamdullilah masih bisa surplus,” ujar Kecuk.
🍉
Merdeka.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai kondisi neraca perdagangan Februari 2019 yang mengalami surplus sebesar USD 0,33 miliar. Sebab, meski mencatat surplus, namun nilai ekspor dan impor Indonesia menurun.
"Pemerintah akan tetap terus waspada. Kenapa? Karena ini positifnya terdiri dari dua-duanya negatif yaitu ekspornya negatif 10, 3 persen, impornya turun lebih dalam lagi," kata Sri Mulyani, saat menghadiri program Sinergi Untuk Rakyat, di Desa Sindangsari, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (15/3).
Menurutnya, pemerintah akan mengevaluasi kondisi tersebut, untuk mencari faktor penyebabnya. Dia pun mengerucut karena musiman atau akibat pelemahan ekonomi dunia.
"Jadi kita juga harus lihat faktor-faktor apakah ini bentuknya seasonal karena biasanya bulan Februari, Maret ini adalah faktor musiman penurunan ataukah ada sesuatu yang sifatnya lebih fundamental seperti dampak dari pelemahan ekonomi dunia," tuturnya.
Dia pun akan mengevaluasi kemungkinan penurunan impor, disebabkan oleh penggantian barang impor dengan yang ada di dalam negeri. Jika tidak, dia khawatir kegiata produksi industri akan terganggu.
"Jadi kita nanti kita akan lihat statistiknya lebih dalam, tetapi paling tidak dengan surplus ini memberikan suatu sinyal positif kepada kita namun masih banyak dan masih harus kita lakukan," tandasnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Februari 2019 mencatatkan surplus sebesar USD 0,33 miliar. Hal ini berbanding terbalik dibandingkan Januari 2019 yang mengalami defisit sebesar USD 1,16 miliar dan Februari 2018 yang defisit USD 120 juta.
Ekspor Indonesia pada Februari mengalami penurunan sebesar 10,03 persen dibandingkan Januari 2019. Nilai ekspor Indonesia pada Februari tercatat sebesar USD 12,53 miliar. Sedangkan impor pada Februari 2019 juga menurun drastis yaitu 18,61 persen dibandingkan impor di Januari 2019.
Reporter: Pebrianto Eko Wicaksono
🍉


Jakarta DETIK - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para bawahannya untuk kerja ekstra keras agar ekspor dan investasi Indonesia bisa cepat pulih. Pasalnya neraca dagang yang saat ini defisit hingga investasi yang stagnan menghambat percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan membebani kita berpuluh-puluh tahun tapi tidak diselesaikan, padahal kuncinya kita tahu investasi dan ekspor, kuncinya di situ," kata Jokowi saat meresmikan Rakornas Investasi di ICE BSD, Banten, Selasa (12/3/2019).

"Tahu kesalahan kita, tahu kekurangan kita, rupiahnya berapa defisit kita tahu, kok nggak kita selesaikan, bodoh banget kita kalau seperti itu," tegas Jokowi.


Baca juga: Neraca Dagang Tekor Terus, Jokowi Mau Tambah 2 Menteri?

Realisasi neraca perdagangan Indonesia pada tahun lalu memang mengecewakan. Sejak Indonesia merdeka, neraca perdagangan yang defisit pada tahun lalu adalah kali keenam setelah 1945, 1975, 2012, 2013, 2014, dan 2018.

Angka defisit neraca perdagangan pada tahun 2018 bahkan menjadi yang paling besar semenjak tahun 1975. Total angka defisit neraca perdagangan tahun 2018 mencapai US$ 8,57 miliar.

Angka defisit itu didapat dari total ekspor Indonesia sepanjang 2018 mencapai US$ 180,06 miliar. Sementara impor tercatat US$ 188,63 miliar.

Angka ekspor naik tipis 6,65% secara tahunan, sementara angka impor naik 20,15% dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Defisit neraca dagang juga masih berlanjut di Januari 2019. Bahkan, BPS mencatat defisit neraca perdagangan pada Januari 2019 yang sebesar US$ 1,16 miliar menjadi yang paling dalam jika dilihat dari Januari 2014.

Baca juga: Jokowi Minta Pemda 'Tutup Mata' soal Izin Investasi

Berikut data neraca perdagangan RI selama 2018
Januari: defisit US$ 756 juta
Februari: defisit US$ 52,9 juta
Maret: surplus US$ 1,12 miliar
April: defisit US$ 1,63 miliar
Mei: defisit US$ 1,52 miliar
Juni: surplus US$ 1,74 miliar
Juli: defisit US$ 2,03 miliar
Agustus: defisit US$ 1,02 miliar
September: surplus US$ 227 juta
Oktober: defisit US$ 1,82 miliar
November: defisit US$ 2,05 miliar
Desember: defisit US$ 1,1 miliar (eds/ara)


🍒

Secara terpisah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, smelter nikel yang sudah beroperasi di Indonesia saat ini menghasilkan bahan baku bagi industry stainless steel. Sedangkan untuk bahan baku baterai kendaraan sedang dibangun di Morowali.
Menurut dia, industri seperti di Morowali harus dikembangkan untuk memaksimalkan pemanfaatan cadangan nikel Indonesia. “Cadangan nikel kita sekitar 3,1 miliar ton, kita termasuk urutan ke-6 dunia. Sedangkan kobalt kita 300 juta ton, urutan ke-13 dunia,” ujarnya.
Sementara itu, pada 11 Januari lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan telah meresmikan peletakan batu pertama pembangunan fasilitas PT QMB New Energy Materials di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah.
Proyek industri smelter berbasis teknologi hydro metallurgy tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt, yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Total investasi yang ditanamkan sebesar US$ 700 juta dan akan menghasilkan devisa senilai US$ 800 juta per tahun dengan mengekspor produknya.
PT QMB New Energy Materials itu merupakan kerja sama antara perusahaan Tiongkok, Indonesia, dan Jepang, yang terdiri atas GEM Co Ltd, Brunp Recycling Technology Co Ltd, Tsingshan, PT IMIP, dan Hanwa. Pabrik ini akan dikembangkan dengan lahan seluas 120 hektare.
Pabrik baru bakal menyerap total tenaga kerja sebanyak 2.000 orang, dan setiap tahun akan memproduksi 50.000 ton produk intermediate nikel hidroksida. Selain itu, 150.000 ton baterai kristal nikel sulfat, 20.000 ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30.000 ton baterai kristal sulfat mangan. (bersambung)

🍒

JAKARTA okezone - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 defisit sebesar USD1,16 miliar. Defisit periode Januari tahun ini menjadi yang terdalam dibandingkan periode yang sama sejak 2013.
Berdasarkan data BPS, tren dari 2008 hingga 2012 neraca perdagangan pada Januari terus mengalami surplus. Saat itu, di 2008 surplus USD1,5 miliar dan berlanjut hingga Januari 2012 surplus USD1,01 miliar. Adapun sepanjang periode itu, surplus terbesar terjadi di Januari 2010, yang mencapai USD2,1 miliar.
Namun, di Januari 2013 neraca perdagangan mulai mengalami defisit sebesar USD74,7 juta. Kemudian di Januari defisit 2014 sebesar USD444 juta.
Tiga tahun kemudian yakni 2015-2017,neraca perdagangan Januari mengalami tren surplus, hingga pada akhirnya di Januari 2018 kembali defisit sebesar USD756 juta. Lalu defisit semakin dalam di Januari 2019 sebesar yang USD1,16 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, defisit pada Januari 2019 menjadi yang terbesar disebabkan adanya gejolak perekonomian global yang berlangsung hingga tahun ini. Hal itu memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
"Jadi lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan ini semua kalau kita lihat, dari prediksi sampai Desember 2019 akan cenderung menurun (harga komoditas)," katanya ditemui di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Kondisi ini juga, yang menyebabkan selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, neraca perdagangan pada Januari trennya mengalami defisit. Terlebih komposisi ekspor Indonesia masih belum berubah, yakni didominasi barang-barang komoditas yang sangat sensitif terhadap perkembangan harga global.

Dia mencontohkan, komoditas minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor. Pasalnya, meski volume ekspor meningkat 23,77%, namun harganya anjlok mencapai 13,56%.
"Sehingga kinerjanya jatuh, tercermin dari turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56%," kata dia.
Selain itu, ada komoditas batubara yang harganya turun 7,76%, padahal volume ekspor naik 14,56%. "Tapi untuk karet, karena volume dan harganya turun yakni 8,8% dan 7,56%, itu membuat karet dan barang dari karet memang turun cukup dalam (kinerja ekspornya)," jelasnya.
Oleh sebab itu, ke depan pemerintah harus mengganti komponen ekspor Indonesia, dari barang komoditas menjadi barang olahan yang memang memberikan nilai tambah. Hal ini untuk menekan defisit neraca perdagangan.
"Jadi industri pengolahan yang menjadi solusinya. Bagaimana itu diolah dulu, mendapatkan nilai tambah, sehingga tidak dipengaruhi harga komoditas. Kita sangat sadar ke sana dan sebetulnya pemerintah di bawah Pak Menko Perekonomian (Darmin Nasution) sudah buat roadmap untuk itu," tutur dia.
(kmj)

🍈

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil negatif yang diperoleh dari data neraca transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) Indonesia berpotensi mengganjal laju pergerakan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada perdagangan Senin (11/2).
Seperti yang diketahui, defisit CAD Indonesia melebar sepanjang tahun lalu menjadi US$ 31,1 miliar ketika dirilis akhir pekan ini. Angka tersebut setara 2,98% terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, tahun 2017 lalu defisit neraca transaksi berjalan Indonesia hanya US$ 16,1 miliar atau 1,7% dari total PDB.

