INDONESIA makro (3): UTANk bukan KUTANG
🍈
🍉
ID: Standard and Poor’s (S&P) kembali mengukuhkan peringkat investment grade Indonesia, level BBB-/Stable Outlook. Hal ini bukanlah sepele, mengingat pengakuan layak investasi oleh lembaga pemeringkat internasional papan atas itu diberikan di tengah tekanan gejolak global yang kuat. Artinya, ekonomi kita bisa bertahan, masih bagus, tidak declined, tidak krisis. Rupiah pun berhasil menguat lagi ke Rp 13.951 per dolar AS, setelah sempat terpuruk hingga tembus Rp 14.205 minggu lalu.
Adapun depresiasi rupiah yang tajam belakangan ini lebih disebabkan adjustment atas tekanan global karena melejitnya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat yang mencapai 3,1% lebih Mei lalu, mendekati yield Surat Utang Negara (SUN) Indonesia. Level imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun itu merupakan yang tertinggi sejak 2011.
Kenaikan imbal hasil di negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu didorong rencana penaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), yang diperkirakan lebih agresif. Setelah fed funds rate (FFR) dinaikkan 25 basis poin pada Maret lalu ke 1,50-1,75%, menguat spekulasi bakal dinaikkan lagi tiga kali tahun ini, dari prediksi semula dua kali.
Kenaikan FFR ini masih akan berlanjut tiga kali lagi tahun depan, seiring kian pulihnya ekonomi negara adidaya itu, yang didorong penurunan pajak korporasi dari 35% menjadi 21% mulai 2018. Alhasil, banyak dolar mengalir pulang kampung, keluar dari pasar modal emerging markets, termasuk Indonesia.
Dolar AS pun menguat terhadap banyak mata uang negara lain, termasuk rupiah, menuju ekuilibrium baru. Meski S&P mengafirmasi peringkat Indonesia tetap pada level layak investasi pada 31 Mei lalu, pemerintah dan otoritas moneter juga jangan menganggap sepele tekanan global sekarang ini. Apalagi, selain risiko kenaikan FFR lebih tinggi, kita juga menghadapi tekanan kenaikan harga minyak dan ketidakpastian global yang meningkat, terkait dengan ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok serta negara-negara Eropa. Beberapa ketegangan geopolitik regional juga perlu diwaspadai.
Hal yang paling urgen saat ini adalah menangani kepercayaan investor. Meski makroekonomi RI baik, banyak pemodal yang masih punya likuiditas memilih wait and see, tidak kunjung menggulirkan bisnis. Padahal, jika pengusaha tidak mau menggulirkan bisnis, tentu kita semua akan susah. Hal ini berbahaya jika terus dibiarkan. Pertumbuhan ekonomi kita akan melambat, sehingga jutaan angkatan kerja baru tidak terserap dan berikutnya menurunkan daya beli.
Kondisi yang tidak diharapkan ini dapat merontokkan kepercayaan investor maupun masyarakat luas, bahkan bisa memicu gejolak publik. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus betul-betul mendekati para pengusaha agar mau kembali berinvestasi. Para pembantunya juga jangan bikin gaduh, apalagi menakutnakuti pengusaha dan mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif.
Presiden dan jajarannya jangan sampai terlambat menyadari bahwa saat ini adalah waktunya bagi pemerintah –di mana pun di dunia– untuk lebih menggandeng pengusaha dalam menggerakkan dan memperkuat ekonomi dalam negeri. Itulah sebabnya, janji kampanye pengusaha Donald Trump untuk memangkas pajak, menarik investasi, dan memproteksi pasar dalam negeri berhasil mengantarkan ke tampuk kepresidenan AS, di usia senjanya. Memang, apa gunanya kita kebanjiran barang-barang murah dari RRT atau dari mana pun, kalau banyak rakyat tidak punya uang dan tidak ada pekerjaan, karena industri di Tanah Air tidak berkembang baik. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi perlu segera mengundang secara khusus para pengusaha untuk berbicara dari hati ke hati, kalau perlu satu per satu dengan pengusaha besar.
Presiden perlu merangkul pengusaha, mendengarkan semua keluhan mereka dengan simpati tinggi, sekaligus mengakomodasi solusi yang diusulkan dunia usaha. Solusi yang digodok bersama pengusaha dan dituangkan segera dalam implementasi nyata di lapangan merupakan kunci meraih kembali kepercayaan pengusaha, sehingga tak ragu untuk mengucurkan investasi yang ditahan.
Pemerintah jangan pula mengejarngejar terus pengusaha yang sudah membayar pajak, apalagi menaikkan tarif pajak. Ketimbang menaikkan pajak, pemerintah seharusnya lebih kreatif untuk memperkuat Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum, terutama guna memberantas penyelundupan. Jika perdagangan ilegal ini bisa dihentikan, maka kebocoran pajak ekspor dan bea masuk yang mencapai ratusan triliun rupiah setahun tidak lagi terjadi. Artinya, uang ratusan triliun rupiah itu bisa masuk kantong negara dan pemerintah tak perlu menaikkan pajak.
Jika pemerintah bisa menggerakkan semua aparat negara untuk memberantas penyelundupan, pasar kita yang besar juga tidak dibanjiri barang-barang murah dari RRT yang sering diselundupkan dengan harga dumping. Di sisi lain, bahan baku yang dibutuhkan industri di dalam negeri juga tidak lari keluar. Ini misalnya rotan mentah yang banyak diselundupkan ke Malaysia dan jutaan benih lobster yang diselundupkan lewat Singapura dan Vietnam.
Pemerintah juga jangan sampai menyetujui kebijakan yang blunder, seperti pembukaan kembali ekspor kayu log atau kayu bulat yang sudah diusulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Usulan KLHK yang kontraproduktif ini, selain ditentang asosiasi mebel dan produk turunan kayu, juga berpotensi menyuburkan lagi penyelundupan kayu dan merusak hutan Indonesia lebih cepat.
Selain itu, pemerintah juga harus memberi insentif yang menarik bagi investasi di sektor bahan baku, bahan penolong, dan barang modal. Selain insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance yang mudah dan cepat direalisasikan, insentif lain bagi industri juga disediakan, seperti jalan tol khusus yang didedikasikan dari dan ke kawasan industri, pelabuhan, hingga bandara.
Selain itu, ada jaminan penyediaan suplai dan jaringan listrik, gas, dan air murah, serta lahan industri yang sudah clear dan clean. Dengan kemudahan berinvestasi, tersedianya bahan baku di dalam negeri, dan terlindungi dari serbuan barang impor ilegal, tentu pengusaha tertarik membangun industri di Indonesia yang pasarnya sangat besar.
Penduduk kita terbesar keempat di dunia, kelas menengah terus bertambah, dan masih banyak potensi bisnis di negeri ini yang belum digarap optimal, termasuk di sektor pariwisata. Pengusaha juga bisa segera diajak bekerja sama untuk memperkuat rupiah, dengan menjual dolarnya atau menyimpan di perbankan dalam negeri. Eksportir yang mengeruk kekayaan alam Indonesia harus membawa pulang dolarnya, demikian pula pengusaha yang sudah menangguk untung dari pasar kita yang besar jangan membawa lari keluar dividen.
Presiden Jokowi tak boleh kalah akal dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, yang bisa meningkatkan kepercayaan pengusaha dan sukses memulangkan dolar ke negeri jiran itu saat krisis Asia 1998. (*)
🍉
inflasi: 8.38% (2013-2014), 3.40% (2018); 3%an (2016-2017-2018). defisit transaksi berjalan: 2.69% (2012), 3.2% (2013), 3.12% (2014) (di atas 4% per Kuartal 2 2013-Kuartal 2 2014); 1.7%-1.71% (2017-2018). suku bunga / BI Rate tertinggi : 5.75% - 7.5% (2013).
INILAHCOM, Jakarta - Semasa menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengaku sudah menekan angka inflasi. Inflasi di tahun 2013 sampai 2014 adalah 8,38 %. Dan inflasi saat ini hanya sebesar 3,40 persen.
"Inflasi tiga tahun terakhir ada di kisaran tiga persen. Jadi kami sudah bisa kelola inflasi kami dengan baik," ujar Agus dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Kemudian, lanjut Agus, pada masa kepemimpinannya BI juga mampu memperbaiki defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat.
Pada tahun 2012 defisit di kisaran 2,69 persen, 3,2 persen dan 3,12 persen di 2013-2014, tapi di kuartal kedua 2013-2014 defisit transaksi berjalan di atas 4 persen.
"Sekarang kita berupaya perbaikan bersama pemerintah dan dukungan DPR di 2016-2017 transakisi berjalan meski masih defisit tapi sehat di kisaran 1,7 sampai 1,71 persen," ujar Agus.
Kemudian, kata dia, BI melakukan langkah yang tidak poluler di tahun 2013. Dimana saat itu tingkat bunga 5,75 persen dan harus naik menjadi 7,5 persen.
Hal ini dilakukan BI untuk menjaga stabilitas karena pada saat itu dana asing keluar dari Indonesia secara masif sehingga nilai tukar rupiah tertekan secara tajam.
"Kami bersyukur bahwa langkah-langkah tersebut efektif dan membawa stabilitas pada perekonomian Indonesia sejalan dengan upaya stabilitas yang dilakukan," ujar Agus.
Agus akan memasuki masa purna tugas pada 25 Mei 2018 nanti. Adapun rapat kerja pemaparan kinerja kali ini adalah yang terakhir dengan Komisi XI. [hid]
🍉
Indonesia di luar 5 most fragile states in the world (Per Okt 2017).
simak: tren gejolak Rp per awal 2018 s/d Mei 2018: tren naek Rp ternyata menekan tren ihsg turun. lalu per akhir Mei 2018, tren Rp naek (saat PERGANTIAN GUBERNUR BANK INDONESIA, dari yang dipilih SBY menjadi yang dipilih JOKOWI). tren kenaekan Rp malah diikuti tren kenaekan IHSG balek k atas 6K lage. Per tgl 28 Mei 2018 (pra WAISAK tgl 29 Mei 2018), ihsg 6041, Rp 13985. Moga-moga THR ANS, TNI n Pensiunan segera TERSALURKAN dengan bner. Moga-moga kondisi keamanan pasca Revisi UU Terorisme membuat kemantapan peribadahan bulan suci. Moga-moga ketegangan geopolitik buatan Trump bisa berkurang. Moga-moga perusahaan2 yang berutanK dalam valas, segra bisa beralih k mata uang Rp aza lah.
🍓
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargetkan total pendapatan negara naik 15% tahun depan. Hal ini membuat nominal pendapatan negara untuk pertama kalinya menembus angka lebih dari Rp 2.000 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kenaikan itu ditopang oleh kenaikan pajak non migas 16,6%. Pada tahun ini, target pendapatan non migas mencapai Rp 1.385,1 triliun.
"Pertama kali pendapatan di tahun depan akan menembus Rp 2000 triliun, karena selama ini pendapatan negara selalu di bawah Rp 1.900 triliun," tuturnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/7/2018).
"Tahun ini akan mendekati Rp 1.900 triliun, dan tahun depan menembus Rp 2.000 triliun. Dengan Rp 2.000 triliun ini kami bisa membelanjakan belanja kementerian, lembaga dan daerah dalam rangka memperbaiki prioritas kita."
Dari perhitungan CNBC Indonesia, kenaikan sebesar 15% pada komponen pendapatan berarti mencapai Rp 2.178,9 triliun, dari posisi 2018 yang hanya Rp 1.894,7 triliun.
Untuk sisi belanja, Menkeu mengatakan pihaknya masih akan menyerap aspirasi dari kementerian dan lembaga terkait sehingga sampai hari ini belum ada postur anggaran secara resmi. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo.
"Nanti kita lihat. Tadi masih ada aspirasi yang masuk, dan presiden masih instruksikan beberapa hal, sehingga postur akhir masih belum kita finalkan. Nanti hasil pertemuan sidang kabinet ini kami masih akan lakukan rekalkulasi lagi."
Pada Kamis pekan lalu, Badan Anggaran DPR memberikan restu bagi pemerintah untuk menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di tahun politik.
Asumsi yang disetujui adalah:
- Pertumbuhan ekonomi : 5,2% - 5,6%
- Inflasi : 2,5% - 4,5%
- Tingkat bunga SPN 3 Bulan : 4,6% - 5,2%
- Nilai tukar rupiah : Rp 13.700/US$ - Rp 14.000/US$
- Harga minyak mentah US$ 60 - US$ 70 per barel
- Lifting minyak 722 - 805 ribu barel per hari
- Lifting gas 1,21 juta - 1,30 juta barel setara minyak
🍍
Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pendapatan negara hingga semester I 2018 mencapai Rp 833,4 triliun. Angka ini telah tercapai 44 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi pendapatan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan pencapaian pada semester I 2017 sebesar Rp 718,2 triliun atau naik sekitar 16 persen.
"Pendapatan negara realisasi semester I mencapai Rp 833,4 triliun itu artinya 44 persen dari target 2018. Kalau dibandingkan tahun lalu semester I yang kita mengumpulkan Rp 718,2 triliun kita meningkat 16 persen," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Sri Mulyani mengatakan, realisasi pendapatan sebesar Rp 833,4 pada semester I 2018, tertinggi dalam tiga tahun terakhir jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya.
Komponen pendapatan negara dari sisi pendapatan dalam negeri untuk perpajakan telah mengumpulkan Rp 653,5 triliun atau sekitar 40,4 persen. Tahun lalu perpajakan mengumpulkan Rp 571,9 triliun di semester I 2017.
"Itu artinya terjadi pertumbuhan penerimaan perpajakan sebesar 14,3 triliun. Tahun lalu growth semester I 2017 adalah 9,6 persen. Jadi ada kenaikan yang cukup signifikan hampir 5 persen di atas tahun lalu," ujar dia.
Sri Mulyani menambahkan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah mencapai Rp 176,8 triliun atau 64,2 persen dari total target penerimaan PNBP tahun ini.
"Tahun lalu terkumpul Rp 146,1 triliun, untuk PNBP ini growth kita 21 persen. Meskipun dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 30 persen, lebih rendah namun growth ini double digit dan di atas 20 ini luar biasa tinggi," kata dia.
🍌
Sri Mulyani: Defisit APBN Terendah dalam 4 Tahun TerakhirPemerintah rapat bersama Banggar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi paparan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (31/5). Rapat terkait penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan dalam RAPBN 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan defisit berjalan pada pelaksanaan semester I Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2018 hanya sebesar Rp 110 triliun, atau terendah dalam empat tahun terakhir. Angka ini lebih kecil dibandingkan tahun 2017 lalu yang posisinya Rp 175 triliun.
"Ini sekali lagi menggambarkan bahwa pemerintah terus berusaha membuat APBN kita menjadi sehat, menjadi kredibel, dan terutama dikaitkan dengan banyak sekali pendapat mengenai masalah utang dan pengelolaan utang," kata Sri Mulyani seperti dikutip dari laman Setkab.go.id pada Selasa 10 Juli 2018.
Ia menyebut, pencapaian tersebut merupakan bukti dari kehati-hatian Pemerintah dalam menjaga APBN tahun 2018. Lebih lanjut, Menkeu menyebut pemerintahan akan tetap menjaga APBN dengan defisit lebih rendah dari yang direncanakan.
“Tadinya 2018 adalah direncanakan 2,19 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto-red), namun dari sisi outlook sekarang ini kami memperkirakan APBN 2018 akan defisitnya menjadi hanya 2,12 atau 2,12 persen dari PDB atau dalam hal ini Rp 314 triliun, lebih kecil dari yang tadinya diperkirakan Rp 325 triliun,” ucapnya.
Melihat defisit APBN yang lebih baik dari perkiraan, maka diputuskan bahwa APBN tidak akan diubah. Sri Mulyani pun siap menyampaikan hasil tersebut pada DPR.
"Laporan ini nanti akan kami sampaikan kepada dewan untuk dibahas pada minggu depan dengan Dewan Perwakilan Rakyat," ujar Menkeu.
🍊
MI: KESELURUHAN pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada semester I 2018 menunjukkan capaian positif. Tercermin dari realisasi pendapatan negara sebesar Rp 833,44 triliun atau 44,00% dari target APBN.
Komposisi pendapatan negara bersumber dari realisasi penerimaan perpajakan semester I 2018 sebesar Rp 653,5 triliun atau 40,39% dari target dengan pertumbuhan 14,26% dibandingkan capaian periode sama 2017 lalu (year on year/yoy). Penerimaan perpajakan sampai akhir 2018 diproyeksi mencapai Rp 1.548,48 triliun.
Adapun penerimaan pajak tumbuh 13,99% (yoy) dengan realisasi Rp 581,54 triliun atau 40,84% dari target. Jika tidak memperhitungkan efek uang tebusan amnesti pajak, maka pertumbuhan penerimaan pajak semester I 2018 mencapai 16,73% (yoy) atau tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Pertumbuhan positif tersebut dipengaruhi pertumbuhan Pajak Penghasilan (PPh) non migas sebesar 14,85% (yoy) dengan realisasi Rp 329,34 triliun, berikut pertumbuhan PPN dan PPnBM sebesar Rp 218,12 triliun yang tumbuh 13,63% (yoy).
Secara keseluruhan, penerimaan pajak sepanjang 2018 masih ditopang jenis-jenis penerimaan pajak yang berasa dari aktivitas impor dan produksi. Di antaranya PPh Badan, PPh Pasal 21 dan PPN impor.
"Target pendapatan negara kita yakini dapat dipenuhi di mana semester I 2018 realisasinya sudah 44,00%. Dari realisasi penerimaan perpajakan, untuk penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 71,95 triliun atau 37,07% dari target dengan pertumbuhan 16,66% dibandingkan periode sama tahun lalu," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA di kantornya, Selasa (17/7).
Kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai semester I 2018 mencatatkan pertumbuhan tertinggi dalam tiga tahun terakhir, yakni 16,66%. Capaian positif penerimaan kepabeanan dan cukai dipengaruhi membaiknya aktivitas perdagangan internasional, berikut penertimban impor berisiko tinggi dan penertiban cukai berisiko tinggi.
Pun, sambung dia, pertumbuhan positif terjadi di semua komponen, baik penerimaan bea masuk, bea keluar maupun cukai yang didukung efektivitas kebijakan tarif. Di satu sisi, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sampai akhir 2018 mencapai Rp 176,83 triliun atau 64,20% dari target dengan pertumbuhan 21,02% (yoy).
Kenaikan penerimaan PNBP sektor sumber daya alam (SDA) dipengaruhi peningkatan harga komoditas, terutama harga minyak dunia (crude oil) dan batubara. Pergerakan harga minyak mentah acuan Indonesia (ICP) semester I 2018 mencapai US$ 66,55 per barel dan harga batubara acuan (HBA) tercatat US$ 82,21 per ton.
"Sedangkan realisasi belanja negara sampai akhir Juni 2018 mencapai Rp 944,01 triliun atau 42,51% dari target. Sampai akhir tahun, belanja negara diperkirakan sebesar Rp 1.453,63 triliun. Untuk belanja negara ini termasuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp 558,44 triliun atau 38,39% dari pagu anggaran," kata Bendahara Negara.
Menurutnya, penyerapan belanja pemerintah semester I 2018 menunjukkan kinerja yang lebih baik. Perbaikan tersebut tidak lepas dari berbagai upaya yang meliputi penyiapan sebelum anggaran berjalan, percepatan kegiatan dan monitoring program atau kegiatan.
Dari belanja Kementerian atau Lembaga (K/L), serapan hingga akhir Juni 2018 mencapai Rp 295,99 triliun atau 34,93% dari pagu anggaran. Rincian belanja K/L mencakup belanja pegawai dengan realisasi sepanjang semester I 2018 sebesar Rp 103,77 triliun atau 45,62% dari target, belanja barang sebesar Rp 106,39 triliun atau 31,40% dari target dan belanja modal mencapai Rp 40,75 triliun atau 19,99% dari target.
"Memang belanja K/L keseluruhan ini meningkat atau tumbuh 12,14% (yoy). Kalau melihat belanja modal, pagunya lebih rendah dari tahun lalu karena ada realokasi ke belanja barang. Dalam belanja barang termasuk belanja untuk human capital, seperti belanja pendidikan dan belanja pendidikan," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengemukakan kinerja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) hingga akhir 2018 sebesar Rp385,57 triliun atau 50,33% dari target. Capaian itu lebih rendah dibandingkan periode sama 2017 lalu yang mencapai Rp 394,76 triliun.
Ani, sapaan akrabnya, turut menyoroti realisasi Dana Desa semester I 2018 mencapai Rp 35,86 triliun atau 59,77% dari target. Kinerja penyaluran Dana Desa yang lebih baik dari periode sama 2017 lalu, dipengaruhi perbaikan ketentuan batas penyaluran tahap I dan tahap II, maupun upaya intensif dari pemerintah untuk mempercepat penyaluran.
Dengan capaian dari berbagai komponen tersebut, pelaksanaan APBN 2018 diyakini terjaga postur defisitnya di level 2,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 314,2 triliun. Sepanjang semester I 2018, realisasi defisit anggaran tercatat 0,75% dari PDB atau sebesar Rp 110,56 triliun. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut turut menggarisbawahi realisasi keseimbangan primer sampai 30 Juni 2018 sebesar Rp 10,04 triliun.
"Capaian semester I 2018 membawa optimisme bagi pemerintah bahwa APBN 2018 akan terjaga postur defisitnya 2,12% dari PDB atau lebih rendah dari asumsi 2,19%. Ini yang membuat kami tidak mengajukan APBN Perbahan 2018, karena keseluruhan postur masih menampung," tandas dia.(OL-4)
🌷
BPS juga mengumumkan ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio Gini. Rasio Gini pada Maret 2018 tercatat 0,389, menurun 0,002 poin dibandingkan September 2017 sebesar 0,391.
Rasio Gini di daerah perkotaan pada Maret 2018 tercatat 0,401, turun dibanding September 2017 yang sebesar 0,404. Sedangkan rasio Gini di daerah perdesaan naik (004) jadi 0,324 pada periode yang sama.
Selain rasio Gini, ketimpangan juga diukur dari pengeluaran kelompok masyarakat. Berdasarkan ukuran ini, tingkat ketimpangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40% terbawah kurang dari 12%, ketimpangan sedang 12–17%, serta ketimpangan rendah jika angkanya berada di atas 17%.
Menurut Suhariyanto, pada Maret 2018, distribusi pengeluaran kelompok 40% terbawah sebesar 17,29%, yang berarti ketimpangannya rendah. Di daerah perkotaan tercatat 16,47% (ketimpangan sedang). Sementara perdesaan 20,15% (ketimpangan rendah). Artinya, tingkat ketimpangan di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan.
Suhariyanto merinci faktor-faktor yang memengaruhi tingkat ketimpangan. Secara nasional tercatat bahwa kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan periode September 2017-Maret 2018 penduduk kelompok 40% terbawah (3,06%) lebih cepat dibanding penduduk kelompok 40% menengah (2,54%) dan kelompok 20% teratas (2,59%).
Data menarik lain adalah delapan provinsi yang tingkat ketimpangannya lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan rasio Gini tertinggi 0,441, diikuti Sulawesi Tenggara (0,409), Jawa Barat (0,407), Gorontalo (0,403), Sulawesi Selatan (0,397), Papua Barat (0,394), Sulawesi Utara (0,394), dan DKI Jakarta (0,394). Adapun rasio Gini terendah adalah Provinsi Bangka Belitung sebesar 0,281. (hg)
Baca selanjutnya di http://id.beritasatu.com/home/stabilkan-harga-pangan/177890
🌲
Jakarta - Ekonom Rizal Ramli menyebut ekonomi Indonesia mengkhawatirkan, bahkan dia menyebut sudah lampu setengah merah.
Rizal menjelaskan kondisi ekonomi yang mengkhawatirkan bisa dilihat dari berbagai faktor, seperti neraca perdagangan yang selalu defisit. Pada Mei 2018 misalnya kembali terjadi defisit sebesar US$ 1,52 miliar.
"Lalu, transaksi berjalan ini juga yang bahaya. Hari ini minus US$ 5,5 miliar," tuturnya dalam acara Dialog Sekber Indonesia, Rupiah Rontok, Harga Meroket, Arahnya ke Mana?, di Jakarta, Rabu malam (11/7/2018).
"Karena adanya kekhawatiran, sekarang ekonomi sudah lampu setengah merah. Kalau tidak hati-hati ini bisa jadi krisis kembali. Jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama," tambah Rizal.
Selain itu indikator ekonomi lain yang juga dilihatnya semakin memburuk seperti nilai tukar rupiah yang terus anjlok hingga daya beli masyarakat yang tak kunjung membaik.
Menurutnya kondisi itu dipantau investor asing. Alhasil banyak investor yang khawatir yang kemudian menarik dananya dari pasar modal Indonesia.
"Meskipun Menkeu (Menteri Keuangan) menyerahkan laporan ke Presiden bahwa kita surplus. Bilang ekonomi kita baik-baik saja. Padahal investor asing itu pintar-pintar. Dia bisa menganalisa dari CDS (Credit Default Swap) negara kita dari komputernya," tutur Rizal
Menurut Rizal tingkat CDS Indonesia meningkat cukup drastis, dari posisi 80 di Januari 2018 menjadi 144 pada hari ini. Menurutnya jika CDS Indonesia kembali naik, rating investasi Indonesia bisa kembali turun.
Nilai CDS saat ini menjadi indikator fundamental yang paling dicari oleh para investor besar dan para fund manager di seluruh dunia. Nilai CDS suatu negara bisa menjadi acuan sebagai indikator forex paling akurat untuk memprediksi pergerakan mata uang negara tersebut dalam medium/long-term.
"Kemudian ada indikator yang disebut country vulnerability index atau indeks kerentanan. Sekarang kita nomor dua paling beresiko. Artinya kalau terjadi sesuatu paling gampang digoyang. Saya tidak pernah tuh lihat pejabat Indonesia lihat dua indikator penting itu," jelas Rizal.
Belum lagi utang Indonesia kembali meningkat. Menurutnya indikator-indikator itu bisa menjadi sentimen bagi investor asing untuk terus menarik dananya dari Indonesia.
Baca juga: Rizal Ramli 'Kepret' Sri Mulyani (Lagi)
|
Jika itu terjadi maka ekonomi Indonesia semakin terbebani. Sebab pasar modal Indonesia masih dikuasai investor asing.
Rizal juga mengingatkan, jika Indonesia terjadi krisis, maka hindari bantuan dari IMF. Belajar dari kejadian krisis ekonomi 1998, Indonesia terjerat utang dengan IMF yang sulit untuk dilepaskan.
"Saya sengaja mengulang-ulang, hati-hati dengan IMF, dia membuat hancur kita," kata mantan Menteri Koordinator Kemaritiman itu. (hns/hns)
🌳
TEMPO.CO, Bogor - Presiden Joko Widodo memutuskan tidak melakukan perubahan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. "Bapak Presiden menyampaikan bahwa untuk APBN 2018 ini, kami tidak melakukan APBN perubahan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Snein, 9 Juli 2018.
Sri Mulyani mengatakan bahwa postur APBN 2018 sudah cukup baik dan tidak mengalami deviasi yang besar dari sisi jumlah penerimaan negara dan belanja negara. Selain itu, defisit anggaran juga lebih dari yang direncanakan.
Dari sisi makro ekonomi, semester 1 diperkirakan tumbuh sebesar 5,1 persen. Sedangkan dari sisi penerimaan pajak semester 1, PPn non migas tumbuh 14,9 persen. "Itu lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang tumbuh hanya 6 persen, dan 2016 hanya tumbuh 7 persen," katanya.
Untuk penerimaan pajak yang berasal dari PPn tumbuh hampir sama dengan tahun lalu, yaitu 13,6 persen. Sedangkan PPn pada 2016 tumbuh negatif. Dari sisi bea dan cukai, Sri Mulyani menyebutkan penerimaan tumbuh 16,7 persen yang merupakan penerimaan kotor bea dan cukai teritinggi sejak 3 tahun terakhir. Untuk PPh migas tercatat meningkat 9 persen dibandingkan tahun lalu negatif 69 persen dan 2016 negatif 40 persen.
Menurut Sri Mulyani, sisi perpajakan juga mengalami hal positif. Misalnya dari kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, yaitu SPT pribadi naik 14 persen dan SPT badan tumbuh 11,2 persen. "Kalau lihat dari sisi penerimaan perpajakan, kita melihat suatu dinamika ekonomi yang cukup positif," katanya.
Untuk sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Sri Mulyani mengatakan bahwa penerimaan sumber daya alam migas mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu tumbuh 47,9 persen dibandingkan tahun lalu sebesar 115 persen. Pasalnya, harga minyak saat ini sedang tinggi dan kurs rupiah terhadap dolar yang melemah.