Analis Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra mengatakan, di atas kertas hasil data CAD yang kurang memuaskan bisa membuat rupiah terancam melemah pada esok hari. Meski demikian, potensi pelemahan rupiah relatif terbatas mengingat masih adanya sejumlah sentimen positif di pasar keuangan akhir-akhir ini.
Salah satunya adalah hasil data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif ketika dirilis tengah pekan lalu. Selain itu, efek positif dari pernyataan The Federal Reserves yang akan lebih berhati-hati menjalankan kebijakan moneter AS masih akan dirasakan oleh rupiah. “Sentimen tersebut mendorong masuknya arus dana asing ke pasar saham dan obligasi Indonesia,” tutur Putu.
Para pelaku pasar juga tengah menanti hasil data inflasi AS, baik di sektor produksi maupun konsumsi, yang akan dirilis pertengahan pekan ini. Data-data tersebut dinilai dapat mempengaruhi arah rupiah dalam jangka pendek. Putu memproyeksikan, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 13.900—Rp 14.025 per dollar AS pada perdagangan besok.

Sebagai catatan, nilai tukar rupiah di pasar spot pada perdagangan Jumat (8/2) lalu berada di level Rp 13.955 per dollar AS atau menguat 0,13% dibandingkan sehari sebelumnya. Di waktu yang sama, kurs tengah rupiah di Bank Indonesia melemah 0,10% ke level Rp 13.992 per dollar AS.

🍄


Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil ekspor-impor pada bulan Desember 2018. BPS juga melaporkan secara keseluruhan 2018 kondisi neraca dagang Indonesia.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 1,81% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Desember 2018. Kemudian impor tumbuh lebih cepat yaitu 6,345% YoY. Sementara neraca perdagangan defisit US$ 968 juta.

Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan nilai ekspor pada Desember 2018 mencapai US$ 14,18 miliar atau turun 4,62% (year on year). Sementara Impor tercatat US$ 15,28 miliar (year on year) atau tumbuh 1,16%.


"Posisi total ekspor mengalami penurunan Desember 2018 year on year. Tapi juga mengalami penurunan secara bulanan," kata Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (15/1/2019).

Ekspor pertambangan turun 20,77% secara year on year. Sementara ekspor pengolahan turun 3,88% secara year on year. 

BPS mencatat sepanjang 2018, ekspor masih tumbuh 6,65% sebesar US$ 180,06 miliar. Pada 2017, ekspor hanya tercatat US$ 168,83 miliar. 

Berikut Abstraksi Ekspor :

Nilai ekspor Indonesia Desember 2018 mencapai US$14,18 miliar atau menurun 4,89 persen dibanding ekspor November 2018. Demikian juga dibanding Desember 2017 menurun 4,62 persen.

Ekspor nonmigas Desember 2018 mencapai US$12,43 miliar, turun 8,15 persen dibanding November 2018. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas Desember 2017, turun 7,01 persen.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2018 mencapai US$180,06 miliar atau meningkat 6,65 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$162,65 miliar atau meningkat 6,25 persen.

Penurunan terbesar ekspor nonmigas Desember 2018 terhadap November 2018 terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$278,7 juta (56,25 persen), sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada perhiasan/permata sebesar US$84,9 juta (27,41 persen).

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari-Desember 2018 naik 3,86 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya naik 20,47 persen, sementara ekspor hasil pertanian turun 6,40 persen.

Ekspor nonmigas Desember 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$1,67 miliar, disusul Amerika Serikat US$1,48 miliar dan Jepang US$1,16 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 34,70 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$1,33 miliar.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari-Desember 2018 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$30,37 miliar (16,87 persen), diikut Jawa Timur US$19,07 miliar (10,59 persen) dan Kalimantan Timur US$18,56 miliar (10,31 persen).

Berikut Abstraksi Impor :

Nilai impor Indonesia Desember 2018 mencapai US$15,28 miliar atau turun 9,60 persen dibanding November 2018, namun naik 1,16 persen jika dibandingkan Desember 2017.

Impor nonmigas Desember 2018 mencapai US$13,31 miliar atau turun 5,14 persen dibanding November 2018, sebaliknya meningkat 6,16 persen jika dibanding Desember 2017.

Impor migas Desember 2018 mencapai US$1,97 miliar atau turun 31,45 persen dibanding November 2018, demikian juga apabila dibandingkan Desember 2017 turun 23,33 persen.

Penurunan impor nonmigas terbesar Desember 2018 dibanding November 2018 adalah golongan bahan kimia organik sebesar US$174,4 juta (27,07 persen), sedangkan peningkatan terbesar adalah golongan buah-buahan sebesar US$69,8 juta (68,90 persen).

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Desember 2018 ditempat oleh Tiongkok dengan nilai US$45,24 miliar (28,49 persen), Jepang US$17,94 miliar (11,30 persen), dan Thailand US$10,85 miliar (6,83 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 19,85 persen, sementara dari Uni Eropa 8,86 persen.

Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari-Desember 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 22,03 persen, 20,06 persen, dan 19,54 persen

Baca:



(Muhammad Taufan/Herdaru Purnomo)


🍒


Merdeka.com - Ekonom Faisal Basri mengkritik ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan defisit neraca perdagangan. Dia bahkan menyebut, neraca dagang Indonesia 2018 mengalami nasib terburuk sepanjang sejarah.
"Sejak merdeka, defisit perdagangan hanya 7 kali. Tahun 2018 defisit perdagangan terburuk sepanjang sejarah," ujar Faisal dalam cuitan di Twitter miliknya, Rabu (9/1).
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, menampik pernyataan Faisal. Dia mengatakan, rilis neraca perdagangan secara keseluruhan oleh BPS di 2018 belum terbit sehingga tidak bisa disimpulkan sepihak.
"Memang sudah keluar? Coba dilihat tahun 2015, 2014. 2014 kamu tahu berapa? Jangan digede-gedein," kata Menko Darmin.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 2,05 miliar pada November 2018. Dengan demikian sejak awal tahun hingga November, Indonesia defisit sebesar USD 7,52 miliar.
"Neraca perdagangan November mengalami defisit cukup dalam sebesar USD 2,05 miliar," ujar Kepala BPS, Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta.
Defisit neraca perdagangan pada November disumbang oleh impor sebesar USD 16,88 miliar. Angka ini turun sekitar 4,4 persen jika dibandingkan dengan impor pada bulan sebelumnya.
"Impor bulan lalu disumbang oleh migas sebesar USD 2,84 miliar dan non migas USD 14,04 miliar. Meski demikian, impor migas turun 2,8 persen juga non migas turun 4,8 persen," jelasnya.
Selain impor, defisit neraca perdagangan juga dipengaruhi oleh nilai ekspor Indonesia pada November yang mengalami penurunan cukup besar sebesar 6,69 persen menjadi USD 14,43 miliar jika dibandingkan dengan Oktober 2018. "Pada November ini, nilai ekspor Indonesia USD 14,43 miliar. Kalau dibandingkan Oktober 2018 berarti ada penurunan ekspor 6,69 persen," jelas Suhariyanto.