Karena kedua penerimaan negara dari pajak perpajakan dan PNBP cukup kuat, pemerintah melihat kemungkinan bahwa APBN 2018 bisa terjaga. "Bahkan pencapaian mendekati apa yang direncanakan," ujarnya.
Dari sisi belanja, Sri Mulyani melihat adanya peningkatan di semester 1 ini. Seluruh kementerian dan lembaga telah membelanjakan anggarannya mendekati 35 persen, atau lebih baik dibandingkan tahun lalu yang hanya 33 persen penyerapannya.
Realisasi belanja nonkementerian dan lembaga, terutama dikaitkan dengan subsidi dan pembayaran bunga utang mencapai 43,9 persen. "Ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang 41 persen," kata dia.
Dari sisi transfer ke daerah, realisasinya 50,3 persen telah dibelanjakan. Menurut Sri Mulyani, angkanya sedikit lebih kecil dibandingkan tahun lalu yang hanya 51 persen. Sebab, kata dia. tahun lalu pemerintah melakukan pembayaran dana bagi hasil.
Meski transfer ke daerah lebih kecil. Sri Mulyani melihat dana desa terjadi kenaikan. Ia mencatat bahwa penyerapannya mendekati 60 persen dari total anggaran Rp 60 triliun, atau lebih tinggi dibandingkan tahun lalu sebesar 57 persen.
Dalam laporan semester APBN ini, defisit anggaran juga mengalami penurunan. Yaitu dari 2,19 persen menjadi 2,12 persen dari PDB atau Rp 314 triliun lebih kecil dari yang diperkirakan mencapai Rp 325 triliun.
Bahkan primary balance (keseimbangan primer) posisinya positif, yaitu surplus Rp 10 triliun dibandingkan tahun lalu negatif Rp 68 triliun. "Ini untuk pertama kali semenjak 4 tahun terakhir. Realisasi defisit kita adalah Rp 110 triliun, lebih kecil dibandingkan tahun lalu yang posisinya Rp 175 triliun," kata Sri Mulyani.
Hal ini, ujar Sri Mulyani, juga menggambarkan pemerintah terus berusaha membuat APBN sehat, kredibel, terutama dikaitkan dengan banyaknya pendapat masalah dan pengelolaan utang. "Hasil semester 1 mengkonfirmasikan pemerintah sangat berhati-hati dan sangat prudent dalam menjaga APBN 2018," katanya.
🍁
JAKARTA – Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2018 sebesar USD119,8 miliar. Jumlah tersebut turun USD3,1 miliar dibandingkan posisi akhir Mei 2018 sebesar USD122,9 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan, penurunan cadangan devisa pada Juni 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah. Tak hanya itu, cadangan devisa juga digunakan bank sentral untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah.
“Penurunan dipengaruhi pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar Rupiah,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (6/7/2018).
Rupiah Tak Berisiko Melemah ke Level Rp15.000 per Dolar AS
Menurutnya, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif,” tukas dia. (kmj)
🍀
Bisnis.com, JAKARTA – Pagu indikatif anggaran belanja kementerian dan lembaga 2019 dirancang secara lebih ketat. Sejumlah anggaran kementerian maupun lembaga dengan belanja terbesar tercatat mengalami penyusutan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) misalnya, jika tahun ini anggarannya sebesar Rp107,4 triliun turun sebesar Rp5,4 triliun menjadi hanya Rp102 triliun. Sementara itu, anggaran kementerian pertahanan, dalam pagu anggaran indikator itu mengalami penurunan sebesar Rp1,6 triliun atau dari Rp107,7 triliun menjadi Rp106,1 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengakui bahwa pada tahun depan, pemerintah lebih mengutamakan untuk melakukan efisiensi. Efisiensi dalam hal ini bukan berarti tidak optimal, justru kebalikannya kebijakan ini dimaksudkan supaya kementerian maupun lembaga bisa lebih efektif menggunakan anggaran.
“Pagu ini adalah pagu awal, yang tentunya nanti akan kami lakukan penghitungan lagi untuk menentukan pagu tahun 2019, bisa saja nanti akan berubah,” kata Askolani di Badan Anggaran DPR, Rabu (4/7/2018).
Askolani menambahkan kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah akan menyasar ke belanja barang yang sifatnya rutin, tetapi tidak menutup kemungkinan otoritas fiskal juga akan mengevaluasi dan mengawasai belanja yang sifatnya produktif.
Belanja infrastruktur atau bahan baku modal yang menopang sejumlah proyek besar milik pemerintah misalnya, kendati belum diputuskan, tetapi pemerintah akan terus melakukan koordinasi dengan kementerian terkait misalnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Kementerian PUPR.
“Tentunya langkah itu yang akan dilakukan terlebih dahulu, [efisiensi] ini akan mengarah ke belanja barang, belanja modal kalau diperlukan naik akan naik dengan batas-batas yang wajar,” ungkapnya.
Adapun mengutip data dari Kementerian Keuangan, penyusunan belanja kementerian dan lembaga mempertimbangkan realisasi 2017 dan outlook tahun 2018. Pagu anggaran indikatif tahun 2019 dirancang sebesar Rp838,6 triliun atau turun dibandingkan dengan APBN 2018 yang mencapai Ro847,4 triliun. Meski dua kementerian utama yakni Kementerian Pertahanan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatatkan penurunan anggaran.
Namun khusus Kementerian Sosial, mengulang tahun lalu, anggarannya justru dirancang lebih besar lagi yakni dari Rp41,3 triliun menjadi Rp59,3 triliun atau naik sebesar Rp18 triliun.
🌽
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pekan lalu, kurs rupiah mencapai Rp 14.394 per dollar Amerika Serikat (AS), level penutupan terendah sejak Oktober 2015. Hal ini berpotensi mempengaruhi kinerja sejumlah emiten.
Moody's Investor Service, melalui laporannya pekan lalu (28/6), menyebut, sejatinya seluruh perusahaan dengan rating utang rendah di Asia Selatan dan Tenggara telah melakukan lindung nilai untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar. Meski begitu, masih ada lima perusahaan yang kinerjanya berpotensi tertekan fluktuasi nilai tukar.
Dari lima perusahaan tersebut, empat di antaranya adalah emiten asal Indonesia, yakni MNC Investama, Gajah Tunggal, Lippo Karawaci dan Alam Sutera Realty. Emiten-emiten ini terpapar risiko fluktuasi kurs lantaran lebih dari 70% utangnya merupakan utang dalam dollar AS, sementara pendapatan diperoleh dalam rupiah (lihat tabel).
Emiten-emiten ini menggunakan asumsi kurs Rp 13.756 per dollar AS di kuartal satu lalu, naik dari Rp 13.548 di akhir 2017. "Asumsi kurs akan terus berubah karena memakai rata-rata satu tahun dan itu sudah pasti naik," ujar analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra, Jumat (29/6).
Strategi hedging
Para emiten memang masih optimistis bisa mengantisipasi fluktuasi kurs tahun ini. Catharina Wijaya, Direktur GJTL mengaku, saat ini kondisi di level operasional cukup berat. Ekspor perusahaan ban ini juga sedang turun. "Tapi, hal itu masih bisa kami kelola," ujar Catharina, Jumat (29/6).
Sepanjang kuartal satu lalu, produsen ban merek GT Radial ini mencatatkan penjualan ekspor sebesar Rp 696,81 miliar, turun 21% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 886,89 miliar. Secara konsolidasi, penjualan GJTL di tiga bulan pertama tahun ini hanya naik 2% menjadi Rp 3,86 triliun.
Catharina menuturkan, GJTL langsung melakukan hedging atas sebagian nilai dari obligasi global senilai US$ 500 juta yang diterbitkan tahun lalu. Sebesar US$ 250 juta dari nilai tersebut merupakan dana untuk refinancing obligasi lama. Lalu, sebesar US$ 250 juta merupakan pinjaman sindikasi.
Dari total pinjaman sindikasi tersebut, sebesar US$ 40 juta sejatinya pinjaman dalam bentuk rupiah. Sisa US$ 210 juta itu yang dikenakan hedging. "Jadi, separuh dari utang kami sudah dilakukan lindung nilai," kata Catharina.
Perusahaan ini juga melakukan hedging atas kupon obligasi. "Hedging sudah dilakukan sejak September tahun lalu sebelum rupiah seperti sekarang," imbuh dia.
Langkah ini cukup efektif menahan kenaikan biaya kurs. Jika disetarakan dalam rupiah, utang bank jangka panjang GJTL di kuartal satu tahun ini setara Rp 2,88 triliun, cuma naik 1,7% dibanding posisi akhir 2017, Rp 2,84 triliun.
Utang valas empat emiten
Emiten | Jumlah Utang dalam Dollar AS | |
31/03/2018 | 31/12/2017 | |
PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) | US$ 841,5 juta | US$ 867,5 juta |
PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) | US$ 472,72 juta | US$ 472,08 juta |
PT MNC Investama Tbk (BHIT) | US$ 618,2 juta | US$ 580,57 juta |
PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) | US$ 460 juta | US$ 460 juta |
*Utang meliputi obligasi, utang bank jangka panjang dalam dollar
*Sumber: laporan keuangan dan riset KONTAN
*Sumber: laporan keuangan dan riset KONTAN
🍰
Langkah progresif Bank Indonesia (BI) yang langsung menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin plus pelonggaran kredit direspons positif. Kebijakan tetap fokus pada stabilisasi ekonomi dengan meredam dana keluar dan gejolak rupiah dengan mengerek suku bunga, di sisi lain ada trade-off berupa pelonggaran kredit untuk menggairahkan kembali properti sebagai penggerak roda ekonomi.
Alhasil, kenaikan suku bunga yang biasanya menjadi musuh terbesar pasar saham, kali ini disambut dengan suka cita. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan kemarin di Bursa Efek Indonesia berbalik arah terimbas kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 50 bps ke 5,25%, kembali ke level yang dipatok saat menggantikan BI Rate sebagai suku bunga acuan per 19 Agustus 2016.
Sementara itu, tingkat bunga penjaminan tetap dipatok Lembaga Penjamin Simpanan 6,00% untuk deposito rupiah pada bank umum, periode 6 Juni-17 September 2018. Optimisme pun merebak di pasar saham maupun pasar valas di Tanah Air. IHSG kemarin berhasil menguat kembali 2,33% ke level 5.799, dengan asing tergerak masuk kembali dan mencatatkan net buy Rp 359 miliar.
Demikian pula nilai tukar rupiah menguat dan perlahan turun dari level tertingginya hari ini di Rp 14.410 per dolar AS ke Rp 14.305. BI mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah terdepresiasi sekitar 5,7% sejak awal tahun 2018.
Setelah gejolak rupiah yang dipicu dinaikkannya Fed Funds Rate (FFR) Maret 2018 oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), BI menaikkan suku bunganya dua kali pada Mei lalu masing-masing 25 bps menjadi 4,75%. Ini mengakhiri posisi 7DRRR sebesar 4,25% yang sebelumnya dipertahankan dalam sembilan bulan terakhir.
Rupiah kembali bergejolak setelah The Fed menaikkan FFR lagi 25 bps menjadi 1,75-2% dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 13 Juni lalu, hingga menembus Rp 14.400 per dolar AS. Inilah yang direspons BI kemarin dengan sekaligus menaikkan 7DRRR sebesar 50 bps ke 5,25%.
Dalam sisa tahun ini, FFR masih berpeluang dinaikkan lagi dua kali seiring membaiknya ekonomi AS, yang membuat dolar kian menguat terhadap mata uang dunia, tak hanya rupiah.
Respons BI kali ini juga disertai upaya konkret untuk tetap mendorong momen pertumbuhan ekonomi dengan melonggarkan aturan kredit di sektor properti, terkait rasio Loan to Value (LTV). Sektor properti yang tertimpa beban ganda kenaikan bunga dan melemahnya rupiah memang perlu dibantu agar kembali bergairah, mengingat multiplier effect-nya sangat besar.
BI mencatat, sektor ini mampu menggerakkan 50 sektor lain dan punya andil sekitar 15% dari total kredit perbankan.
Kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui relaksasi LTV sektor properti itu dimaksudkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan, dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Kebijakan yang berlaku per 1 Agustus nanti meliputi empat aspek, yang diharapkan mendukung kinerja sektor properti yang masih memiliki potensi akselerasi dan dampak pengganda besar terhadap perekonomian nasional.
Aspek pertama adalah pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio Financing to Value untuk pembiayaan properti. Kedua, pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden.
Ketiga, penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Kebijakan makroprudensial tersebut memperkuat kebijakan bank sentral sebelumnya terkait Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), yang bertujuan mendorong fungsi intermediasi perbankan dan memperkuat manajemen likuiditas perbankan.
Kebijakan ini juga bersinergi dengan kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) Rata-rata Rupiah sebagai bagian dari reformulasi operasional kebijakan moneter, yang bertujuan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan, serta mendukung pendalaman pasar keuangan.
Ketiga beleid itu berlaku mulai 16 Juli 2018 untuk perbankan konvensional dan mulai 1 Oktober 2018 untuk perbankan syariah Relaksasi LTV dan FTV tentu saja disambut baik oleh pelaku usaha. Dengan adanya energi baru buat pengembang maupun masyarakat ini, penjualan properti diprediksi bisa terdongkrak sedikitnya 10% pada 2018. Apalagi, BI membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama semua tipe.
Pelonggaran LTV bisa membuka pasar baru di kalangan yang selama ini belum mampu memiliki properti, karena besarnya uang muka (DP) yang harus disediakan. Kalangan muda yang baru bekerja yang belum banyak simpanan, tentu saja sangat diuntungkan dengan beleid tersebut.
Dari sisi demand pun kebijakan untuk menggerakkan ekonomi ini tentunya harus segera didukung pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, dan lembaga keuangan yang lain. Ini misalnya, bunga kredit konstruksi tidak dikerek pasca-BI menaikkan bunga acuan, karena tingkat bunga saat ini saja sudah memberatkan para pengembang. Bahkan, bunga kredit konstruksi untuk perumahan nonsubsidi yang masih mahal –berkisar 12-14%– perlu diturunkan menjadi single digit.
Bunga ini bisa ditekan dengan dukungan asuransi, agar risiko non-performing loan (NPL) mendekati nol. Selain itu, perizinan perlu disederhanakan dan dipercepat terutama di daerah yang masih banyak menghambat, sehingga pengembang tak perlu lagi menunggu dalam ketidakpastian dan kerugian hingga tahunan. Dengan demikian, akselerasi kredit maupun pertumbuhan ekonomi masih bisa diciptakan di tengah tekanan kuat global. (*)
🌹
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati asumsi makro dan target pembangunan dalam pembicaraan pendahuluan terkait dengan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2019. "Kami telah mencatat apa yang telah disampaikan oleh pimpinan dan seluruh anggota Komisi XI, dan nanti akan kami gunakan untuk penyusunan Nota Keuangan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 5 Juni 2018.
Dalam rapat kerja disepakati
rentang pertumbuhan ekonomi 5,2-5,6 persen,
inflasi 2,5-4,5 persen (year-on-year),
nilai tukar Rp 13.700-14.000 per dolar Amerika Serikat, dan
suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 4,6-5,2 persen. Kemudian terkait dengan target pembangunan disepakati
tingkat pengangguran terbuka 4,8-5,2 persen,
tingkat kemiskinan 8,5-9,5 persen,
rasio gini 0,38-0,39, dan
indeks pembangunan manusia (IPM) 71,98.
Asumsi makro dan target pembangunan tersebut nantinya digunakan pemerintah untuk menyusun Nota Keuangan Rancangan APBN 2019. "Tentu masukan dan berbagai pandangan dari pimpinan dan para anggota akan kami perhatikan di dalam penyusunan Nota Keuangan tersebut," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga mengatakan pembahasan pendahuluan dengan Komisi XI DPR dimaksudkan agar pemerintah tetap memiliki kewajiban membuat APBN sebagai instrumen yang kredibel dan efektif. "Namun, pada saat yang sama, kami juga memberikan optimisme yang bisa dipertanggungjawabkan," ucapnya.
Bila dibanding APBN 2018, khususnya terkait dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi, kurs rupiah, dan suku bunga SPN, asumsi makro dalam Rancangan APBN 2019 terlihat lebih moderat. Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, kurs Rp 13.400 per dolar Amerika, dan bunga SPN 3 bulan 5,2 persen.
Sedangkan dalam APBN 2018, tingkat pengangguran dipatok di kisaran 5-5,3 persen, tingkat kemiskinan 9,5-10 persen, indeks gini rasio 0,38, dan IPM 71,50. Adapun harga minyak mentah Indonesia (ICP) ditetapkan US$ 48 per barel, lifting minyak bumi 800 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1,2 juta barel setara minyak per hari.
ANTARA
🍏
JAKARTA okezone - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat dan meninggalkan level Rp14.000-an per USD pasca-kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).Melansir Bloomberg Dollar Index, Kamis (31/5/2018) pukul 08.53 WIB, Rupiah pada perdagangan spot exchange menguat 36 poin atau 0,26% ke level Rp13.957 per USD. Rupiah hari ini bergerak di kisaran Rp13.025-Rp14.029 per USD.
Sementara Yahoofinance mencatat, Rupiah menguat 35 poin atau 0,25% menjadi Rp13.950 per USD. Dalam pantauan Yahoofinance, Rupiah berada dalam rentang Rp13.938 per USD hingga Rp13.985 per USD.
Untuk diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Tambahan Bank Indonesia (BI) pada 30 Mei 2018 memutuskan untuk menaikkan 25 basis points (bps) 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-Day RR Rate). Suku bunga acuan kini berada di level 4,75% dari 4,50%.
Dengan demikian, selama bulan Mei terjadi kenaikan sebanyak 50 bps. RDG Tambahan ini juga menjadi yang pertama dipimpin Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI. Adapun suku bunga Deposit Facility (DF) tetap pada level 4,00% dan Lending Facility (LF) pada level 5,50%, berlaku efektif sejak 31 Mei 2018.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 30 Mei 2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 4,75%" ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Kantor Pusat BI, Jakarta kemarin.
🌹
Selanjutnya, kata Perry, bank sentral akan terus melakukan intervensi ganda, yaitu tidak hanya di pasar valas tetapi juga pembelian SBN di pasar sekunder.
Adapun langkah yang akan ditempuh melalui koordinasi dengan pemerintah diperkuat karena masalah nilai tukar tidak hanya terkait dengan masalah devisa, tapi juga masalah mengatasi defisit transaksi berjalan, defisit fiskal, dan kebiajkan sektor riil.
BI juga akan mengadakan pertemuan dengan perbankan dan dunia usaha untuk melihat bagaimana permasalahan mereka dalam konteks supplay and demand valas.
Menurut Perry, pertemuan tersebut diperlukan untuk membangun confidence dan membangun ekspektasi bahwa pergerakan nilai tukar relatif stabil. Pasalnya, di antara para pengusaha, saat ini ekspektasi mengenai nilai tukar sudah melebar dan banyak yang memperkirakan nilai tukar tidak pada suatu assessment ekonomi yang baik dan ada kecenderungan ekonomi masih over shooting.
“Saya katakan, BI fokus untuk stabilitas. Instrumen moneter prioritasnya stability,” tegas dia.
Terkait pelemahan nilai tukar, ia menegaskan tidak memiliki niat untuk melakukan capital control. Hasil beberapa pengujian menyebutkan bahwa pergerakan nilai tukar terkait dengan sejumlah faktor, termasuk faktor fundamental seperti inflasi, current account deficit, pertumbuhan ekonomi, juga faktor teknikal dan pasar. “Nilai tukar sekarang masih overshooting,” papar dia.
Perry menegaskan, posisi cadangan devisa (cadev) masih jauh lebih cukup untuk impor dan membayar utang luar negeri, bahkan juga dapat untuk memitigasi kemungkinan pembalikan modal ke luar negeri. . (ns)
Baca selanjutnya di http://id.beritasatu.com/home/cadev-cukup-untuk-biayai-impor-85-bulan/176189
🍀
INILAHCOM, Jakarta - Bank Indonesia (BI) meningkatkan pengawasan dan mitigasi terhadap potensi keluarnya modal asing menjelang rapat The Federal Reserve AS (FOMC) pada 14 Juni 2018.
Bukan apa-apa, arus modal keluar alias capital outflow, berdampak luar biasa. Nilai tukar rupiah semakin tenggelam serta memengaruhi likuiditas negara. Kondisinya makin runyam manakala negara perlu US$ dalam jumlah besar untuk membayar utang. Hal inilah yang dikhawatirkan melahirkan krisis moneter.
Oleh karena itu, Bank Sentral akan menentukan kebijakan untuk menstabilisasi pasar keuangan, termasuk mengendalikan nilai tukar rupiah dan juga langkah antisipasi tekanan sepanjang 2018, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) ekstra (tambahan) pada 30 Mei 2018.
"Karena kami jika ingin melakukan respon cepat, Rapat Dewan Gubernur bisa ditambah. Disamping juga sekaligus langkah 'pre-emptive' (antisipasi) untuk FOMC tanggal 14 juni yang akan datang," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo di Jakarta, Senin (28/5/2018).
Rapat Dewan Gubernur tambahan ini digelar sebelum pertemuan FOMC The Federal Reserve, dan hanya berselang dua pekan setelah BI menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada 17 Mei 2018.
Pelaku pasar keuangan global, ujar Perry, berekspetasi The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 3-4 kali tahun ini, termasuk yang kedua kali pada Juni 2018 mendatang.
Maka itu, Perry melihat tekanan keluarnya arus modal asing yang bisa menurunkan nilai tukar, masih akan membayangi pasar keuangan dalam negeri. Tekanan modal keluar juga datang dari membaiknya data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dan ekspansifnya kebijakan fiskal AS yang menaikkan imbal hasil obligasi Treasury Bill bertenor 10 tahun.
Perry, yang baru dilantik pada 24 Mei 2018, berkali-kali melontarkan janjinya untuk menerapakan kebijakan moneter yang antispatif (pre-emptive) dan mendahului tekanan yang akan datang (ahead of the curve). "Fokus kami jangka pendek melalui kebijakan moneter adalah untuk stabilias nilai tukar," ujarnya.
Perry juga dalam waktu dekat akan menelurkan kebijakan makroprudensial melalui relaksasi Kredit Pemilikan Rumah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, BI melihat pertumbuhan ekonomi domestik bisa mencapai 5,2% (YoY).
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah dan Bank Indonesia, beserta anggota lain dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) siap menerapkan kebijakan tegas untuk mengantisipasi tekanan eksternal yang bisa mengganggu stabilitas perekonomian.
Kemenkeu juga berkoordinasi dengan BI di pasar Surat Berharga Negara (SBN) untuk menjaga pergerakkan imbal hasil obligasi tetap rasional. "Seluruh komponen KSSK akan terus meningkatkan kewaspadaan dan kita tidak akan segan untuk mengambil tindakan," ujar dia. [tar]
🌷
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, implementasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sangat kuat dan sehat. Hal itu didukung oleh penerimaan pajak dan efisiensi belanja negara.
Sri menyebutkan, sampai April 2018, penerimaan pajak tumbuh 14,9 persen. Dengan rincian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 14,1 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) badan tumbuh 23,6 persen.
"PPh badan pertumbuhannya tutup across the board merata di semua sektor. Meskipun sektor tertentu menunjukkan lebih tinggi, tapi pertumbuhan rata-rata PPh badan, apalagi setelah selesai tax amnesty, maka sektor usaha di Indonesia mengalami peningkatan," jelas Ani di Jakarta, Senin, (28/5).
Lebih lanjut, kata dia, APBN sebagai instrumen fiskal memiliki ruang yang cukup. Pemerintah akan terus menjaga agar memiliki instrumen apabila diperlukan dalam menghadapi ketidakpastian eksternal.
Hal itu, penting bagi pemerintah dan regulator agar seluruh instrumen kebijakan berjalan. Karena itu, kata Sri, kebijakan fiskal akan dilakukan secara hati-hati agar tetap efektif. Di antaranya dengan menjaga pelaksanaan APBN 2018 supaya terus kredibel.
"Dengan demikian, instrumen fiskal juga bisa diandalkan, bersama BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam menjaga stabilitas dari sosi pembangunan," tutur Ani.
Kementerian Keuangan, kata dia, selalu bekerja sama pula dengan seluruh menteri ekonomi untuk menjaga keinginan serta urgensi stabilitas jangka pendek. Pengelolaan fiskal dan APBN tetap dalam arah UU APBN 2018. "Kami akan terus fokus memobilisasi penerimaan negara namun tidak dengan mengganggu iklim investasi. Jadi kita terus hati-hati," katanya.
Saat ini, ia menambahkan, pemerintah sedang fokus mencari cara mendorong efisiensi belanja negara. Terutama belanja barang yang selama ini, Presiden dan Wakil Presiden menekankan Kementerian Keuangan meneliti lebih dalam terhadap belanja yang tidak efisien. "Hal itu dengan keseimbangan primer yang terus mengecil. Kami desain keseimbangan primer menuju positif dalam jangka menengah," tutur Ani.
Sebelumnya, Menko Perekonomian, menegaskan kondisi perekonomian Indonesia secara umum baik dan kuat. Tekanan pada stabilitas nilai tukar rupiah pun dinilai lebih dipengaruhi oleh meningkatnya ketetapan likuiditas dan risiko ekonomi global karena inisiatif serta berbagai perubahan kebijakan di Amerika Serikat (AS).
Menurut Darmin, pemerintah bersama regulator yakni Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan penguatan koordinasi. "Tujuannya untuk memprioritaskan stabilitas jangka pendek dengan tetap mendorong pertumbuhan pada jangka menengah," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin, (28/5).
🍉
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan pada Rabu, 30 Mei 2018 mendatang. Tanpa menggantikan RDG bulanan yang telah terjadwal, RDG tambahan itu rencananya akan membahas kondisi ekonomi dan moneter terkini serta prospek ke depan.
Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, kemungkinan RDG tambahan itu dilakukan untuk menyamakan persepsi antar anggota dewan gubernur, khususnya dengan gubernur BI yang baru.
Menurutnya, secara kebijakan, tidak ada perbedaan antara Gubernur BI yang baru dengan yang sebelumnya.
Dalam jangka pendek, fokus BI tetap pada stabilisasi nilai tukar. Hanya saja, "Perry sedikit lebih eksplisit dalam mengomunikasikan arah kebijakan ke pasar," kata Febrio kepada KONTAN, Minggu (27/5).
Terkait kemungkinan penyesuaian bunga acuan dalam RDG tambahan tersebut mengingat kebijakan suku bunga yang akan dilakukan Perry lebih preemptive, front loading, dan ahead the curve Febrio bilang BI harus memantau pasar.
Sebab, "Beberapa hari terakhir ini ada perlambatan capital flow ke dollar Amerika Serikat (AS). Beberapa sudah mulai masuk lagi ke emerging market seperti rupee, termasuk rupiah," tambahnya.
Lebih lanjut menurut Febrio, kebijakan moneter melalui suku bunga, bisa dilakukan secara preemptive. Akan tetapi hal itu tidak mudah dilakukan.
Sebab, kebijakan preemtive adalah kebijakan yang tepat diambil sesuai dengan arah pasar sebelum pasar bergerak. Dengan demikian, arah dan kecepatan perubahan di pasar harus bisa diprediksi dengan tepat dan direspon dengan kebijakan.
"Semua pelaku pasar keuangan berlomba melakukan ini. Biasanya untuk return. BI di sisi lain melakukan ini dengan misi stabilisasi," tandasnya.
🌷
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan mata uang Garuda masih belum stabil meski selama akhir pekan ini, rupiah menguat. Pada Jumat (25/5), nilai tukar rupiah menguat 0,05% ke level Rp 14.125 per dollar AS. Sepekan terakhir, penguatan mata uang Garuda sekitar 0,21%.
Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong, menjelaskan, rupiah dalam sepekan ke depan masih berkemungkinan untuk melemah. Hal ini dikarenakan banyak data-data penting yang akan dikeluarkan oleh Amerika maupun Inggris.
"Data-data yang dirilis tentu akan mempengaruhi pengerakan mata uang terutama dollar AS. Jika data tersebut dikatakan bagus, bisa saja mendukung dollar AS semakin menguat sedangkan mata uang lain dan rupiah melemah," katanya kepada Konntan.co.id.
Menurut Lukman, tidak hanya rupiah yang melemah namun hampir semua mata uang di Asia juga melemah dengan penguatan dollar AS.
Karena dollar dianggap sebagai pacuan utama semua mata uang dan pergerakannya juga sangat mempengaruhi yang lain.
Lukman memproyeksi, Senin (28/5), rupiah berada dalam rentang Rp 14.100 hingga Rp 14.050 per dollar AS.
Adapun, untuk sepekan ke depan, Lukman memprediksikan rupiah berada di rentang Rp 14.050- hingga Rp 14.150 per dollar AS.