[bim]
🍒

Merdeka.com - Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis realisasi impor Indonesia secara akumulatif dari Januari hingga November 2018 mencapai USD 173,32 miliar. Angka ini mengalami kenaikan cukup signifikan sebesar 22,18 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, impor pada November 2018 memang mengalami penurunan tipis atau sekitar 4,47 persen dibanding Oktober 2018. Meski demikian, nilai impor November 2018 dibanding periode sama tahun lalu mengalami peningkatan sekitar 11,68 persen.
"Pada November nilai impor USD 16,88 miliar. Kalau dibanding Oktober 2018 turun 4,47 persen. Sementara posisi impor November 2018 dibanding November 2017 masih meningkat 11,68 persen," ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Senin (17/12).
Kenaikan impor periode Januari hingga November 2018 terjadi di seluruh jenis penggunaan barang, baik barang konsumsi, bahan baku, maupun barang modal. Pada periode tersebut impor barang konsumsi naik 23,72 persen senilai USD 15,71 miliar, impor bahan baku naik 21,44 persen senilai USD 130,35 miliar, dan impor barang modal naik 24,80 persen atau USD 27,27 miliar.
"Kalau dilihat dari golongan barang utama, yang impor nya meningkat tinggi benda besi dan baja itu meningkat 54,14 persen, besi dan baja meningkat 27,81 persen dan serelia karena kita impor beras jadi meningkat 30,17 persen," jelas Suhariyanto.
Pada November 2018 penyebab impor sedikit turun adalah penurunan impor migas sebesar 2,80 persen dan impor non migas yang turun sebesar 4,80 persen. Jika dilihat menurut penggunaan barang, semua jenis baik barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal mengalami penurunan.
"Barang konsumsi penurunannya lebih kepada produk buah-buahan seperti anggur dari China tuurn USD 29,4 juta, jeruk mandarin turun USD 15,6 juta, pear turun. Kalau bahan baku ada beberapa bahan baku yang turun seperti kedelai, gandum, florid. Dan barang modal yang turun seperti gasoline engine dan beberapa mesin lainnya yang menyebabkan menurun," tandasnya. [azz]
🍂
TEMPO.COJakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 2,05 miliar pada November 2018 seiring besarnya defisit di neraca migas. Nilai defisit ini disebabkan posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$ 14,83 miliar atau lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor sebesar sebesar US$ 16,88 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan penyebabnya adalah defisit di neraca migas yang mencapai US$1,46 miliar pada November 2018. "Defisit di neraca migas ini disebabkan defisit yang cukup besar di hasil minyak sebesar US$1,58 miliar," kata Suhariyanto, Senin, 17 Desember 2018
Sementara itu, defisit nonmigas tercatat sebesar US$ 583,2 juta. Secara kumulatif (Januari-November), BPS melaporkan neraca perdagangan masih defisit sebesar US$ 7,52 miliar. Posisi ini jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami surplus US$ 12,08 miliar.
"Jadi bisa dilihat pergerakan defisitnya, sehingga diharapkan upaya menggenjot ekspor dan mengendalikan impor lebih baik lagi agar neraca perdagangan dapat kembali surplus ke depannya," kata Suhariyanto.
Nilai ekspor per November turun 6,69 persen menjadi US$ 14,83 miliar disebabkan oleh penurunan ekspor migas. Ekspor hasil minyak, minyak mentah dan gas juga turun. Sementara itu, ekspor nonmigas juga turun sebesar 6,25 persen dari bulan sebelumnya.
Penurunan ekspor nonmigas dipicu penurunan ekspor perhiasan dan permata, lemak dan minyak nabati dan bahan bakar mineral.
Menurut sektornya, ekspor migas turun 10,75 persen dari bulan sebelumnya menjadi US$ 1,37 miliar. Secara tahunan, ekspor migas masih tumbuh 5,84 persen.
Untuk sektor pertanian, ekspor meningkat tipis sebesar 1,29 persen dari bulan sebelumnya menjadi US $320 juta didorong oleh komoditas cengkih, kakao, mutiara hasil budidaya dan hasil hutan bukan kayu. Kemudian, ekspor pertanian secara tahunan juga mengalami pertumbuhan sebesar 1,05 persen didorong oleh ekspor komoditas seperti cengkih, kakao dan hasil hutan bukan kayu.
Sementara itu, ekspor industri pengolahan mengalami penurunan 8,12 persen menjadi US$ 10,68 miliar. Secara tahunan, ekspor dari sektor ini juga mengalami penurunan -6,86 persen.
Adapun, komoditas yang mengalami penurunan a.l. barang perhiasan, minyak kelapa sawit dan bahan kertas, logam dasar mulia. Sektor pertambangan dan lainnya tercatat tumbuh 1,79 persen menjadi US$ 2,46 miliar pada November dibandingkan bulan sebelumnya.
Kontribusi ekspor pertambangan pada November didorong oleh komoditas tembaga, batu hias, dan bahan bangunan.
Sementara itu, pertumbuhan tahunannya mencapai 9,09 persen.
BPS mencatat impor sebesar US$ 16,88 miliar atau turun 4,47 persen dibandingkan Oktober 2018. Impor migas turun 2,80 persen dan impor nonmigas juga turun sebesar 4,80 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Jika dibandingkan bulan yang sama tahun lalu sebesar US$ 15,11 miliar, impor per November 2018 naik sebesar 11,68 persen.
Berdasarkan sektornya, impor konsumsi turun sebesar 4,70 persen menjadi US$1,43 miliar. Namun, ekspor barang konsumsi meningkat 6,79 persen secara tahunan.
Impor bahan baku pada November mengalami penurunan 4,14 persen menjadi US$ 12,86 miliar. Secara tahunan, impor bahan baku dan penolong mengalami pertumbuhan cukup tinggi sebesar 15,56 persen.

Barang modal tercatat turun 5,92 persen menjadi US$2,59 miliar. Adapun, barang modal turun sebesar US$2,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
🌸

Bisnis.com, JAKARTA – Posisi defisit neraca perdagangan sebesar US$1,82 miliar pada Oktober 2018 tidak akan memicu pelebaran CAD (current account deficit) atau defisit transaksi berjalan ke kisaran di atas 3%.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan proyeksi defisit transaksi berjalan yang ditetapkan di bawah 3% pada tahun ini sudah memperhitungkan neraca perdagangan Oktober 2018 yang telah diumumkan oleh Badan Pusat Statistik, pada Kamis (15/11/2018).
"Defisit neraca perdagangan itu memang benar impornya masih cukup tinggi tetapi perlu diperhatikan di dalam kandungan impor ini ada impor barang modal," ungkap Perry, Kamis (15/11/2018).
Masih derasnya impor barang modal ini sejalan proyek pembangunan infrastruktur yang masih marak.
Kenaikan permintaan domestik a.l. ditopang tingginya pertumbuhan investasi yang berkaitan dengan proyek infrastruktur pemerintah, baik investasi bangunan maupun investasi non-bangunan.
Dengan demikian, Perry menegaskan defisit transaksi berjalan yang ditimbulkan dari impor yang meningkat dirasa produktif. Pasalnya, kenaikan impor lebih terkait dengan barang modal dan bahan baku.
Sementara itu, kontribusi ekspor neto tercatat negatif akibat menurunnya kinerja ekspor sejalan dengan permintaan global yang melemah. Hal tersebut terjadi di tengah impor yang masih tumbuh tinggi akibat kuatnya permintaan domestik.

Ekspor neto yang negatif pada gilirannya menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2018 hanya 5,17% atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2018 sebesar 5,27%.
🍂

Jakarta - Bank Indonesia (BI) merilis data defisit transaksi berjalan kuartal  III 2018 tercatat US$ 8,8 miliar atau 3,37% dari produk domestik bruto (PDB). Meningkatnya defisit ini disebut sejalan dengan menguatnya permintaan domestik.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan dengan perkembangan tersebut secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan hingga kuartal III 2018 tercatat 2,86% dan masih berada dalam batas aman.

Dia menjelaskan peningkatan defisit neraca transaksi berjalan dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa. Penurunan kinerja neraca perdagangan barang terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit neraca perdagangan migas, sementara peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas relatif terbatas akibat tingginya impor karena kuatnya permintaan domestik.
Peningkatan defisit neraca perdagangan migas terjadi seiring dengan meningkatnya impor minyak di tengah naiknya harga minyak dunia. Defisit neraca transaksi berjalan yang meningkat juga bersumber dari naiknya defisit neraca jasa, khususnya jasa transportasi, sejalan dengan peningkatan impor barang dan pelaksanaan kegiatan ibadah haji.

"Meski demikian, defisit neraca transaksi berjalan yang lebih besar tertahan oleh meningkatnya pertumbuhan ekspor produk manufaktur dan kenaikan surplus jasa perjalanan seiring naiknya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, antara lain terkait penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang," kata Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat (9/11/2018).

Agusman menambahkan, transaksi modal dan finansial pada triwulan kuartal 2018 mencatat surplus yang cukup besar sebagai cerminan masih tingginya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian domestik.

Transaksi modal dan finansial pada kuartal laporan mencatat surplus US$ 4,2 miliar, didukung oleh meningkatnya aliran masuk investasi langsung. Selain itu, aliran dana asing pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri korporasi juga kembali meningkat. 

Meskipun demikian, surplus transaksi modal dan finansial tersebut belum cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan, sehingga Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2018 mengalami defisit sebesar US$ 4,4 miliar. 

Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir September 2018 menjadi sebesar US$ 114,8 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.

Ke depan, kinerja NPI diprakirakan membaik dan dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal. Koordinasi yang kuat dan langkah-langkah konkret yang telah ditempuh.

"Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia untuk mendorong ekspor dan menurunkan impor diyakini akan berdampak positif dalam mengendalikan defisit transaksi berjalan tetap berada di bawah 3%," ujarnya. 

Pada saat yang bersamaan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan global yang dapat memengaruhi prospek NPI, seperti masih tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global, volume perdagangan dunia yang cenderung menurun, dan kenaikan harga minyak dunia. 

Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan guna menjaga stabilitas perekonomian, serta memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dalam mendorong kelanjutan reformasi struktural.