🌸
Warta Ekonomi.co.id, Sukoharjo -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan utang Indonesia terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun.
"Sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang keuangan, setiap tahun kita tidak boleh utang lebih dari 3 persen dari total kue ekonomi kita," tuturnya pada Kuliah Umum di Kampus IAIN Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (26/5/2018).
Menurut dia, untuk kue ekonomi Indonesia atau produk domestik bruto di Indonesia saat ini sebesar Rp14.000 triliun. Ia mengatakan jika pada tahun sebelumnya utang Indonesia berada pada angka
2016: 2,99 persen, tahun lalu turun menjadi
2017: 2,55 persen, dan tahun ini kembali turun menjadi
2018: 2,19 persen.
"Pemerintah menargetkan pada tahun depan, utang kita bisa turun
2019: 2 persen
dari angka saat ini," katanya.
Masih berdasarkan UU Keuangan, dikatakannya, batas maksimum utang total tidak boleh lebih besar dari 60 persen dari PDB dalam negeri. Oleh karena itu, jika melihat PDB Indonesia sekitar Rp14.000 triliun, batas maksimum utang bisa mencapai Rp8.400 triliun.
"Padahal sekarang utang kita sekitar Rp4.000 triliun," katanya.
Terkait hal itu, ia menyayangkan pernyataan mengenai utang negara yang seakan-akan memojokkan pemerintah.
"Utang ini bukan seenaknya Menteri Keuangan, semua sudah diatur dalam undang-undang," katanya.
Selama ini, dikatakannya, utang masa lalu Indonesia juga telah dibayarkan tetapi ada pengajuan utang baru. Menurut dia, utang baru tersebut dampak dari neraca perdagangan dalam negeri yang mengalami defisit.
"Untuk diketahui, penerimaan negara yang di antaranya berasal dari pajak dan hibah sebesar Rp1.890 triliun, sedangkan untuk kebutuhan belanja negara sekitar Rp2.200 triliun. Pada prinsipnya kita mengalami defisit sekitar Rp325 triliun," pungkasnya.
Ia mengatakan tingginya kebutuhan belanja negara tidak lepas dari banyaknya subsidi dari pemerintah yang masih dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga terus membenahi infrastruktur untuk kemudahan hidup masyarakat termasuk untuk perkembangan industri di dalam negeri. (HYS/Ant)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan utang Indonesia terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun.
"Sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang keuangan, setiap tahun kita tidak boleh utang lebih dari 3 persen dari total kue ekonomi kita," tuturnya pada Kuliah Umum di Kampus IAIN Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (26/5/2018).
Menurut dia, untuk kue ekonomi Indonesia atau produk domestik bruto di Indonesia saat ini sebesar Rp14.000 triliun. Ia mengatakan jika pada tahun sebelumnya utang Indonesia berada pada angka
2016: 2,99 persen, tahun lalu turun menjadi
2017: 2,55 persen, dan tahun ini kembali turun menjadi
2018: 2,19 persen.
"Pemerintah menargetkan pada tahun depan, utang kita bisa turun
2019: 2 persen
dari angka saat ini," katanya.
Masih berdasarkan UU Keuangan, dikatakannya, batas maksimum utang total tidak boleh lebih besar dari 60 persen dari PDB dalam negeri. Oleh karena itu, jika melihat PDB Indonesia sekitar Rp14.000 triliun, batas maksimum utang bisa mencapai Rp8.400 triliun.
"Padahal sekarang utang kita sekitar Rp4.000 triliun," katanya.
Terkait hal itu, ia menyayangkan pernyataan mengenai utang negara yang seakan-akan memojokkan pemerintah.
"Utang ini bukan seenaknya Menteri Keuangan, semua sudah diatur dalam undang-undang," katanya.
Selama ini, dikatakannya, utang masa lalu Indonesia juga telah dibayarkan tetapi ada pengajuan utang baru. Menurut dia, utang baru tersebut dampak dari neraca perdagangan dalam negeri yang mengalami defisit.
"Untuk diketahui, penerimaan negara yang di antaranya berasal dari pajak dan hibah sebesar Rp1.890 triliun, sedangkan untuk kebutuhan belanja negara sekitar Rp2.200 triliun. Pada prinsipnya kita mengalami defisit sekitar Rp325 triliun," pungkasnya.
Ia mengatakan tingginya kebutuhan belanja negara tidak lepas dari banyaknya subsidi dari pemerintah yang masih dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga terus membenahi infrastruktur untuk kemudahan hidup masyarakat termasuk untuk perkembangan industri di dalam negeri. (HYS/Ant)
🌸
JAKARTA nikkei -- Bank Indonesia, the country's central bank, on Friday announced that it would hold an additional monetary policy meeting on May 30, with a possibility that it will raise its key interest rate for the second time this month.
The central bank, which only last week raised its benchmark seven-day repo rate by 25 basis points to 4.50% -- the first interest rate rise since November 2014 -- said in a short statement that it would discuss "current economic monetary conditions and future prospects."
The primary focus of the meeting will be on whether to raise its key interest rate again in order to stabilize the Indonesian rupiah. As the U.S. Federal Reserve continues its monetary policy normalization, foreign investors have sold Indonesian currency to buy U.S. dollars. The rupiah continued to weaken against the U.S. dollar even after the rate hike on May 17, and on Wednesday, it fell to its lowest rate against the dollar since October 2015. It has fallen around 4% against the greenback since the start of the year.
This will be the first monetary policy meeting chaired by the bank's new Governor Perry Warjiyo, who was sworn in on Thursday. He said after the swearing-in ceremony that his "short-term priority is to strengthen the rupiah stability measures" and that the bank "plans to be more pre-emptive".
🌹
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sofjan Wanandi menganggap Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berpengalaman dalam menangani permasalah keuangan di Indonesia. Perry dianggap tahu akar permasalahannya dan strategi menyelesaikan masalah seperti pelemahan rupiah hingga defisit anggaran. Namun, Sofjan yang juga pengusaha itu meminta agar BI tidak terlalu gampang menaikkan suku bunga. "Jangan cepat juga naikkan interest rate. Susah juga pengusaha," ujar Sofjan saat ditemui di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/5/2018). Sebelumnya, BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen. Selain itu, Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga Deposit Facility 25 bps menjadi 3,75 persen dan suku bunga Lending Facility naik 25 bps jadi 5,25 persen. Kenaikan ini berlaku efektif sejak 18 Mei 2018. Baca juga: Inflasi AS Naik di Kisaran 2 Persen, The Fed Belum Naikkan Suku Bunga Kebijakan itu ditempuh untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia di tengah kondisi ketidakpastian global yang berdampak pasa inflasi. Namun, kata Sofjan, naiknya suku bunga merugikan pengusaha karena ongkos produksinya juga naik. "Kita harus lihat bagaimana cara paling baik tindakan kita. Naikkan interest rate atau biarkan interest rate dengan dollar 14.200," kata Sofjan. Sebab, kata dia, jika terus dilakukan intervensi maka akan habis devisa negara. Apalagi ekspor Indonesia masih lesu. "Ekspor kita lebih rendah dari impor. Ini soal yang tidak gampang, tapi harus dilakukan," kata Sofjan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sofjan: BI Jangan Cepat Naikkan "Interest Rate", Susah juga Pengusaha", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/24/212200726/sofjan--bi-jangan-cepat-naikkan-interest-rate-susah-juga-pengusaha.
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Editor : Erlangga Djumena
🍅
Bisnis.com, JAKARTA – Hari ini, Kamis (24/5//2017, Perry Warjiyo diambil sumpahnya sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2018-2023 oleh Ketua Mahkamah Agung RI hari ini, Kamis (24/5/2018) pukul 10.00 WIB.
Sumpah jabatan akan langsung dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali di Ruang Prof. Dr. Kusuma Atmadja Tower MA RI, Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Gubernur BI 2013-2018 Agus D.W. Martowardojo, Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara, serta jajaran Deputi Gubernur, dan seluruh pejabat BI akan menyaksikan acara pengambilan sumpah jabatan tersebut.
Setelah pengambilan sumpah, serah terima jabatan akan dilakukan dari Mirza Adityaswara kepada Perry Warjiyo. Hal ini dilakukan mengingat masa jabatan Agus D.W. Martowardojo sebagai Gubernur BI telah selesai pada 23 Mei 2018.
Usai diambil sumpahnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menerima ucapan selamat dari sejumlah menteri, serta pejabat pemerintah.
Hadir memberikan selamat Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri PAN-RB Asman Abnur.
Selain itu, Mantan Gubernur Boediono turut memberikan ucapan selamat bersama dengan Ketua OJK Wimboh Santoso, Ketua LPS Halim Alamsyah.
Perry Warjiyo resmi dilantik sebagai Gubernur BI 2018-2023 melalui Kepres no.70/P/2018 tanggal 16 April 2018.
🌷
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis multifinance kini menjadi sorotan! Penyebabnya: kasus gagal bayar bunga utang medium term notes (MTN) milik PT Sunprima Nusantara Pembiayaan atau SNP Finance.
SNP Finance kini juga harus berurusan dengan pengadilan lantaran menghadapi proses permohonan kewajiban pembayaran utang (PKPU) alias restrukturisasi utang. Tak pelak, ini akan menambah daftar panjang multifinance yang masuk PKPU.
BACA JUGA
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga bergegas membekukan kegiatan usaha SNP Finance. Hanya, ini bukan berarti kasus selesai. Lantartan, banyak investor ritel yang juga menjadi korban atas gagal bayar SNP Finance ini.
Nyatanya, SNP bukan satu-satunya perusahaan pembiayaan bermasalah. OJK mengaku, telah membekukan kegiatan usaha empat multifinance lain karena tak mampu menjaga neraca keuangan.
Mereka adalah PT Asia Multidana, PT Capitalinc Finance, PT PANN Pembiayaan Maritim, serta PT Kembang 88 Multifinance. OJK tengah melihat perkembangan kesehatan keuangan mereka. Jika bisa memperbaiki, bisnisnya berlanjut. Jika tidak, pencabutan izin menanti.
Selain lima multifinance itu, Kepala Departemen Pengawasan IKNB OJK IIB Bambang W. Budiawan mengatakan, masih ada delapan multifinance lain yang bermasalah. OJK juga telah memberikan sanksi atau peringatan atas perusahaan itu.
Multifinance ini bermasalah dari sisi rasio kesehatan keuangan, dan tidak mempedulikan sanksi dari OJK. "Ada juga masalah antar pemegang saham, tapi tak dilaporkan ke OJK," jelas Bambang. Ada pula masalah ringan, seperti tidak melengkapi syarat jumlah kepengurusan.
Hanya OJK tak mau membeberkan nama-nama mereka. Kendati banyak multifinance bermasalah, Deputi Komisioner Pengawas IKNB I OJK Moch. Ihsanuddin yakin, bisnis multifinance masih kuat.
Dari 191 perusahaan pembiayaan, sebanyak 88% perusahaan pembiayaan sehat secara keuangan dan kinerja. Sisanya bermasalah.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebut, faktor eksternal dan internal yang membuat banyak multifinance bermasalah. Kondisi ekonomi yang membuat penyaluran pembiayaan seret dan kredit macet membesar.
Penyebab lain masalahan internal. Menurutnya, multifinance bermasalah mayoritas pemain dengan kategori aset di bawah Rp 1 triliun. Cuma, masalah jadi rumit jika ada korban yakni investor ritel.
🌸
INILAHCOM, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia di akhir kuartal I-2018 mencapai US$358,7 miliar. Atau setara Rp5.022 triliun (kurs Rp14 ribu/US$). Dengan catatan ini maka, ULN mengalami kenaikan 8,7% secara tahunan atau year on year (yoy) jika dibandingkan kuartal I-2017. Menilik Statistik ULN di kuartal I- 2018 yang diumumkan BI di Jakarta, Selasa (15/5/2018), utang tersebut terdiri atas utang pemerintah dan BI sebesar US$184,68 miliar. Atau setara Rp2.585 triliun. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 11,04% (yoy) dibandingkan Maret 2017 yang tercatat US$166,31 miliar. Sebaliknya, ULN swasta justru melambat ketimbang utang pemerintah-BI. Utang Luar Negeri Swasta pada Maret 2018 tercatat US$174,05 miliar, atau naik 6,3% dari kuartal I-2017 yang mencapai US$163,73 miliar. Di mana, ULN di akhir kuartal I-2018 ini, lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal IV-2017 yang mencapai 10,4% (yoy). [tar]
🍋
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini lebih kuat, yang ditandai oleh realisasinya yang positif. Salah satunya terlihat dari defisit anggaran yang menurun.
Menkeu bilang, defisit anggaran hingga akhir April 2018 tercatat sebesar Rp 55,1 triliun.
Angka ini jauh lebih rendah dari akhir Maret 2018 yang mencapai Rp 85,78 triliun dan lebih rendah dari April 2017 yang sebesar Rp 72,2 triliun.
"Bahkan, keseimbangan primer kita surplus Rp 24,2 triliun, jauh lebih besar dibanding tahun lalu pada periode yang sama sebesar Rp 3,7 triliun," kata Sri Mulyani di konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu), Jumat (11/5/2018).
Dari sisi penerimaan, hingga akhir bulan lalu pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 416,9 triliun.
Baca: Naik Jet Pribadi, Najib Razak Dikabarkan Terbang ke Jakarta Tapi Namanya Tak Terdaftar di Manifes
Sri Mulyani mengatakan, angka itu tumbuh 25,8% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Untuk penerimaan pajak saja, tumbuh 11,2% jika memasukkan penerimaan tax amnesty dan tumbuh hampir 15% apabila tanpa memasukkan penerimaan tax amnesty.
Kontribusi utama penerimaan pajak, yakni dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang tumbuh 14,1% dan pajak penghasilan (PPh) yang non migas yang tumbuh 17,3% tanpa memasukkan tax amnesty.
Selain itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumberdaya alam dan penerimaan cukai juga meningkat dibanding tahun lalu.
Dari sisi belanja, Sri Mulyani mengklaim seluruh belanja kementerian dan lembaga (K/L) meningkat.
"Oleh karena itu dia bisa menyumbangkan faktor positif ke pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama. Momentum belanja ini diharapkan terjaga hingga akhir 2018," tambah Sri Mulyani.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Defisit Anggaran Pemerintah Akhir April Rp 55,1 Triliun, http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/05/12/defisit-anggaran-pemerintah-akhir-april-rp-551-triliun.