🍁

Bisnis.com, JAKARTA -- Menghadapi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), pemerintah akan terus melakukan bauran kebijakan lintas kementerian guna menahan pertumbuhan impor.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan akan melakukan apa yang selama ini dilakukan dengan menjaga pertumbuhan impor tidak terlalu drastis.
"Dengan kurs Rp15.000 lebih per dolar AS, impor semakin mahal, dengan konsekuensi yang natural, ditambah pengetatan dari pemerintah seperti Pajak Penghasilan (PPh) impor untuk barang konsumsi diharapkan mengurangi minat impor. Di sisi lain, kebijakan biodiesel 20% (B20), Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk komponen domestik dalam negeri itu terus ditingkatkan," jelasnya dalam konferensi pers UU APBN 2018 di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Dengan kurs yang lebih mahal, Sri Mulyani juga berharap wisatawan Indonesia memilih berwisata di dalam negeri.
Menkeu menerangkan dalam sidang kabinet terakhir, pemerintah telah membahas CAD secara khusus. Setiap kementerian dalam rapat terbatas (ratas) di Istana telah membahas hal tersebut.
Dia memerinci Kementerian Pertanian (Kementan) akan melakukan upaya dengan terus menjaga agar pasokan bahan pangan memadai, sedangkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus mengenai bagaimana meningkatkan kandungan domestik pada industri dalam negeri.
"Menteri BUMN bisa menyeleksi proyek-proyeknya sehingga dia bisa lebih banyak komponen dalam negerinya. SKK Migas untuk bidang migas bagaimana menyeleksi kebijakannya," sebut Sri Mulyani.
Sementara itu, sektor pariwisata akan terus didorong agar pemerintah bisa mendapatkan devisa secara langsung.
Namun, tidak dijelaskan lebih detail langkah-langkah lanjutan yang dilakukan oleh berbagai K/L tersebut.
Di sisi lain, upaya mendorong ekspor salah satunya dilakukan dengan memberikan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebesar Rp2,5 triliun, yang sudah termasuk dalam APBN 2019.
Dengan suntikan ekuitas tersebut, LPEI diharapkan dapat mendorong ekspor bagi industri yang masih rintisan dan menuju pasar non tradisional agar mampu melakukan penetrasi pasar.
"Kami akan makin bekerja, baik Menteri Perdagangan (Mendag) dengan misi dagang, Menteri Perindustrian (Menperin), LPEI, dengan BUMN-BUMN, sehingga mampu untuk meningkatkan ekspor dan penerimaan. Itu hal-hal yang kami lakukan supaya bisa tetap menjaga momentum, tetapi stabilitas bisa diperkuat," tegas Menkeu.

Berdasarkan catatan Bisnis, CAD berada di posisi US$8 miliar atau setara dengan 3% PDB pada kuartal II/2018.
🍊

JAKARTA, iNews.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan buka suara terkait neraca perdagangan Agustus 2018 yang mengalami defisit sebesar 1,02 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Pasalnya, kondisi tersebut terjadi karena defisit perdagangan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) yang mencapai 1,66 miliar dolar AS.
Jonan pun tak menampik adanya kondisi tersebut. Namun, defisit itu lebih disebabkan harga impor minyak yang naik. "Neraca perdagangan pasti minus karena harga impor minyaknya tinggi dan ekspornya juga tinggi. Tapi secara nilai pasti kalah. Indonesia Crude Price (ICP) kita sesuai asumsi APBN di awal 2018 sebesar 48 dolar AS per barel. Sekarang sudah sekitar ICP 70 dolar AS per barel," kata Jonan di Jakarta, Senin (17/9/2018) dikutip dari laman Kementerian ESDM.
Senada dengan Jonan, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan faktor di balik kondisi neraca perdagangan migas, terlebih penuruan ekspor migas. "Ekspor turun iya, karena ada blok yang tadinya milik asing sekarang punya Pertamina. Kedua, penurunan produksi 30 ribu barel per day. Harusnya impor turun, tapi naiknya impor tersebut karena karena ada kegiatan ekonomi yang naik," ujar Arcandra.
Meski neraca perdangangan migas defisit, namun neraca keuangan negara sektor ESDM utamanya migas, justru meningkat surplusnya. Penerimaan sektor ESDM meningkat jauh lebih besar dibanding subsidi energi. Secara umum, Jonan mengatakan kenaikan proyeksi penerimaan ini diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditas. "Mayoritas kebanyakan akibat peningkatan harga komiditi, terutama minyak. Minerba juga naik banyak," tutur Jonan.
Jonan memproyeksikan neraca keuangan negara sektor ESDM mengalami surplus sebesar Rp91,4 triliun. Proyeksi surplus tersebut didapat dari selisih penerimaan sektor ESDM dibandingkan subsidi energi, dan jauh lebih besar dibandingkan yang terdapat dalam APBN 2018.
"Sebenarnya di APBN, surplus penerimaan migas dan minerba dibanding subsidi energi total estimasinya sebesar Rp62,1 triliun. Sekarang, outlook surplusnnya naik sekitar 50 persen, jadi sekitar Rp91,4 triliun," katanya. 
Jonan merinci berdasarkan proyeksi saat ini, penerimaan sektor migas dan minerba hingga akhir tahun nanti diperkirakan sebesar Rp240,3 triliun atau lebih besar dari target APBN 2018 yang dipatok sebesar Rp156,7 triliun.
Sementara itu, total subsidi energi pada 2018 diproyeksikan sebesar Rp148,9 triliun. Angka ini mengalami kenaikan dari penetapan APBN 2018 yang sebesar Rp94,6 triliun. "Memang yang diputuskan APBN itu Rp94,6 triliun, ternyata outlooknya Rp149 triliun. Jadi, naik kira-kira hampir 60 persen," katanya.
Kenaikan subsidi energi ini tak lepas dari meningkatnya harga minyak dunia, sekaligus menghindari kenaikan harga BBM sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. "Harga minyak dunia naik, subsidinya harus disesuaikan kalau enggak harga eceran BBM akan naik," katanya.


Editor : Ranto Rajagukguk
🍆
JAKARTA sindonews - Neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2018 tercatat mengalami defisit sebesar USD1,02 miliar berdasarkan data yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit, setelah bulan Juli juga mengalami defisit USD2,03 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, realisasi neraca perdagangan yang mengalami defisit pada periode ini lebih disebabkan karena kenaikan impor minyak yang sangat tinggi pada periode tersebut dari beberapa negara. "Neraca perdagangan kita mengalami defisit dan ini berasal dari impor minyak yang tinggi. Karena defisit migas capai USD1,6 miliar," ujarnya di Gedung BPS, Jakarta, Senin (17/9/2018).

(Baca Juga: Neraca Perdagangan Indonesia Juli 2018 Defisit USD2,03 Miliar)

Dia menambahkan, pada Januari hingga Februari 2018 neraca perdagangan Indonesia memang masih defisit, namun pada Maret 2018 dan Juni sudah membaik dan terjadi surplus. Sedangkan pada April sampai Agustus 2018 ini kembali mengalami defisit karena kenaikan impor yang sangat tinggi dan harus menjadi perhatian.


Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari-Agustus 2018 juga masih mengalami defisit sebesar USD4,09 miliar. Diterangkan hal itu lantaran harga minyak dunia yang tinggi sehingga menyebabkan biaya impor pun menjadi naik.

"Neraca perdagangan Januari hingga Agustus defisit kita sebesar USD4,09 milar dan kita lihat komposisinya deifisit karena migas tinggi padahal non migasnya surplus USD 4,26 miliar," tandasnya.

Dipaparkan nilai ekspor Indonesia pada periode Agustus 2018 mencapai USD15,82 miliar sedangkan nilai impor Indonesia Agustus 2018 mencapai USD16,84 miliar atau tercatat lebih tinggi dibandingkan ekspor. Data BPS memperlihatkan ekspor Agustus menurun 2,90% dibanding ekspor Juli 2018, sementara dibanding Agustus 2017 meningkat 4,15%.

Sedangkan nilai Impor Agustus juga menurun sebesar 7,97% dibanding Juli 2018. Sebaliknya jika dibandingkan Agustus 2017 meningkat 24,65%. Rinciannya impor nonmigas Agustus 2018 mencapai USD13,79 miliar dan Impor migas Agustus 2018 sebesar USD3,05 miliar.

(akr)
🍉


JAKARTA ID - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2018 sulit tercapai karena adanya ketidakpastian global.

"Kita rencanakan 5,4%, tapi mempertahankan itu sudah perjuangan besar, bisa-bisa turun ke 5,3%," kata Darmin ditemui di Jakarta, Jumat.

Darmin mengatakan salah satu penyebab target pertumbuhan ekonomi 2018 tidak tercapai adalah kinerja perdagangan internasional yang belum membaik seiring dengan melemahnya ekspor maupun impor.

"Perdagangan internasional sudah mulai melambat, kalau itu sudah kena, berikutnya pertumbuhannya akan kena," ujarnya.

Darmin memastikan pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mendorong kinerja ekspor dengan memperbaiki proses kemudahan berusaha melalui sistem perizinan terintegrasi (OSS).

Pemerintah mengharapkan penyediaan sistem OSS ini bisa mendorong pemilik modal untuk berinvestasi atau memulai usaha dalam industri berbasis ekspor maupun subtitusi ekspor.

Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk menekan impor migas, terutama solar, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang defisit neraca perdagangan, dengan mewajibkan penggunaan biodiesel (B20).

"Kita hadapi saja, kita tahu masalahnya apa dan apa yang harus dilakukan, hanya tidak bisa sembuh begitu saja," kata Darmin.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2018 berada pada kisaran 5,14-5,21% seiring dengan ketidakpastian global yang berpengaruh pada perekonomian negara berkembang.

Proyeksi tersebut telah mempertimbangkan pencapaian pertumbuhan ekonomi pada semester I-2018 sebesar 5,17% serta proyeksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan III pada kisaran 5,13-5,25% dan triwulan IV pada kisaran 5,1 -5,23%.

"Total seluruh tahun 2018, proyeksi kami dalam range 5,14 -5,21%," kata Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI membahas asumsi makro RAPBN 2019 di Jakarta, Kamis (14/9).