Editor: Choirul Arifin
🌸
Bisnis.com,JAKARTA - Tokoh Rizal Ramli yang sudah dijodohkan oleh sebuah organisasi buruh untuk berpasangan dengan Prabowo Subianto diminta untuk tidak membodohi publik.
Permintaan tersebut diutarakan oleh Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Tax Analysis (CITA). Dalam cuitannya di akun twitter @pastow, Jumat (11/5/2018), dia mengatakan bahwa di zaman Rizal Ramli menjadi Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri (Ekuin) dan Menteri Keuangan setahun berikutnya, debt service ratio (DSR) pemerintah mencapai 34% sama dengan DSR 2017.
“Kata beliau, DSR saat ini bahaya dan melanggar aturan 20% dengan rujukan yang tidak jelas,” ujar Yustinus Prastowo.
Karena itulah, dengan menggunakan Bahasa Jawa, Yustinus meminta agar Rizal Ramli bercermin pada diri sendiri dan tidak membodohi publik. Dia juga melampirkan sebuah grafik tentang DSR pemerintah dari tahun ke tahun sejak awal reformasi.
Dia mengatakan bahwa DSR sejak reformasi terjadi di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan menteri seperti Sri Mulyani Indrawati, Agus Martowardojo serta Muhammad Chatib Basri dan bukan Rizal Ramli. DSR terbaik itupun menurutnya diperoleh akibat berkah ekspor komoditas yang tinggi di era tersebut.
Rupanya cuitan Yustinus Prastowo tersebut merupakan tanggapan dari sebuah siaran televisi swasta yang menayangkan sebuah diskusi dengan salah satu pemateri adalah Rizal Ramli. Dia meyayangkan para penanggap dalam acara tersebut mayoritas tidak beradu data sehingga terkesan apa yang dituturkan Rizal Ramli benar adanya.
“Inilah kehebatan teknik hegemoni.” katanya.
Lalu, adakah tanggapan dari Rizal Ramli? Menurut pengakuan Yustinus, akun twitternya telah diblok oleh Rizal Ramli sehingga tidak bisa me-mention akun twitter @RamliRizal milik mantan Menko Maritim tersebut.
Lalu bagaimana tanggapan pengguna akun twitter lainnya? Akun @agungpurwoko menyatakan bahwa DSR naik merupakan implikasi keinginan pemerintah menjadi sumber pertumbuhan di tengah sektor lainnya masih mengambil sikap wait and see.
Akun lainnya, @si_euy mengatakan langkah Sri Mulyani menolak berdebat dengan Rizal Ramli sudah tepat karena Rizal Ramli sedang mencari panggung. Sebelumnya dia telah diberi kepercayaan menjadi menteri namun dianggap bikin gaduh dan tidak berprestasi.
Perlu diketahui, DSR merupakan jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Jika DSR semakin besar, maka beban utang luar negeri semakin berat.
🍁
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis Bank Indonesia (BI), kurs rupiah pada Kamis (3/5) berada di level Rp 13.965 per dollar AS.
Pelemahan nilai tukar itu menjadi level terdalam sejak akhir 2015. Pada 18 Desember 2015, rupiah juga sempat melemah hingga ke level Rp 14.032 per dollar AS. Dengan rupiah yang terus melemah, posisi cadangan devisa Indonesia pada April dan Mei 2018 diperkirakan akan terus tergerus untuk intervensi rupiah.
BACA JUGA
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan dalam jangka pendek pelemahan rupiah akan menggerus cadangan devisa. Apalagi pelemahan rupiah yang terjadi di bulan April lalu cukup besar. "Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selama bulan April cukup besar. Apalagi rupiah juga sempat hampir mendekati Rp 14.000 per dollar AS," kata Josua kepada KONTAN, Kamis (3/5).
Walau pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) valuta asing dual currency senilai US$ 1 miliar dan 1 miliar, namun menurut Josua, hal itu belum bisa mengompensasi penurunan cadangan devisa untuk intervensi rupiah yang dilakukan oleh otoritas moneter.
Oleh karena itu dia memperkirakan, posisi cadangan devisa pada akhir April 2018 akan turun hingga mencapai US$ 123 miliar-US$ 124 miliar. Angka itu lebih rendah US$ 2 miliar-US$ 3 miliar dibanding akhir bulan Maret 2018.
Menurut Josua, sampai saat ini BI masih melihat pelemahan rupiah yang terjadi hanya bersifat sementara. Oleh karena itu dia melihat, BI belum akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunganya hingga akhir tahun ini. "Paling cepat, BI lakukan penyesuaian di semester pertama tahun depan," tambah Josua.
Apalagi Josua mencatat, depresiasi kurs rupiah sejak awal tahun atau year to date (YTD) sejak 1 Januari hingga Kamis (3/5) mencapai 2,8%. Pelemahan ini masih lebih rendah dibanding mata uang lain seperti rupee India yang sebesar 4%, peso Filipina 3,4%, lira Turki hampir 9%, dan real Brazil 6,8%.
Selain faktor musim pembayaran kewajiban ke luar negeri, Josua bilang volatilitas rupiah yang terjadi saat ini juga merupakan reaksi atas antisipasi kepastian kenaikan suku bunga The Fed. Tahun ini, pasar memproyeksikan kenaikan bunga acuan The Fed bisa naik hingga empat kali.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih memperkirakan, posisi cadangan devisa akhir April 2018 bisa tergerus lebih hingga mencapai US$ 4 miliar. Namun karena pemerintah menerbitkan SBN dalam dual currency di akhir April lalu, penurunan cadangan devisa bisa diredam. "Penerbitan global bond bisa mengurangi tekanan. Bisa turun hanya US$ 2 miliar saja," kata Lana.
"Indonesia tidak panik. Kita yakinkan kita punya devisa yang cukup untuk jaga ekonomi kita," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di sela Festival Ekonomi Syariah Regional di Semarang, Rabu (2/5/2018).
Pernyataan Agus tersebut untuk merespons kembali melemahnya nilai tukar rupiah pada Senin ini. Kurs refrensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI pada Senin ini menyebutkan nilai tukar rupiah sebesar Rp13.936 per USD atau menunjukkan pelemahan 59 poin dibandingkan dengan Jumat yang sebesar Rp13.877 per USD.
Rupiah melemah awal pekan ini karena pelaku pasar berkeyakinan inflasi di Amerika Serikat akan meningkat pada beberapa bulan mendatang. Pasalnya biaya bahan baku di negara Paman Sam itu meningkat dan juga beberapa indikator inflasi di AS menunjukkan laju inflasi makin mendekati target Bank Sentral Federal Reserve di 2,0 persen.
Adapun hingga akhir Maret 2018, cadangan devisa Indonesia sebesar 126 miliar dolar AS atau turun 2,06 miliar dolar AS dari jumlah pada Februari 2018. Salah satu penyebab penurunan devisa itu untuk stabilisasi nilai tukar rupiah di pasar.
BI akan mengumumkan cadangan devisa April 2018 pada 8 Mei 2018.
Selain devisa yang mencukupi, Agus mengatakan BI juga sedang memperkuat kerja sama dengan sesama kolega Bank Sentral di negara-negara lain untuk memperkuat ketahanan lapis kedua perekonomian (second line of defense) agar menjamin ketersediaan likuiditas valuta asing.
Saat ini, BI memiliki second line of defense dalam bentuk kemitraan bilateral untuk menjaga likuiditas valas melalui swap atau billateral currency swap agreement (BCSA) dan juga dalam cakupan mutilateral seperti "Chiang Mai Initiative Multilateralisation".
"Kita juga punya hubungan dengan bank-bank sehtral mitra kerja kita untuk sama sama menjaga likuiditas," ujarnya.
Agus kembali menekankan arah kebijakan moneter BI saat ini adalah membuka peluang untuk penyesuaian suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate jika tekanan terhadap rupiah terus berlanjut serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan mengganggu stabilitas sistem keuangan.
"Rupiah memang ada tekanan di dua pekan terakhir karena tekanan ekonomi eskternal, tetapi begitu juga mata uang negara-negara lain. Pelemahan rupiah 0,88 persen sejak 1 hingga 26 April 2018 (month to date/mtd). Negara-negara lain melemah lebih dalam dari itu," kata Agus.
🌳
JAKARTA sindonews - Bank Indonesia (BI) disarankan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Repo Rate untuk menyelamatkan nilai tukar rupiah sehingga tidak jatuh semakin dalam. Meski begitu, Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara menilai BI dihadapkan oleh keputusan yang dilematis.
Menurutnya penurunan suku bunga acuan seharusnya dilakukan sebelum rupiah mengalami pelemahan. Lantaran beberapa negara di Asia Tenggara lainnya telah melakukan perubahan pada suku bunga mereka.
"Jadi langkah BI yang akan menaikkan bunga acuan untuk menahan keluarnya dana asing, bisa dikatakan sedikit terlambat. Bank sentral di Malaysia dan Singapura lebih dulu menaikkan bunga acuannya mengikuti kenaikan Fed rate," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Sabtu (28/4/2018).
(Baca Juga: Rupiah Dekati Rp14.000/USD, BI Intervensi di Pasar Valas dan SBN)
Lebih lanjut terang dia tekanan global masih akan terus berlanjut dan mempengaruhi nilai tukar rupiah pada dolar Amerika Serikat (USD). Tentunya sambung dia, pilihan menaikan suku bunga acuan merupakan sesuatu yang dilematis.
"Disatu sisi tekanan global dipastikan terus berlanjut hingga akhir tahun. Memang ini pilihan dilematis untuk naikkan bunga acuan, karena disatu sisi bunga bank rendah tetap diperlukan pelaku usaha dalam negeri. Tapi disisi yang lain rupiah melemah efeknya juga besar," paparnya.
Dia menambahkan, BI juga terkesan sedikit cemas dengan mengintervensi cadangan devisa saat tidak mampu angkat rupiah. Dengan kondisi itu bisa saja membuat cadangan devisa yang semakin tergerus.
"Menaikkan suku bunga acuan merupakan opsi yang tak bisa ditunda lagi. Jika BI 7 days repo rate naik 25-50 bps, maka nilai aset baik surat utang maupun saham akan lebih menarik dimata investor," tukasnya.
Menurutnya penurunan suku bunga acuan seharusnya dilakukan sebelum rupiah mengalami pelemahan. Lantaran beberapa negara di Asia Tenggara lainnya telah melakukan perubahan pada suku bunga mereka.
"Jadi langkah BI yang akan menaikkan bunga acuan untuk menahan keluarnya dana asing, bisa dikatakan sedikit terlambat. Bank sentral di Malaysia dan Singapura lebih dulu menaikkan bunga acuannya mengikuti kenaikan Fed rate," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Sabtu (28/4/2018).
(Baca Juga: Rupiah Dekati Rp14.000/USD, BI Intervensi di Pasar Valas dan SBN)
Lebih lanjut terang dia tekanan global masih akan terus berlanjut dan mempengaruhi nilai tukar rupiah pada dolar Amerika Serikat (USD). Tentunya sambung dia, pilihan menaikan suku bunga acuan merupakan sesuatu yang dilematis.
"Disatu sisi tekanan global dipastikan terus berlanjut hingga akhir tahun. Memang ini pilihan dilematis untuk naikkan bunga acuan, karena disatu sisi bunga bank rendah tetap diperlukan pelaku usaha dalam negeri. Tapi disisi yang lain rupiah melemah efeknya juga besar," paparnya.
Dia menambahkan, BI juga terkesan sedikit cemas dengan mengintervensi cadangan devisa saat tidak mampu angkat rupiah. Dengan kondisi itu bisa saja membuat cadangan devisa yang semakin tergerus.
"Menaikkan suku bunga acuan merupakan opsi yang tak bisa ditunda lagi. Jika BI 7 days repo rate naik 25-50 bps, maka nilai aset baik surat utang maupun saham akan lebih menarik dimata investor," tukasnya.
(akr)
🍟
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan rating Indonesia dari Moody's pekan lalu, belum berdampak pada nilai tukar rupiah. Rencana bank sentral AS Federal Reserve menaikkan bunga acuannya (FFR) sampai tiga kali di tahun ini masih menjadi faktor utama pelemahan rupiah.
Mengutip kurs rupiah antarbank di Bank Indonesia (JISDOR), hari ini (20/4) rupiah melemah ke Rp 13.804 per dollar AS, dari posisi kemarin Rp 13.778. Padahal, kurs rupiah memulai bulan ini dengan Rp 13.765.
Rupiah tak kunjung bertaji meski pekan lalu Moody's menyematkan rating Indonesia Baa2 dengan outlook stabil.
"Tidak bisa dilihat serta merta, bahwa dengan adanya rating Moody's dan kondisi makroekonomi kita yang positif, bisa menahan pelemahan lebih dalam. Negara lain pun mengalami pelemahan," kata Dody Budi Waluyo, Deputy Gubernur BI yang baru saja dilantik hari Rabu kemarin (19/4).
Menurut Dody, apa yang harus diapresiasi adalah bagaimana pelemahan berlanjut dari rupiah bisa tertahan.
"Dengan risiko kenaikan Federal Fund Rating (FFR) hingga empat kali, stabilitas rupiah yang tetap terjaga harusnya lebih dapat diapresiasi," pungkasnya.
🌹
Warta Ekonomi.co.id, Jakarta -
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menceritakan pencapaian reformasi fiskal dan moneter Indonesia dalam 20 tahun terakhir pasca krisis finansial yang melanda Asia pada 1998. Hal itu dikisahkan Sri, dalam acara Gala Dinner US Indonesia Society (USINDO) di Washington DC, Amerika Serikat seperti dikutip dari laman Kementerian Keuangan di Jakarta, Kamis.
Mantan Direktur IMF itu mengatakan reformasi fiskal dan moneter yang telah dilakukan Indonesia mencakup reformasi dalam bidang kelembagaan atau institusi. Reformasi intitusi yang telah dilakukan antara lain menempatkan Bank Indonesia menjadi independen dari pemerintahan serta hadirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas sektor finansial Indonesia.
"Kami punya pengawas sektor keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menguatkan pengawasan pertumbuhan makro, kebijakan fiskal, moneter, perbankan, sistem dan regulasi keuangan," ujarnya.
Kemudian, reformasi lainnya mencakup pengelolaan anggaran, karena Indonesia sudah memiliki pencatatan aset negara dengan lebih baik. Sri Mulyani mengatakan laporan neraca keuangan terdahulu selalu memperoleh opini disclaimer karena tidak bisa dipastikan jumlah aset negara yang sebenarnya.
"Balance sheet (neraca keuangan) dulu adalah disclaimer karena kami tidak tahu berapa aset sesungguhnya dari pemerintah Indonesia karena tidak terdaftar dan diinventarisir," jelasnya.
Indonesia, tambah dia, kini menerapkan I-account untuk penyajian data yang lebih riil mengenai keuangan negara, sesuai dengan praktek global dalam pengelolaan fiskal.
"Kemudian kami mengubahnya dengan format I-account yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia," kata Sri Mulyani.
🌳
Warta Ekonomi.co.id, Jakarta -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi defisit anggaran APBN pada triwulan I-2018 telah mencapai 0,58 persen terhadap PDB atau sekitar Rp85,8 triliun.
"Realisasi defisit pada triwulan I APBN tahun 2018 turun dibandingkan periode yang sama pada tiga tahun terakhir," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers realisasi APBN triwulan I-2018 di Jakarta, Senin (16/4/2018).
Sri Mulyani mengatakan realisasi defisit anggaran ini lebih rendah dibandingkan periode 2015 sebesar 0,71 persen terhadap PDB, 2016 sebesar 1,13 persen terhadap PDB dan 2017 sebesar 0,76 persen terhadap PDB.
Ia menambahkan realisasi defisit anggaran ini berasal dari pendapatan negara yang hingga 31 Maret 2018 sudah mencapai Rp333,8 triliun dan belanja negara Rp419,6 triliun.
Realisasi pendapatan negara tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp262,4 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp71,1 triliun dan hibah Rp0,3 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp234 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp185,6 triliun.
Untuk realisasi belanja pemerintah pusat terdiri atas belanja Kementerian Lembaga Rp103,1 triliun dan belanja non-Kementerian Lembaga Rp130,8 triliun.
Pembiayaan anggaran juga sudah mencapai Rp149,8 triliun atau 46 persen dari target Rp325,9 triliun karena adanya strategi penerbitan Surat Berharga Negara sejak awal tahun.
Sri Mulyani mengatakan realisasi yang positif ini memperlihatkan kinerja APBN yang semakin baik dan menjadi insentif bagi perekonomian untuk tumbuh lebih optimal.
"Kita melihat tren APBN semakin baik dan semakin sehat," jelasnya.
🌹
Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah pada siang hari perdagangan hari ini, Jumat (20/4) dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Data Bloomberg menyatakan, rupiah pukul 11.28 WIB di pasar spot exchange berada di level Rp 13.821 per dolar AS atau terdepresiasi 36 poin (0,26 persen) dibandingkan perdagangan sebelumnya Rp 13.785. Transaksi rupiah hari ini diperdagangkan dalam kisaran Rp 13.768-Rp 13.824 per dolar AS.
Sementara euro di pasar spot melemah 0,04 persen ke 1,2340 euro per dolar AS dibandingkan perdagangan sebelumnya. Adapun pound sterling turun 0,06 persen ke 1,4079 pound sterling per dolar AS, yen melemah 0,26 persen ke 107,65 per dolar, yuan melemah 0,11 persen ke 6,2862, won melemah 0,47 persen ke 1.066,52, dan dolar Singapura melemah 0,05 persen ke 1,3122.
Menurut data IMQ21, rupiah siang ini berada di level Rp 13.811 atau terdepresiasi 77 poin (0,56 persen) dari penutupan sebelumnya Rp 13.734. Rupiah berada di level terlemah di Rp 13.815 dan terkuat di Rp 13.734.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah pada perdagangan hari ini berada di kurs tengah Rp 13.804 atau terdepresiasi 26 poin dari perdagangan sebelumnya Rp 13.778. Rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 13.873 (kurs jual) dan Rp 13.735 (kurs beli).
Sumber: BeritaSatu.com
🌹
JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate pada posisi 4,25 persen. Kebijakan tersebut berlaku efektif sejak Jumat (20/4/2018) esok. Adapun suku bunga deposit facility juga dipertahankan pada posisi 3,5 persen. Suku bunga lending facility dipertahankan pada posisi 5 persen. "Kebijakan tersebut konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah meningkatnya tekanan eksternal," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/4/2018). Dody mengungkapkan, pelonggaran kebijakan moneter yang sebelumnya telah diambil bank sentral dipandamng masih masih memadai untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Kebijakan tersebut didukung kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran. "BI akan fokus menjaga stabilitas perekonomian sebagai landasan utama terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan," terang Dody. Ke depan, bank sentral terus mewaspadai sejumlah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia. Bank sentral juga mewaspadai kenaikan harga minyak dan berlanjutnya perang dagang AS-China.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul " BI Tahan Suku Bunga Acuan Tetap 4,25 Persen", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/19/191048026/bi-tahan-suku-bunga-acuan-tetap-425-persen.
Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
🌸
JAKARTA, KOMPAS.com — Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Februari 2018 mencapai 356,2 miliar dollar AS atau sekitar RP 4.897 triliun (kurs RP 13.750 per dollar AS). Angka ini menyusut 1,3 miliar dollar AS dibandingkan Januari 2018 sebesar 357,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 4.915 triliu). Penurunan ULN tersebut terjadi karena pemerintah membayar utang yang telah jatuh tempo. Kondisi ini diharapkan bisa menjadi cerminan, pengelolaan utang Indonesia bagus karena bisa melunasi utang jatuh tempo tepat waktu. Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelestianingsih mengatakan, utang pemerintah tahun ini memang banyak yang jatuh tempo, baik dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) maupun dalam bentuk bilateral. "Pemerintah sudah bayar utang lumayan. Ini bagus karena mampu membayar tepat waktu," ujar Lana, Selasa (17/4/2018). Kemampuan membayar utang ini akan menjaga kepercayaan investor. Apalagi, belakangan ini Indonesia mendapatkan kenaikan peringkat utang dari Moody's, Japan Credit Rating, serta Rating and Investment Information, Inc ke satu level di atas invesment grade. Hal ini bakal menurunkan biaya utang, baik di dalam maupun luar negeri. Baca juga: Naik 10 Persen, Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 4.915 Triliun Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, selain ULN yang semakin sehat, data utang terbaru juga menunjukkan ekspansi di sektor swasta. Hal ini tecermin dari utang perusahaan bukan lembaga keuangan yang meningkat. Menurut Josua, peningkatan ULN sektor listrik, air, dan gas dipengaruhi peningkatan investasi publik khususnya pembangunan infrastruktur yang belakangan terjadi. "Kenaikan ULN sektor pengolahan seiring meningkatnya permintaan ekspor produk manufaktur Indonesia seiring perbaikan ekonomi global. Ini bagus bagi perekonomian nasional," ucapnya. (Arsy Ani Sucianingsih) Berita ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul Pemerintah bayar utang jatuh tempo, utang luar negeri susut
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Utang Luar Negeri Indonesia Menyusut, Ini Sebabnya", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/18/141000726/utang-luar-negeri-indonesia-menyusut-ini-sebabnya.
Editor : Erlangga Djumena
🍓
Liputan6.com, Jakarta Masalah utang pemerintah menjadi perdebatan sejumlah pihak. Pasalnya, hingga akhir Februari 2018, utang tersebut tercatat mencapai Rp 4.034 triliun.
Pengamat Ekonomi Institute fo Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan hal yang paling sederhana untuk mengukur risiko utang negara adalah membandingkan nominal utang terhadap produk domestik bruto (PDB).
BACA JUGA
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan jika batasan maksimal utang adalah 60 persen terhadap PDB.
"Tanpa tafsiran yang macam-macam, kesimpulannya kalau utang pemerintah per Februari 2018 masih Rp 4.034 triliun maka sama dengan 29,2 persen dari PDB alias jauh di bawah ambang batas 60 persen," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Namun, dalam perkembangan utang tampaknya harus dikaji kembali. Sebab, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana.
Bhima menyatakan fakta di Eropa ketika krisis utang periode 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB.
Beberapa negara di Eropa yang memiliki rasio utang di atas 100 persen seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program Bailout Troika Dana Moneter Internasional (IMF).
"Negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43 persen dan 39 persen masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong. Bukan berarti rasio utang tak relevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified atau terlalu menyederhanakan," kata dia.
🍉
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Porsi Kepemilikan Asing yang cukup besar pada Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang tak menjamin utang Indonesia aman dari pergerakan investor asing di pasar global. Aspek kontrol yang sulit serta potensi menggolaknya rupiah menjadi alasan mengapa pemerintah sebaiknya tekan angka proporsi kepemilikan asing.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, per 4 April 2018 kepemilikan asing terhadap SUN mencapai 39,73%. Kendati begitu, kebanyakan SUN yang dimiliki asing sebetulnya didominasi oleh SUN bertenor panjang, bukan spekulan.
“Saya kira mau itu bertenor panjang atau spekulan, sama saja. Pemerintah akan sulit melakukan kontrol seperti negosiasi dan profiling pada asing daripada pemilik domestik,” ujar Mohammad Faisal, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia kepada Kontan.co.id Sabtu, (7/4).
Sulitnya kontrol tersebut juga disebabkan karena investor (bond holder) bersifat banyak orang dan tersebar. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan pinjaman bilateral.
“Pinjaman bilateral seperti pada Fiji misalnya, pemerintah tinggal berangkat, adakan negosiasi, selesai,” jelas Faisal.
Selain itu, bahaya lain adalah potensi tekanan pada nilai rupiah. Pada saat jatuh tempo, pembayaran utang dan pemberian imbal hasil pada investor asing akan membuat cadangan devisa melemah sehingga berpotensi melemahkan rupiah.
“Bahaya lainnya tentu berkaitan dengan kerentaran rupiah. Pembayaran utang dan imbal hasil pada investor asing tidak mungkin menggunakan mata uang domestik, hal itu tentu akan mengurangi cadangan devisa dan berpotensi melemahkan nilai rupiah,” sebut Faisal.
Faisal juga beberapa kali membandingkan proporsi kepemilikan asing pada SUN Indonesia dengan apa yang terjadi di negara-negara lain. Bila dibandingkan dengan utang luar negeri (ULN) Indonesia yang mencapai 24% dengan proporsi kepemilikan SUN oleh asing 39.73%, maka ULN Jepang sebesar 5% dan kepemilikan asing di SUN Jepang sebesar 11% tergolong sangat minim.
“Thailand dan Jepang, proporsi utang mereka terhadap asing dibawah 10%. Kepemilikan asing pada SUN mereka dibawah 20%,” kata Faisal.
Untuk menanggulangi kondisi berbahaya ini, Faisal mengatakan bahwa pemerintah mau tidak mau harus menekan proporsi kepemilikan asing terhadap SUN. Pemerintah seharusnya dapat lebih memaksimalkan investor-investor domestik.
“Dengan kondisi yang ada akhir-akhir ini, seharusnya penekanan proporsi kepemilikan asing dan pengalihannya pada investor domestik bisa-bisa saja dilakukan,” pungkas Faisal.
🍫
Bisnis.com, JAKARTA - "Tidak ada satu negara pun, termasuk negara kaya Arab Saudi tidak berutang. Jadi, jangan cita-cita tidak berutang," begitu kata ekonom senior Indef Faisal Basri dua pekan lalu.
Dari pernyataan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa isu utang akan selalu menjadi isu yang hangat di setiap rezim pemerintahan, karena bisa besar kemungkinan jumlahnya juga akan selalu bertambah seiring waktu.
Namun, rasanya masyarakat juga tidak akan terlalu mempersalahkan utang terlalu dalam, jika manfaatnya benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh kalangan.
"Saya rasa utang tidaak masalah, selayaknya orang tua yang berutang untuk menyekolahkan anaknya, saya sanggup berutang asalkan anak saya sekolah," begitu penjelasan Plt. Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) Hidayat Amir.
🍊
Merdeka.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan politisi dan ekonom yang memperdebatkan utang Indonesia seolah berada dalam tahap krisis. Menkeu menegaskan pemerintah terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN terap sehat, kredibel dan berkelanjutan (sustainable).
BERITA TERKAIT
"Kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (23/3).
Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, lanjutnya, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya.
Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp 5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
"Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang," tuturnya.
Selain itu, terkait hubungan utang dan pembangunan infrastruktur serta belanja modal, menkeu mengatakan wajar jika besaran utang tidak sejalan. Sebab, pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga (K/L) pemerintah pusat, namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal. Sebab, untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.
"Oleh karena itu, pernyataan bahwa 'tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya' adalah kesimpulan yang salah," jelasnya.
Menteri Sri Mulyani juga mengingatkan diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto, defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp 167 triliun.
"Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2,5 persen. Tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2,19 persen PDB. Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan."
Demikian juga dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer, pemerintah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable. Buktinya, pada 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp 142,5 triliun, menurun pada 2016 menjadi Rp 125,6 triliun, dan kembali menurun pada 2017 sebesar Rp 121,5 triliun.
"Untuk 2018, pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp 87,3 triliun. Tahun 2019 dan kedepan kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus," paparnya.
Kebijakan utang dalam APBN juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.
"Kita melihat jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Secara jumlah total pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713."
Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita. Oleh karena itu, Pemerintah terus melakukan diversifikasi instrumen utang, agar partisipasi masyarakat luas dapat terus ditingkatkan.
🌾
Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia masih membutuhkan lebih banyak upaya untuk menjamin tingkat credit default swap tetap terjaga pada level yang rendah demi meningkatkan kenyamanan bagi investor asing berinvestasi di Indonesia.
Iklim investasi dunia yang relatif membaik di awal tahun ini, yang mana didukung pula oleh kondisi fundamental yang kuat dari dalam negeri, sempat mendorong tingkat CDS 5 tahun Indonesia hingga ke level terendahnya sepanjang sejarah pada 9 Januari2018 lalu, yakni 76,92.
BACA JUGA :
Namun, kondisi berbalik lagi setelahnya dan CDS meningkat hingga di atas 100. CDS sempat kembali turun hinggake level 90,23 pada Senin pekan ini, tetapi kemarin meningkat tajam ke posisi 103,15 atau posisi tertingginya tahun ini. Secara umum, tingkat CDS sejumlah negara Asia Pasifik memiliki pola pergerakan yang sama.
CDS merupakan tingkat premi yang dibayar pemegang surat utang kepada perusahaan penjamin untuk menjamin pembayaran utangnya secara penuh bila obligor mengalami gagal bayar. Semakin tinggi tingkat CDS menunjukkan semakin tinggi pula persepsi resiko atas suatu instrumen surat utang.