Meski demikian, lanjut dia, proyeksi tersebut bisa saja meleset menjadi lebih rendah karena ada risiko yang merugikan atau downside risks yaitu menurunnya laju impor akibat dari tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Downside risks adalah kemungkinan growth bisa meleset ke 5,15% karena impor makin melemah karena depresiasi rupiah. Investasi dan konsumsi akan terpengaruh. Kalau itu terjadi, ekonomi turun ke 5,15%," katanya. (gor/ant)

🌴
BATAM sindonews - Perluasan Mandatori Biodiesel 20% (B20) yang direalisasikan Pertamina mendapat apresiasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam kunjungan monitoring  implementasi B20 di Terminal BBM Kabil, Batam, Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto melihat langkah percepatan yang dilakukan Pertamina.

"Dalam pemantauan kami perluasan B20 yang dicapai Pertamina sudah 80% dari target periode berjalan, saya optimis bisa 100 persen di akhir tahun 2018 nanti," kata Djoko Siswanto.

Direktur Logistik, Supply Chain, & Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengatakan selama periode Januari hingga 14 September 2018, Pertamina telah menggunakan FAME untuk campuran Solar sekitar 1,8 juta KL atau 80%dari target periode berjalan, yaitu berkisar 2,265 juta KL. Menurutnya Pertamina selalu berupaya maksimal dan berkomitmen penuh menjalankan setiap penugasan yang diberikan Pemerintah. Termasuk menjadi penggerak dalam program mandatori B20. 

Ia menambahkan, pencampuran FAME ke bahan bakar jenis diesel ini bukanlah hal yang baru bagi Pertamina. Sebelumnya, Pertamina sudah melaksanakannya untuk bahan bakar jenis diesel PSO. "Sudah menjadi kewajiban kami untuk mensukseskan program Pemerintah. Momentum ini bisa menjadi trigger untuk badan usaha yang lain agar lebih cepat dalam menjalankan program B20," kata Gandhi.

Program mandatori  B20 yang dicanangkan pemerintah bertujuan untuk percepatan pemanfaatan green energy sekaligus menghemat devisa, dengan pengurangan potensi impor solar. 

Langkah yang dilakukan yakni  mendorong pencampuran FAME (Fatty  Acid Methyl Ester) baik untuk Bahan Bakar Diesel baik PSO (Public Service Obligations/Subsidi) maupun Non PSO. "Saya berharap Pertamina melaksanakan program ini dengan sungguh-sungguh yang nantinya dapat menekan impor Solar dan berimbas pada penghematan devisa," pungkas Djoko.
(akr)
🍁


ID: Tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus berlanjut. Berdasarkan nilai tengah Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/JISDOR), posisi rupiah sampai 10 September 2018 berada di level Rp 14.863 per dolar AS. Bahkan, pada 5 September 2018, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS.
Kondisi ini pun membuat sejumlah masyarakat merasa khawatir bahwa pelemahan nilai tukar rupiah ini bisa memicu krisis seper ti yang terjadi pada tahun 1998. Meskipun, hasil riset terbaru dari Nomura Holding Inc, menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan emerging yang memiliki risiko terkecil untuk mengalami krisis nilai tukar.
Selain itu, kondisi perekonomian, tatanan politik dan keamanan, serta kehidupan sosial Indonesia saat ini cukup jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun 1998. Pertama, dari sisi perekonomian terlihat jelas perbedaannya. Kita bisa melihat dari kinerja indicator makro ekonomi. Pada tahun 1998, kinerja indikator makro ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar -13% (kontraksi), rupiah melemah sebesar 245% terhadap dolar AS, cadangan devisa sebesar US$ 23,61 miliar, rasio utang pemerintah sebesar 74,1% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, kinerja indicator makro ekonomi sampai dengan semester I-2018, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% (yoy), pelemahan rupiah sebesar 8,5% terhadap dolar AS, cadangan devisa US$ 118 miliar, rasio utang pemerintah sebesar 29% terhadap PDB.
Kedua, kondisi politik dan keamanan. Pada tahun 1998, situasi politik sangat bergejolak. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah berada di titik nadir. Kondisi keamanan pun tidak terkendali. Kerusuhan pecah di mana-mana. Yang membuat aktivitas ekonomi lumpuh. Indonesia pun ditinggalkan oleh pemilik modal yang membuat perekonomian makin terperosok.
Sebaliknya, kondisi politik dan keamanan tahun 2018 sangat terkendali. Tingkat kepercayaan investor juga masih relatif tinggi, yang dapat dilihat dari masih tumbuhnya aliran modal masuk, baik di sector riil maupun finansial.
Sektor Finansial
Ketiga, tingkat kesehatan sector keuangan, khususnya sector perbankan masih terjaga. Patut dicatat, memburuknya krisis pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari buruknya pengelolaan sector perbankan. Tingkat kehati-hatian sangat diabaikan. Pengawasan sangat lemah.
Sektor perbankan sangat tergantung pada pembiayaan Utang Luar Negeri (ULN) bertenor pendek untuk dipakai sebagai sumber kredit yang digunakan untuk sektor yang tidak likuid, seperti properti dan bertenor panjang. Risiko ketidakselaran (mismatch) pun sangat tinggi. Alhasil, ketika tekanan nilai tukar rupiah dan kontraksi pertumbuhan terjadi, sektor perbankan terjepit.
Sektor keuangan lumpuh. Padahal, sektor keuangan lah yang menjadi jantung yang menggerakkan aktivitas perekonomian. Lumpuhnya kinerja sektor keuangan merembet pada perekonomian. Kinerja perekonomian pun ikut lumpuh. Dan untuk memulihkannya, pemerintah harus merogoh ongkos yang besar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara itu, pada tahun 2018, kondisi sektor perbankan relative sehat. Sampai dengan Juni 2018, rasio kecukupan modal di level 22%, rasio likuiditas di level 19,4%, dan rasio kredit macet (non performingloan/NPL) di level 1,2% (net). Bukan itu saja, pertumbuhan ULN sektor perbankan sepanjang tahun 2018 hanya 6,5% dan didominasi oleh ULN bertenor panjang (di atas 1 tahun).
Terjaganya kesehatan perbankan inilah yang turut memberi andil terhadap daya tahan (resiliance)perekonomian Indonesia dalam menghadapi setiap gempuran eksternal yang terjadi sepanjang tahun 2010 sampai saat ini. Perekonomian Indonesia relatif mampu bertahan dan tetap tumbuh meski dibayangbayangi oleh situasi eksternal yang terus berubah dengan kejutankejutan yang sangat cepat.
Defisit Transaksi Berjalan
Meski pengelolaan ekonomi dan sektor keuangan saat ini cukup baik, namun sejumlah titik lemah juga masih ditemukan dalam struktur perekonomian Indonesia. Salah satunya ialah Defisit Transaksi Berjalan (DTB).
Negara yang cenderung memiliki DTB, maka biasanya nilai tukarnya juga akan cenderung melemah. Kondisi ini bisa kita lihat di Argentina dan Turki. Pada tahun 2017, DTB Argentina dan Turki masingmasing mencapai 4,8% dan 5,5% dari PDB. Bahkan, pada tahun 2018, kondisinya makin memburuk.
Tidaklah mengherankan, jika kinerja nilai tukar dua negara ini menjadi yang terburuk di antara kawasan emerging. Bahkan, Argentina telah menjadi pasien Dana Moneter International (IMF), seperti yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998.
DTB Indonesia pada rentang tahun 2015-2017 sebenarnya memiliki tren membaik. Namun, memasuki tahun 2018, kondisinya makin memburuk. Bahkan, pada kuartal II-2018 nilainya telah mencapai US$ 8 miliar (3,04% dari PDB).
Memburuknya DTB ini tidak dapat dilepaskan dari tingginya pertumbuhan impor yang tidak dapat dikompensasi oleh pertumbuhan ekspor. Salah satu yang berkontribusi pada pemburukan impor tersebut ialah tingginya impor bahan bakar minyak (BBM).
Sebenarnya, pemburukan DTB ini masih bisa dikompensasi, sekiranya transaksi di neraca finanasial dan modal mengalami pertumbuhan yang baik. Namun, situasi saat ini berbeda. Kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed dan tekanan perang dagang telah mendorong terjadinya pembalikan arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia. Itulah sebabnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) menjadi cenderung tertekan dan berfluktuasi, serta imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) terus merangkak naik.
Kebijakan Jangka Panjang
Untuk memitigasi dampak pembalikan modal ini, BI telah melakukan sejumlah langkah, seperti melakukan intervensi kembar di pasar valas dan SBN, mendorong pendalaman pasar keuangan melalui reaktivitasi SBI, meninjau penurunan tingkat bunga swap untuk mendorong pemilik valas, khususnya devisa hasil ekspor (DHE) mau mengonversi valas ke rupiah, dan menaikkan suku bunga kebijakan hingga 125 bps.
Sementara untuk mengendalikan pemburukan DTB, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, yaitu mandatori B-20, menaikkan PPh pasal 22 atas 1.147 barang komoditas, menunda proyek-proyek strategis dengan kandungan impor tinggi dan mendorong penggunaan TKDN, serta mendorong sector pariwisata.
Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah yang cukup responsive ini. Meski begitu kebijakan ini tidak cukup. Dibutuhkan kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan. Pertama, pemerintah harus terus mendorong sektor industri, khususnya industri pendukung. Sehingga, ketika industri hilir dipacu, maka akan ada sektor yang memberikan sokongan. Dan tidak harus memperolehnya dengan impor. Pemerintah harus konsisten mendorong dan memperkuat industry dalam negeri.
Kedua, mendorong kemampuan sumber daya manusia (SDM). Ini telah menjadi program prioritas pemerintah saat ini. Harapannya bisa dilakukan dengan konsisten. Bagaimana pun, SDM yang memiliki kemampuan dan keterampilan akan menjadi kunci dalam kemajuan perekonomian dan daya saing bangsa.
Ketiga, mempercepat bauran energi dari bahan bakar fosil ke non fosil. Indonesia sangat melimpah dengan gas alam. Seharusnya, sumber energi ini lebih banyak didorong, khususnya untuk transportasi. Dahulu, pemerintah cukup intens mendorong penggunaan converter kit. Namun, seiring berjalannya waktu, program ini pun hilang tak berbekas. Konsistensi tidak terjadi. Padahal, saat ini harga satu liter gas jauh lebih murah dibandingkan dengan satu liter BBM.
Keempat, mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya di pasar modal. Investor domestik harus terus didorong dan diberdayakan perannya. Pemerintah harus berani memberikan insentif agar makin menarik minat investor domestic untuk memperbesar kapasitas investasinya. Dengan berkembangnya pembiayaan dari investor domestic ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan dari investor asing, khususnya di Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini juga akan turut mendorong dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat dilatih untuk berinvestasi sejak dini. Harapannya akan terjadi pergeseran budaya dari konsumsi menjadi investasi. Dengan makin dalamnya sector keuangan, maka ketika terjadi tekanan eksternal, rupiah dapat bertahan. Namun, jika kebijakan jangka panjang tidak dilakukan, maka rupiah akan terus bergejolak. Dan patut dicatat, bahwa ke depan, tekanantekanan eksternal akan makin kerap bermunculan.
Desmon Silitonga, Riset Analis PT Capital Asset Management & Alumnus Pascasarjana FE UI
🌳