Tingkat CDS Indonesia pernah mencapai 1328 saat krisis 2008 yang mencerminkan sangat beresikonya instrumen surat utang pemerintah saat itu. Kini, level CDS cenderung terjaga di angka yang relatif rendah, meskipun CDS Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan kebanyakan negara berkembang di Asia Pasifik.
Anup Kumar, Senior Fixed Income Analyst Bank Maybank Indonesia, mengatakan bahwa sejauh ini CDS Indonesia masih dalam tren menurun, meskipun dalam beberapa pekan terakhir meningkat. Level CDS saat ini masih merupakan level terendah sejak 2007.
Peningkatan yang terjadi kemarin semata-semata disebabkan karena reaksasi sesaat pasar mengantisipasi FOMC meeting pekan ini. Hal tersebut tidak berarti iklim investasi di Indonesia memburuk.
Meskipun CDS meningkat, Anup tidak melihat adanya potensi CDS untuk meningkat lebih jauh dari posisi terkini, selama tidak ada sentimen yang terlalu negatif dari dalam negeri. Lagi pula, Indonesia sudah cukup teruji melewati masa-masa krisis dan tetap bisa mempertahankan kinerja ekonomi yang stabil.
“Menurut saya ini bukan hal yang harus dikhawatirkan. Level CDS kita pernah mencapai 250-300 pada 2015 dan tidak terjadi hal yang terlalu buruk. Itu masih jauh sekali dibandingkan level sekarang. Memang ada koreksi, tetapi tidak parah sekali,” katanya, Selasa (20/3/2018).
Anup menilai, wajar saja bila tingkat CDS kembali meningkat, mengingat yield US Treasury juga tengah berada dalam tren meningkat. Dirinya justru menilai tingkat CDS yang masih relatif rendah di tengah tren peningkatan yield surat utang saat ini adalah suatu pertanda positif bagi ekonomi Indonesia.
“CDS yang masih rendah ini menunjukkan fundamental Indonesia cukup baik di mata asing, cukup terjaga dan kondusif. Kemungkinan untuk kembali menyempit atau melebar selalu ada, tetapi pada kondisi terkini volatilitasnya sudah terjaga dan kita lihat posisi yang rendah sekarang ini sudah baik,” katanya.
Anil Kumar, Investment Manager Ashmore Asset Management Indonesia, mengatakan bahwa meningkatnya angka CDS erat terkait dengan defisit neraca perdagangan tiga bulan terakhir.
Hal ini menyebabkan cadangan devisa yang ada terus tergerus dan jelas menambah risiko negara untuk melunasi utang dalam mata uang asing.
Hal ini menyebabkan cadangan devisa yang ada terus tergerus dan jelas menambah risiko negara untuk melunasi utang dalam mata uang asing.
Selain itu, peningkatan CDS juga memang turut dipengaruhi oleh dinamika di pasar global yang menyebabkan arus modal keluar terus terjadi.
Anil menilai, butuh waktu yang cukup panjang dengan sumber daya yang cukup besar untuk mampu mendorong tingkat CDS Indonesia di level yang relatif rendah, stabil dan berkelanjutan. Ada tiga upaya yang bisa ditempuh.
Pertama, mengembangkan industrialisasi dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk-produk dalam negeri. Dengan demikian, ketergantungan terhadap impor bisa berkurang, sementara produk ekspor juga dapat lebih bersaing di pasar internasional.
“Cara paling cepat memang adalah dengan menurunkan import melalui pelemahan mata uang, tetapi ini tidak sustainable. Ini pernah terjadi, tetapi jangan sampai kejadian lagi. Kita bisa naikkan ekspor, tinggal kemauannya ada atau tidak. Itu pertama kalau mau CDS turun, trade balance harus surplus,” katanya.
Kedua, pemerintah harus mampu memastikan investasi langsung asing atau foreign direct investment terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Untuk itu, harus ada trobosan-trobosan lanjutan yang memungkinkan arus investasi semakin mudah masuk ke Indonesia.
Ketiga, menjamin kondisi yang memungkinkan meningkatnya investasi asing melalui pembelian portofolio investasi di dalam negeri, entah dalam bentuk surat utang maupun saham. Untuk itu, tingkat inflasi harus dijaga agar tetap rendah, sementara tingkat bunga sedikit lebih tinggi.
Selain itu, iklim makroekonomi perlu dijaga agar valuasi emiten meningkat sehingga investasi saham menjadi menarik.
“CDS harus dijaga melalui trade balance dibuat surplus dengan cara ekspor ditungkatkan, tetapi jangan yang komoditas agar ini sustain. Kalau dari komoditas, voltilitas tingkat CDS akan cukup tinggi,” katanya.
Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa kondisi CDS yang sekarang akan cenderung stabil menimbang kondisi pasar surat utang mulai tersesuaikan (price in) terhadap dinamika yang terjadi di pasar global, termasuk kemungkinan naiknya suku bunga FRR.
Pekan lalu, investor asing sudah kembali masuk ke pasar surat utang pemerintah. Arus masuk asing tercatat senilai Rp7,04 triliun sepanjang pekan lalu. Pada Senin kemarin, kepemilikan asing bertambah lagi Rp3,66 triliun. Hal ini menandai mulai berakhirnya tren jual yang dilakukan investor asing sejak Februari lalu.
“CDS kita relatif tidak banyak fluktuasi karena ini juga dijaga BI. Saya rasa CDS akan lebih stabil pada level sekarang karena tekanan-tekanan sudah mulai berkurang,” katanya.
🍣
JAKARTA okezone - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat total utang Indonesia hingga saat ini sudah mencapai lebih dari Rp7.000 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan swasta.Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan, utang pemerintah dilakukan untuk membiayai defisit anggaran, sedangkan utang swasta oleh korporasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 menyatakan total utang Pemerintah hanya mencapai Rp4.772 triliun. Namun jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017 sudah mencapai Rp3.128 triliun dan posisi utang Luar Negeri Pemerintah 2017 telah mencapai USD177 miliar atau Rp2.389 triliun (kurs Rp13.500).
Baca Juga : Utang Luar Negeri dan Kemiskinan
Selanjutnya, untuk utang luar negeri swasta tahun 2017 telah tembus sebesar USD172 miliar atau sekitar Rp2.322 triliun (kurs Rp13.500).
"Besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN," ungkap Enny di Kantornya, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Selain itu, untuk utang pemerintah saja, Enny mengatakan memang terus meningkat tajam sejak 2015 lalu. Di mana, peningkatan utang di klaim untuk membiayai kebutuhan belanja pembangunan infrastruktur yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah.
Baca Juga : 8 Fakta tentang Utang Pemerintah yang Mencapai Rp4.000 Triliun
"Utang pemerintah melonjak dari Rp3.165,13 triliun (2015) menjadi Rp3.466,96 triliun (2017). Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 pada Februari menembus angka Rp4.034, 8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai 4.772 triliun," tukasnya.
(feb)
(rhs)
🌺🌺
Jakarta detik- Sampai saat ini, Indonesia masih memiliki pinjaman luar negeri. Per Februari 2018, utang pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri tercatat sebesar Rp 771,6 triliun.Khusus untuk pinjaman luar negeri juga didapatkan dari berbagai cara, mulai dari pinjaman bilateral yang sebesar Rp 331,24 triliun, pinjaman multilateral Rp 396,02 triliun, pinjaman komersial Rp 43,32 triliun, dan pinjaman suppliers Rp 1,17 triliun.Lalu siapa saja pemberi utang ke Indonesia?Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Erwin Ginting mengatakan secara bilateral Jepang, Jerman, Perancis, Korea, China, dan Amerika Serikat (AS) masih menjadi pemberi utang ke Indonesia.Sedangkan secara multilateral World Bank, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB) masih menjadi pemberi utang tetap.Berikut adalah pemberi pinjaman bilateral dan multilateral buat Indonesia:- Pinjaman multilateral sebesar Rp 396,02 triliun. Terbesar dari
World Bank Rp 249,67 triliun atau 63,0%.
Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp 130,28 triliun atau 32,9%, dan Bank Pembangunan Islam (IDB) sebesar Rp 12,7 triliun atau 3,2%- Pinjaman bilateral sebesar Rp 331,24 triliun. Terbesar dari
Jepang Rp 199,57 triliun atau 60,3%.
Jerman Rp 32,07 triliun atau 9,7%.
Perancis sebesar Rp 29,87 triliun atau 9,0%.
China sebesar Rp 18,09 triliun atau 5,5%, dan
Amerika Serikar sebesar Rp 7,57 triliun atau 2,3%.
🍋
TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat utang luar negeri pemerintah masih dalam posisi yang aman karena masih memiliki solvency yang mampu untuk dibayarkan. "Bunga utang kita masih di kisaran 7 persen dan GDP nominal kita adalah 5 persen, ditambah dengan inflasi kita 3,5 persen. Jadi masih bisa dibayar, lah," katanya, Jumat, 16 Maret 2018.
Ari menjelaskan, solvency adalah kemampuan suatu institusi untuk membayarkan utangnya. Sementara itu, dalam konteks utang negara, solvency adalah selisih dari bunga utang yang dibayarkan dengan pertumbuhan gross domestic bruto (GDP) nominal.
Oleh karena itu, Ari mengatakan pemerintah harus menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap dalam level yang aman. Menurut dia, penggunaan utang selama ini sudah sangat baik karena ditransfer ke sektor yang produktif, yakni untuk membangun infrastruktur.
Pinjaman luar negeri yang disalurkan ke sektor bangunan mencapai US$ 7,75 miliar, atau 13,9 persen dari US$55,66 miliar. Porsi utang yang dimiliki pemerintah saat ini (29,1 persen per GDP) atau lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang (60 persen per GDP).
Hal yang paling terpenting, menurut Ari, adalah sejauh ini pemerintah telah berhasil menjaga kredibilitasnya. Dengan begitu, utang diambil dengan bunga lebih rendah dan kreditor juga percaya piutang yang diberikan akan tetap terbayarkan.
Hal tersebut juga yang menyebabkan negara seperti Jepang dan Amerika berani meminjam utang dengan jumlah besar. "Utang Jepang itu lebih dari dari dua kali GDP-nya, dan utang Amerika juga lebih dari GDP-nya," kata Ari.
Mengenai penyaluran utang luar negeri yang kurang tersalurkan ke sektor manufaktur, Ari mengatakan hal tersebut merupakan sesuatu yang normal. Sektor tersebut bukan sektor yang mengandalkan utang sebagai pondasi pembiayaan investasinya. "Memang normal, sektor manufaktur lebih mengandalkan laba tertahan dan modal ventura, mereka hanya mengunakan utang untuk membiayai pengeluaran jangka pendeknya."
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang yang tersalurkan ke pertanian, peternakan, perhutanan, perikanan dan industri pengolahan hanya US$ 1,69 miliar. Angka itu setara dengan 3,1 persen dari total pinjaman luar negeri US$ 55,66 miliar.
BISNIS
🍆
Bisnis.com, JAKARTA--Utang pemerintah yang meningkat hingga Rp4.035 triliun per Februari 2018 diperkirakan baru dapat dilunasi hingga sembilan tahun ke depan.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Scneider Siahaan mengungkapkan pemerintah melakukan pengelolaan utang dengan baik. Jika tidak, utang tersebut tentu tidak akan mampu dilunasi.
Menurutnya, pengelolaan utang ini dilakukan dengan mengatur struktur utang jatuh temponya. Total utang pemerintah yang mencapai Rp4.035 triliun didominasi dengan utang jangka panjang. Salah satu instrumen penerimaan yang dipakai pemerintah untuk membiayai utang adalah penerimaan pajak yang diprediksikan sebesar Rp1.800 triliun pada 2018.
"Utang rata-rata akan lunas sepanjang 9 tahun, setiap tahun yang kita bayar itu kira-kira Rp4.000 triliun dibagi 9 tahun. Jadi sekitar Rp450 triliun. Kalau kita punya penerimaan [pajak] Rp1.800 triliun dan utang jatuh tempo Rp450 triliun," kata Scneider, Kamis (15/3/2018).
Dia menegaskan pelunasan ini akan tergantung pada niat politik pemerintah. Jika anggaran pemerintah surplus, dia yakin pelunasan utang bisa lebih cepat. Dia menuturkan posisi rasio utang pemerintah terhadap PDB masih berada pada 29,24% dari produk domestik bruto (PDB). Dalam tataran tersebut, dia menilai utang Indonesia masih aman karena batasan rasio utang yang sehat adalah 60% terhadap PDB.
"[Oleh sebab itu] Masih ada ruang untuk tambah utang, dan masih ada ruang utang mengurangi utang," ujarnya.
🍧
Jakarta detik - Utang pemerintah sepanjang 2017 nyaris Rp 4.000 triliun, tepatnya Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB). Masih aman nggak sih?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa aman posisi utang pemerintah.
Pertama, adalah perbandingan antara penerimaan negara dari sektor pajak terhadap besaran utang yang saat ini tercatat.
"Sekarang gini, utang itu kan dibayar dari pendapatan. Dalam konteks negara itu pendapatan itu dari sektor pajak," kata dia saat dihubungi detikFinance, Rabu (14/3/2018).
Menurut data yang dimilikinya, di tahun tahun 2012, rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak adalah sebesar 26%. Sementara di tahun 2016 adalah 32%.
"Artinya 32% dari penerimaan pajak RI sudah habis untuk bayar cicilan bunga dan pokok utang," sambung dia.
Posisi tersebut bisa dibilang mengkhawatirkan mengingat pemerintah ada komponen belanja negara lainnya yang harus dibayar dari penerimaan pajak tersebut seperti belanja pegawai negeri sipil (PNS), biaya pembangunan infrastruktur hingga subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
Selain rasio pembayaran cicilan bungan dan pokok pinjaman terhadap pajak, Bhima juga menyoroti masalah pertumbuhan utang dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi RI.
"Pertumbuhan penerimaan pajak hanya 4% per tahun. Sementara utangnya pertumbuhannya 14%. Itu kan nggak sebanding. Harusnya pertumbuhan utang itu berbanding lurus dengan pertumbuhan penerimaannya. Karena itu yang akan digunakan untuk bayar utang," jelas dia.
Indikator lain yang juga bisa dijadikan tolak ukur aman tidaknya utang pemerintah saat ini adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Bila dibandingkan dengan pertumbuhan utang baru yang mencapai 14%, pertumbuhan ekonomi RI hanya berada di kisaran 5%.
"Artinya ada yang tidak beres dengan pengelolaan kita. Karena, utang yang ditarik ternyata tak bisa mendongkrak produktivitas yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi," tandasnya. (dna/ang)
Comments
Post a Comment