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga kuartal II transaksi berjalan Indonesia masih tercatat defisit sebesar 3% dari total produk domestik bruto (PDB) atau sebesar US$ 8 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan kuartal I 2018 sebesar 2,2% atau sebesar US$ 5,7 miliar.
Alhasil, kondisi ini menimbulkan kekawatiran tersendiri bagi para investor asing yang menanamkan uang mereka di Indonesia. Benar saja, jika melihat data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di RTI, net sell asing tercatat cukup besar mencapai Rp 52,64 triliun secara year to date (ytd).

BACA JUGA

Pindah ke blue chip, saatnya profit taking saham yang sudah tinggi

  •  

Mengintip strategi MI mengelola reksadana saham di tengah gejolak pasar

  •  

Sudah naik tinggi, saham-saham ini masih bisa dibeli

  •  

Pelemahan rupiah dan IHSG mengancam kinerja reksadana saham

Melihat kondisi ini, Hans Kwee, Direktur Investa Saran MandirI mengatakan, defisit transaksi berjalan ini menjadi salah satu sentimen negatif yang mendara pasar dalam negeri. Pun, ini menjadi tekanan sendiri bagi pemerintah karena harus menutupnya dengan direct invesment serta portfolio.
“Memang ini masalah struktural karena ekspor kebanyakan di barang komoditas dan impor kita di bahan baku dan barang modal,” ujar Hans kepada Kontan.co.id, Jumat (7/9).
Kendati demikian menurut Hans ini merupakan sebuah pertanda baik bagi ekonomi Indonesia. Defisit ini menandakan banyaknya belanja bahan baku dan modal yang dilakukan yang juga menunjukan bahwa ekonomi kita sedang tumbuh.
Hal ini akan direspons positif oleh pasar. Asing juga akan melihat potensi Indonesia ke depannya. “Pasar bakal fluktuasi namun prospek di Indoensia masih bagus dan di kondisi pelemahan pasar ini harus dimanfaatkan untuk masuk di level murah. Karena gejolak ini bersifat jangka pendek. Seperti perang dagang dan suku bunga bersifat sementara,” ujar Hans.
Di sisi lain fundamental ekonomi Indonesia masih sangat baik seperti dari data inflasi yang rendah. Menurut Hans kemungkinan net growth ekonomi dunia akan berada di Indonesia dan membuat asing akan kembali menyimpan dana di Indonesia.
Tercatat inflasi secara tahunan di akhir bulan Agustus 2018 berada pada posisi 3,24%. Sedangkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Agustus 2018 tercatat deflasi 0,05% secara bulanan.
“Komoditas akan kuat seperti CPO dari penguatan kebijakan B20, batubara, serta saham timah akan baik. SRIL juga karena ekspor mereka besar,” ujar Hans.
Senada, Kiswoyo Adi Joe Kepala Riset PT Narada Asset Management pun mengatakan ini bisa dimanfaatkan untuk mulai masuk ke saham Indonesia berkapitalisasi besar. “Saham sudah mulai di harga murah. Bisa beli saham penggerah IHSG seperti BBRI, BBNI, TLKM, UNVR, ASII, BMRI dan BBCA,” ujar Kiswoyo.
Adapun taget harga jangka panjang yang ditetapkan Kiswoyo untuk saham berkapitalisasi besar yakni, BBRI Rp 4.000, BBNI Rp 10.000, TLKM Rp 5.000, UNVR Rp 50.000, ASII Rp 8.500, BBCA Rp 25.000 dan BMRI Rp 8.000.

🌸

Oleh Eko B. Supriyanto
Krisis ekonomi global terus meluas. Setelah Argentina, Venezuela, dan kini Turki. Pemerintahan Recep Tayyip Erdogan yang percaya diri terhadap pekonomiannya toh akhirnya terbakar oleh kebijakan Donald Trump. Perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat (AS) terus menekan perekonomian dunia, khususnya Turki. Normalisasi suku bunga The Fed memicu aliran dana masuk ke AS. Transmisi krisis terbesar boleh jadi dari krisis mata uang, termasuk di Indonesia—jika rupiah terus terdepresiasi.
Pertumbuhan ekonomi yang 5,27% cukup untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa dikatakan buruk. Namun, ada beberapa fakta yang perlu diwaspadai. Pertama, sampai dengan awal Agustus 2018, aliran dana yang keluar dari pasar saham Indonesia sudah mencapai Rp48,7 triliun. Jika dijumlah dengan aliran inflow pasar obligasi, maka aliran dana keluar mencapai Rp36,9 triliun. Jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir, kondisi ini mencemaskan investor.
Kedua, current account deficit (CAD). Negara-negara yang terkena krisis, seperti Turki dan Argentina, memiliki CAD yang relatif lebar. Turki memiliki CAD 5,9% dan Argentina 5% terhadap product domestic bruto (PDB). Indonesia memiliki CAD pada triwulan II sebesar 3,04% dari PDB—angka ini melebar dari triwulan I yang sebesar 2,21%—karena menipisnya neraca perdagangan barang. Kabar terakhir, neraca perdagangan barang minus US$2,02 miliar, tertinggi sejak 2013.
Karena dua hal itu, ekonomi Indonesia dalam bahaya laten. Badai ekonomi global sudah ada. Sementara, pemerintah sendiri sekarang sedang sibuk untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Para menterinya juga sedang sibuk mengurusi partainya dalam pemilihan legislatif. Bahkan, sejumlah menteri kini sibuk kampanye sebagai anggota legislatif. Jadi, siapa yang peduli terhadap kondisi perekonomian Indonesia dan global.
Boleh jadi hanya Bank Indonesia (BI) yang tampak bekerja sendiri dengan kebijakan suku bunga untuk menahan agar rupiah tidak longsor lebih dalam. Harusnya para menteri ekonomi sektor riil memikirkan—bagaimana mengurangi CAD, meningkatkan devisa dan pasokan devisa ke dalam negeri. Di sinilah kelemahan kepemimpinan ekonomi saat ini yang harus dibereskan oleh Joko Widodo (Jokowi). Upaya memanggil pengusaha dan konglomerat untuk menukarkan dolar AS (US$) tidak banyak direspons jika tidak ingin dikatakan tidak “ngefek” besar.
Sejarah membuktikan bahwa penyehatan perbankan akibat krisis selalu dipolitisasi dan dikriminalisasi. Lihat saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sejak 1997 terus dipolitisasi dan dikriminalisasi hingga sekarang. Politisasi dan kriminalisasi juga terjadi pada penyehatan Bank Century pada 2008.
Penyelesaian yang dilakukan oleh lima presiden tidak diindahkan. Kasus Syafruddin A. Tumenggung (SAT) dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SAL) adalah bukti terjadinya kriminalisasi kebijakan. Padahal, lebih dari 18  tahun lalu negara sudah sepakat diselesaikan secara out of court settlement (diselesaikan di luar pengadilan) dan menjadi ranah perdata, dan sudah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Penyelesaian BLBI sudah diputuskan oleh lima presiden, dari Soeharto sampai dengan pemerintahan SBY. Diputuskan sesuai dengan Undang-Undang dan Tap MPR RI. Juga, sudah dinyatakan selesai oleh BPK (2002 dan 2006). Namun, kini justru BPK (2017) atas pesanan KPK menyatakan ada kerugian negara. Apakah ini karena BPK diisi oleh para politisi?
Apakah hal itu tidak akan menjadi hantu bagi pengambil kebijakan, jika saatnya 10 tahun mendatang atau sesuka selera penguasa baru dinyatakan bersalah. Boleh jadi, kata seorang investor, Indonesia sulit bergerak maju dan dikalahkan Vietnam dalam hal investasi karena kita sibuk “menggoreng” masa lalu dan saling menyandera.
Jika BLBI (1998) terhadap bank-bank terus dipermasalahkan setiap akan pilpres, bailout terhadap Bank Century (2008) dipermasalahkan hingga sekarang—kira-kira apakah konsep bail-in akan bisa berjalan dan adakah pejabat yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), seperti Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS, berani mengambil kebijakan—ketika terjadi kondisi bank-bank mulai “batuk-batuk”?
Seperti kasus-kasus penyehatan bank selalu dipolitisasi dan yang dipidanakan adalah pejabatnya—siapa yang mau menjadi pahlawan kesiangan dan akhirnya dipidanakan kelak? Sri Mulyani Indrawati, Menkeu, juga pernah mengalami dan trauma ketika krisis 2008 (Bank Century) sehingga beliau harus “kos” ke Bank Dunia. Dan, akhirnya “diputihkan” secara politik dan hukum oleh pemerintahan Jokowi karena menjadi Menkeu RI.
Nah, seperti dalam protokol krisis yang tertuang dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di mana presiden menjadi kunci dalam penetapan krisis. Apakah presiden akan berani menyatakan Indonesia sedang dalam krisis, meski kenyataannya sudah krisis? Apakah ada yang berani memulai untuk mengusulkan siapa bank-bank sistemik yang bermasalah?
Tentu presiden akan berpikir seribu kali jika hendak mengatakan bahwa negara sedang krisis. Alasannya, tidak ada di dunia mana pun juga, pemerintah akan tetap bertahan ketika terjadi krisis. Selalu ganti presiden atau perdana menteri, seperti di negara-negara Eropa beberapa tahun sebelumnya. Lalu, apakah bank-bank akan dibiarkan begitu saja di saat krisis karena tidak ada yang mengambil keputusan?
Langkah yang paling baik yang setidaknya dilakukan adalah mengurus diri sendiri. Dunia usaha dan perbankan ada baiknya mempersiapkan daya tahan diri sendiri, melakukan mitigasi risiko dan tidak terlalu ekspansi serta tetap memegang likuiditas. Pengalaman sebelumnya, likuiditas akan menjadi raja ketika krisis terjadi. Jangan ikut-ikutan main politik. Sejarah membuktikan negara tidak pernah membela pejabatnya yang mati-matian mengatasi krisis.
Bersiap-siaplah dan memperbaiki perahu sendiri yang bocor dan jangan banyak berharap kepada pemerintah di tahun politik ini. Jujur, bahaya laten krisis sudah ada karena cuaca perekonomian global juga sudah ada tanda-tanda telah terjadi badai. Dan, itu akan menentukan arah politik Indonesia ke depan.(*)

Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank
🌷

Current Account Deficits: Is There a Problem?

FINANCE & DEVELOPMENT
IMF
There can be consequences when the amount a country spends abroad is wildly different from what it receives from the outside world

The current account balance seems to be an abstruse economic concept. But in countries that are spending a lot more abroad than they are taking in, the current account is the point at which international economics collides with political reality. When countries run large deficits, businesses, trade unions, and parliamentarians are often quick to point accusing fingers at trading partners and make charges about unfair practices. Tension between the United States and China about which country is primarily responsible for the trade imbalance between the two has thrown the spotlight on the broader consequences for the international financial system when some countries run large and persistent current account deficits and others accumulate big surpluses
.

Measuring the current account

There are several points at issue—including what a current account deficit or surplus really means and the many ways that a current account balance is measured.
The current account can be expressed as the difference between the value of exports of goods and services and the value of imports of goods and services. A deficit then means that the country is importing more goods and services than it is exporting—although the current account also includes net income (such as interest and dividends) and transfers from abroad (such as foreign aid), which are usually a small fraction of the total. Expressed this way, a current account deficit often raises the hackles of protectionists, who—apparently forgetting that a main reason to export is to be able to import—think that exports are “good” and imports are “bad.”
The current account can also be expressed as the difference between national (both public and private) savings and investment. A current account deficit may therefore reflect a low level of national savings relative to investment or a high rate of investment—or both. For capital-poor developing countries, which have more investment opportunities than they can afford to undertake because of low levels of domestic savings, a current account deficit may be natural. A deficit potentially spurs faster output growth and economic development—although recent research does not indicate that developing countries that run current account deficits grow faster (perhaps because their less developed domestic financial systems cannot allocate foreign capital efficiently). Moreover, in practice, private capital often flows from developing to advanced economies. The advanced economies, such as the United States (see chart), run current account deficits, whereas developing countries and emerging market economies often run surpluses or near surpluses. Very poor countries typically run large current account deficits, in proportion to their gross domestic product (GDP), that are financed by official grants and loans.
Net foreign borrower
One point that the savings-investment balance approach underscores is that protectionist policies are unlikely to be of much use in improving the current account balance because there is no obvious connection between protectionism and savings or investment.
Another way to look at the current account is in terms of the timing of trade. We are used to intratemporal trade—exchanging cloth for wine today. But we can also think of intertemporal trade—importing goods today (running a current account deficit) and, in return, exporting goods in the future (running a current account surplus then). Just as a country may import one good and export another under intratemporal trade, there is no reason why a country should not import goods of today and export goods of tomorrow.
Intertemporal theories of the current account also stress the consumption-smoothing role that current account deficits and surpluses can play. For instance, if a country is struck by a shock—perhaps a natural disaster—that temporarily depresses its ability to access productive capacity, rather than take the full brunt of the shock immediately, the country can spread out the pain over time by running a current account deficit. Conversely, research also suggests that countries that are subject to large shocks should, on average, run current account surpluses as a form of precautionary saving.

When persistent is too persistent

Does it matter how long a country runs a current account deficit? When a country runs a current account deficit, it is building up liabilities to the rest of the world that are financed by flows in the financial account. Eventually, these need to be paid back. Common sense suggests that if a country fritters away its borrowed foreign funds on spending that yields no long-term productive gains, then its ability to repay—its basic solvency—might come into question. This is because solvency requires that the country be willing and able to generate (eventually) sufficient current account surpluses to repay what it has borrowed to finance the current account deficits. Therefore, whether a country should run a current account deficit (borrow more) depends on the extent of its foreign liabilities (its external debt) and on whether the borrowing will finance investment with a higher marginal product than the interest rate (or rate of return) the country has to pay on its foreign liabilities.
But even if the country is intertemporally solvent—meaning that current liabilities will be covered by future revenues—its current account deficit may become unsustainable if it is unable to secure the necessary financing. While some countries (such as Australia and New Zealand) have been able to maintain current account deficits averaging about 4 1/2 to 5 percent of GDP for several decades, others (such as Mexico in 1995, Thailand in 1997, and several economies during the recent global crisis) experienced sharp reversals of their current account deficits after private financing withdrew during the financial crisis.
Such reversals can be highly disruptive because private consumption, investment, and government expenditure must be curtailed abruptly when foreign financing is no longer available and, indeed, a country is forced to run large surpluses to repay in short order what it borrowed in the past. This suggests that—regardless of why a country has a current account deficit (and even if the deficit reflects desirable underlying trends)—large and persistent deficits call for caution, lest a country experience an abrupt and painful reversal of financing.
What determines whether a country experiences such a reversal? Empirical research suggests that an overvalued real exchange rate, inadequate foreign exchange reserves, excessively fast domestic credit growth, unfavorable terms of trade shocks, low growth in partner countries, and higher interest rates in industrial countries influence the occurrence of reversals. More recent literature has also focused on the importance of balance sheet vulnerabilities in the run-up to a crisis—such as the extent to which companies have large liabilities in foreign currencies such as dollars or maturity mismatches that occur when companies have more short-term liabilities than short-term assets and more medium- and long-term assets relative to their liabilities. Recent research has also underscored the importance of the composition of capital inflows—for example, the relative stability of foreign direct investment compared with more volatile short-term investment flows, such as in equities and bonds. Moreover, weak financial sectors can often increase a country’s vulnerability to a reversal of investment flows as banks borrow money from abroad and make risky domestic loans. Conversely, a more flexible policy framework—such as a flexible exchange rate regime, a higher degree of openness, export diversification, and coherent fiscal and monetary policies—combined with financial sector development could help a country with persistent deficits be less vulnerable to a reversal by allowing greater room for better shock absorption.

Judging whether deficits are bad

A common complaint about economics is that the answer to any question is, “It all depends.” It is true that economic theory tells us that whether a deficit is good or bad depends on the factors giving rise to that deficit, but economic theory also tells us what to look for in assessing the desirability of a deficit.
If the deficit reflects an excess of imports over exports, it may be indicative of competitiveness problems, but because the current account deficit also implies an excess of investment over savings, it could equally be pointing to a highly productive, growing economy. 
If the deficit reflects low savings rather than high investment, it could be caused by reckless fiscal policy or a consumption binge. 
Or it could reflect perfectly sensible intertemporal trade, perhaps because of a temporary shock or shifting demographics. Without knowing which of these is at play, it makes little sense to talk of a deficit being “good” or “bad.” 
Deficits reflect underlying economic trends, which may be desirable or undesirable for a country at a particular point in time.
Atish Ghosh is an Assistant Director in the IMF’s Research Department and Uma Ramakrishnan is a Deputy Division Chief in the IMF’s Strategy, Policy, and Review Department.










🌹



Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut ketergantungan tinggi atas impor minyak menjadi salah satu faktor yang menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia.
Oleh karena itu, dirinya meminta Indonesia dapat mencontoh Islandia untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan.
"Sejak 1990, Islandia benar-benar bergantung pada energi berbasis minyak bumi. Sehingga setiap kali kebutuhan meningkat, mereka impor banyak," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan di acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2018, di JCC Senyan, Jakarta, Kamis (6/9/2018).
Namun, di tengah kondisi ketergantungan tersebut Islandia mampu keluar dan membuat kebijakan baru untuk menghentikan penggunaan minyak sebagai energi di pembangkit.
"Mereka (Islandia) hentikan semua pembangkit dengan bahan bakar minyak dan sepenuhnya jadi bergantung pada panas bumi. Mengingat mereka miliki potensi besar," imbuh Sri Mulyani.
Dengan demikian, Sri Mulyani berharap, Indonesia yang juga sebagai importir minyak harus benar-benar mengubah strategi. Tentu saja hal ini guna melepas ketergantungan terhadap impor minyak.
Diketahui, pemerintah secara resmi telah meluncurkan perluasan penggunaan B20 yakni pencampuran minyak nabati pada solar nonsubsidi sebesar 20 persen pada 1 September kemarin.
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, perluasan B20 ini dilakukan untuk mendorong ekspor dan memperlambat impor dalam rangka menyehatkan neraca pembayaran.
Jadi,ke depan langkah ini diharapkan dapat menghilangkan defisit neraca perdagangan dan mengurangi defisit transaksi berjalan.
"Kebijakan yang kita anggap dapat cepat menghasilkan tidak menunggu investasi yakni salah satunya B20. Karena begitu kita mulai dampaknya nomor satu adalah penghematan devisa dan karena soalnya itu dicampur CPO berarti berkurang kebutuhan solarnya. Kemudian kita tahu bahwa produksi dan stok CPO tinggi," ujar Darmin.
🍁

What is the 'Current Account'

The current account records a nation's transactions with the rest of the world – specifically its net trade in goods and services, its net earnings on cross-border investments, and its net transfer payments – over a defined period of time, such as a year or a quarter.

BREAKING DOWN 'Current Account'

The current account is one half of the balance of payments, the other half being the capital or financial account. While the capital account measures cross-border investments in financial instruments and changes in central bank reserves, the current account measures imports and exports of goods and services; payments to foreign holders of a country's investments and payments received from investments abroad; and transfers such as foreign aid and remittances
A country's current account balance may be positive (a surplus) or negative (a deficit); in either case the capital account balance will register an equal and opposite amount. Exports are recorded as credits in the balance of payments, while imports are recorded as debits. Each credit in the current account (such as an export) will be recorded as a corresponding debit in the capital account: the country "imports" the money that a foreign buyer pays for the export.
A positive current account balance indicates that the nation is a net lender to the rest of the world, while a negative current account balance indicates that it is a net borrower. A current account surplus increases a nation's net foreign assets by the amount of the surplus, while a current account deficit decreases it by the amount of the deficit. (See also, Exploring the Current Account in the Balance of Payments.)

Factors Affecting the Current Account

Since the trade balance (exports minus imports) is generally the biggest determinant of the current account surplus or deficit, the current account balance often displays a cyclical trend. During a strong economic expansion, import volumes typically surge; if exports are unable to grow at the same rate, the current account deficit will widen. Conversely, during a recession, the current account deficit will shrink if imports decline and exports increase to stronger economies.
The exchange rate exerts a significant influence on the trade balance, and by extension, on the current account. An overvalued currency makes imports cheaper and exports less competitive, thereby widening the current account deficit or narrowing the surplus. An undervalued currency, on the other hand, boosts exports and makes imports more expensive, thus increasing the current account surplus (or narrowing the deficit).
Nations with chronic current account deficits often come under increased investor scrutiny during periods of heightened uncertainty. The currencies of such nations often come under speculative attack during such times. This creates a vicious circle in which foreign exchange reserves are depleted to support the domestic currency, and this forex reserve depletion – combined with a deteriorating trade balance – puts further pressure on the currency. Embattled nations are often forced to take stringent measures to support the currency, such as raising interest rates and curbing currency outflows.


Read more: Current Account https://www.investopedia.com/terms/c/currentaccount.asp#ixzz5QGrvJNIb
Follow us: Investopedia on Facebook



U.S. Current-Account Deficit Increases in First Quarter 2018

The U.S. current-account deficit increased to $124.1 billion (preliminary) in the first quarter of 2018 from $116.1 billion (revised) in the fourth quarter of 2017. As a percentage of U.S. GDP, the deficit increased to 2.5 percent from 2.4 percent. The previously published current-account deficit for the fourth quarter was $128.2 billion.
Current Account
  • The deficit on international trade in goods increased to $220.5 billion from $212.4 billion as goods imports increased more than goods exports.
  • The surplus on international trade in services increased to $64.9 billion from $64.6 billion as services exports increased more than services imports.
  • The surplus on primary income decreased to $62.0 billion from $62.4 billion as primary income payments increased more than primary income receipts.
  • The deficit on secondary income (current transfers) decreased to $30.5 billion from $30.7 billion as secondary income payments decreased more than secondary income receipts.
Net U.S. borrowing from financial-account transactions was $180.6 billion in the first quarter, up from $31.3 billion in the fourth.
  • Net U.S. acquisition of financial assets excluding financial derivatives was $254.7 billion in the first quarter, up from $127.1 billion in the fourth.
  • Net U.S. incurrence of liabilities excluding financial derivatives was $464.1 billion in the first quarter, up from $159.2 billion in the fourth.
  • Net lending in financial derivatives other than reserves was $28.7 billion in the first quarter, up from $0.8 billion in the fourth.
(updating)

The U.S. trade deficit widened in July by the most in three years and the gap with China hit a record as the Trump administration imposed tariffs on a range of Chinese goods, prompting retaliatory levies from Beijing.

The gap increased 9.5 percent to $50.1 billion, the biggest since February, from a revised $45.7 billion in the prior month, Commerce Department data showed Wednesday. Exports fell 1 percent, driven by steep drops in shipments of aircraft and soybeans, while imports rose 0.9 percent in a broad-based gain.


A widening trade deficit would drag on growth in the third quarter after a narrower gap -- partly on higher soybean exports ahead of Chinese levies -- helped boost the pace of expansion in the prior period to the fastest since 2014. While other indicators suggest gross domestic product is on track for solid gains in the second half, the latest figures show how President Donald Trump’s tariffs may start to weigh on the economy.


“If we see tariffs and retaliatory tariffs, it will disrupt the flows of goods and services -- and you’ve seen some of that,” said Stephen Stanley, chief economist at Amherst Pierpont Securities LLC.

At the same time, another way to see the situation is that the U.S. economy “is straining to meet demand, domestic production can’t handle all the demand, so pulling in goods and services from abroad is a release valve to satisfy very strong demand,” Stanley said.

The goods-trade gap with China widened to a record $36.8 billion on an unadjusted basis, up from $33.5 billion in the prior month, according to the report. The deficit with the European Union jumped to a record $17.6 billion from $11.7 billion, while the gap with Mexico narrowed to $5.5 billion from $7.4 billion.

The increase in the overall trade gap was the biggest since March 2015, the Commerce Department said. The median estimate of economists surveyed by Bloomberg called for a deficit of $50.2 billion.

Exports fell to $211.1 billion, led by a $1.57 billion drop in shipments of civilian aircraft and a $682 million decline in soybeans. Imports increased to $261.2 billion, boosted by computers, oil and vehicles.

Soybean Drop
The 16 percent decline in soybean exports brought the total to $3.53 billion, though shipments year-to-date are still up 43 percent from a year earlier. Corn exports in July fell by about 11 percent to $1.28 billion.

Soybean exports “have much further to decline in the coming months to return to more normal levels,” Daniel Silver, an economist at JPMorgan Chase & Co., said in a note.

Net exports added 1.17 percentage point to GDP growth in the April-June period, the most since 2013. That helped GDP grow at a 4.2 percent annualized pace, the best in almost four years, which Trump credited to his policies.

Analysts see the reverse happening on trade in the third quarter. Silver expects net exports to subtract about 1.3 percentage point from the annualized pace of growth in the period, while Capital Economics sees a drag of “a bit more than” 1 point.

What Our Economists Say
The U.S. trade deficit widened in July, sending an early signal that last quarter’s strength in net exports is set to reverse in the current period. The July data include the first mention of additional tariffs on Chinese goods, which should have pulled forward imports as domestic producers sought to get ahead of rising costs. However, the strength of the effect is dependent on the credibility of the source, and it is possible that the full impact of the tariffs will not materialize until later this year.

-- Tim Mahedy, Bloomberg Economics



Comments

  1. Promo www.Fanspoker.com :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete
  2. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.

    Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
    Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com

    Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
    Sepatah kata cukup untuk orang bijak.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

onlineisasi-digitalisasi (5)

terkait perbankan (bbri, bbca, bnii)

analisis fundamental sederhana: saham KONSUMER (mapi, myor, unvr, icbp, amrt, cpin, hero, mapi, cleo, ades)